Selasa, 03 Juli 2012

Preferensi Pembaca Terhadap Majalah Berbahasa Daerah (Studi pada Pelanggan Majalah Penjebar Semangat di Perumnas Sawojajar Malang Jawa Timur)


Preferensi Pembaca Terhadap Majalah Berbahasa Daerah
(Studi pada Pelanggan Majalah Penjebar Semangat di
Perumnas Sawojajar Malang Jawa Timur)
Oleh: Emy Sri Purwani 
Abstract
In Java, there are some Java-language magazines that still exist today, Panjebar Semangat is the ones which first published in 1933 and survived until now with a circulation of about twelve thousand copies. Spreading not only in Java but also outside the island and abroad. The study, entitled Readers’ Preference On The Region Language Magazine was conducted with exploratory qualitative approach. The data sources are magazine subscribers Panjebar Semangat that resides in the Housing Sawojajar Malang. The data obtained were trying to uncover how the preference or preferences that may arise. Presentation of data using descriptive type with emic perspective. The result this research showed that the social background as Javanesse make them like Java language magazine. Magazines are not just used as reading material but more than that, used as container for interactions among fellow readers, as a place to draw knowledge and awareness of the art form and culture of Java. Interacting with other readers and editors make them like the rubric of reader letters. Background of social life that is still very thick with art and culture of Java, causing a preference for Java-language magazines as well. Panjebar Semangat’s readers are the people who grew up in an environment that upholds the values and norms of Javanese culture as much as possible tried to defend himself to keep living life according to the adopted culture. By selecting the Java language magazine, they showed identity at the same time strive to maintain a cultural symbol that raised them.
Keywords: Customer, preferences
Pendahuluan
Tonggak perkembangan media massa di Indonesia dimulai pada jaman penjajahan Belanda dengan lahirnya penerbitan pertama tahun 1744. Siklus media massa mengikuti situasi dan kondisi di Indonesia, baik secara ekonomi maupun politik. Pada awalnya media massa menggunakan bahasa pengantar Belanda karena saat itu Indonesia dikuasai Belanda dan banyak orang menguasai bahasa tersebut sebagai bahasa pergaulan, tetapi dalam perkembangan selanjutnya bermunculan media massa berbahasa pengantar Melayu, Indonesia, Inggris, Jawa, dan Tionghoa. Media berbahasa daerah pertama kali terbit di Surakarta tahun 1855 bernama Bromartani menggunakan bahasa dan aksara Jawa (Suprawoto, 2004:29-36). Setelah itu media massa terus berkembang hingga seperti sekarang ini.
Perkembangan teknologi media dan beragam isi media yang mengikuti trend gaya hidup dan hiburan masa kini cenderung membuat orang menjatuhkan pilihan pada media yang umum dan termutakhir. Mayoritas media massa di Indonesia menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar, namun ada beberapa media yang menggunakan selain bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya, misalnya harian berbahasa Inggris, Mandarin dan majalah berbahasa daerah seperti Jawa atau Sunda bahkan Batak.

pdf file 

Analisis Yuridis Izin Prinsip Bupati OKU Terhadap Pembukaan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit dalam Kaitannya dengan UU Sektoral (Kajian Yuridis UUPLH dan UUPA)


Analisis Yuridis Izin Prinsip Bupati OKU
Terhadap Pembukaan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit dalam
Kaitannya dengan UU Sektoral (Kajian Yuridis UUPLH dan UUPA)

Oleh: Santi Indriani 
Abstract
Principle permits issued to PT. Mitra Ogan Regent in the absence of an EIA study contradict UUPLH and PP No.27 of 1998 on EIA. Because of all the businesses that have an impact on the environment must be accompanied by an EIA document. EIA as a legal instrument to be made in accordance with the procedures and provisions, and not just as a fulfillment of administrative requirements. Before issuing permits local governments should analyze the principle of advance planning activities to be carried out by PT. Mitra Ogan in this case the opening of oil palm plantations. Then on the basis of consideration of the impact that would result from such development should also involve community participation. The provisions of Article 5 (3) that every person has the right to play a role in environmental management in accordance with laws and regulations applicable.
Keywords: Principle permits, AMDAL, local goverment
Pendahulauan
Otonomi daerah memberikan kewenangan bagi setiap daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri dalam rangka meningkatkan kesehjateraan masyarakat. Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam ketentuan pasal 1 UU No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, pemerintah daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud di dalam UUD 1945.
Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, banyak aspek positif yang diharapkan dalam pemberlakuan undang-undang tersebut. Otonomi daerah memang dapat membawa perubahan positif di daerah dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan yang tidak begitu penting atau sebagai pelaku pinggiran. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah sangat baik, yaitu untuk memberdayakan daerah, termasuk masyarakatnya, mendorong prakarsa dan peran serta masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan.

pdf file

Evaluasi Terhadap Strategi Komunikasi dan Kebijakan Publik Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Baturaja Kabupaten OKU



Evaluasi Terhadap Strategi Komunikasi dan Kebijakan Publik
Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Baturaja Kabupaten OKU
Oleh: Isnawijayani 
Abstract
At this time, Indonesia is experiencing the atmosphere of the thirst for peace. The thirst is caused by the pressures of life that always come every day, and the pressure demanded the settlement immediately. Moreover, the mass media in Indonesia is more often to show scenes of violence in many conflicts, which a negative effect. Violence seems to be an acceptable thing, and violence becomes a way to solve the problem. This is caused by the perpetrators of violence do not get enough social sanction.
Keywords: Communication strategy, public policy, empathy, violence
Pendahuluan
Apa yang terjadi secara umum pada masyarakat Indonesia, tentu tidak jauh berbeda dengan masyarakat di Kota Baturaja Kabupaten Ogan Komering Ulu Propinsi Sumatera Selatan. Mungkin saja hal ini disebabkan masalah kehidupan yang sudah tidak tertanggung lagi. Jika seseorang merasa tersinggung atau tidak senang, membuat orang dari semua tingkatan, kaya ataupun miskin cepat marah secara emosional.
Sementara dunia menghendaki kompetisi yang nyata dapat terlihat. Semua orang tidak ingin terpuruk, maka menghadapi semua itu kalau kesenangan rutinitas harus diganggu, tidaklah heran dengan mudah orang akan memaki, meneror, mengintimidasi, mengajak berkelahi bahkan memukul orang atau apapun yang dekat dengannya.
Disinilah diperlukan empati, komunikasi dari hati ke hati (human communication) yang dilakukan seorang pemimpin pemerintah atau bupati sebagai kepala pemerintahan di tingkat kabupaten. Jika bupati sebagai wakil pemerintah menghendaki agar pedagang kecil dengan modal yang pas, harus dipindahkan, tentu tahu apa yang dirasakan. Betapa bingung mengahadapi kenyataannya itu. Karena bingungnya maka yang nampak adalah perilaku marah, frustasi, depresi, dan berujung pada perilaku merusak orang lain atau diri sendiri.
Untuk itu sebetulnya masyarakat memerlukan pencerahan dari pemerintah atau pemimpin dalam hal ini bupati. Bupati harus segera memberi langkah cepat menghadapi bahaya yang membuat orang terpuruk. Disisi lain kota harus tertata dengan rapi, bersih dan asri. Keadaan kota adalah cerminan dari pemerintah dan siapa yang menjadi pemimpinnya.

pdf file

Checks and Balance Antara Eksekutif dan Legislatif di Era Otonomi Daerah


Checks and Balance Antara Eksekutif dan Legislatif di Era Otonomi Daerah
Oleh: Hardinata 
Abstract
In process of Indonesia national legislation, the House of Representatives (DPRD) is one of the main elements of governance in the region. Therefore, as a partner of local government, duties and functions of parliament (based on the mandate of the law) is more emphasis on the duties and functions of control or balance (checks and balances) between the branches of power, leadership and ranks of the bureaucracy. DRRD existence, whose members are directly elected by the people in the general election, is sufficient to reflect the representation of popular sovereignty and the rationalization of the principles of democracy. Revised from the procedural and substantive, the condition is a significant development in the process of democratization in Indonesia.
Keywords: Legislation, checks and balances, decentralization, governance
Pendahuluan
Harapan baru bagi rakyat Republik Indonesia dengan lahirnya reformasi 1998, yang telah merubah tatanan sistem pemerintahan sentralisasi menjadi sistem desentralisasi (otonomi daerah), melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, kemudian direvisi melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, dengan tujuan sama, yaitu pengaturan tata kelola pemerintahan di daerah. Undang-undang otonomi juga mengatur peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang selama ini hanya menjadi ”stempel” pemerintah, berubah menjadi mitra kerja pemerintah daerah dengan tugas pokok dan fungsi yang lebih jelas dan terukur.
Otonomi daerah itu berarti hak, wewenang dan kewajiban suatu pemerintahan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Fungsi mengatur diberikan kepada aparat legislatif, yaitu DPRD. Itulah sebabnya DPRD pada masing-masing daerah dapat membuat Peraturan Daerah (Perda) masing-masing ketentuan yang berlaku. Sedangkan fungsi mengurus diserahkan kepada eksekutif daerah yaitu kepala daerah dan dinas-dinas otonomnya (Inu Kencana, 2011:64).
Sesunguhnya harapan untuk dapat diciptakan adanya ckeck and balance antara DPRD dan Bupati/Walikota sebelum lahir undang-undang otonomi, dimana kedudukan dan peran pemerintah daerah (bupati dan perangkatnya) terlalu kuat, sementara peran DPRD sangat lemah. Dengan lemahnya peran itu, maka secara logika mencerminkan lemahnya partisipasi masyarakat.
Dalam pandangan Kansil (2003:143), kedudukan kepala daerah dan DPRD sama tinggi, Kepala daerah memimpin bidang eksekutif dan DPRD bergerak di bidang legislatif. Meskipun demikian, harus diakui bahwa pembuatan peraturan daerah tidak dapat dilakukan oleh DPRD sendiri, tetapi bersama-sama dengan kepala daerah dan DPRD. Selanjutnya, tugas kepala daerah ialah memimpin penyelengaraan dan bertanggungjawab penuh atas jalannya pemerintahan daerah.

pdf file

Penerapan Asas-Asas Pembuatan Peraturan Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kota Palembang


Penerapan Asas-Asas Pembuatan Peraturan Daerah dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kota Palembang
Oleh: Mudasir 
Abstract
This research aimend at finding out if regional regulations, especially tax and original contribution related to original real income have fulfilled the criteria for creating proper regional regulation. By looking at the requirements of creating a regional regulation starting from the preparation of regional regulation up to the legitimating and regulating the regional paper of Palembang City. Method used in thus thesis writing was normative study with the stressing on normative juridical approach, that was an approach based on the regulations. The result of this research shaw that the regional regulations of Palembang City was regenerally arranged based on the community vision and mission without preceded by the arrangement of academic text and the community did not involve directly in the making of the draft of regional regulations, especially those related to tax or retribution in which the community became the subject-object of it. As the result, the arranged regional regulations have not reffered fully to requirements of making Palembang City that have been cancelled by the central government.
Keywords: Regional regulation, governement, autonomy, community
Pendahuluan
Salah satu problema yang dihadapi oleh sebagian daerah kabupaten/kota dalam lingkup Provinsi Sumatera Selatan dewasa ini adalah berkisar pada upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Problema ini muncul karena adanya kecenderungan berpikir dari sebagian kalangan birokrat di daerah yang menganggap bahwa parameter utama yang menentukan kemandirian suatu daerah dalam berotonomi adalah terletak pada besarnya “perolehan” PAD.
Terkait dengan itu, Nuralam Abdullah (2001:3), menyatakan bahwa dari perspektif sejarah mengungkapkan bahwa pemerintah daerah pada masa lalu sangat bergantung pada subsidi dana dari pemerintah pusat. Hasil identifikasi dan inventarisasi kemampuan keuangan daerah yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (PUOD) menunjukkan bahwa hanya 21,92% dari 292 Daerah Tingkat II di Indonesia yang dipandang mampu untuk membiayai pembangunan daerahnya.

pdf file

Perwujudan Good Governance di Era Otonomi Daerah


Perwujudan Good Governance di Era Otonomi Daerah
Oleh: Yunizir Djakfar 
Abstract

Decentralization policy is based on Law Number 32 Year 2004 regarding Regional Government is the policy of birth in order to respond and fulfill the demands of reform as democratize relations between regional and local empowerment. Regional autonomy according to Law No. 32 of 2004 is understood as an autonomous regional authority to regulate and manage the interests of society at its own initiative based on the aspirations of society based on statutory regulations.
Keywords: Autonomy, democracy, reform, authority
Pendahuluan
Realisasi otonomi daerah yang nyata berdasarkan aturan perundang-undangan, merupakan perwujudan dari good governace yang berjalan di Indonesia pasca reformasi yang mengakhiri pemerintahan Orde Baru. Indonesia bukan negara liberal, di mana swasta memiliki kebebasan yang luar biasa dalam negara. Namun hubungan negara menjadi pengayom rakyat, di mana negara punya tujuan (wajib) mensejahterakan rakyatnya.
Era otonomi daerah, dalam pandangan Syamsuddin Haris (2009), bukan merupakan ancaman bagi upaya pengembangan industri dan perdagangan, namun sebaliknya justru memberikan kesempatan dan dukungan bagi pengembangan perindustrian dan perdagangan. Dengan kewenangan yang dimiliki daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, maka terbuka kesempatan untuk megembangkan peridustrian dan perdagangan secara optimal di daerah. Sejalan dengan kewenangan yang dimiliki daerah, pengembangan industri dan perdagangan akan lebih efektif jika diarahkan kepada kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi, karena pada umumnya setiap daerah memiiki kelompok usaha jenis tersebut.
Pelaksanaan tata pemerintahan yang baik adalah bertumpu pada tiga domain yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat. Ketiga domain tersebut harus bekerja secara sinergis, yang berarti setiap domain diharapkan mampu menjalankan perannya dengan optimal agar pencapaian tujuan berhasil dengan efektif (Syamsuddin Haris, 1995).
Pemerintah berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif; swasta menciptakan pekerjaan dan pendapatan sedangkan masyarakat berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi, politik termasuk mengajak kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik.

pdf file

Analisis Peranan PTPN VII dalam Membangun Kondusivitas Lingkungan Usaha Kecil di Era Globalisasi dari Perspektif Corporate Social Responsibility


Analisis Peranan PTPN VII dalam Membangun Kondusivitas Lingkungan
Usaha Kecil di Era Globalisasi dari Perspektif Corporate Social Responsibility
Oleh: Yahnu Wiguno Sanyoto 

Abstract
In the era of highly competitive competition, PTPN VII (Persero) have an obligation to foster the partners built around the working area conceptually, well planned and sustainable (sustainability development) to solve problems that had blanketed the small business, involving internal constraints and external. Efforts to tackle the problem are implemented through a new awareness concept called Corporate Social Responsibility (CSR) which is defined as the moral responsibility of a company against its strategic stakeholders, especially the community around the work area and operations. CSR regards the company as a moral agent. With or without the rule of law, a company must uphold morality. The success of a company in view of CSR is to promote the moral and ethical principles, namely, to the best result, without prejudice to other community groups.
Keywords: Partnership, responsibility, corporate social responsibility, small business
Pendahuluan
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan salah satu pelaku kegiatan ekonomi dalam perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berupaya mengimplementasikan amanat pasal 33 ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen keempat) yang berbunyi, ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. BUMN secara definisi adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
PT. Perkebunan Nusantara VII (Persero) atau yang lebih kita kenal dengan PTPN VII (Persero) merupakan salah satu BUMN di sektor perkebunan, juga memiliki peran dan tanggung jawab yang sama dengan BUMN-BUMN lainnya untuk membangun masyarakat di sekitarnya yaitu Provinsi Lampung, Sumatera Selatan dan Bengkulu, khususnya dalam rangka mewujudkan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang selama ini belum optimal. Apalagi dengan kondisi perekonomian dan dunia usaha yang semakin kompetitif di era globalisasi saat ini baik secara lokal, nasional, regional maupun global. Oleh sebab itu, PTPN VII (Persero) memiliki tanggung jawab moral untuk mendorong kemajuan dunia usaha khususnya usaha kecil di sekitarnya agar produk mereka mampu bersaing dengan produk dari luar negeri. Ini dikarenakan, usaha kecil sebagai salah satu pelaku ekonomi juga memiliki sifat yang tangguh, unggul, serta berdaya saing, berdaya tarik, dan berdaya lestari.

pdf file