Selasa, 03 Juli 2012

Preferensi Pembaca Terhadap Majalah Berbahasa Daerah (Studi pada Pelanggan Majalah Penjebar Semangat di Perumnas Sawojajar Malang Jawa Timur)


Preferensi Pembaca Terhadap Majalah Berbahasa Daerah
(Studi pada Pelanggan Majalah Penjebar Semangat di
Perumnas Sawojajar Malang Jawa Timur)
Oleh: Emy Sri Purwani 
Abstract
In Java, there are some Java-language magazines that still exist today, Panjebar Semangat is the ones which first published in 1933 and survived until now with a circulation of about twelve thousand copies. Spreading not only in Java but also outside the island and abroad. The study, entitled Readers’ Preference On The Region Language Magazine was conducted with exploratory qualitative approach. The data sources are magazine subscribers Panjebar Semangat that resides in the Housing Sawojajar Malang. The data obtained were trying to uncover how the preference or preferences that may arise. Presentation of data using descriptive type with emic perspective. The result this research showed that the social background as Javanesse make them like Java language magazine. Magazines are not just used as reading material but more than that, used as container for interactions among fellow readers, as a place to draw knowledge and awareness of the art form and culture of Java. Interacting with other readers and editors make them like the rubric of reader letters. Background of social life that is still very thick with art and culture of Java, causing a preference for Java-language magazines as well. Panjebar Semangat’s readers are the people who grew up in an environment that upholds the values and norms of Javanese culture as much as possible tried to defend himself to keep living life according to the adopted culture. By selecting the Java language magazine, they showed identity at the same time strive to maintain a cultural symbol that raised them.
Keywords: Customer, preferences
Pendahuluan
Tonggak perkembangan media massa di Indonesia dimulai pada jaman penjajahan Belanda dengan lahirnya penerbitan pertama tahun 1744. Siklus media massa mengikuti situasi dan kondisi di Indonesia, baik secara ekonomi maupun politik. Pada awalnya media massa menggunakan bahasa pengantar Belanda karena saat itu Indonesia dikuasai Belanda dan banyak orang menguasai bahasa tersebut sebagai bahasa pergaulan, tetapi dalam perkembangan selanjutnya bermunculan media massa berbahasa pengantar Melayu, Indonesia, Inggris, Jawa, dan Tionghoa. Media berbahasa daerah pertama kali terbit di Surakarta tahun 1855 bernama Bromartani menggunakan bahasa dan aksara Jawa (Suprawoto, 2004:29-36). Setelah itu media massa terus berkembang hingga seperti sekarang ini.
Perkembangan teknologi media dan beragam isi media yang mengikuti trend gaya hidup dan hiburan masa kini cenderung membuat orang menjatuhkan pilihan pada media yang umum dan termutakhir. Mayoritas media massa di Indonesia menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar, namun ada beberapa media yang menggunakan selain bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya, misalnya harian berbahasa Inggris, Mandarin dan majalah berbahasa daerah seperti Jawa atau Sunda bahkan Batak.

pdf file 

Analisis Yuridis Izin Prinsip Bupati OKU Terhadap Pembukaan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit dalam Kaitannya dengan UU Sektoral (Kajian Yuridis UUPLH dan UUPA)


Analisis Yuridis Izin Prinsip Bupati OKU
Terhadap Pembukaan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit dalam
Kaitannya dengan UU Sektoral (Kajian Yuridis UUPLH dan UUPA)

Oleh: Santi Indriani 
Abstract
Principle permits issued to PT. Mitra Ogan Regent in the absence of an EIA study contradict UUPLH and PP No.27 of 1998 on EIA. Because of all the businesses that have an impact on the environment must be accompanied by an EIA document. EIA as a legal instrument to be made in accordance with the procedures and provisions, and not just as a fulfillment of administrative requirements. Before issuing permits local governments should analyze the principle of advance planning activities to be carried out by PT. Mitra Ogan in this case the opening of oil palm plantations. Then on the basis of consideration of the impact that would result from such development should also involve community participation. The provisions of Article 5 (3) that every person has the right to play a role in environmental management in accordance with laws and regulations applicable.
Keywords: Principle permits, AMDAL, local goverment
Pendahulauan
Otonomi daerah memberikan kewenangan bagi setiap daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri dalam rangka meningkatkan kesehjateraan masyarakat. Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam ketentuan pasal 1 UU No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, pemerintah daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud di dalam UUD 1945.
Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, banyak aspek positif yang diharapkan dalam pemberlakuan undang-undang tersebut. Otonomi daerah memang dapat membawa perubahan positif di daerah dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan yang tidak begitu penting atau sebagai pelaku pinggiran. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah sangat baik, yaitu untuk memberdayakan daerah, termasuk masyarakatnya, mendorong prakarsa dan peran serta masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan.

pdf file

Evaluasi Terhadap Strategi Komunikasi dan Kebijakan Publik Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Baturaja Kabupaten OKU



Evaluasi Terhadap Strategi Komunikasi dan Kebijakan Publik
Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Baturaja Kabupaten OKU
Oleh: Isnawijayani 
Abstract
At this time, Indonesia is experiencing the atmosphere of the thirst for peace. The thirst is caused by the pressures of life that always come every day, and the pressure demanded the settlement immediately. Moreover, the mass media in Indonesia is more often to show scenes of violence in many conflicts, which a negative effect. Violence seems to be an acceptable thing, and violence becomes a way to solve the problem. This is caused by the perpetrators of violence do not get enough social sanction.
Keywords: Communication strategy, public policy, empathy, violence
Pendahuluan
Apa yang terjadi secara umum pada masyarakat Indonesia, tentu tidak jauh berbeda dengan masyarakat di Kota Baturaja Kabupaten Ogan Komering Ulu Propinsi Sumatera Selatan. Mungkin saja hal ini disebabkan masalah kehidupan yang sudah tidak tertanggung lagi. Jika seseorang merasa tersinggung atau tidak senang, membuat orang dari semua tingkatan, kaya ataupun miskin cepat marah secara emosional.
Sementara dunia menghendaki kompetisi yang nyata dapat terlihat. Semua orang tidak ingin terpuruk, maka menghadapi semua itu kalau kesenangan rutinitas harus diganggu, tidaklah heran dengan mudah orang akan memaki, meneror, mengintimidasi, mengajak berkelahi bahkan memukul orang atau apapun yang dekat dengannya.
Disinilah diperlukan empati, komunikasi dari hati ke hati (human communication) yang dilakukan seorang pemimpin pemerintah atau bupati sebagai kepala pemerintahan di tingkat kabupaten. Jika bupati sebagai wakil pemerintah menghendaki agar pedagang kecil dengan modal yang pas, harus dipindahkan, tentu tahu apa yang dirasakan. Betapa bingung mengahadapi kenyataannya itu. Karena bingungnya maka yang nampak adalah perilaku marah, frustasi, depresi, dan berujung pada perilaku merusak orang lain atau diri sendiri.
Untuk itu sebetulnya masyarakat memerlukan pencerahan dari pemerintah atau pemimpin dalam hal ini bupati. Bupati harus segera memberi langkah cepat menghadapi bahaya yang membuat orang terpuruk. Disisi lain kota harus tertata dengan rapi, bersih dan asri. Keadaan kota adalah cerminan dari pemerintah dan siapa yang menjadi pemimpinnya.

pdf file

Checks and Balance Antara Eksekutif dan Legislatif di Era Otonomi Daerah


Checks and Balance Antara Eksekutif dan Legislatif di Era Otonomi Daerah
Oleh: Hardinata 
Abstract
In process of Indonesia national legislation, the House of Representatives (DPRD) is one of the main elements of governance in the region. Therefore, as a partner of local government, duties and functions of parliament (based on the mandate of the law) is more emphasis on the duties and functions of control or balance (checks and balances) between the branches of power, leadership and ranks of the bureaucracy. DRRD existence, whose members are directly elected by the people in the general election, is sufficient to reflect the representation of popular sovereignty and the rationalization of the principles of democracy. Revised from the procedural and substantive, the condition is a significant development in the process of democratization in Indonesia.
Keywords: Legislation, checks and balances, decentralization, governance
Pendahuluan
Harapan baru bagi rakyat Republik Indonesia dengan lahirnya reformasi 1998, yang telah merubah tatanan sistem pemerintahan sentralisasi menjadi sistem desentralisasi (otonomi daerah), melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, kemudian direvisi melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, dengan tujuan sama, yaitu pengaturan tata kelola pemerintahan di daerah. Undang-undang otonomi juga mengatur peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang selama ini hanya menjadi ”stempel” pemerintah, berubah menjadi mitra kerja pemerintah daerah dengan tugas pokok dan fungsi yang lebih jelas dan terukur.
Otonomi daerah itu berarti hak, wewenang dan kewajiban suatu pemerintahan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Fungsi mengatur diberikan kepada aparat legislatif, yaitu DPRD. Itulah sebabnya DPRD pada masing-masing daerah dapat membuat Peraturan Daerah (Perda) masing-masing ketentuan yang berlaku. Sedangkan fungsi mengurus diserahkan kepada eksekutif daerah yaitu kepala daerah dan dinas-dinas otonomnya (Inu Kencana, 2011:64).
Sesunguhnya harapan untuk dapat diciptakan adanya ckeck and balance antara DPRD dan Bupati/Walikota sebelum lahir undang-undang otonomi, dimana kedudukan dan peran pemerintah daerah (bupati dan perangkatnya) terlalu kuat, sementara peran DPRD sangat lemah. Dengan lemahnya peran itu, maka secara logika mencerminkan lemahnya partisipasi masyarakat.
Dalam pandangan Kansil (2003:143), kedudukan kepala daerah dan DPRD sama tinggi, Kepala daerah memimpin bidang eksekutif dan DPRD bergerak di bidang legislatif. Meskipun demikian, harus diakui bahwa pembuatan peraturan daerah tidak dapat dilakukan oleh DPRD sendiri, tetapi bersama-sama dengan kepala daerah dan DPRD. Selanjutnya, tugas kepala daerah ialah memimpin penyelengaraan dan bertanggungjawab penuh atas jalannya pemerintahan daerah.

pdf file

Penerapan Asas-Asas Pembuatan Peraturan Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kota Palembang


Penerapan Asas-Asas Pembuatan Peraturan Daerah dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kota Palembang
Oleh: Mudasir 
Abstract
This research aimend at finding out if regional regulations, especially tax and original contribution related to original real income have fulfilled the criteria for creating proper regional regulation. By looking at the requirements of creating a regional regulation starting from the preparation of regional regulation up to the legitimating and regulating the regional paper of Palembang City. Method used in thus thesis writing was normative study with the stressing on normative juridical approach, that was an approach based on the regulations. The result of this research shaw that the regional regulations of Palembang City was regenerally arranged based on the community vision and mission without preceded by the arrangement of academic text and the community did not involve directly in the making of the draft of regional regulations, especially those related to tax or retribution in which the community became the subject-object of it. As the result, the arranged regional regulations have not reffered fully to requirements of making Palembang City that have been cancelled by the central government.
Keywords: Regional regulation, governement, autonomy, community
Pendahuluan
Salah satu problema yang dihadapi oleh sebagian daerah kabupaten/kota dalam lingkup Provinsi Sumatera Selatan dewasa ini adalah berkisar pada upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Problema ini muncul karena adanya kecenderungan berpikir dari sebagian kalangan birokrat di daerah yang menganggap bahwa parameter utama yang menentukan kemandirian suatu daerah dalam berotonomi adalah terletak pada besarnya “perolehan” PAD.
Terkait dengan itu, Nuralam Abdullah (2001:3), menyatakan bahwa dari perspektif sejarah mengungkapkan bahwa pemerintah daerah pada masa lalu sangat bergantung pada subsidi dana dari pemerintah pusat. Hasil identifikasi dan inventarisasi kemampuan keuangan daerah yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (PUOD) menunjukkan bahwa hanya 21,92% dari 292 Daerah Tingkat II di Indonesia yang dipandang mampu untuk membiayai pembangunan daerahnya.

pdf file

Perwujudan Good Governance di Era Otonomi Daerah


Perwujudan Good Governance di Era Otonomi Daerah
Oleh: Yunizir Djakfar 
Abstract

Decentralization policy is based on Law Number 32 Year 2004 regarding Regional Government is the policy of birth in order to respond and fulfill the demands of reform as democratize relations between regional and local empowerment. Regional autonomy according to Law No. 32 of 2004 is understood as an autonomous regional authority to regulate and manage the interests of society at its own initiative based on the aspirations of society based on statutory regulations.
Keywords: Autonomy, democracy, reform, authority
Pendahuluan
Realisasi otonomi daerah yang nyata berdasarkan aturan perundang-undangan, merupakan perwujudan dari good governace yang berjalan di Indonesia pasca reformasi yang mengakhiri pemerintahan Orde Baru. Indonesia bukan negara liberal, di mana swasta memiliki kebebasan yang luar biasa dalam negara. Namun hubungan negara menjadi pengayom rakyat, di mana negara punya tujuan (wajib) mensejahterakan rakyatnya.
Era otonomi daerah, dalam pandangan Syamsuddin Haris (2009), bukan merupakan ancaman bagi upaya pengembangan industri dan perdagangan, namun sebaliknya justru memberikan kesempatan dan dukungan bagi pengembangan perindustrian dan perdagangan. Dengan kewenangan yang dimiliki daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, maka terbuka kesempatan untuk megembangkan peridustrian dan perdagangan secara optimal di daerah. Sejalan dengan kewenangan yang dimiliki daerah, pengembangan industri dan perdagangan akan lebih efektif jika diarahkan kepada kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi, karena pada umumnya setiap daerah memiiki kelompok usaha jenis tersebut.
Pelaksanaan tata pemerintahan yang baik adalah bertumpu pada tiga domain yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat. Ketiga domain tersebut harus bekerja secara sinergis, yang berarti setiap domain diharapkan mampu menjalankan perannya dengan optimal agar pencapaian tujuan berhasil dengan efektif (Syamsuddin Haris, 1995).
Pemerintah berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif; swasta menciptakan pekerjaan dan pendapatan sedangkan masyarakat berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi, politik termasuk mengajak kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik.

pdf file

Analisis Peranan PTPN VII dalam Membangun Kondusivitas Lingkungan Usaha Kecil di Era Globalisasi dari Perspektif Corporate Social Responsibility


Analisis Peranan PTPN VII dalam Membangun Kondusivitas Lingkungan
Usaha Kecil di Era Globalisasi dari Perspektif Corporate Social Responsibility
Oleh: Yahnu Wiguno Sanyoto 

Abstract
In the era of highly competitive competition, PTPN VII (Persero) have an obligation to foster the partners built around the working area conceptually, well planned and sustainable (sustainability development) to solve problems that had blanketed the small business, involving internal constraints and external. Efforts to tackle the problem are implemented through a new awareness concept called Corporate Social Responsibility (CSR) which is defined as the moral responsibility of a company against its strategic stakeholders, especially the community around the work area and operations. CSR regards the company as a moral agent. With or without the rule of law, a company must uphold morality. The success of a company in view of CSR is to promote the moral and ethical principles, namely, to the best result, without prejudice to other community groups.
Keywords: Partnership, responsibility, corporate social responsibility, small business
Pendahuluan
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan salah satu pelaku kegiatan ekonomi dalam perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berupaya mengimplementasikan amanat pasal 33 ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen keempat) yang berbunyi, ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. BUMN secara definisi adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
PT. Perkebunan Nusantara VII (Persero) atau yang lebih kita kenal dengan PTPN VII (Persero) merupakan salah satu BUMN di sektor perkebunan, juga memiliki peran dan tanggung jawab yang sama dengan BUMN-BUMN lainnya untuk membangun masyarakat di sekitarnya yaitu Provinsi Lampung, Sumatera Selatan dan Bengkulu, khususnya dalam rangka mewujudkan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang selama ini belum optimal. Apalagi dengan kondisi perekonomian dan dunia usaha yang semakin kompetitif di era globalisasi saat ini baik secara lokal, nasional, regional maupun global. Oleh sebab itu, PTPN VII (Persero) memiliki tanggung jawab moral untuk mendorong kemajuan dunia usaha khususnya usaha kecil di sekitarnya agar produk mereka mampu bersaing dengan produk dari luar negeri. Ini dikarenakan, usaha kecil sebagai salah satu pelaku ekonomi juga memiliki sifat yang tangguh, unggul, serta berdaya saing, berdaya tarik, dan berdaya lestari.

pdf file

Global Governance: Perspektif Liberalisme


Global Governance: Perspektif Liberalisme
Oleh: Robi Cahyadi Kurniawan 
Abstract
The emergence of global governance as the needs of "legitimacy" of the norms in force in the world at that time. Term of the legitimacy is the product of the politics that provide justification. Global governance is seen more as a political product rather than as a concept is useful as a source of legitimacy. Governance issues reduced a political as a concept, mechanism and process of reorganizing the world to be more open to the market.
Keywords: Global governance, legitimacy, a product of politics, liberalism
Pendahuluan
Sejak akhir perang dingin, globalisasi menjadi perbincangan tidak hanya dalam ilmu sosial tetapi juga dalam komunitas politik internasional. Globalisasi menciptakan skala (ruang) yang berkembang, pertumbuhan, percepatan dan kedalaman pengaruh dalam arus atau aliran interregional dan pola-pola dalam interaksi sosial (Held; McGrew, 2000:4). Tetapi apakah globalisasi itu? Globalisasi biasanya menunjukkan sesuatu yang multidimensi (Gidden; 1990, Held; 1999).
Globalisasi menurut Gidden meliputi penyebaran dari 4 dimensi institusi, meliputi: a) hasil modernisasi dalam sistem negara bangsa global; b) tatanan militer dunia; c) ekonomi kapitalis dunia, dan; d) divisi pekerja internasional.
Held (1999), melihat 7 (tujuh) aspek sejarah globalisasi untuk menjelaskan tatanan globalisasi dunia: politik; termasuk penyebaran negara bangsa, timbulnya multi lapisan (tingkat) pemerintahan, reaksi yang berkembang dalam organisasi kekerasan; termasuk perang dan produksi senjata, perdagangan dan pasar global, keuangan global, kekuatan perusahaan multinasional, jaringan produksi global, migrasi global, globalisasi budaya.
Komisi Global Governance (GloGov) lahir untuk menyikapi hal tersebut, kelompok independen dari 28 pemimpin negara di dunia yang melaporkan persoalan-persoalan yang disebut Our Global Neighborhood (lingkungan global kita) tahun 1995. Implikasi dari globalisasi bagi GloGov. Konsepsi mereka tentang globalisasi meliputi beberapa dimensi; seperti ekonomi, keamanan, lingkungan dan munculnya masyarakat global (global civil society), pembangunan global, termasuk bantuan dalam pembangunan.

pdf file

Manajemen Pengelolaan Sumberdaya Manusia Partai Politik (Studi Tentang Konflik Internal DPD PAN Kabupaten Ogan Komering Ulu Sumsel)


Manajemen Pengelolaan Sumberdaya Manusia Partai Politik
(Studi Tentang Konflik Internal DPD PAN Kabupaten Ogan Komering Ulu Sumsel)
Oleh: Marratu Fahri 
Abstract
To get good resource started from the system of recruitment. By the system, it will be able select between the characteristics of the candidates through value system and ideology of political parties. Surely, the people who have the potential and the same ideology will be recruited. Competition with other political parties is also going to fight the best people who will be able to strengthen and develop its political party organization.
Keywords: Political party, recruitment, political ideology, value system
Pendahuluan
Dalam banyak kasus, faktor sumberdaya manusia (tentu saja dalam pengertian yang luas) sebagai pelaku utama dalam memajukan dan mengembangkan sebuah organisasi, seringkali menjadi persoalan utama yang tak dapat pandang sebelah mata. Demikian halnya dengan organisasi yang memiliki peran penting serta fungsi vital seperti partai politik (parpol). Oleh karena itu, dalam pandangan Cornelis Lay dkk., sistem pengelolaan sumberdaya manusia dalam partai politik terangkai dalam tiga tema utama, yakni: a) sistem penyeleksian atau rekrutmen; b) sistem peningkatan kapasitas atau kaderisasi, dan; c) sistem penataan peran atau sistem karir (2006:1).
Sementara itu, Firmanzah (2008:70), dari sudut pandang yang hampir sama dengan Lay, menyebutkan bahwa partai politik sebagai suatu organisasi sangat berperan dalam mencetak pemimpin yang berkualitas dan berwawasan nasional. Pemimpin yang berkualitas ini tidak hanya berorientasi pada kepentingan partai politik yang diwakilinya. Ketika menjadi pemimpin nasional, ia otomatis menjadi pemimpin semua orang. Pemimpin ini tidak lahir dengan sendirinya. Perlu suatu proses pendidikan – baik formal maupun nonformal – yang mampu membentuk jiwa dan karakter pemimpin. Dalam struktur dan sistem politik, organisasi partai politiklah yang paling bertanggungjawab untuk melahirkan pemimpin-pemimpin berkualitas. Untuk dapat melakukan tugas ini, dalam tubuh organisasi partai politik perlu dikembangkan sistem rekrutmen, seleksi, dan kaderisasi politik.
Selain melakukan proses rekrutmen, di dalam tubuh parpol perlu dikembangkan sistem pendidikan dan kaderisasi kader-kader politiknya. Sistem kaderisasi ini sangat penting mengingat perlu adanya transfer pengetahuan (knowledge) politik, tidak hanya yang terkait dengan sejarah, misi, visi, dan strategi partai politik, tetapi juga hal-hal yang terkait dengan permasalahan bangsa dan negara. Dalam sistem kaderisasi juga dapat dilakukan transfer keterampilan dan keahlian berpolitik.

pdf file

Analisis Terhadap Dinamika Civil Society di Ranah Lokal


Analisis Terhadap Dinamika Civil Society di Ranah Lokal
Oleh: Robi Cahyadi Kurniawan
Abstract
Democracy in areas of Indonesia including the lowest level of provincial government is the village level that only plays in a procedural level, Schumpeter said that democracy in this level just pointing and selecting the persons who are considered able to lead a region based majority vote (majority). Democracy of this procedural only emphasized a mechanism by just looking at the object of democracy in the realm of political parties, constituency and political rights of citizens who can choose. The political programs were forwarded by political parties as the lips service, a sweetener in their campaign promises.
Keywords: Democracy, civil society, political parties
Pendahuluan
Patut menjadi perhatian, bahwa masyarakat di tingkat bawah dalam lingkup akar rumput (grassroots) seolah-olah menikmati sajian ini, karena momen pemilu apapun bentuknya baik pilpres, pemilukada maupun pilkades merupakan salah satu cara mereka untuk meraih keuntungan sesaat. Dana kampanye partai-partai banyak dihabiskan untuk mencoba menggaet konstituen dengan melakukan kampanye-kampanye yang dibungkus dengan pesta rakyat, mengundang biduan terkenal, membagikan kaos-kaos berlambang partai, membagikan sembako bahkan membagikan angpau yang berisi uang.
Praktek-praktek ini jelas ditampik oleh para petinggi partai, tetapi cobalah kita bertanya pada pemilih, praktek ini jelas terjadi, walaupun ada perbedaan pola dan tingkatannya pada wilayah pedesaan dan perkotaan.
Masyarakat pemilih dalam kasus pemilukada dan pilkades, dibeberapa tempat sudah tidak peduli lagi bakal calon yang akan maju untuk mencalonkan diri menjadi orang nomor satu didaerahnya, asal partai dan latar belakngnya. Pola berpikir praktis yang cenderung ekstrem telah membuat pilihan mereka jatuh kepada siapa saja bakal calon yang dapat “membeli” suara mereka, baik dengan imbalan barang, uang atau pun jasa.
Trauma masyarakat kita di masa krisis moneter beberapa tahun lalu, berlanjut pada krisis-krisis lain disegala bidang. Beban ekonomi yang semakin berat, peluang kerja dan usaha yang terbatas serta menipisnya akses mendapatkan barang-barang publik yang disediakan oleh negara, menyebabkan pilihan tersebut menjadi logis.

pdf file

Otonomi Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat Menuju Perubahan Sosial


Otonomi Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat Menuju Perubahan Sosial
Oleh: Romzi Nihan
Abstract
The implementation and development of government has given social change that caused the gap, the gap between regions, the gap between the groups of region. Then, it was evidenced by the high of poverty level with the standard is Rp 5.566/day in 1998. Then, the number of poverty reached more than 37 million people, if the international standard used is the $ 2 / day = ± 18 000 per day, the poverty is estimated 140 million people. So it must be admitted that the implementation of governance has not been able to solve the problem of poverty and unemployment. It means that community empowerment has not success to encourage social change to be better. Because of the economic growth was pursued by the tendency of natural resource exploitation which encourage the destruction of natural resources and environment that could potentially exacerbate the poverty level.
Keywords: Regional autonomy, social change, poverty, policy
Pendahuluan
Pengalaman pelaksanaan pembangunan di Indonesia, menimbulkan kesadaran perlunya reformasi kebijakan dalam pendekatan pemerintahan dan pembangunan yang kemudian melahirkan UU Otonomi Daerah, yaitu dengan ditetapkannya UU 22/1999 yang kemudian direvisi dengan UU 32/2004. Tulisan singkat akan mencoba mengkaji filosofi otonomi daerah yang meliputi demokratisasi, rentang kendali, potensi dan keragaman daerah, peran serta dan pemberdayaan masyarakat. Kemudian pemerataan dan keadilan sebagai target perubahan sosial yang diinginkan.
Pada hakekatnya diadakannya pemerintahan dan pembangunan adalah dalam rangka memberikan pelayanan guna mendorong perubahan sosial yang lebih baik, secara terprogram dan berkesinambungan. Artinya, hal-hal yang sudah baik ditumbuhkembangkan sedangkan yang belum baik dirubah menjadi baik, supaya terjadi pembangkitan semua potensi secara optimal untuk mewujudkan perubahan sosial kearah yang lebih baik dari waktu kewaktu.
Pada dasarnya otonomi daerah bermaksud untuk memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur daerahnya sendiri. Hal ini beranjak dari pemikiran akan luasnya wilayah dengan beragam budaya dan adat istiadat, sehingga dipandang perlu menyusun pemerintahan dengan hak otonomi yang rasional sebagai jalan untuk mempercepat kemajuan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat secara merata dan berkeadilan, tapi dalam perjalanan otonomi selama 8 (delapan) tahun secara nyata belum memenuhi harapan masyarakat.

pdf file

Peran Strategis Komisi Pemilihan Umum dalam Pelaksanaan Pemilu


Peran Strategis Komisi Pemilihan Umum dalam Pelaksanaan Pemilu
Oleh: Hardinata 
Abstract
In the culture of Elections in Indonesia, one of new challenge for Indonesia is the Regional Election directly initiated by the government through Law No. 32 of 2004 on Local Government which replaced Law No. 22 of 1999. The Law No. 32 of 2004 is considered to be more accommodating to the political interests of the Indonesian nation as a whole as well as accommodate the aspirations of the community in order to guarantee the implementation of democracy in the region. This will be very interesting because this will be a climax of the election results are implemented directly.
Keywords: Elections, the election commission authority, judicial review
Pendahuluan
Sehubungan dengan pemilihan umum dalam hal pilkada langsung, format politik Indonesia pada saat ini adalah neo-patrimonialisme, yang berarti perkembangan suatu negara atau organisasi sosial yang telah menggunakan sarana yang modern, dengan stabilitas sistem yang terjaga. Hal ini terlebih karena kemampuan pemimpin dalam merekatkan kepentingan kelompok disekitarnya. Neo-patrimonialisme mensyaratkan kesamaan pandangan politik dan ideologi dikalangan elite dan kekuatan utama dan adanya depolitisasi massa. Dalam konstruksi pemikiran neo-patrimonialisme, massa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan politik.
Dalam pandangan Miriam Budiarjao, dikebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang, sekaligus tolak ukur dari demokarsi itu sendiri. Hasil pemilihan umum yang diselengarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan (agak) akurat partisipasi dan aspirasi masyarakat (2008:461).
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada), memang menjadi sebuah pekerjaan yang besar untuk tiap daerah. Karena inilah pesta demokrasi yang pertama secara langsung untuk memilih pimpinan di daerah masing-masing. Namun, ada banyak catatan yang harus dicermati mengenai pelaksanaan pemilukada. Karena kalau diperhatikan proses terbitnya segala aturan pelaksana pemilukada sarat kepentingan politis. Sebagai contohnya di UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah di mana peserta pemilu dicalonkan oleh partai politik yang memiliki jumlah suara (kursi) tertentu di DPRD.
Sementara, tanggungjawab pelaksanaan pemilukada kepada DPRD yang notabene adalah representasi dari suara partai politik yang mencalonkan kontestan dalam pemilukada. Di samping itu, PP tentang pemilukada yang dibahas cukup lama dikhawatirkan sebagai proses “bargain politik” antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Menurut Ramlan Surbakti (1992:137), dalam setiap sistem pemilu yang biasanya diatur dalam peraturan perundang-undangan, setidaknya mengandung tiga variabel pokok, yaitu penyuaraan (balloting), distrik pemilihan (electoral district), dan formula pemilihan.

pdf file

Analisis Pola Pemberian Bantuan Keuangan Bagi Partai Politik di Kota Palembang


Analisis Pola Pemberian Bantuan Keuangan
Bagi Partai Politik di Kota Palembang
Oleh: Ong Berlian
Abstract
This research aims to determine how to control political party in using financial aid by National Unity of Politics and Public Protection (Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat) Palembang. This research was the type of applied research. The research included in descriptive study. This study focuses on the pattern of financial aid for the development of political parties by BKBPPM Palembang. Type of data used in this study was qualitative data. Data was collected by direct interviews and literature study. Analysis conducted through three steps; there were data reduction, data display, and conclusion drawing / verification. The result showed that the financial aid makes political party activity was better, it was not all usage of political party finance for service become more efficient and not all usage of the equipment, facilities and infrastructure to be more durable, it depended on the awareness and responsibility of each political party committee. The usage of financial aid a political party das not fulfill based on the rules, this was caused by there was still a political party that had not tried to understand and apply the applicable rules.
Keywords: Political parties, financial aid, the responsibility
Pendahuluan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik, penetapan besaran bantuan keuangan kepada partai politik tidak dengan menetapkan harga nominal untuk satu suara, melainkan melalui formulasi berdasarkan hasil penghitungan jumlah bantuan keuangan tahun anggaran sebelumnya dibagi dengan jumlah perolehan suara hasil pemilu bagi partai politik yang mendapatkan kursi periode sebelumnya. Besarnya jumlah bantuan keuangan tahun anggaran berkenaan sama dengan nilai bantuan per suara hasil pemilu dikalikan dengan jumlah perolehan suara hasil pemilu.
Bantuan keuangan kepada partai politik dialokasikan sebagai dana penunjang kegiatan partai politik untuk pelaksanaan pendidikan politik dan operasional Sekretariat Partai Politik Dewan Pimpinan Daerah Partai Politik. Hal ini dimaksudkan dalam rangka penguatan kelembagaan partai politik sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pemberian bantuan keuangan partai politik diberikan secara proporsional yang penghitungannya berdasarkan jumlah perolehan suara.

pdf file

Analisis Problem dan Prospek Implementasi Kebijakan Pemilukada Langsung


Analisis Problem dan Prospek Implementasi Kebijakan Pemilukada Langsung
Oleh: Yahnu Wiguno Sanyoto 
Abstract
The purpose of this research is to analyze the problems and prospects of implementation of direct local election policies so that know the effectiveness of the existence of policy. This research is a literature with a qualitative approach. In this research, the researchers collected data in the literature and documentation then data will be analyzed more deeply again thus forming a natural-scientific conclusion that can be received by various society. The result of discussion can be concluded that the implementation of direct local election policies impact positively in order to realize the ideals of an ideal democratic state, including the order of government organizations such as: (a) the harmonization in the context of the relationship between regional head/vice head with the local house of representatives; (b) generate credible and accountable regional head / vice regional head (c) minimize the money politic between the regional head/vice head with the local house of representatives; (d) reduce the dominance of the interests of political parties, (e) people take responsibility for the choices , (f) minimizing the distortions to the implementation of local democracy, (g) create good governance and clean government of local governance is; (h) direct election is proof of the embodiment of democratic governance.
Keywords : Policy, direct election, democracy
Pendahuluan
Dalam perjalanan sejarah pemerintahan daerah di Indonesia, sejak zaman kemerdekaan terdapat setidak-tidaknya 9 (sembilan) macam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan di daerah, sebagai landasan berpikir dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah baik pada masa orde lama, orde baru, maupun orde reformasi. Pada masa orde lama, diawal kemerdekaan kita mengenal adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 dengan sifatnya yang sentralistis, dikarenakan dalam setiap aktivitasnya kepentingan daerah tidak boleh bertentangan dengan pemerintah pusat. Pada pasal 2 UU ini terdapat dualisme fungsi kepala daerah yakni sebagai Ketua Badan Perwakilan Rakyat Daerah (BPRD) dan sebagai pelaksana pekerjaan mengatur rumah tangga daerahnya.
Selanjutnya, muncul Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 yang di dalamnya terdapat wewenang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk mencalonkan kepala daerah/wakil kepala daerah. Artinya di sini sudah mulai berlaku sistem pemilihan perwakilan, karena pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah diserahkan kepada wakil rakyat yang duduk di badan legislatif daerah. Dilihat dari penjelasan singkat di atas, maka pada saat kedua undang-undang tersebut berlaku peran DPRD lebih ditonjolkan daripada peran kepala daerah.
 Staf Pengajar Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Baturaja

pdf file

Implementasi Etika Birokrasi dalam Meningkatkan Akuntabilitas Aparat


Implementasi Etika Birokrasi dalam Meningkatkan Akuntabilitas Aparat
Oleh: Yunizir Djakfar 
Abstract
Nowdays, bureaucracy ethic is a very interesting topic for discussion, especially in creating clean government and respectable. The tendencies or symptoms happened which performance of its duties, so many of the bureaucratic apparatus often violate the rule set. Ethics of bureaucracy in governance is associated with morality and mentality of bureaucracy in providing public services which is reflected through the basic tasks and functions of government, the main function of the service, setting or regulation functions and functions of community empowerment. So, we are talking about ethics bureaucracy means about how the bureaucracy carries out duties and functions in accordance with the conditions set.
Keywords: Ethics, bureaucracy, services, government
Pendahuluan
Pertanyaan mendasar yang barangkali patut dilontarkan adalah bagimana proses penentuan etika dalam birokrasi itu sendiri. Siapa yang akan mengukur seberapa jauh etis atau tidaknya penerapan etika dalam birokrasi. Bagaimana dengan kondisi saat itu dan pada daerah tertentu yang mengatakan bahwa itu etis saja di daerah atau wilayah mereka dan tindakan itu dapat dibenarkan. Akan tetapi di daerah atau wilayah yang berbeda, mungkin berbeda bahkan tidak dapat dibenarkan.
Oleh karena itu dapat ditegaskan, bahwa implementasi etika birokrasi dalam pelayanan publik tergantung pada situasi dan kondisi daerah atau wilayah masing-masing. Hal itu sangat terpergantung dari seberapa jauh tingkat pelanggaran yang dilakukan. Di mana pelanggaran itu dilakukan, kapan dan bagaimana serta sanksi apa yang akan diterapkan. sanksi sosial-moral ataukah sanksi hukum. Semua itu bisa bersifat temporer dan sangat bervariasi di negara kita, sebab hal itu juga terkait dengan kondisi sosial dan budaya yang berlaku sesuai dengan norma, adat dan kebiasaan setempat.
Tulisan singkat ini mencoba menganalisis bagaimana implementasi etika birokrasi dilaksanakan paling tidak pada tataran standar pelayanan minimal. Sehingga sejalan dengan semangat peningkatan akuntabilitas aparat birokrasi pemerintahan diberbagai level.
Pengertian Etika
Secara mendasar, etika adalah sistem nilai pribadi yang digunakan untuk memutuskan apa yang benar atau apa yang paling tepat, dalam suatu situasi tertentu; memutuskan apa yang konsiten dengan system nilai yang ada dalam organisasi dan diri pribadi.
Kata etika berasal dar bahasa Yunani, ethos atau taetha yang berarti tempat tinggal, padang rumput, kebiasaan atau adat istiadat. Oleh filsuf Yunani, Aristoteles, etika digunakan
 Dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Baturaja, Sedang Menyelesaikan Tesis di MIP FISIP Univ. Lampung

pdf file