Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899X
Demokrasi dan Strategi Melawan Kemiskinan
Oleh: Hendra Alfani
Oleh: Hendra Alfani
Abstract
If it is seen in the narrow point of view, maybe it was rather difficult to show significant relationship between democracy and poverty. It needs deep research to describe that relationship. But, in larger context (general), the importance friction between democracy and poverty – in much case – looks real. Moreover, if the friction point is influenced by politic and economic factors as major case. Strangely, to describe that friction, analyze unit which is appeared often find paradoxical.
Key words; Democracy, politic, poverty, strategy
Pendahuluan
Demokrasi, dalam pandangan Aswab Mahasin, merupakan konsep yang diterima secara latah. Bahkan sistem pemerintahan otoriter pun sering menyebut dirinya demokrasi (demokratis, pen), walaupun dengan kualifikasi tertentu. Kita sering mendengar istilah demokrasi rakyat (people democracy), demokrasi kerakyatan (popular democracy), demokrasi terpimpin (guided democracy) dan sebagainya. Sistem kita sendiri disebut Demokrasi Pancasila. Belum kualifikasi yang dikaitkan dengan negara-negara tertentu, karena memang tidak ada sistem demokrasi yang sama dan sebangun. Jadi orang pun berbicara tentang demokrasi Amerika, demokrasi Perancis dan demokrasi Swiss. Demokrasi lantas terasa sebagai sebuah konsep yang sarat dengan aneka makna. Sangat wajar jika kemudian terdapat aneka definisi tentang demokrasi. Tetapi keanekaragaman tidak berarti tidak ada persamaan sama sekali. Paling tidak, orang sering menyebut dua ciri yang esensial pada setiap demokrasi, yaitu adanya keikutsertaan rakyat (participation), di samping adanya persatuan dalam pemilihan (contestation). Terhadap ini orang menambahkan beberapa ciri lain seperti penghormatan atas hak asasi manusia, kebebasan pers, bahkan keadilan sosial (2000:75).
Ada yang menarik dari pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla ketika berkunjung ke China pada awal Juni 2007: demokratisasi, desentralisasi, dan kebebasan pers tak bisa ditarik kembali. Persoalannya, bagaimana membuat ketiga hal tersebut bekerja efektif bagi perbaikan kehidupan bangsa. Pernyataan Kalla, lebih kurang, sejalan dengan pesan kunci Fareed Zakaria dalam bukunya The Future of Freedom, Illiberal Democracy at Home and Abroad mengenai tantangan abad ke-21: membuat demokrasi yang aman bagi dunia. Ini terkait realitas banyak negara di mana, alih-alih memperbaiki kesejahteraan, demokrasi justru membuat perekonomian dan kehidupan sosial-politik kian terpuruk. Situasinya berlainan dibandingkan tantangan abad ke-20 yang pernah disampaikan Woodrow Wilson: membuat dunia aman bagi demokrasi. Bagi Indonesia dengan persoalan kemiskinan yang kompleks, prioritasnya adalah membangun demokrasi yang aman dan bermanfaat bagi kaum miskin. Mengapa pemerintahan yang dipilih langsung—baik di tingkat nasional maupun di daerah – gagal memberikan manfaat bagi kaum miskin, paling tidak berdasarkan pertambahan kaum miskin tahun 2005-2006 dari 35,1 juta menjadi 39,05 juta? (Tata Mustasya, 2007).
1 Dosen Prodi IK FISIP UNBARA, Sedang Studi di Magister Ilmu Komunikasi UMB
Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899X
22
Realitas inilah yang menegaskan bahwa kemiskinan selalu ―eksis‖ dalam setiap tahapan kesejarahan sebuah komunitas sosial-politik (nation-state). Ia – kemiskinan – selalu menjadi kerikil tajam dari upaya menegakkan demokrasi menuju kemakmuran yang berbasis pada keadilan. Bahkan dalam banyak kasus, kemiskinan seringkali menjadi penyebab jatuhnya sebuah rezim. Pendeknya, dalam konteks kondisi Indonesia hari ini, kemiskinan masih menjadi virus yang terus mengancam, bahkan setelah orde reformasi – yang pada awalnya menyemaikan benih-benih harapan dan perubahan – memasuki dasawarsa pertama.
Dilema Relasi Demokrasi dan Kemiskinan
Apakah realitas ini adalah karena menyimpangnya aras iklim demokratisasi yang sedang menemukan jati dirinya di republik ini? Apa kemudian yang salah dari sistem demokrasi kita? Menjawab pertanyaan itu, dengan agak ―skeptis‖ Rudi Hartono (2008), mengatakan bahwa iklim demokrasi yang tadinya telah direbut kembali dari rezim Soeharto yang otoriter melalui reformasi total telah mengalami kemandegan. Setelah sepuluh tahun reformasi berjalan, kesejahteraan dan keadilan sosial yang diharapkan tidak kunjung datang.
Letak kegagalan ini kemudian dimanfaatkan kelompok pro status quo yang menuduh bahwa akar dari penyebab semua persoalan ini adalah ketidakadaan stabilitas politik dan ekonomi. Mereka menuduh demokrasilah yang sudah menjadi biang kerok dan de-stabilisasi politik dan ekonomi itu. Mereka juga meyakini bahwa prinsip-prinsip demokrasi – kebebasan pers, kebebasan berpendapat, penghargaan terhadap HAM, sipil di atas militer, dan kebebasan berorganisasi – telah menjadi instrumen yang melahirkan ketidakstabilan. Ini merupakan ancaman terhadap demokrasi.
Bagi kelompok yang pro demokrasi dan perubahan, tuduhan kelompok status quo ini tentulah bukan hanya sebuah ancaman, tetapi juga sebuah penistaan terhadap agenda konsolidasi dan penguatan demokrasi di era transisi. Jika cara pandang ini dilegalisai ke ruang publik secara berkelanjutan, dikhawatirkan akan terjadi pembenaran terhadap tindakan dan pemikiran yang menolak demokrasi sebagai urat nadi perubahan menuju kesejahteraan yang berkeadilan. Maka era transisi bisa saja menjadi permanen, dan oleh karenanya makin biaslah agenda-agenda reformasi yang telah disusun sepuluh tahun lalu.
Sementara itu, menurut Rudi Hartono (2008), dalam waktu yang sama, demokrasi dipaksa menghadirkan dua keadaan sekaligus, yakni; kebebasan politik dalam artian persamaan dalam mengakses alat-alat politik dan keadilan ekonomi (kesejahteraan). Logikanya sederhana; demokrasi akan melahirkan partisipasi aktif dari seluruh lapisan sosial, dan selanjutnya kebijakan yang dilahirkan akan berpihak kepada semuanya. Dalam bukunya, Poverty and Famines, Amartya Sen menjelaskan hubungan antara kediktatoran dan kemiskinan. Menurutnya, ketiadaan demokrasi yang sering melahirkan ketidakadilan adalah akar dari semua bentuk kemiskinan. Akan tetapi, kenyataan memperlihatkan bahwa beberapa negara yang menganut demokrasi secara bersemangat justru tidak melahirkan kesejahteraan yang merata. Di AS (rujukan demokrasi liberal), 1 orang dari 10 orang atau 36,5 juta jiwa penduduknya dinyatakan miskin (Biro Sensus AS, 2007). Di Indonesia, angka kemiskinan malah menghampiri setengah dari populasi (49,5%). Bahkan Lee Kwan Yew—Mantan PM Singapura mengatakan;
“I believe what a country needs to develop is discipline more than democracy. The exuberance of democracy leads to indiscipline and disorderly conduct, which are inimical to development”.
Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899X
23
Logika serupa juga dikemukakan oleh Sulaeman Herisuwendi (2006), dalam Forum Pembaca Kompas ia menyatakan bahwa kalau keadaan masyarakat suatu tempat hidup dalam kemiskinan maka demokrasi semakin susah ditegakkan. Apakah ini berarti masyarakat yang serba cukup kehidupannya dijamin akan punya atmosfir demokrasi yang lebih baik dari pada masyarakat di kampung/ negeri/negara yang lebih miskin?
Dalam pandangan Herisuwendi (2006), kita tidak yakin kalau Republik Rakyat Cina yang sering dipuji pertumbuhan ekonominya paling maju pesat saat ini lebih demokratis dari Indonesia, Kamboja, Timor Leste atau Bangladesh yang relatif lebih miskin. Indonesia malah contoh negara yang semakin demokratis tapi semakin parah kemiskinannya dan keparahan ini justeru telah "diekploitasi" oleh orang-orang yang anti-demokrasi dan pendosa demokrasi (kuku besi) rezim masa lalu untuk menghantam balik pergerakan kaum pro-demokrasi. Keadaan yang sama terjadi di Polandia ketika partai buruh yang pro-demokrasi gagal membawa Polandia kepada kehidupan seperti situasi sebelum Pergerakan Kaum Buruh yaitu jaman Partai Komunis berkuasa. Dari sisi lainnya, perhatikan Saudi Arabia atau Brunei. Meskipun iklim demokrasi di sana tidak seindah atau seideal India dan Indonesia tapi siapa peduli rakyat negara itu dengan iklim demokrasi mereka? Ini sebabnya karena rakyat mereka selama ini perutnya terjaga kenyang, hidup berkecukupan dan tentram. Selagi penguasa mereka tidak menekan dan memberikan penghidupan yang layak buat rakyatnya maka demokrasi menjadi urusan nomor dua. Ini menunjukkan negara kaya tidak jaminan selera demokrasinya makin tinggi. Bukankah di zaman sejarah masa lalu pun ada beberapa kerajaan monarki absolut (di Nusantara ataupun di dunia) di mana segala keputusan masih mutlak di tangan rajanya tapi rakyatnya hidup bahagia dan tentram makmur?
Jika demikian kenyataannya, apakah demokrasi telah menghadirkan dilema di tengah kehidupan berbangsa yang semakin kompleks? Akan tetapi kita harus melawan rasa pesimis itu, kita mesti sepakat dengan pandangan Amartya Sen, bahwa ketiadaan demokrasi justeru akan melahirkan berbagai bentuk ketidakadilan yang menjadi akar dari semua bentuk kemiskinan. Oleh karena itu demokrasi harus diperjuangkan dan dipelihara, agar demokrasi tidak melahirkan kemiskinan dalam berbagai bentuk. Dengan modal kepercayaan dan keyakinan terhadap demokrasi, kemiskinan harus dilawan dengan kekuatan bersama. Walaupun demokrasi tidak dapat memperbaiki segala sesuatunya dengan cara instan dan otomatis.
Strategi Melawan Kemiskinan
Mengapa kemiskinan harus dilawan bersama? Sebab, menurut Putu Ayu Pramitha Purwanti (2007), kemiskinan merupakan permasalahan yang harus segera tuntas karena keadaan kemiskinan membuat masyarakat menjadi lemah dan tidak bermartabat. Pemerintah baik pusat maupun daerah telah berupaya dalam melaksanakan berbagai kebijakan dan program-program penanggulangan kemiskinan namun masih jauh panggang daripada api. Kebijakan dan program yang dilaksanakan belum menampakkan hasil yang optimal. Masih terjadi kesenjangan antara rencana dengan pencapaian tujuan karena kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan lebih berorientasi pada program sektoral. Oleh karena itu diperlukan suatu strategi penanggulangan kemiskinan yang terpadu, terintegrasi dan sinergis sehingga dapat menyelesaikan masalah secara tuntas. Kunci pemecahan masalah kemiskinan adalah memberi kesempatan kepada masyarakat miskin untuk ikut serta dalam seluruh tahap pembangunan.
Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899X
24
Dalam konteks pemecahan masalah kemiskinan yang dikemukakan oleh Putu Ayu, sepertinya disinilah titik simpul sulitnya mengatasi laju kemiskinan yang tumbuh subur di negeri ini. Karena masyarakat miskin hampir tidak diberi kesempatan untuk ikut serta dalam setiap tahapan pembangunan.
Sejalan dengan itu, dalam edisi Juli 2007 majalah bergengsi Foreign Policy, (seperti dikutip Suwidi Tono, 2008) menguraikan fenomena negara-negara ―gagal‖. Disebut ―gagal‖ atau buruk kondisinya antara lain karena negara absen atau kurang urus dalam menghadirkan kemakmuran, keamanan, perbaikan kualitas hidup rakyat, kematangan demokrasi, dan toleransi. Indonesia, dari lebih 200 negara yang disurvei majalah itu selama satu dekade terakhir berada pada kategori ―lampu kuning‖. Masuk di jajaran 60 negara berkondisi buruk.
Kemiskinan adalah fenomena sosial yang dialami oleh banyak negara, tidak hanya negara berkembang seperti Indonesia, tetapi juga dialami oleh negara-negara maju yang sudah mapan, terutama mapan dalam bidang ekonomi. Kemiskinan sebagai masalah bersama, tidak dapat diselesaikan hanya oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan pembangunan, akan tetapi juga harus menjadi tanggungjawab bersama bagi semua pelaku pembangunan termasuk masyarakat itu sendiri.
Program pembangunan yang diarahkan kepada masyarakat miskin dapat dipandang sebagai upaya memenuhi kebutuhan dasar sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Untuk dapat merencanakan program pembangunan sektoral yang holistik diperlukan suatu metode penentuan sasaran yang mapan. Oleh karena itu, pengembangan informasi yang berkaitan dengan profil penduduk miskin dan wilayah miskin harus dapat digunakan sebagai dasar penentuan sasaran secara tepat dan terarah (Putu Ayu Pramitha Purwanti, 2008).
Secara umum Putu Ayu membagi penyebab kemiskinan dalam tiga kategori kelompok utama; yaitu kemiskinan struktural, kemiskinan kultural dan kemiskinan alami. Kemiskinan struktural lebih disebabkan pada hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan, peraturan, serta lembaga yang ada di masyarakat yang menghambat produktivitas dan mobilitas masyarakat. Kemiskinan kultural berkaitan dengan nilai-nilai sosial budaya yang tidak produktif, tingkat kesehatan yang buruk serta pendidikan yang rendah sedangkan kemiskinan alami terkait dengan kondisi alam dan geografis yang tidak mendukung masyarakat seperti daerah yang tandus, terpencil atau bahkan terisolasi. Oleh karenanya, terkait dengan upaya untuk menanggulanginya diperlukan terobosan dengan melibatkan masyarakat miskin sebagai pelaku pembangunan. Dalam konteks itu, si miskin tidak lagi diposisikan sebagai obyek yang dianggap tidak memiliki kemampuan sehingga tidak dilibatkan dalam proses perencanaan yang berdampak pada pelaksanaan kebijakan yang salah sasaran. Melibatkan si miskin tidak hanya sekedar berpartisipasi namun lebih daripada itu. Masyarakat miskin diberdayakan dalam proses pembangunan utamanya dalam menanggulangi kemiskinannya (2008).
Konsep pemberdayaan pada dasarnya merupakan suatu proses yang dijalankan dengan kesadaran dan partisipasi penuh dari para pihak, dalam rangka peningkatan kapasitas dan kapabilitas masyarakat sebagai sumberdaya pembangunan (development resources), sehingga memiliki kemampuan dalam mengenali permasalahan yang dihadapi untuk mengembangkan dan menolong dirinya menuju keadaan yang lebih baik, mampu menggali dan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia untuk kepentingan diri dan kelompoknya, serta mampu mengaktualisasikan eksistensi diri secara jelas dengan mendapat manfaat darinya. Pemberdayaan adalah sebuah ‖proses menjadi‖, bukan ‖proses instan‖.
Lebih jauh, pemerintah harus memiliki skema yang jelas dan menjalankan dengan sungguh-sungguh skema itu dalam pengentasan kemiskinan dengan pola pemberdayaan
Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899X
25
yang berbasis pada kepentingan kaum miskin. Misalnya, dengan cara memberikan berbagai keterampilan dan kemampuan usaha dengan sejumlah proteksi untuk menumbuhkan ekonomi kecil (mikro). Sebab, pada intinya, skema pemerintah bukanlah pada pengentasan kemiskinan, tapi pada pemberdayaan kaum miskin agar mampu berusaha dan bersaing di pasar untuk melepaskan diri dan keluarganya dari belenggu kemiskinan.
Penutup
Dalam proses pemberdayaan masyarakat miskin, tentu saja sangat diperlukan partisipasi mereka sebagai sumber kekuatan dinamisasi dan perekat masyarakat akar rumput (grass root) untuk menunjang suksesnya pelaksanaan pembangunan. Proses pemberdayaan memberi ruang bagi tumbuhnya keberagaman kemampuan masyarakat miskin, di mana satu sama lain akan saling melengkapi.
Memberdayakan masyarakat dalam melaksanakan program penanggulangan kemiskinan haruslah mampu meningkatkan partisipasi dan pemenuhan kebutuhan dasar (basic need) masyarakat dari program yang dijalankan. Sehingga dalam rencana aksi (action plan) pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan, indikator keberhasilannya tidak semata-mata diukur dari jumlah bantuan yang digulirkan, akan tetapi bagaimana menggerakkan roda partisipasi masyarakat sampai mampu menyentuh poros pembangunan yang berbasis pada kepentingan dan kebutuhan dasar masyarakat.
Pada sisi lain, Menteri Negara PDT, Lukman Edy (2008), menyatkan bahwa konsep negara sejahtera di Indonesia memang harus dan memerlukan pemaknaan yang lebih riil melebihi kewajiban dan hak kebebasan politik masyarakat. Hal ini penting mengingat, kemiskinan masih menjadi permasalahan paling krusial yang dihadapi bangsa Indonesia. Saking akutnya masalah kemiskinan ini, pemerintah berkomitmen penuh untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan pengentasan kemiskinan, melalui berbagai program kegiatan.
Artinya bahwa, lanjut Lukman Edy, proses transisi demokrasi dan transisi politik yang sedang berkembang di Indonesia harus memberikan jaminan percepatan produktivitas, investasi yang disertai dengan ekspektasi masyarakat yang besar atas pulihnya kembali kondisi perekonomian nasional. Khususnya ketepatan dan kecepatan pemerintah dalam merancang program-program pengentasan kemiskinan dan pengurangan angka pengangguran di Indonesia.
Terakhir sekali, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, tentu tidak diinginkan bahwa iklim demokrasi kita yang terus membaik (walaupun masih sebatas prosedural; pemilu, pemilukada, legislasi dll.) kembali dituding sebagai biang kerok membengkaknya angka kemiskinan di Indonesia. Sebab, kondisi ini dapat saja dipelintir dan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang antidemokrasi untuk memutarbalikkan fakta. Demokrasi harus terus tumbuh. Era transisi harus dijawab dengan konsolidasi, sehingga demokrasi kita yang masih prosedural dapat menjadi demokrasi yang substansial.
Keterpaduan antara demokrasi prosedural dan substansial adalah kekuatan ampuh untuk menghadang musuh-musuh demokrasi, di mana salah satu musuhnya itu adalah kemiskinan.
Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899X
26
Daftar Pustaka
Edy, Lukman. 2008. Demokrasi untuk Kesejahteraan Masyarakat, Senin, 14 Januari 2008.http://www.lukmanedy.web.id/idea/4/tahun/2008/bulan/01/tanggal/14/id/10.
Hartono, Rudi. 2008. Demokrasi dan Kesejahteraan. Dalam Journal Arah KIRI. http://www.Arahkiri2009.blogspot.com.
Herisuwendi, Sulaeman. 2006. Kemiskinan Memborgol Demokrasi. Dalam Forum Pembaca Kompas 20 Des 20006. http://www.opensubscriber.com/message/forum-pembaca-kompas@yahoogroups.com/5641251.html.
Mahasin, Aswab. 2000. Menyemai Kultur Demokrasi. Jakarta: LP3ES
Mustasya, Tata. 2007. Lagi, Demokrasi dan Kemiskinan. Dalam Kompas Edisi 19 Juni 2007. http://unisosdem.org/ekopol_detail.php?aid=8293&coid=4&caid=4.
Purwanti, Putu Ayu Pramitha. 2007. Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Masyarakat. Dalam INPUT Jurnal Ekonomi Dan Sosial Universitas Udayana - Volume 1- No.1 Desember 2007.
Tono, Suwidi, 2008. Mantra Demokrasi. Kolom Dimuat dalam Majalah Otonomi Edisi No. 1 Tahun III 2008. Jakarta: PT. Perspektif Media Otonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar