Jumat, 01 Juni 2012

Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat di Era Otonomi Daerah

Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X

Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat di Era Otonomi Daerah
Oleh: Hardinata 
Abstract
In the planning of building, development and empowerment which focus on and democratize on the basic is to increase the wealthy of community, that is meant by giving wide-scale chance to community for participating in the local government. Participation and empowerment have given significantly change contribution by giving mean to local democracy, in order to develop themselves and the urgency of community empowering to increase the quality of life into better than before, and also the education actualization to change community behaviour in their knowledge, atitude, and skill, therefore the government just facilitate and as the partnership of community. Because of this condition, so the programme of community empowering base on participation is proposed as the participation to increase and develop community for the fastness of development.
Keywords: Autonomy, decentralization, participation, empowerment
Pendahuluan
Era reformasi tahun 1998, membawa banyak perubahan di dalam tatanan pemerintahan, di mana sekarang kekuasaan pemerintahan dipilih langsung oleh rakyat yang tujuannya untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan demokratis. Bahwa sesunguhnya kekuasaan tertinggi dan kedaulatan itu ada ditangan rakyat, dan salah satu ciri pemerintahan yang baik dan demokratis yaitu adalah menerapkan konsep desentralisasi, penyerahan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada dasarnya otonomi daerah merupakan koreksi terhadap kegagalan sistem pemerintahan yang sentralistik, yang menarik hampir seluruh kewenangan pemerintahan ke pusat, dan dalam pelaksanaannya sistem sentralistik dan otokratik tidak berpihak pada rakyat. Seiring dengan adanya gejala yang cukup kuat akan tuntutan pelaksanan otonomi daerah dan pentingnya prinsip dasar demokrasi, telah melahirkan UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, sebagai harapan baru lahirnya kebijakan maupun aturan yang memberikan kewenangan yang utuh kepada daerah untuk mengelolah sumberdaya alam (SDA) nya sendiri.
Sejalan dengan dinamika perkembangan pola penyelenggaraan pemerintahan di daerah, UU No. 22 Tahun 1999 kemudian direvisi menjadi UU N0. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemda). Oleh UU Pemda, otonomi daerah diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang tersebut.
Pelaksanaan otonomi yang meletakkan pemerintah daerah sebagai wilayah administrasi selain sebagai pemerintahan yang otonom, masih menyimpan berbagai persoalan dalam hubungannya dengan pemerintahan otonom di kabupaten dan kota. Ryaas Rasyid (dalam
 Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Baturaja Sedang Studi di MIP FISIP UNILA
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
Hardinata; 38 - 44
39
Syamsudin Haris, 2007:8), menyebutkan bahwa demi mengembalikan harga diri dan membangun kembali citra pemerintahan dengan mengunakan paradigma pelayanan dan pemberdayaan sebagai landasan kerja pemerintahan. Dengan mendudukan tugas pembangunan di atas landasan pelayanan dan pemberdayaan sehingga mengandung nilai-nilai yang mampu menumbuhkan kreativitas masyarakat.
Proses Pentahapan Desentralisasi dalam Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang bertujuan membentuk pemerintahan yang baik dan demokratis seperti disebutkan pada ketentuan umum, pasal 1 ayat 7, menjelaskan tentang desentralisasi; “penyerahan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dianutnya sistem desentralisasi dalam sistem negara kesatuan tak lain adalah untuk mewujudkan asas demokrasi, Chaidir (dalam Syamsudin Haris, 2007:339), menyebutkan bahwa dalam konteks desentralisasi menjelaskan otonomi daerah menjadi suatu hal yang penting, bukan semata-mata karena otonomi memberikan kewenangan yang besar kepada daerah. Tapi dengan otonomi proses pembangunan yang lebih terarah dan tepat sasaran akan lebih dimungkinkan. Ketika kebijakan ekonomi dan pembangunan ditentukan oleh pemerintah pusat, maka banyak sekali kebijkan yang dilakukan tidak tepat sasaran.
Dengan otonomi yang berkiblat pada desentralisasi, diharapkan pemerintah suatu daerah akan lebih dapat melaksanakan program ekonomi dan pembangunan dengan mempertimbangkan kondisi riil daerah yang ada di depan mata mereka, dengan asumsi bahwa “demokrasi ibarat suatu pola dengan titik gravitasi dari masyarakat, yang tujuannya dari masyarakat untuk masyarakat”. Selain itu, dengan otonomi percepatan pembangunan daerah dapat dilaksanakan, karena otonomi memberikan peluang finansial yang lebih baik, yang apabila digunakan secara maksimal, akan dapat menciptakan kemakmuran bagi masyarakat.
Ditetapkannya aturan tentang pemerintah daerah yang otonom, dalam pandangan Miftah Thoha (2008;12), menegaskan bahwa penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah berarti pemerintah lebih banyak memberikan kepercayaan dan pemberdayaan kepada daerah agar mampu menyelenggarakan pemerintahan yang berasas pada otonomi dalam mengatasi persoalan-persoalan didaerahnya. Dalam evaluasi peraturan daerah (Perda) tidak hanya mempertimbangkan keinginan pemerintah pusat saja, akan tetapi juga mengutamakan aspirasi rakyat daerah.
Berkaitan dengan penyelengaraan desentralisasi di era otonomi daerah, koalisi partisipasi dan pemberdayaan masyarakat berpandangan bahwa ketika pemahaman konsep otonomi hanya diterjemahkan sebagai sistem pemerintahan, maka ada hal-hal penting (esensial) yang hilang dan akan menyisakan persoalan mendasar. Sehubungan dengan hal tersebut, Ambar Teguh Sulistiyani (2004:39), menyebutkan bahwa dengan pendekatan bottom-up sebagai model pendekatan ideal dalam pembangunan yang memperhatikan inisiatif dan potensi yang dihadapi. Akan tetapi menunggu tumbuhnya inisiatif membangun dari bawah untuk kondisi sebagian besar masyarakat Indonesia belum memungkinkan, begitu pula dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Pendekatan ini menekankan upaya masyarakat untuk dapat mandiri, dengan melakukan identifikasi permasalahan.
Diselenggarakannya desentralisasi dan otonomi daerah oleh pemerintah, pada dasarnya untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam mengembangkan perekonomian dan
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
Hardinata; 38 - 44
40
percepatan pembangunan dengan mengali potensi SDA dan meningkatkan SDM yang ada, dengan pola peningkatan pelayanan, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, dengan harapan diperoleh pencapaian tingkat kemandirian yang tinggi di daerah. Di mana sesungguhnya yang pada kenyataannya bahwa daerah merupakan sumber utama faktor produksi nasional.
Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat
Partisipasi dan pemberdayaan merupakan salah satu metode yang efektif untuk menstimulan otonomi, dengan keterlibatan masyarakat menyiapkan agenda pembangunan yang diawali dengan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pengawasan secara partisipasi dan pemberdayaan dalam upaya penyelesaian masalah-masalah di masyarakat dan dilakukan secara bersama-sama, yang tentunya dilakukan dengan musyawarah, swadaya masyarakat, gotong royong masyarakat, dan pendampingan yang dalam hal ini menjalin relasi sosial.
a) Partisipasi Masyarakat
Mekanisme pembangunan partisipatif di Indonesia dimulai dari perencanaan sistematis dari bawah, yang menempatkan masyarakat sebagai pelaksana (subyek pembangunan). Namun dalam kenyataannya, proses perencanaan yang berasal dari bawah tersebut masih belum berjalan sesuai harapan, mengingat masih begitu dominannya pendekatan top down dalam pembangunan di Indonesia.
Dengan mengingat partisipasi masyarakat adalah salah satu elemen penting dalam governance maka untuk mendorong terciptanya good governance, banyak organisasi memilih isu partisipasi sebagai strategi awal mewujudkan good governance. Wasistiono dalam Syamsuddin Haris (2007:57), menyebutkan bahwa partisipasi warga negara dilakukan tidak hanya pada tahapan penyusunan kebijakan, pelaksanaan, evaluasi serta pemanfaatan hasil-hasilnya. Syarat utama warga negara disebut berpartisipasi dalam konteks kepentingan negara dan pemerintahan antara lain adalah; 1) Ada rasa kesukarelaan (tanpa paksaan); 2) Ada keterlibatan secara emosional, dan; 3) Memperoleh manfaat secara langsung maupun tidak langsung dari keterlibatannya.
Pentinya partisipasi masyarakat sebagai salah satu elemen dalam mendorong terciptanya good governance, dalam hal ini pemerintah sebagai institusi pemerintahan, menetapkan aturan serta kebijakan tentang partisipasi dengan ketentuan-ketentuannya, salah satunya dijelaskan dalam Permendagri Nomor 7 Tahun 2007 pasal 1 ayat 14, yaitu: “Partisipasi masyarakat adalah peran aktif masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pembiayaan, pemanfaatan, pemeliharaan dan pengembangan hasil pembangunan”.
Pada hakikatnya partisipasi mengandung makna agar masyarakat lebih berperan dalam proses pembangunan, mengusahakan penyusunan program-program pembangunan melalui mekanisme dari bawah ke atas (bottom-up), dengan pendekatan memperlakukan manusia sebagai subyek dan bukan obyek pembangunan.
Sutoro Eko (2003:18), dalam tulisannya “Melalui Perspektif Ekonomi Politik menjelaskan, bahwa secara substantif partisipasi mencakup 3 (tiga) hal yaitu. Pertama, Voice (suara) yakni, setiap warga mempunyai hak dan ruang untuk menyampaikan suaranya dalam
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
Hardinata; 38 - 44
41
proses pemerintahan. Pemerintah, sebaliknya, mengakomodasi setiap suara yang berkembang dalam masyarakat yang kemudian dijadikan sebagai basis pembuatan keputusan. Kedua, akses, yakni setiap warga mempunyai kesempatan untuk mengakses atau mempengaruhi pembuatan kebijakan, termasuk akses dalam layanan publik. Ketiga, kontrol, yakni setiap warga atau elemen-elemen masyarakat mempunyai kesempatan dan hak untuk melakukan pengawasan (control) terhadap jalannya pemerintahan maupun pengelolaan kebijakan dan keuangan pemerintah.
Dalam setiap tahapan kegiatan partisipasi hendaknya harus menggunakan metode yang memungkinkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) terlibat secara aktif, sehingga bisa terlihat bahwa partisipasi yang tujuannya dimaksudkan untuk menjamin setiap kebijakan yang diambil dapat mencerminkan aspirasi masyarakat. Saluran komunikasi sebagai salah satu wadah atau media yang sangat urgen bagi masyarakat dalam memudahkan penyampaian pendapatnya, kerap menjadi salah satu kendala tersendiri dalam memaksimalkan peran partisipasi masyarakat. Untuk itu, perlu penyediaan sarana maupun jalur komunikasi yang efektif meliputi pertemuan-pertemuan atau rembug-rembug umum, temu wicara, konsultasi dan penyampaian pendapat baik tertulis maupun tidak tertulis.
b) Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan potensi masyarakat agar mampu meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik bagi seluruh warga masyarakat melalui kegiatan-kegiatan swadaya. Untuk mencapai tujuan ini, faktor peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan formal dan nonformal perlu mendapat prioritas.
Pemberdayaan merupakan salah satu strategi untuk menjadikan masyarakat lebih mandiri, dalam hal ini pemerintah dengan Permendagri No. 7 pasal 1 ayat 8 menjelaskan: ”Pemberdayaan masyarakat adalah suatu strategi yang digunakan dalam pembangunan masyarakat sebagai upaya untuk mewujudkan kemampuan dan kemandirian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”.
Memberdayakan masyarakat tentunya dengan tujuan mendidik masyarakat agar mampu mendidik diri mereka sendiri atau membantu masyarakat agar mampu membantu diri mereka sendiri. Tujuan yang akan dicapai melalui usaha pemberdayaan masyarakat, adalah masyarakat yang mandiri, berswadaya, dan mampu mengadopsi inovasi, dalam bentuk penyuluhan pembangunan, komunikasi pembangunan, pendidikan kesejahteraan keluarga, pendidikan tentang nilai-nilai demokrasi, pendidikan keterampilan, pelatihan-pelatihan, dan lain-lain.
Dalam pemberdayaan masyarakat yang salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, Margono Slamet (1998:1), mengemukakan tujuan pendidikan sebagai suatu proses untuk mengubah perilaku manusia. Domain yang diharapkan berubah meliputi: pertama, domain perilaku pengetahuan (knowing behavior), kedua, domain perilaku sikap (feeling behavior) dan ketiga, domain perilaku keterampilan (doing behavior).
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
Hardinata; 38 - 44
42
Dengan pemberdayaan tentunya yang patut diperhatikan adalah bahwa pendidikan memegang peranan kunci dalam penyediaan SDM yang berkualitas, bahkan sangat menentukan berhasil atau gagalnya pembangunan, sehingga kita dapat mengikuti suatu wacana yang menegaskan: Development stands or falls with the improvement of human and institutional competence (Hill, 1982:4). Secara lebih arif dapat disimpulkan bahwa pendidikan bermutu menghasilkan SDM bermutu dan merupakan kata kunci dari keberhasilan pembangunan.
Pada dasarnya dalam pemberdayaan masyarakat, desain atau pola apapun yang kita pilih tentunya harus bebas dari perlakuan-perlakuan diskriminasi, prejudice, dan subjektif terhadap masyarakat. Pendapat ini sesuai dengan core idea dari pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yang berbunyi: "Accept the community as they are" and " Begin the community development work, where the community is" (Burton E. Swanson 1984:25). Terimalah perlakukan masyarakat sebagaimana mereka adanya tanpa membandingkan dengan masyarakat lain, dan mulailah kegiatan pembangunan masyarakat di mana masyarakat berada.
Sesungguhnya apa yang disampikan melalui konsep pemberdayaan lebi sempurna dibandingkan dengan konsep pembangunan top-down. Konsep pemberdayaan sesungguhnya merupakan visualisasi dari pendekatan bottom-up. Ambar Teguh Sulistiyani (2004;39). Selanjutnya menurut Ambar Teguh Sulistiyani, pada hakikatnya pemberdayaan merupakan penciptaan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Di samping itu pemberdayaan hendaknya jangan menjebak masyarakat dalam perangkap ketergantungan (charity), pemberdayaan sebaiknya harus mengantarkan pada proses kemandirian (2004:79).
Tetapi tentunya dalam partisipasi dan pemberdayaan masyarakat di era otonomi daerah, desain atau pola apapun yang digunakan sebaiknya mampu memanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA) dan meningkatkan Sumber Daya Manusianya (SDM), serta dengan berdasarkan pada kondisi rill masyarakat dengan potensi yang dimiliki. Untuk melaksanakan pembangunan dengan pendekatan tersebut dibutuhkan tipologi masyarakat yang lebih terbuka, inovatif, dan bersedia untuk kerja keras. Ciri masyarakat yang demokratis dan terbuka sangat dibutuhkan untuk melakukan pembangunan yang berkiblat pada partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.
Penutup
Demikianlah adanya pengakuan otonomi daerah dalam partisipasi dan pemberdayaan masyarakat sebagai salah bentuk pengakuan otonomi daerah, desenrtalisasi, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam proses membentuk masyarakat untuk menjadi mandiri, yang dalam hal ini:
1. Adanya pengakuan otonomi daerah yang benar-benar telah dilahirkan sebagai landasan demokrasi dalam upaya partisipasi dan pemberdayaan masyarakat yang paling strategis dalam era otonomi daerah dapat dirumuskan dalam satu kalimat yaitu “ikutkan masyarakat untuk memahami, mengerti, dan mampu mengatasi masalah mereka secara mandiri”, artinya pemerintah pusat dan daerah harus bisa merespon dan memberikan kesempatan
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
Hardinata; 38 - 44
43
sepenuhnya bagi masyarakat dalam proses pemberdayaan yang mengacu sepenuhnya pada kebutuhan dan desain aksi yang dibuat oleh masyarakat itu sendiri bersama aparatur pemerintah melalui proses dialog yang produktif dengan demikian aspirasi masyarakat bisa ditangkap dan sesuai dengan konteks wilayah setempat;
2. Dalam penyelengaraan otonomi daerah tentunya akan ada hambatan dalam penerapan perencanaan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, adapun hambatannya adalah resistensi birokrasi (mental block) dan politisi, serta menganggap kapasitas masyarakat dan perangkat pemerintahan masih sangat terbatas baik teknis maupun sikap atau perilaku berdemokrasi, dan;
3. Resistensi birokrasi terutama berkaitan dengan pembagian atau pendelegasian kewenangan dan perimbangan keuangan. Sebagian besar birokrat masih keberatan apabila kewenangannya diserahkan yang akan membawa konsekuensi berkurangnya anggaran dinas atau instansi yang dikuasainya. Untuk mengatasi hal ini, tentunya harus ada langkah-langkah yang harus ditempuh, yaitu antara lain: Pemaksaan melalui pembaruan kebijakan serta peraturan perundang-undangan yang lebih prodemokrasi serta partisipasi struktural dan pendekatan sosio-kultural mental treatment dan melalui proses pembekalan atau pengembangan kapasitas dengan pendidikan dan pelatihan san sebagainya.
Sehubungan dengan upaya keras untuk mewujudkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat yang sesungguhnya harus diupayakan pemerintah (daerah), bekerjasama dengan pihak-pihak lain sebagai fasilitator, dinamisator, mediator dan komunikator, yang dalam hal ini peran aparatur pemerintah (daerah) lebih merupakan pelengkap dan penunjang termasuk menentukan aturan dasar permainannya.
Adapun pihak-pihak yang dimaksud seperti perguruan tinggi, organisasi non pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat (Non Governmental Organization/NGO), tokoh-tokoh masyarakat, dan pihak-pihak terkait lainnya yang perlu disinergikan, demi tercapainya tujuan yang lebih bisa terakomodir dalam kegiatan program yang dilaksanakan dalam tahapan mencapai kemampuan manajemen dalam pelaksanaan program yang bersifat kemasyarakatan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Sulistiyani, Ambar Teguh. 2004. Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan. Yogyakarta: Gava Media
Burton, E. Swanson. 1984. Agricultural Extension, A Reference Manual. Second Edition, Rome: Food and Adriculture Organization of the United Nations
Hill, F.F. 1982. Education in The Developpng Countries. International Development Review, 4, No.4.
Margono, Slamet. 1978. Penyuluhan Pertanian. Bogor: IPB
Thoha, Miftah. 2008. Birokrasi Pemerintahan Indonesia di Era Reformasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
Hardinata; 38 - 44
44
Haris, Syamsudin. 2007. Desentralisasi, Demokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta: LIPI Press
Eko, Sutoro, 2003. Ekonomi Politik Pembaharuan Desa Makalah disajikan dalam Pertemuan Forum VII, “Refleksi Arah dan Gerakan Partisipasi dan Pembaharuan Masyarakat Desa di Indonesia”, yang digelar Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM), Ngawi, Jawa Timur, 15-18 Juni 2003.
Undang-Undang Undang Otonomi Daerah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004, Tentang Pemerintahan Daerah dan Nomor 33 Tahun 2004, Tentang Perimbagan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Bandung: Citra Umbara
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2007, Tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar