Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Reposisi dan Revitalisasi
Fungsi Pelayanan Publik dalam Perspektif Reformasi Birokrasi
Oleh: Marratu Fahri
Abstract
Public service by government officer is an implication of government officer as public servant. The awareness of function should be implemented by government officer in every level. Public bureaucracy include the officer have to be able to serve more professional, effective, transparent, simple, on time, responsive, and adaptive to every changes. In bureaucracy reformation perspective, reposition and revitalization of officer function can not be bid.
Key words : Reposition, revitalization, public service, bureaucracy reformation
Pendahuluan
Pelayanan publik, meminjam istilah Miftah Thoha (1991:39), disebut dengan istilah pelayanan sosial merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang/kelompok orang atau institusi tertentu untuk memberikan bantuan atau kemudahan kepada masyarakat dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Pelayanan ini menjadi penting karena senantiasa berhubungan dengan khalayak masyarakat atau orang banyak dalam masyarakat. Lebih lanjut dikatakan Thoha, beberapa institusi yang bisa dikelompokkan ke dalam gugus “pemberi pelayanan sosial “ ini adalah: a) pemerintah, dan; b) nonpemerintah. Jika pemerintah, maka organisasi birokrasi pemerintah merupakan garis terdepan yang berhubungan dengan pemberian pelayanan ini. Dan jika non pemerintah, bisa berupa macam-macam organisasi sosial, politik dan keagamaan.
Dalam pada itu, menurut Nurmadjito, (dalam Layanan Publik edisi XVI/2006:66), amanat UUD 1945, dari perspektif politik, menegaskan tujuan didirikannya Negara Republik Indonesia bahwa penyelenggaraan negara dan pemerintahan semata-mata utnuk menciptakan masyarakat sejahtera (social welfare), adil dan makmur secara sosial, ekonomi, politik dan budaya. Salah satu penjabarannya saat ini dikenal dengan sebutan pelayanan publik, sebagai salah satu fungsi utama pemerintah.
Pemberian pelayanan publik oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat sebenarnya merupakan implikasi dari fungsi aparat negara sebagai pelayanan masyarakat. Karena itu kedudukan aparatur pemerintah dalam pelayanan publik sangat strategis karena akan sangat menentukan sejauhmana pemerintah mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi masyarakat, yang demikian akan menentukan sejauhmana negara telah menjalankan peranannya dengan baik sesuai dengan tujuan pendiriannya.
Seiring dengan gerakan reformasi yang terjadi di negara kita, telah banyak perubahan-perubahan di bidang politik, pemerintahan, sosial,ekonomi,dan budaya. Masyarakat semakin tercerahkan dan semakin menyadari akan hak dan kewajibannya selaku warga negara. Untuk merespons perubahan-perubahan yang terjadi, secara struktural dan prosedural birokrasi pemerintah juga telah melakukan berbagai perubahan di sana sini demi meningktakan fungsi
Dosen Tetap Pada Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP UNBARA, Sedang Studi di MIP FISIP UNILA
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Marratu Fahri; 63 - 67
64
pelayanan publik. Hal ini tentu patut diapresiasi dan didukung semua pihak. Namun demikian, kita juga tentu tidak menutup mata terhadap berbagai kendala yang dihadapi terkait dengan perubahan yang telah dilakukan.
Dalam konteks pelayanan publik, kita masih menjumpai beberapa kasus betapa perubahan-perubahan dimaksud baru sebatas struktur dan prosedur alias di atas kertas, belum menyentuh kepada hal-hal yang bersifat substantif, terutama terkait dengan budaya kerja dan mentalitas dari aparatur pemerintah. Akibatnya, kualitas pelayanan (service quality) dan kepuasan pelanggan-masyarakat (pen.) (customer satisfaction) belum signifikan adanya.
Sejatinya, birokrasi publik termasuk aparaturnya harus dapat memberikan pelayanan yang lebih professional, efektif, sederhana, transparan, tepat waktu, responsif dan adaptif terhadap berbagai perubahan-perubahan yang terjadi, baik perubahan yang terjadi sebagai buah dari gerakan reformasi yang ditandai oleh makin tumbuh dan berkembangnya sikap kritis masyarakat maupun perubahan yang terjadi pada tataran struktural dan prosedural di tingkat birokrasi pemerintah itu sendiri.
Reposisi dan Revitalisasi Pelayanan Publik
Secara teoritis ada tiga fungsi utama yang harus dijalankan pemerintah tanpa memandang tingkatannya, yakni : Pertama, fungsi pelayanan masyarakat (public service function). Kedua, fungsi pembangunan (development function). Ketiga, fungsi perlindungan (protection function). Dari ketiga fungsi tersebut, fungsi pertama, yakni fungsi pelayanan yang akan menjadi stressing dalam pembahasan tulisan ini.
Pelayanan umum (publik) oleh Lembaga Administrasi Negara (1998) diartikan sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah dan di lingkungan BUMN/D dalam bentuk barang atau jasa, baik dalam rangka upaya kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan undang-undang. Pelayanan publik dengan demikian dapat diartikan sebagai pemberian pelayanan atau melayani keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok atau tata cara yang telah ditetapkan.
Sebagai suatu produk yang intangible, pelayanan memiliki dimensi yang berbeda dengan barang yang bersifat tangible. Produk akhir pelayanan tidak memiliki karakteristik fisik sebagaimana yang dimiliki oleh barang. Produk akhir pelayanan sangat bergantung dari proses interaksi yang terjadi antara layanan dengan konsumen.
Sudah menjadi kewajiban tiap organisasi, baik dalam sektor swasta (bisnis) maupun sektor publik (pemerintahan) untuk memberikan pelayanan kepada orang lain (“pelanggan”) yang membutuhkannya. Di sektor bisnis tidak monopolistic, kualitas pelayanan (service quality) dan kepuasan pelanggan (customer satisfaction) sangat diutamakan. Akan tetapi di sektor publik, tingkat perhatian atau pengutamaan pelayanan dan kualitas yang diberikan masih jauh dari yang diharapkan (Happy Bone Zulkarnaen dalam Manajemen Pembangunan No.16/IV/Juli 1996:55).
Dalam catatan Syafuan Rozi Soebhan (2000:1), buruknya birokrasi tetap menjadi salah satu problem terbesar yang dihadapi Asia. Politicaland Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong meneliti pendapat para eksekutif bisnis asing (expatriats), hasilnya birokrasi Indonesia dinilai termasuk terburuk dan belum mengalami perbaikan berarti dibandingkan keadaan di tahun 1999, meskipun lebih baik dibanding keadaan Cina, Vietnam dan India.
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Marratu Fahri; 63 - 67
65
Di tahun 2000, Indonesia memperoleh skor 8,0 atau tak bergerak dari skor 1999, dari kisaran skor yang dimungkinkan, yakni nol untuk terbaik dan 10 untuk terburuk. Skor 8,0 atau jauh di bawah rata-rata ini diperoleh berdasarkan pengalaman dan persepsi expatriats yang menjadi responden bahwa antara lain menurut mereka masih banyak pejabat tinggi pemerintah Indonesia yang memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya diri sendiri dan orang terdekat.
Para eksekutif bisnis yang disurvei PERC juga berpendapat, sebagian besar negara dikawasan Asia masih perlu menekan hambatan birokrasi (red tape barriers). Mereka juga mencatat beberapa kemajuan, terutama dengan tekanan terhadap birokrasi untuk melakukan reformasi.
Reformasi menurut temuan PERC terjadi di beberapa negara Asia seperti Thailand dan Korea Selatan. Peringkat Thailand dan Korea Selatan tahun 2000 membaik, meskipun dibawah rata-rata, yakni masinng-masing 6,5 dan 7,5 dari tahun lalu yang 8,14 dan 8,7.Tahun lalu (1999), hasil penelitian PERC menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi tertinggi dan sarat kroniisme dengan skor 9,91 untuk korupsi dan 9,09 untuk kroniisme dengan skala penilaian yang sama antara nol yang terbaik hingga sepuluh yang terburuk.
Sehubungan dengan itu, menurut Burhanuddin Muhtadi dalam Republika (11/12/2008), kualitas birokrasi pelayanan yang terukur dari kadar efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan tidak begitu kelihatan. Minimnya kualitas layanan kita itu dikonfirmasi oleh survey persepsi masyarakat terhadap pelayanan public di DKI Jakarta (INCIS,2005). Salah satu temuan penting survey tersebut adalah sebagian besar responden (33,3 %) menempuh jalur pragmatis dengan memberikan uang rokok bila diminta aparat. Kecenderungan pelayanan publik yang terjebak pada rule driven sehingga menyulitkan masyarakat mendapatkan pelayanan yang cepat dan akurat, ternyata mengondisikan masyarakat memberikan uang tips agar pengurusan layanan public cepat selesai.
Buruknya kinerja birokrasi tersebut, terutama dalam hal pelayanan seharusnya tidak perlu terjadi pada era reformasi seperti saat ini. Melihat fenomena ini maka upaya reposisi dan revitalisasi terhadap aparatur pemerintah merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, sekalipun mungkin sangat disadari bahwa merubah mindset atau paradigma ke arah sana bukanlah perkara semudah membalik telapak tangan. Diperlukan semangat dan kesadaran tinggi di dalam mengubah budaya kerja yang kompetitif dan berorientasi pada kepentingan publik.
Sesungguhnya, acuan yang sudah memberikan arah revitalisasi dalam birokrasi di Indonesia yakni dengan adanya Keputusan Menpan No. 63 Tahun 2004, yang menyatakan hakikat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat dan otomatis menerapkan asas pelayanan publik seperti:
1) Transparan, mudah diakses, memadai serta mudah dimengerti;
2) Akuntabilitas, dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
3) Kondisional, berpegang pada efisiensi dan efektivitas;
4) Partisipatif, aspirasi kebutuhan dan harapan;
5) Kesamaan, tidak diskriminatif, dan;
6) Keseimbangan hak dan kewajiban pemberi dan penerima layanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Adapun prinsip pelayanan publik menurut Pitojo Budiono (2008:2), yakni:
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Marratu Fahri; 63 - 67
66
1) Kesederhanaan;
2) Kejelasan; persyaratan tenis dan administrasi, batasan kewenangannya, dan rincian biaya;
3) Kepastian waktu;
4) Akurasi, yakni produk layanan publik diterima dengan benar, tepat, dan sah;
5) Keamanan, memberikan rasa aman dan kepastian hukum;
6) Tanggungjawab, yakni tersedianya mekanisme complain;
7) Kelengkapan saran dan prasarana;
8) Kemudahan akses yakni tempat dan lokasi;
9) Kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan, dan;
10) Kenyamanan,yakni lingkungan layanan tertib, teratur, dan bersih.
Keputusan Menpan dan pendapat di atas notabene merupakan semangat reformasi, menuntut birokrasi pemerintah harus dapat mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam m emberikan pelayanan publik. Dari yang suka mengatur dan memerintah menjadi suka melayani, dari yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka menolong menuju ke arah yang lebih fleksibel kolaboratis dan dialogis dan dari cara-cara sloganis menuju cara kerja yang realistik pragmatis (Thoha dalam Widodo, 2001).
Sehubungan dengan hal itu, dalam menyusun arah reformasi birokrasi Indonesia, perlu memperhitungkan terjadinya perubahan lingkungan kerja dan kecenderungan dinamika sosial ekonomi masyarakat universal, seperti yang dikemukakan berikut ini:
Gejala Lama Sekarang/Akan Datang
Unskilled work (pekerjaan tanpa keahlian)
Knowledge work (pekerjaan dengan keahlian)
Meaningless repetitive task (pekerjaan berulang tak bermakna)
Innovation and caring (menemukan cara baru dan punya kepedulian)
Individual work (pekerjaan perorangan)
Team work (pekerjaan kelompok)
Functional-based work
(pekerjaan berbasis fungsional)
Project-based work
(pekerjaan berbasis proyek)
Coordination from above (Koordinasi dari atas)
Coordination among peers (Kordinasi antar rekan kerja)
Sumber: Gifford and Pinchot, 1993, seperti dikutip Syafuan Rozii Soebhan,2000.
Berikut ini perbandingan dari sistem birokratis dan kemungkinan perubahan menjadi arah reformasi birokrasi sebagai berikut:
Sistem Birokratis Sistem Pemerintahan Enterpreuner
Rowing (Mendayung/bekerja sendiri)
Steering (Menyetir/mengarahkan)
Service (Melayani)
Empowering (Memberdayakan)
Monopoly (Menguasai sendirian)
Competition (Ada persaingan)
Rule-driven (Digerakan oleh aturan)
Mission-driven (Digerakkan oleh misi)
Budgeting inputs (Menunggu anggaran)
Funding outcomes (Menghasilkan dana)
Bureaucracy-driven (Dikendalikan birokrat)
Customer-driven (Dikendalikan pelanggan/pembayar pajak)
Spending (Pengeluaran)
Earning (Penghasilan/tabungan)
Curing (Penyembuhkan)
Preventing (Pencegahan)
Hierarchy (Berjenjang)
Teamwork /participation (Pelibatan/kerja kelompok)
Organization (Organisasi, lembaga)
Market (Pasar, keseimbangan orang banyak)
Sumber: Frederickson, 1997, seperti dikutip Syafuan Rozi Soebhan.2000
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Marratu Fahri; 63 - 67
67
Penutup
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pelayanan public yang dilakukan aparatur pemerintah di hamper semua tingkatan ternyata belum signifikan dibandingkan perubahan yang telah dilakukan pada tataran struktural dan procedural. Sejatinya, pada era reformasi seperti saat ini menuntut birokrasi pemerintah harus dapat mengubah posisi dan perannya dalam m emberikan pelayanan publik. Dari yang suka mengatur dan memerintah menjadi suka melayani, dari yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka menolong menuju ke arah yang lebih fleksibel kolaboratis dan dialogis dan dari cara-cara sloganis menuju cara kerja yang realistik pragmatis.
Untuk itulah, pengukuran terhadap kualitas pelayanan secara regular mutlak dilakukan bahkan harus dengan cara radikal dalam rangka menggali informasi dan evaluasi public untuk kepentingan perbaikan birokrasi pelayanan. Tanpa itu, perbaikan terhadap kualitas jasa pelayanan public rasanya akan sulit tercapai terlebih mengingat hal itu menyangkut bagaimana mengubah mentalitas dan kultur kerja aparatur pemerintah kita yang masih dihinggapi parasit birokrasi. Dalam konteks inilah makna reformasi birokrasi dalam arti sesungguhnya harus dirajut dan menemukan muaranya.
DAFTAR PUSTAKA
Budiono, Pitojo. 2008. “Menuju Birokrasi Yang Transparan, Elegan,dan Melayani”. Makalah Pada Dies Natalis FISIP Universitas Baturaja Tanggal 23 Desember 2008, tidak dipublikasikan
Muhtadi, Burhanuddin. 2008. “Parasit Birokras”. Artikel dimuat dalam Harian Republika Jakarta: Edisi 11 Desember 2008
Nurmadjito. 2006. Jasa Publik dan Layanan Civil, dalam Majalah Layanan Publik ,Jakarta: Edisi XVI.
Soebhan, Syafuan Rozi. 2000. “Model Reformasi Birokrasi Indonesia”. Makalah. Jakarta: PPW LIPI
Thoha, Miftah. 1991. Beberapa Aspek Kebijakan Birokrasi. Yogyakarta: Media Widya Mandala
Zulkarnain, Happy Bone. 1996. Etika Pelayanan Publik Dalam PJP II. Dalam Majalah Manajemen Pembangunan. Jakarta: No. 16/IV/Juli 1996.
Public service by government officer is an implication of government officer as public servant. The awareness of function should be implemented by government officer in every level. Public bureaucracy include the officer have to be able to serve more professional, effective, transparent, simple, on time, responsive, and adaptive to every changes. In bureaucracy reformation perspective, reposition and revitalization of officer function can not be bid.
Key words : Reposition, revitalization, public service, bureaucracy reformation
Pendahuluan
Pelayanan publik, meminjam istilah Miftah Thoha (1991:39), disebut dengan istilah pelayanan sosial merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang/kelompok orang atau institusi tertentu untuk memberikan bantuan atau kemudahan kepada masyarakat dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Pelayanan ini menjadi penting karena senantiasa berhubungan dengan khalayak masyarakat atau orang banyak dalam masyarakat. Lebih lanjut dikatakan Thoha, beberapa institusi yang bisa dikelompokkan ke dalam gugus “pemberi pelayanan sosial “ ini adalah: a) pemerintah, dan; b) nonpemerintah. Jika pemerintah, maka organisasi birokrasi pemerintah merupakan garis terdepan yang berhubungan dengan pemberian pelayanan ini. Dan jika non pemerintah, bisa berupa macam-macam organisasi sosial, politik dan keagamaan.
Dalam pada itu, menurut Nurmadjito, (dalam Layanan Publik edisi XVI/2006:66), amanat UUD 1945, dari perspektif politik, menegaskan tujuan didirikannya Negara Republik Indonesia bahwa penyelenggaraan negara dan pemerintahan semata-mata utnuk menciptakan masyarakat sejahtera (social welfare), adil dan makmur secara sosial, ekonomi, politik dan budaya. Salah satu penjabarannya saat ini dikenal dengan sebutan pelayanan publik, sebagai salah satu fungsi utama pemerintah.
Pemberian pelayanan publik oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat sebenarnya merupakan implikasi dari fungsi aparat negara sebagai pelayanan masyarakat. Karena itu kedudukan aparatur pemerintah dalam pelayanan publik sangat strategis karena akan sangat menentukan sejauhmana pemerintah mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi masyarakat, yang demikian akan menentukan sejauhmana negara telah menjalankan peranannya dengan baik sesuai dengan tujuan pendiriannya.
Seiring dengan gerakan reformasi yang terjadi di negara kita, telah banyak perubahan-perubahan di bidang politik, pemerintahan, sosial,ekonomi,dan budaya. Masyarakat semakin tercerahkan dan semakin menyadari akan hak dan kewajibannya selaku warga negara. Untuk merespons perubahan-perubahan yang terjadi, secara struktural dan prosedural birokrasi pemerintah juga telah melakukan berbagai perubahan di sana sini demi meningktakan fungsi
Dosen Tetap Pada Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP UNBARA, Sedang Studi di MIP FISIP UNILA
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Marratu Fahri; 63 - 67
64
pelayanan publik. Hal ini tentu patut diapresiasi dan didukung semua pihak. Namun demikian, kita juga tentu tidak menutup mata terhadap berbagai kendala yang dihadapi terkait dengan perubahan yang telah dilakukan.
Dalam konteks pelayanan publik, kita masih menjumpai beberapa kasus betapa perubahan-perubahan dimaksud baru sebatas struktur dan prosedur alias di atas kertas, belum menyentuh kepada hal-hal yang bersifat substantif, terutama terkait dengan budaya kerja dan mentalitas dari aparatur pemerintah. Akibatnya, kualitas pelayanan (service quality) dan kepuasan pelanggan-masyarakat (pen.) (customer satisfaction) belum signifikan adanya.
Sejatinya, birokrasi publik termasuk aparaturnya harus dapat memberikan pelayanan yang lebih professional, efektif, sederhana, transparan, tepat waktu, responsif dan adaptif terhadap berbagai perubahan-perubahan yang terjadi, baik perubahan yang terjadi sebagai buah dari gerakan reformasi yang ditandai oleh makin tumbuh dan berkembangnya sikap kritis masyarakat maupun perubahan yang terjadi pada tataran struktural dan prosedural di tingkat birokrasi pemerintah itu sendiri.
Reposisi dan Revitalisasi Pelayanan Publik
Secara teoritis ada tiga fungsi utama yang harus dijalankan pemerintah tanpa memandang tingkatannya, yakni : Pertama, fungsi pelayanan masyarakat (public service function). Kedua, fungsi pembangunan (development function). Ketiga, fungsi perlindungan (protection function). Dari ketiga fungsi tersebut, fungsi pertama, yakni fungsi pelayanan yang akan menjadi stressing dalam pembahasan tulisan ini.
Pelayanan umum (publik) oleh Lembaga Administrasi Negara (1998) diartikan sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah dan di lingkungan BUMN/D dalam bentuk barang atau jasa, baik dalam rangka upaya kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan undang-undang. Pelayanan publik dengan demikian dapat diartikan sebagai pemberian pelayanan atau melayani keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok atau tata cara yang telah ditetapkan.
Sebagai suatu produk yang intangible, pelayanan memiliki dimensi yang berbeda dengan barang yang bersifat tangible. Produk akhir pelayanan tidak memiliki karakteristik fisik sebagaimana yang dimiliki oleh barang. Produk akhir pelayanan sangat bergantung dari proses interaksi yang terjadi antara layanan dengan konsumen.
Sudah menjadi kewajiban tiap organisasi, baik dalam sektor swasta (bisnis) maupun sektor publik (pemerintahan) untuk memberikan pelayanan kepada orang lain (“pelanggan”) yang membutuhkannya. Di sektor bisnis tidak monopolistic, kualitas pelayanan (service quality) dan kepuasan pelanggan (customer satisfaction) sangat diutamakan. Akan tetapi di sektor publik, tingkat perhatian atau pengutamaan pelayanan dan kualitas yang diberikan masih jauh dari yang diharapkan (Happy Bone Zulkarnaen dalam Manajemen Pembangunan No.16/IV/Juli 1996:55).
Dalam catatan Syafuan Rozi Soebhan (2000:1), buruknya birokrasi tetap menjadi salah satu problem terbesar yang dihadapi Asia. Politicaland Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong meneliti pendapat para eksekutif bisnis asing (expatriats), hasilnya birokrasi Indonesia dinilai termasuk terburuk dan belum mengalami perbaikan berarti dibandingkan keadaan di tahun 1999, meskipun lebih baik dibanding keadaan Cina, Vietnam dan India.
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Marratu Fahri; 63 - 67
65
Di tahun 2000, Indonesia memperoleh skor 8,0 atau tak bergerak dari skor 1999, dari kisaran skor yang dimungkinkan, yakni nol untuk terbaik dan 10 untuk terburuk. Skor 8,0 atau jauh di bawah rata-rata ini diperoleh berdasarkan pengalaman dan persepsi expatriats yang menjadi responden bahwa antara lain menurut mereka masih banyak pejabat tinggi pemerintah Indonesia yang memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya diri sendiri dan orang terdekat.
Para eksekutif bisnis yang disurvei PERC juga berpendapat, sebagian besar negara dikawasan Asia masih perlu menekan hambatan birokrasi (red tape barriers). Mereka juga mencatat beberapa kemajuan, terutama dengan tekanan terhadap birokrasi untuk melakukan reformasi.
Reformasi menurut temuan PERC terjadi di beberapa negara Asia seperti Thailand dan Korea Selatan. Peringkat Thailand dan Korea Selatan tahun 2000 membaik, meskipun dibawah rata-rata, yakni masinng-masing 6,5 dan 7,5 dari tahun lalu yang 8,14 dan 8,7.Tahun lalu (1999), hasil penelitian PERC menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi tertinggi dan sarat kroniisme dengan skor 9,91 untuk korupsi dan 9,09 untuk kroniisme dengan skala penilaian yang sama antara nol yang terbaik hingga sepuluh yang terburuk.
Sehubungan dengan itu, menurut Burhanuddin Muhtadi dalam Republika (11/12/2008), kualitas birokrasi pelayanan yang terukur dari kadar efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan tidak begitu kelihatan. Minimnya kualitas layanan kita itu dikonfirmasi oleh survey persepsi masyarakat terhadap pelayanan public di DKI Jakarta (INCIS,2005). Salah satu temuan penting survey tersebut adalah sebagian besar responden (33,3 %) menempuh jalur pragmatis dengan memberikan uang rokok bila diminta aparat. Kecenderungan pelayanan publik yang terjebak pada rule driven sehingga menyulitkan masyarakat mendapatkan pelayanan yang cepat dan akurat, ternyata mengondisikan masyarakat memberikan uang tips agar pengurusan layanan public cepat selesai.
Buruknya kinerja birokrasi tersebut, terutama dalam hal pelayanan seharusnya tidak perlu terjadi pada era reformasi seperti saat ini. Melihat fenomena ini maka upaya reposisi dan revitalisasi terhadap aparatur pemerintah merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, sekalipun mungkin sangat disadari bahwa merubah mindset atau paradigma ke arah sana bukanlah perkara semudah membalik telapak tangan. Diperlukan semangat dan kesadaran tinggi di dalam mengubah budaya kerja yang kompetitif dan berorientasi pada kepentingan publik.
Sesungguhnya, acuan yang sudah memberikan arah revitalisasi dalam birokrasi di Indonesia yakni dengan adanya Keputusan Menpan No. 63 Tahun 2004, yang menyatakan hakikat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat dan otomatis menerapkan asas pelayanan publik seperti:
1) Transparan, mudah diakses, memadai serta mudah dimengerti;
2) Akuntabilitas, dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
3) Kondisional, berpegang pada efisiensi dan efektivitas;
4) Partisipatif, aspirasi kebutuhan dan harapan;
5) Kesamaan, tidak diskriminatif, dan;
6) Keseimbangan hak dan kewajiban pemberi dan penerima layanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Adapun prinsip pelayanan publik menurut Pitojo Budiono (2008:2), yakni:
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Marratu Fahri; 63 - 67
66
1) Kesederhanaan;
2) Kejelasan; persyaratan tenis dan administrasi, batasan kewenangannya, dan rincian biaya;
3) Kepastian waktu;
4) Akurasi, yakni produk layanan publik diterima dengan benar, tepat, dan sah;
5) Keamanan, memberikan rasa aman dan kepastian hukum;
6) Tanggungjawab, yakni tersedianya mekanisme complain;
7) Kelengkapan saran dan prasarana;
8) Kemudahan akses yakni tempat dan lokasi;
9) Kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan, dan;
10) Kenyamanan,yakni lingkungan layanan tertib, teratur, dan bersih.
Keputusan Menpan dan pendapat di atas notabene merupakan semangat reformasi, menuntut birokrasi pemerintah harus dapat mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam m emberikan pelayanan publik. Dari yang suka mengatur dan memerintah menjadi suka melayani, dari yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka menolong menuju ke arah yang lebih fleksibel kolaboratis dan dialogis dan dari cara-cara sloganis menuju cara kerja yang realistik pragmatis (Thoha dalam Widodo, 2001).
Sehubungan dengan hal itu, dalam menyusun arah reformasi birokrasi Indonesia, perlu memperhitungkan terjadinya perubahan lingkungan kerja dan kecenderungan dinamika sosial ekonomi masyarakat universal, seperti yang dikemukakan berikut ini:
Gejala Lama Sekarang/Akan Datang
Unskilled work (pekerjaan tanpa keahlian)
Knowledge work (pekerjaan dengan keahlian)
Meaningless repetitive task (pekerjaan berulang tak bermakna)
Innovation and caring (menemukan cara baru dan punya kepedulian)
Individual work (pekerjaan perorangan)
Team work (pekerjaan kelompok)
Functional-based work
(pekerjaan berbasis fungsional)
Project-based work
(pekerjaan berbasis proyek)
Coordination from above (Koordinasi dari atas)
Coordination among peers (Kordinasi antar rekan kerja)
Sumber: Gifford and Pinchot, 1993, seperti dikutip Syafuan Rozii Soebhan,2000.
Berikut ini perbandingan dari sistem birokratis dan kemungkinan perubahan menjadi arah reformasi birokrasi sebagai berikut:
Sistem Birokratis Sistem Pemerintahan Enterpreuner
Rowing (Mendayung/bekerja sendiri)
Steering (Menyetir/mengarahkan)
Service (Melayani)
Empowering (Memberdayakan)
Monopoly (Menguasai sendirian)
Competition (Ada persaingan)
Rule-driven (Digerakan oleh aturan)
Mission-driven (Digerakkan oleh misi)
Budgeting inputs (Menunggu anggaran)
Funding outcomes (Menghasilkan dana)
Bureaucracy-driven (Dikendalikan birokrat)
Customer-driven (Dikendalikan pelanggan/pembayar pajak)
Spending (Pengeluaran)
Earning (Penghasilan/tabungan)
Curing (Penyembuhkan)
Preventing (Pencegahan)
Hierarchy (Berjenjang)
Teamwork /participation (Pelibatan/kerja kelompok)
Organization (Organisasi, lembaga)
Market (Pasar, keseimbangan orang banyak)
Sumber: Frederickson, 1997, seperti dikutip Syafuan Rozi Soebhan.2000
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Marratu Fahri; 63 - 67
67
Penutup
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pelayanan public yang dilakukan aparatur pemerintah di hamper semua tingkatan ternyata belum signifikan dibandingkan perubahan yang telah dilakukan pada tataran struktural dan procedural. Sejatinya, pada era reformasi seperti saat ini menuntut birokrasi pemerintah harus dapat mengubah posisi dan perannya dalam m emberikan pelayanan publik. Dari yang suka mengatur dan memerintah menjadi suka melayani, dari yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka menolong menuju ke arah yang lebih fleksibel kolaboratis dan dialogis dan dari cara-cara sloganis menuju cara kerja yang realistik pragmatis.
Untuk itulah, pengukuran terhadap kualitas pelayanan secara regular mutlak dilakukan bahkan harus dengan cara radikal dalam rangka menggali informasi dan evaluasi public untuk kepentingan perbaikan birokrasi pelayanan. Tanpa itu, perbaikan terhadap kualitas jasa pelayanan public rasanya akan sulit tercapai terlebih mengingat hal itu menyangkut bagaimana mengubah mentalitas dan kultur kerja aparatur pemerintah kita yang masih dihinggapi parasit birokrasi. Dalam konteks inilah makna reformasi birokrasi dalam arti sesungguhnya harus dirajut dan menemukan muaranya.
DAFTAR PUSTAKA
Budiono, Pitojo. 2008. “Menuju Birokrasi Yang Transparan, Elegan,dan Melayani”. Makalah Pada Dies Natalis FISIP Universitas Baturaja Tanggal 23 Desember 2008, tidak dipublikasikan
Muhtadi, Burhanuddin. 2008. “Parasit Birokras”. Artikel dimuat dalam Harian Republika Jakarta: Edisi 11 Desember 2008
Nurmadjito. 2006. Jasa Publik dan Layanan Civil, dalam Majalah Layanan Publik ,Jakarta: Edisi XVI.
Soebhan, Syafuan Rozi. 2000. “Model Reformasi Birokrasi Indonesia”. Makalah. Jakarta: PPW LIPI
Thoha, Miftah. 1991. Beberapa Aspek Kebijakan Birokrasi. Yogyakarta: Media Widya Mandala
Zulkarnain, Happy Bone. 1996. Etika Pelayanan Publik Dalam PJP II. Dalam Majalah Manajemen Pembangunan. Jakarta: No. 16/IV/Juli 1996.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar