Jumat, 01 Juni 2012

Etnosentrime, Pemekaran Wilayah dan Komunikasi Antarbudaya

Volume 2, No. 4, Desember 2009                                            ISSN: 1979–0899X
Etnosentrime, Pemekaran Wilayah dan Komunikasi Antarbudaya
Oleh: Eko Harry Susanto

Abstract
Eventhough there are so many regulations have been issued to tighten the establishment of autonomy district, the leader in district still proposes district enlargement. The legal-formal reason usually about social, economy, and optimum development. Behind the formal aspect, there is an ethnocentric value in democratization pakcage. Therefore, to minimize district establisment not only step on formal aspect but also understand and aware to do crosscultural communication.
Key words: Autonomy, ethnocentric, crosscultural communication
Pendahuluan
Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2007, tanggal 10 Desember 2007, yang merevisi PP No. 129/2000, menetapkan persyaratan lebih ketat dalam pemekaran wilayah, misalnya dengan menetapkan berbagai ukurran kelayakan sebuah daerah otonomi dengan indikator yang kuantitatif. Dengan ketentuan itu, diharapkan demam membentuk daerah otonomi baru menjadi berkurang dan pemerintah juga tidak khawatir terhadap anggaran yang membengkak akibat terserap untuk menggelontorkan dana alokasi umum sebagai “hak” pemerintahan di daerah.
Namun, tampaknya diantara sederetan aturan yang makin rumit itu, ada yang paling diandalkan untuk menghambat pemekaran adalah, eksistensi forum komunikasi desa atau kelurahan, sebagai entitas yang berperan dalam pemekaran wilayah. Tujuannya tentu sangat baik, dan merujuk kepada substansi demokratisasi dalam menjalankan pemerintahan lokal. Selain itu, ketentuan ini dinggap bisa menepis suara sumbang yang sering dikemukakan oleh sejumlah pihak, bahwa pembentukan daerah otonomi baru, sesungguhnya hanya kemauan elite politik yang haus kekuasaan dan berupaya untuk memperoleh dana alokasi umum dari pemerintah pusat.
Di pihak lain, pemerintah telah berulangkali menyatakan bahwa pembentukan daerah otonomi baru harus dibatasi, dengan dalih memberatkan keuangan negara, pelayanan kepada publik yang tidak kunjung membaik dan beragam alasan lainnya terkait aspek politisasi masyarakat, namun faktanya masih saja muncul kabupaten dan kota hasil pemekaran di seluruh penjuru tanah air.
Sepertinya, pernyataan elite dalam kekuasaan negara, hanyalah pemantas belaka, untuk meminimalisir kekecewaan publik terhadap pembentukan daerah otonomi baru yang tidak memberikan manfaat dalam memperbaiki kesejahteraan rakyat. Atau bisa saja bahwa pemerintah dan elite politik memang sudah tidak berkutik menghadapi tekanan dari berbagai kelompok masyarakat yang menghendaki pemekaran. Sedangkan kemungkinan lain, justru secara terselubung, dua entitas penting itu, sesungguhnya menghendaki pemekaran terus berlanjut demi kepentingan menancapkan pengaruh politik dan pembagian kapling kekuasaan yang “merata”.
 Dosen Tetap Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanegara Jakarta
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Eko Harry Susanto; 15 - 21
16
Gejala Etnosentrisme
Jika kita merujuk kepada dinamika politik pasca reformasi, semangat pembentukan daerah baru, bisa saja muncul dari rakyat yang mengusung semangat etnisitas (kesukuan) dan melepaskan diri dari dominasi suku bangsa maupoun sub- kultur lain di satu wilayah. Gejala etnosentrisme, menganggap bahwa, etniknya lebih baik, dalam berbagai sifat dan perilaku dibandingkan dengan etnik lain (Samovar, Porter dan Jain, 1988). Memang secara faktual setiap kelompok etnik memiliki karakteristik sendiri, tetapi bukan berarti lebih baik dari kelompok etnik lainnya, sebab pendapat yang mnerujuk kepada etnosentrisme cenderung memiliki subyektivitas yang tinggi.
Menurut Fredrik Barth (1988:11), masing-masing kelompok etnik memiliki budaya tersendiri, dengan ciri-ciri sebagai berikut; 1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan; 2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama, dan sadar akan rasa kebersamaan dalam satu bentuk budaya; 3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, dan; 4) menentukan ciri kelompok sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dibedakan dari kelompok populasi lain.
Pendapat lain dari Myron W. Lustig (dalam Samovar dan Porter, 1988:55) menegaskan bahwa, ”etnosentrisme adalah kepercayaan bahwa adat, tindakan, nilai-nilai budaya sendiri adalah yang paling baik (superior) dibandingkan dengan budaya lainya”. Penekanan pada superioritas budaya sendiri merupakan upaya untuk memelihara tatanan budaya dan stabilitas budaya yang diikutinya. Dengan demikian sikap etnosentrisme cenderung melihat budaya lain dari sisi value yang dimiliki, dan ini dilembagakan untuk menguatkan kepercayaan pada kekuatan sendiri dalam kehidupan sosial. Jika pola semacam ini berlanjut, maka kekuatan berbasis etnisitas, bisa dengan mudah dipakai sebagai alat untuk mempersatukan kelompok, dan berpeluang pula untuk menafikan peran kelompok lain dalam suatu wilayah. Dengan kata lain, kondisi tersebut akan menghamabat keserasian interaksi dan komunikasi antar etnik.
Lebih lanjut Samovar dan Porter (1991:195), melihat bahwa ”penilian terhadap budaya lain ini, dilakukan secara tidak sadar karena suatu kelompok menggunakan nilai dan kebisaan sendiri sebagai kriteria untuk segala penilian”. Apabila nilai budaya terdapat kesamaan-kesamaan maka akan semakin dekat dalam melakukan interaksi. Sedangkan ketidaksamaan nilai budaya yang semakin besar, akan berpengaruh terhadap hubungan yang semakin jauh, dan selanjutnya berpotensi menimbulkan konflik yang terpendam maupun yang manifes.
Secara lebih terinci Samovar, Porter dan Jain (1981:192-200), mengungkapkan faktor yang menghambat relasi dan komunikasi antar budaya adalah :
1) Perbedaan tujuan berkomunikasi. Maksudnya, ketika seseorang mau berkomunikasi sudah memiliki tujuan ataupun kemauan berbeda. Misalnya, Satu orang ingin menyelesaikan masalah, lainnya justru tidak mau menyelesaikan masalah;
2) Etnosentrisme, yang menganggap bahwa etnik adalah yang terbaik dalam berbagai sikap dan tindakan;
3) Ketidakpercayaan (lack of trust), merupakan sikap tidak percaya terhadap kelompok lain,karena berdasarkan pengalaman sendiri maupun sebatas hanya mendengar dari orang lain saja;
4) Penarikan Diri (withdrawl), yaitu menarik diri dari interaksi atau komunikasi, karena merasa ada perbedaan dalam berbagai hal, seperti sikap dan perilaku;
5) Ketiadaan empati, maksudnya,tidak bisa merasakan dalam posisi sebagai orang dari kelompok etnik maupun bangsa yang berbeda;
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Eko Harry Susanto; 15 - 21
17
6. Stereotip, adalah menilai seseorang, secara emosional, dengan menggeneralisir, atau menganggap semua orang dari kelompok itu sama sifat dan perilakunya. Dalam konteks yang sama, Wood (2004:114), mengungkapkan bahwa stereotip merupakan prediksi (perkiraan) secara umum berdasarkan tafsiran yang kita buat sebelumnya. Ketika kita memandang orang lain dengan stereotip tertentu biasanya kita juga membuat perkiraan lebih lanjut tentang orang tersebut, dan;
7. Jarak kekuasaan, adalah jarak yang terjadi akibat adanya kekuasaan yang berbeda. Pada konteks ini, biasanya orang atau kelompok yang memiliki kekuasan, bisa menjaga jarak dengan kelompok lain.
Berpijak kepada aspek tersebut, maka sikap mengungulkan kelompok sangat mungkin dimanfaatkan untuk mendukung tingkat kohesivitas kelompok ketika menghadapi kelompok lain ataupun, pada saat mereka berhadapan dengan organ-organ kekuasaan negara yang berperan dalam pemekaran wilayah.
Secara faktual, dalam bingkai demokratisasi politik yang integralistik, ada kecenderungan otonomi daerah disalah artikan oleh sejumlah pihak, sebagai kebebasan kelompok etnik atau sub-etnik untuk membentuk atau mengatur pemerintahan secara tersendiri, yang lepas dari dominasi suku bangsa lain yang menguasai atau dominan di wilayahnya. Mungkin kita menganggap alasan yang sepele dan mustahil, suku bangsa dipakai sebagai pendorong munculnya daerah otonomi baru, tetap melihat atribut gerakan massa yang diorganisasikan, tidak sulit untuk menduga bahwa, ada semangat sub-nasional dan kesukuan di dalamnya. Tentu ini mengkhawatirkan, sebab jika kelompok-kelompok itu menuntut otonomi tersendiri, betapa banyaknya daerah otonomi yang akan muncul di Indonesia.
Dalam catatan Hildred Geertz (1988), ”ada sekitar 3000 etnik dan sub-etnik yang ada di Indonesia”. Padahal dengan jumlah yang sudah ada, sampai akhir tahun 2008, sekitar 491 kabupaten/kota dan 33 Provinsi, yang dihadapi oleh pemerintah sangat kompleks. Dari persoalan anggaran yang menggelembung, pelayanan kepada publik tidak beranjak membaik, sampai masalah politisasi pemekaran untuk kepentingan sekelompok elite.
Namun tampaknya, problem itu tidak akan dihiraukan oleh para penggagas pemekaran wilayah, sebab prasangka terhadap kelompok dominan dalam sautau kawasan, merupakan suatau pendorong untuk menuntut pemekaran wilayah. Dalam tinjauan hubungan antar etnik, manifestasi dari prasangka adalah, (1) antilocution, yang mendiskusikan kelompok lain dari segi negatifnya; 2) avoidance: menghindar dari kelompok yang tidak disukai; (3) discrimination: mengucilkan kelompok tertentu dalam pergaulan dan interaksi sosial, ekonomi maupun politik,karena ketidaksukaan; (4) violence: serangan fisik terhadap orang atau kelompok lain, karena emosi yang meningkat, dan; (5) extermination: pemusnahan satu per satu atau secara massal terhadap kelompok yang tidak disukai
Berpijak kepada pendapat itu, kelompok-kelompok etnik maupun sub-etnik yang merasa kurang diperhatikan oleh para elite dalam tubuh pemerintahan di daerah, maka akan muncul prasangka-prasangka negatif, yang berujung kepada menguatanya upaya untuk memisahkan dari pemerintah induk dan berusaha menuntut pemekaran wilayah. Walaupun sesungguhnya, bisa saja tidak memenuhi syarat sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan berbagai ketentuan lain yang sesungguhnya sangat berat.
Eksistensi Forum Komunikasi Pedesaan
Dalam eforia kebebasan, perilaku masyarakat desa, berjalan linier dengan reformasi bernegara. Ditambah lagi dalam belenggu etnosentrisme dan prasangka yang melembaga,
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Eko Harry Susanto; 15 - 21
18
maka sikap politik warga desa yang menginginkan pemekaran, bisa dikatakan tidak memiliki perbedaan dengan kelompok-kelompok lain lain yang terus menuntut kesejahteraan dan keadilan. Dinamika politik pedesaan sama gegap gempitanya dengan politik nasional yang diwarnai hiruk pikuk strategi memperoleh, ataupun mempertahankan kekuasaan.
Mencermati kondisi itu, pada hakikatnya, forum komunikasi desa yang diandalkan, sepertinya memang tidak mampu sebagai benteng untuk mencegah pemekaran. Sebab, dalam eforia kebebasan, perilaku masyarakat desa, harus diakui berjalan linier dengan reformasi bernegara. Sikap politik mereka tidak ada bedanya dengan kelomkpok lain yang terus menuntut kesejahteraan dan keadilan. Dinamika politik pedesaan sama gegap gempitanya dengan politik nasional yang hiruk pikuk diwarnai oleh strategi memperoleh ataupun mempertahankan kekuasaan.
Dikaitkan dengan substansi etnosentrisme, maka keikutsertaan forum komunikasi desa atau kelurahan dalam pemekaran wilayah, justru sangat mungkin dipakai para elite untuk menumbuhkan semangat etnisitas maupun sub-etnisitas, yang menuntut pembentukan daerah otonomi baru, Tentu saja, dengan mengusung isu persamaan nasib dan mengeksplorasi politik teraniaya. Sebab secara kelembagaan, lembaga-lembaga di tingkat desa/kelurahan, misalnya Badan Permusyawaratan Desa (BPD), sejalan dengan reformasi politik, tidak lagi didominasi oleh penguasa, yang diasumsikan “menyukai pemekaran” dan lebih memilih status quo. Dengan demikian, sangat mungkin forum komunikasi desa justru dipakai sebagai ajang konsolidasi politik pemekaran, dengan membawa prasangka kelompok.
Hakikatnya, PP No. 78 tahun 2007, yang merujuk kepada Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, masih terperangkap oleh jerat floating mass, yang menganggap posisi politik masyarakat desa yang bisa dikontrol oleh hegemoni pertai berkuasa sebagaimana yang tersirat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979, bahkan peraturan produk reformasi politik juga masih bernuansa mengatur lembaga-lembaga desa versi penguasa sebagaimana yang tercamtum dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah.
Secara esensial, PP No. 78/2007 sepertinya menafikan potensi semangat “sektarian” dalam bingkai kebebasan berekspresi, yang melanda kehidupan berbangsa dan bernegara di era reformasi. Bahkan yang paling mengkhawatirkan dan tiidak sejalan dengan reformasi politik adalah, munculnya kecenderungan untuk memosisikan tokoh-tokoh di akar rumput dalam koridor “forum komunikasi desa” sebagai entitas yang bisa diatur sesuai dengan kepentingan partai politik, pemerintah dan berbagai kelompok kepentingan diperdesaan.
Berdasarkan uraian tersebut, Peraturan Pemerintah No.78 Tahun 2007, khususnya yang berkaitan dengan keterlibatan forum komunikasi di tingkat desa/ kelurahan belum bisa diandalkan untuk mengendalikan pemekaran wilayah. Bahkan dalam perspektif, sosial – kultural, peraturan ini cenderung menstigmatisasi masyarakat desa sebagai komunitas yang kurang dinamis merespon perubahan, lamban dan cenderung mempertahankan berbagai entitas kemasyarakatan maupun pemerintahan desa yang ada.
Karena itu, untuk membatasi pemekaran wilayah, bukan semata-mata mengandalkan peraturan yang memposisikan forum komunikasi desa sebagai entitas penghalang pemekaran, tetapi yang diperlukan adalah menjalankan pemerintahan yang berkesejahteraan dan peduli terhadap kepentingan semua kelompok masyarakat, tanpa diferensiasi sosial, ekonomi maupun politik. Sedangkan faktor yang tak kalah penting adalah bagaimana melalui komunikasi antar budaya, dapat meminimalisir semangat elite yang seringkali mempolitisir rakyat, dalam perangkap kesukuan untuk menuntut pemekaran wilayah.
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Eko Harry Susanto; 15 - 21
19
Komunikasi Antar Budaya
Hakikatnya untuk membatasi pemekaran wilayah, bukan semata-mata mengandalkan peraturan yang berlindung dibalik eksistensi forum komunikasi pedesaan, yang diharapkan lebih banyak “berperan” dalam menolak pemekaran. Justru yang diperlukan adalah, mengikis semangat para elite untuk memolitisir rakyat dalam bingkai sektarian, yang berpotensi mengancam nilai-nilai kesatuan dan persatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam perspektif komunikasi yang integratif, untuk mengikat berbagi kelompok masyarakat, maka sudah selayaknya jika pemahaman terhadap komunikasi dann interaksi antar budaya diunggulkan dalam dinamika demokratisasi di daerah. Untuk meningkatkan kohesivitas hubungan atau dalam perspektif Samovar, Porter dan Jain (1981:202) , strategi untuk meningkatkan efektivitas komunikasi antar budaya, adalah :
1. Pahami diri sendiri (know yourself), dalam arti bahwa memahami diri sendiri penting, ketika melakukan komunikasi dan interaksi dengan kelompok lain. Implikasinya, seseorang dapat memposisikan diri dan tidak canggung dalam berinteraksi dengan kelompok-kelompok etnik yang berbeda;
2. Sediakan waktu (take time) ketika terjadi ketidaksepahaman dengan kelompok budaya lain. Sebab seiring dengan berjalannya waktu, diharapkan muncul pemahaman, dan tingkat emosi yang mereda;
3. Pengggunaan bahasa yang sama, jika ingin hubungan antar kelompok budaya berjalan lancar, harus menggunakan bahasa yang sama dengan kelompok lain. Kalaupun bahasanya memang sudah sama, gunakan maksud yang sama ketika berhubungan dengan kelompok lain. Pada konteks ini, bahasa secara hakiki terikat oleh kesamaan maksud dalam hubungan dengan kelompok yang berbeda;
4. Perhitungan setting, dalam komunikasi dengan budaya lain, yang sangat mungkin memiliki beragam perbedaan terhadap seting waktu, lingkungan dan simbol lain yang dipercaya. Hakikatnya, berkomunikasi dengan budaya etnik lain, harus memperhitungkan situasi dan kondisi yang berlaku dan dipercaya oleh kelompok lain;
5. Tingkatkan kemampuan berkomunikasi (communication style), usahakan terus meningkatkan kemampuan berkomunikasi, dengan memepelajari bahasa dan budaya kelompok lain. Tanpa upaya untuk melakukan pendekatan, maka tingkat kohesivitas hubungan yang dipakai sebagai landasan kehidupan masyarakat yang harmonis tidak akan tercapai;
6. Tumbuhkan umpan balik (feedback), dalam arti bahwa, membuka kesempatan kepada kelompok lain, agar memberi umpan balik. Jadi tidak mendominasi pembicaraan, terlebih jika yang diajak berkomunikasi merasa sebagai kelompok minoritas ataupun terperangkap dalam simbol-simbol marginalisasi, maka sulit untuk mengharapkan tercapainya tujuan berkomunikasi
7. Kembangkan Empati, mengembangkan empati, dengan memposisikan diri sendiri sebagai orang dari kelompok lain penting untuk meningkatkan hubungan. Pemahaman terhadap posisi kelompok lain akan meningkatkan rasa kebersamaan yang mampu mengikat masyarakat yang berbeda dalam satu kesatuan;
8. Perhatikan kesamaan dari budaya yang berbeda, jika ingin meningkatkan interaksi antar budaya, gunakan kesamaan agar hubungan dengan kelompok lain lebih erat. Jadi yang terpenting adalah tidak mempersoalkan perbedaan yang terdapat di kelompok lain, dan;
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Eko Harry Susanto; 15 - 21
20
9. Tanggung jawab etis dalam komunikasi, etika dalam berkomunikasi dengan kelompok lain perlu dijaga, mengingat pelanggaran terhadap etika berbicara akan berakibat buruk. Jika etika komunikasi kelompok lain tidak diketahui. Gunakan etika yang universal, yang intinya menghormati ketika orang lain berbicara.
Kesembilan saran untuk mengefektifkan komunikasi antare budaya tersebut, barangkali tidak dapat dilakukan bersama-sama dalam satu kesempatan komunikasi, tetapi paling tidak dalam situasi komunikasi tertentu di wilayah yang rawan konflik krena perbedaan nilai dan kepercayaan, dapat dipakai sebagai pedoman untuk meminimalisir berbagai perbedaan. Memang dalam konteks tuntutan pemekaran wilayah, pola komunikasi ini tidak bisa berjalan sendiri, tetapi harus didukung pula oleh kebijakan pembangunan daerah yang menacu kepada persamaan dalam kesempatan berusaha, menduduki jabatan dan menikmati pembangunan.
Secara sederhana dapat dikemukakan, bahwa untuk mencegah munculnya tututan pembentukan daerah otonomi baru yang bernuansa etnosentrisme, para elite politik, ekonomi dan sosial, tidak terkecuali elite dalam pemerintahan daerah, harus memperlakukan secara adil terhadap semua kelompok masyarakat tanpa sekat-sekat diferensiasi kultural. Namun persoalannya, ketika keadilan itu sulit untuk dijalankan, maka akumulasi kekecewaan terhadap dominasi kelompok sosial, ekonomi dan politik semakin memuncak, maka politik sektarian cenderung menjadi pilihan yang paling ampuh untuk memaksakan tujuan yang akan dicapai
Penutup
Berbagai ketentuan yang merujuk kepada aspek legal dalam pemekaran wilayah, sebagai upaya untuk membatasi semangat para elite untuk mengusulkan pembentukan daerah otonomi baru, tidak dapat dipakai sebagai benteng pertahanan, untuk menyeleksi secara ketat, persyaratan formal terhadap daerah yang akan dimekarkan.
Upaya mengunggulkan peran forum komunikasi desa atau kelurahan, yang diharapkan mampu menepis suara minor, bahwa pembentukan daerah otonomi baru identik dengan kemauan sekelompok elite politik, ternyata justru berpotensi sebagai pusat komunikasi untuk menyuarakan pemisahan wilayah dari wilayah induknya, dalam bingkai etnosentrisme, yang mengemas perbedaan sosial ekonomi.
Mencermati kondisi tersebut, tanpa mengabaikan pentingnya aspek legal dalam pemekaran wilayah, hakikatnya eksistensi komunikasi antar budaya dalam kebijakan pembangunan daerah perlu dipahami, demi untuk meminilisir berbagai perbedaan yang berujung pada tuntutan pemekaran wilayah dan dikhawatirkan mengganggu kebhinekaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
DAFTAR PUSTAKA
Barth, Frederik. 1988. Kelompok Etnik dan Batasnnya. Jakarta: Penerbit UI Press
Geertz, Hildred.1981. Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia. Jakarta: Yayasan Ilmu
Samovar, Larry A and Richard E. Porter.1988. “ Approaching Intercultural Communication “ (eds.) Samovar and Porter, Intercultural Communication: A Reader, Belmont-California: Wadsworth Publishing Company
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Eko Harry Susanto; 15 - 21
21
Samovar, Larry A and Richard E. Porter. 1991.Communication Between Culture, Belmonth- California: Wadsworth Publishing Company.
Samovar, Larry A, Richard E. Porter and Nemi C. Jain .1981. Understanding Intercultural Communication. Belmont-California: A Division of Wadsworth Inc.
Wood, Julia T. 2004. Communication Theories in Action; Third Edition. Canada: Thomson – Wadsworth Publishing.
Peraturan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Jakarta : Kantor Menko Ekuin dan Wasbang, 1984.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, Jakarta: Kantor Menko Ekuin dan Wasbang, 1984.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan Pemerintah No. 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah
CV
Nama : Dr. Eko Harry Susanto,M.Si
Tempat Tgl Lahir : Pekalongan, 04 April 1958
Pendidikan:
S1 Ilmu Pemerintahan UGM Yogyakarta, Lulus Tahun 1981
S2 Ilmu Komunikasi UI Jakarta, Lulus Tahun 1996
S3 Ilmu Komunikasi Unpad Bandung, Lulus Januari Tahun 2004
Email : ekohs@centrin.net.id, ekoharry@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar