Jumat, 01 Juni 2012

Meni(a)nggalkan Ide Good Governance Dalam Rangka Menuju Pelayanan Publik yang Lebih Egaliter dan Inovatif

Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X

Meni(a)nggalkan Ide Good Governance Dalam Rangka Menuju Pelayanan Publik yang Lebih Egaliter dan Inovatif
Oleh: Fadillah Putra

Abstract
On the first page of law No 25/2009 manuscript about public service, explicitly written that the law based on good governance principle either conceptual or operational. On the “consider” part, point d: “To increase quality and assure public service availability in accordance with general principles of government and good corporation (good corporate governance)…”. Chapter II article 3 law no 25/2009 also includes this part. This writing is different with others because it will not discuss the articles on the law but misconception about good governance.
Key words: Good governance, ideology, public service
Pendahuluan
Tulisan ini hendak membedah akar filosofis dan ruh UU No 25 tahun 2009 isi yang sudah memiliki salah bawaan (internal constraint), yaitu konsep Good Governance. Sehingga tulisan ini, berbeda dengan tulisan-tulisan lainnya, tidak akan membahas pasal perpasal yang ada dalam UU ini, melainkan lebih banyak pada pembongkaran habis-habisan atas kebobrokan ideologi good governance itu sediri yang telah dikatakan terang-terangan sebagai dasar pijak dari UU No 25 tahun 2009 ini.
Penulis sendiri berkeyakinan dengan sangat kuat bahwa UU Pelayanan Publik ini adalah sebagian dari sekian banyak UU yang ada di Indonesia yang merupakan “UU pesanan” dari kekuatan-kekuatan neo-liberal yang telah mencengkram negara dan bangsa ini sejak lama. Pada bagian akhir, tulisan ini akan menawarkan paradigma baru yang siap menantang kepongahan paradigma konservatif Good Governance. Paradigma baru ini akan menguak jalan baru terhadap prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang lebih berkeadilan, egaliter, komprehensif dan inovatif. Paradigma baru itu adalah apa yang secara lamat-lamat mulai didengar orang dengan sebutan Sound Governance!
Era Kebangkrutan Good Governance
Kritik yag paling mendasar dari konsep good governance (GG) adalah homogenisasi. Kata “good” menjadi sesuatu yang hegemonik dan seragam. Proses penyeragaman atas sesuatu yang disebut “good” itu juga dilakukan tak jarang dengan paksaan. Ali Farazmand (2004) secara tegas menyebutnya sebagai bagian dari praktik penyesuaian struktural (structural adjustment programs/SAPs). Selayaknya berbagai praktik SAPs, lembaga-lembaga donor selalu memaksakan regulasi agar sesuai dengan pesanan dan kepentingan mereka. Mereka menghendaki regulasi ketenagakerjaan, pendidikan, sumberdaya mineral, dan termasuk pelayanan publik (UU 25/2009) diatur sedemikian rupa agar presisi dengan kemauan mereka.
 Dosen Jurusan Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Fadillah Putra; 1- 14
2
Kenyataannya diberbagai belahan dunia GG adalah program yang diintrodusir oleh lembaga-lembaga donor internasional, seperti WB, IMF, ADB, UNDP, EU dan lain-lain. Indikator akan sesuatu yang disebut “good” itu juga dibawa jauh dari Amerika Serikat atau Eropa untuk kemudian dipakai untuk mengukur berbagai praktik di negara-negara berkembang baik di Asia, Afrika maupun Amerika Selatan/Karibia. Tidak ada ruang bagi lokalitas untuk mendefinisikan “good” menurut keyakinan mereka. Term „good‟ dalam GG adalah westernized dan diabsolutkan sedemikian rupa sehingga terkadang mendekati „god‟.
Kritik berikutnya terhadap GG adalah kegagalannya dalam memasukkan arus globalisasi dalam pigura analisisnya. Dalam GG seolah-olah kehidupan hanya berkuatat pada interaksi antara pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis di negara tertentu dengan rakyat di negara tertentu pula. Tentulah ini sangat naif. Sebab kenyataan bahwa aktor yang sangat besar dan bekuasa di atas ketiga elemen tersebut tidak dimasukkan dalam hitungan. Aktor tersebut adalah dunia internasional. WTO, perusahaan multi nasional, UN, dan lembaga-lembaga donor secara nyata telah hadir dalam setiap relung kehidupan bernegara dan bermasyarakat di negara-negara berkebang, termasuk Indonesia. Kita telah sama-sama menyaksikan bagaimana kehadiran aktor-aktor ini sampai ke pelosok desa-desa. Program-program World Bank misalnya, telah merasuki alam pikir dan nilai-nilai masyarakat hingga ditingkatan desa, bahkan komunitas.
Di samping alasan-alasan int\strumental di atas, alasan utama atas argumentasi kebusukan konsep GG adalah dari kajian ideologis. GG secara jelas membawa misi neokolonialisme, utamanya neokolonialisme yang dikendalikan oleh lembaga-lembaga donor seperti Bank Dunia dan IMF, produk Perjanjian Bretton Woods. Perjanjian yang ditandatangani oleh negara-ngera yang terlibat pada PD II ini dibuat sebagai jalan keluar atas krisis ekonomi yang terjadi di dunia paska perang. Isi dari perjanjian ini adalah kewajiban bagi setiap negara untuk bersama-sama menjaga rata-rata nilai tukar mata uang dunia pada nilai yang baku, yaitu berkisar satu persen. Dengan mengacu pada nilai emas dan kemampuan IMF dalam menjembatani ketidakseimbangan pembayaran (Wiggin, 2006). Sistem ini sempat collaps di tahun 1971 akibat penundaan Amerika Serikat dalam hal mengubah standar moneter dari dollar ke emas. Sistem ini bersandar pada prinsip kapitalisme dan memaksa semua negara untuk mengikutinya meskipun kepercayaan sistem ekonomi mereka berbeda. Prancis contohnya, pada masa itu neara ini lebih percaya pada pentingnya intervensi dan proteksi ekonomi dari negara, tetapi karena ia menandatangani perjanjian ini, mau tidak mau Prancis harus mengubah kebijakan dasar pereknomiannya tersebut (Cohen dalam Jones, 2002).
Kontrol negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat sangatlah kuat dalam lembaga-lembaga donor dan keuangan internasional ini. Memang secar teknis mereka merupakan bagian dari PBB yang idealnya adalah organisasi netal. Tapi ketika kita melihat lebih jauh pada tata organisasinya, terlebih Bank Dunia dan IMF, terlihat sekali bahwa kendali penuh ada di tangan Amerika Serikat. Grup Bank Dunia misalnya, secara tegas dikatakan bahwa kepemilikannya adalah berdasarkan proporsi jumlah saham dari negara-negara anggota. Sehingga persis seperti dewan komisaris dalam sebuah perusahaan pada umumnya. Lebih lucu lagi dalam hal pemungutan suara (voting) tidaklah dilakukan one country one vote, melainkan dimungkinkan adanya suara tambahan yang tergantung pada kontribusi finansial negara yang bersangkutan pada organisasi tersebut. Hingga data terakhir tahun 2006 tercatat bahwa Amerika Serikat memegng saham terbesar sebanyak 16,4 persen, Jepang 7,9 persen, Jerman 4,5 persen sementara Prancis dan Inggris 4,3 persen. Pemilihan pimpinan lembaga ini adalah
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Fadillah Putra; 1- 14
3
dengan pengajuan nominasi dari pemerintah Amerika Serikat yang kemudian akan mendapatkan persetujuan dari dewan gubernur (Lobe, 2003).
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa lembaga-lembaga internasional yang ada, baik itu PBB maupun Bank Dunia adalah alat bagi kekuatan neo-kolonialisme dalam mengendalikan dunia. Lembaga-lembaga agen neokolonialisme ini juga dengan leluasa melancarkan aksi-aksi hegemoni dan kooptasi global selama enam puluh tahun terakhir. Dengan topik yang berganti-ganti. Setelah memperoleh sukses besar di era 1950-an dalam melakukan rekonstruksi ekonomi di Eropa melalui Marshall Plan yang di arsiteki oleh WW. Rostow dengan program developmentalisme-nya, lembaga-lembaga internasional ini mulai melancarkan kooptasinya ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Hingga akhir dekade 1990-an kata pembangunanisme telah menjadi kata sakti yang didengungkan ke seluruh dunia, persis seperti kata GG saat ini.
Alih-alih meraup sukses seperti yang terjadi di Eropa, proyek raksasa ini dengan di dukung oleh konsep sosiologi struktural fungsional Talcott Parson malah menciptakan diktator-diktator pragmatis di berbagai negara berkembang. Pemerintahan diktator dan sentralistik yang terjadi dibanyak negara berkembang sesungguhnya juga merupakan produk dari lembaga-lembaga neo-kolonial ini. Lalu dengan tampang tak bersalah saat ini mereka datang dengan menawar-nawarkan konsep yang seolah demokratis yaitu GG.
Tulisan kecil ini mungkin tak akan cukup untuk memuat seluruh daftar panjang kritik-kritik atas lembaga-lembaga internasional agen neokolonilaisme ini. Joseph Stiglitz sendiri, sebagai mantan kepala ekonomi Bank Dunia juga melontarkan kritik yang sangat pedas. Ia mengatakan bahwa kebijakan reformasi pasar bebas dari lembaga-lembaga keuangan global telah turut berkontribusi dalam merusak tatanan ekonomi negara berkembang. Caufield (1996) juga mengatakan bahwa kemunduran ekonomi negara-negara selatan saat ini disebabkan oleh asumsi-asumis yang ada di lembaga-lembaga keuangan ini. ideologi yang disebutnya sebagai “western recipes” telah enyingkirkan konsep-konsep ekonomi tradisional yang kemungkinan jauh lebih tepat untuk dipakai negara-negara tertentu. Asumsi yang paling parah menurut Caufield adalah anggapan bahwa negara-negara berkembang tak pernah akan maju tanpa bantuan dari luar. Inilah praktik yang mengabadikan neokolonialisme hingga saat ini.
Dalam hal ini kritik dari Arif Dirlik (dalam Mongia, 1996) sangatlah tajam, yaitu:
“The transnationalization of production is the source at once of unprecedented global unity and unprecedented fragmentation in history of capitalism. The homogenization of the globe economically, socially and culturally is such that Marx’s prediction finally seems to be on the point of vindication”. (Transnasionalisasi produksi adalah sumber dari terjadinya penyatuan global dan fragmentasi dari sejarah kapitalisme. Hogomenisasi dunia baik secara ekonomi, sosial maupun budaya yang terjadi melalui hal itu adalah pebenaran dari prediksi Marx).
Argumen tersebut didukung oleh kenyataan akan banyaknya intelektual-intelektual di negara berkembang yang ikut-ikutan mendukung asumsi-asumsi global tersebut. Mereka sibuk menyalah-nyalahkan faktor internal negaranya sebagai sumber masalah keterpurukan ekonomi mereka. Dan mengagung-agungkan pentingnya intervensi dari luar (lembaga-lembaga donor internasional) sebagai satu-satunya solusi.
Kritik-kritik beraliran kiri tersebut di atas adalah valid baik secara faktual maupun ilmiah. Kendati dalam alur paradigma lain, yakni poskolonial, ditemukan cara kritik yang agak berbeda. Dalam tradisi analisis poskolonial keadaan tidak dilihat dalam posisi hitam-putih sebagaimana kalangan Marxist melihatnya. Yaitu hubungan antara yang menghegemoni dan yang di hegemoni, yang mengeksploitasi dan dieksploitasi, yang menjajah dan yang dijajah.
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Fadillah Putra; 1- 14
4
Hubungan antara [neo] kolonialis dan negara-negara terkoloni sangat kompleks. Dalam studi poskolonial kedua belah pihak sama-sama terpengaruh oleh proses transformasi di antara keduanya. Dalam fase inilah konsep hybridity berkembang dalam ilmu-ilmu sosial. Meskipun demikian tetap kita bisa melihat bahwa derajad pengaruh masing-masng pihak berbeda. Mungkin benar bahwa negara-negara kolonialis terpengaruh, akan tetapi tentu tidak sedahsyat apa yang terjadi pada negara terkoloni.
Dalam konteks indoktrinasi GG misalnya, memang benar bahwa praktik-praktik implementasi GG di negara-negara berkembang berpengaruh terhadap pemahaman dan kebijakan GG di negara-negara maju. Akan tetapi dampak destruktif atas proses tasformasi itu lebih di rasakan oleh negara berkembang ketimbang negara maju.
Sejak awal tahun 1990-an, organisasi-organisasi internasional besar, yang pertama dan terutama di antaranya ialah International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia, memberikan rekomendasi-rekomendasi kepada negara-negara anggotanya untuk menerapkan “good governance”. Namun, definisi-definisi dari istilah ini, dan sejalan dengan hal itu, substansi dari istilah tersebut, sangat beragam dari satu institusi ke institusi lain, sehingga menghalangi perumusan definisi legal yang tepat mengenai istilah tersebut, terutama karena istilah governance bisa bersifat global dan corporate (Herrera, 2004).
Di Indonesia, istilah good governance dianggap penjelasan dan sekaligus solusi paling canggih dari segenap penyakit-penyakit buruk birokrasi pemerintahan dan pelayanan publik yang tak efisien dan tak demokratis. Tiba-tiba saja, ada begitu banyak pakar di dunia intelektual Indonesia yang jagoan dalam wilayah good governance. Tiba-tiba saja, good governance menjadi “agama baru” bagi kaum intelektual dan birokrat jika tak ingin disebut sebagai pendukung proses pemerintahan dan pelayanan publik yang buruk (atau mereka sebut sebagai bad governance). Bukankah jelas, bahwa mereka yang tak mendukung “yang-baik” (good) secara otomatis adalah pendukung “yang-buruk” (bad)? Bukankah lawan good itu adalah bad?
Apa yang dilupakan oleh kaum intelektual kita yang terobsesi dengan konsep tersebut ialah bahwa good governance itu adalah sebutan bagi sebuah agregat praktek-praktek pemerintahan dan pelayanan publik sebagaimana yang dikehendaki oleh lembaga-lembaga internasional, yang terutama ialah IMF dan Bank Dunia. Jadi, good governance bukanlah suatu konsep linguistik murni, juga bukan suatu konsep filsafat politik murni. Meski terdapat kata „good‟ (yang secara harfiah berarti „baik‟), namun kata tersebut sama sekali bukan lahir dari kontemplasi filosofis para filosof dunia, namun lahir dari badan-badan ekonomi internasional yang jelas punya agenda tertentu untuk membangun tata kehidupan bangsa-bangsa seluruh dunia.
Sikap naif kaum intelektual di negeri kita yang menganggap bahwa kata „good‟ (baik) dalam konsep good governance merupakan sesuatu yang netral atau bahkan bebas dari niat buruk merupakan sesuatu yang amat disayangkan. Mengapa? Karena dengan demikian, mereka melepaskan diri dari tanggung jawab keintelektualan mereka untuk senantiasa kritis dan reflektif terhadap berbagai gagasan yang sekiranya turut berpengaruh pada pencapaian tujuan berbangsa dan bernegara. Penerimaan secara mentah-mentah atas konsep tersebut malah menunjukkan betapa kaum intelektual kita menjadi apa yang dulu pernah disebut sebagai „Pak Turut‟ yang hanya bisa mengekor suatu gagasan tanpa pernah sadar akan mau dibawa ke arah mana dan untuk tujuan apa gagasan itu membawanya. Konsekuensi-konsekuensi jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang dari penerapan gagasan tersebut tak pernah dipikirkan karena dianggap bahwa karena dalam konsepnya terkandung
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Fadillah Putra; 1- 14
5
kata „good‟ (baik), maka dengan sendirinya konsekuensi-konsekuensinya akan selalu baik pula. Suatu logika pemikiran yang simplistik dan naif!
Padahal sesungguhnya, konsep good governance itu sesuatu yang masih kabur substansinya. Bagaimana sesuatu yang remang-remang bisa disebut sebagai suatu kebaikan? Rémy Herrera pernah mengungkapkan betapa kaburnya substansi dari konsep tersebut di antara berbagai institusi ekonomi dunia. Kode good governance IMF, yang memiliki kemampuan untuk diterapkan di negara-negara yang mendapatkan bantuan teknis darinya dan yang berhubungan dengan perang anti-korupsi yang dijalankannya, bertujuan untuk menciptakan keputusan-keputusan kebijakan ekonomi yang lebih transparan, untuk menciptakan ketersediaan informasi yang maksimum mengenai keuangan publik, untuk menstandarisasi prosedur-prosedur audit, dan yang lebih mutakhir, untuk “memerangi pembiayaan terorisme”.
Sementara menurut Bank Dunia, governance dari “negara-negara klien” haruslah bisa “mengatasi disfungsi sektor publik (yang merupakan „gejala umum‟) dengan jalan membantu negara-negara tersebut untuk mengadopsi reformasi-reformasi” yang dirancang untuk meningkatkan mekanisme-mekanisme alokasi sumber daya publik, membantu “pembangunan institusional negara, proses-proses perumusan, pemilihan dan pengimplementasian kebijakan-kebijakan, dan relasi-relasi antara warga negara dan pemerintah mereka.” Jika UNDP mengkaitkan good governance dengan pembangunan sumber daya manusia yang berkelanjutan, Bank Pembangunan Asia menekankan pada partisipasi sektor privat, sementara Inter-American Development Bank menekankan pada penguatan civil society, OECD menekankan pada akuntabilitas, transparansi, efisiensi dan efektivitas, economic forecasting dan supremasi hukum, EBRD menekankan pada hak-hak asasi manusia dan prinsip-prinsip demokrasi dan sebagainya.
Ketika konsep good governance begitu kabur, maka apa yang terjadi kemudian ialah konsep tersebut menjadi cek kosong yang isinya bisa ditentukan oleh siapapun. Kelihatannya hal ini menarik karena ada demokratisasi penentuan isi konsep tersebut, namun sesungguhnya tidak. Pada akhirnya, kekuasaan institusi-institusi keuangan internasional-lah yang menjadi penentu paling efektif bagi isi macam apa yang akan diadopsi oleh pemerintah-pemerintah di seluruh dunia, yang tentu saja akan berdampak pada nasib warga-warga dari negara-bangsa di seluruh dunia. Justru karena kekaburan itulah, maka setiap institusi keuangan internasional lantas bisa menunjukkan kekuasaannya masing-masing terhadap negara-negara anggota yang membutuhkan bantuan darinya dengan menetapkan isi konsep yang harus diimplementasikan oleh negara-negara anggota tersebut.
Bagi rezim politik sendiri di mana pun, baik di level lokal maupun nasional, istilah „good governance‟ memiliki daya tarik yang luar biasa. Di satu sisi, dengan memakai konsep tersebut, rezim politik yang ada akan bisa terhindar dari citra sebagai rezim yang buruk, apapun yang dilakukannya. Di sisi lain, dengan konsep tersebut pula, rezim politik yang ada bisa mendapatkan dukungan dari institusi-institusi keuangan internasional untuk membiayai proses pemerintahannya. Dengan kata lain, konsep good governance menjadi alat pencitraan yang sungguh simpel dan efektif bagi rezim-rezim politik yang berkuasa untuk menegaskan “ke-baik-annya”. Apalagi jika terus-menerus dikumandangkan bahwa good governance akan menjanjikan terwujudnya penghapusan kemiskinan, terwujudnya pemerintahan yang bersih dan efisien, terwujudnya partisipasi rakyat dan sebagainya dan sebagainya. Jelas janji-janji tersebut sungguh menarik dan menyenangkan untuk didengar. Tapi, tidak mungkinkah janji-janji itu tak lebih suatu bualan kosong seperti layaknya janji-janji kemakmuran dan tahap lepas landas yang ditawarkan oleh gagasan developmentalisme tahun 1970-an?
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Fadillah Putra; 1- 14
6
Janji yang dilekatkan dengan konsep good governance mengatakan bahwa ke depan, Direktur-direktur Eksekutif IMF menegaskan bahwa tantangan kuncinya ialah mewujudkan pelayanan publik yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi untuk membantu mengentaskan kemiskinan dan menurunkan tingkat pengangguran. Untuk tujuan ini, mereka memuji pihak pemerintah Indonesia karena telah mengadopsi agenda reformasi struktural yang mengesankan, namun dengan sambil menekankan bahwa penerapan secara sungguh-sungguh agenda tersebut akan menjadi kunci untuk meningkatkan kepercayaan investor dan memajukan pertumbuhan sektor swasta (IMF, 2006).
Mengentaskan kemiskinan dan menurunkan tingkat pengangguran, siapa yang tidak tertarik? Bagaimana caranya? Lembaga-lembaga donor memberi resep: lakukan reformasi struktural. Reformasi struktural yang macam apa? Reformasi struktural yang bisa meningkatkan kepercayaan investor dan memajukan pertumbuhan sektor swasta. Jadi, agar problem kemiskinan dan pengangguran teratasi, pemerintah harus melakukan reformasi struktural yang akan melayani rasa kepercayaan investor dan pertumbuhan sektor swasta. Karena sektor swasta ini pada intinya dijalankan oleh para investor, maka sesungguhnya yang dilayani hanya satu, yaitu para investor. Asumsinya: investor datang, rakyat senang. Janjinya: investor datang, lapangan kerja berkembang, rakyat punya pekerjaan dan berkuranglah angka kemiskinan. Tapi kenyataan di lapangan ternyata tidak menunjukkan hal tersebut. Kembali pada isu UU No 25 tahun 2009 yang bersadar sepenuhnya pada GG, alih-alih dapat memberikan reformasi palayanan publik di Indonesia, berdasarkan penjelasan di atas, UU ini justru berpotensi memperlebar jurang kemiskinan.
Mengapa Harus Sound Governance?
Pada bagian-bagian terdahulu telah banyak dipaparkan tentang berbagai kelemahan konsep Good Governance (GG) termasuk derivatif-derivatifnya seperti UU No 25/2009. Hal yang membuat mengapa menjadi sangat penting saat ini untuk merumuskan konsep baru yang dapat menjawab kegagalan epistemologis GG. Solusi dari masalah ini adalah dengan menghentikan atus besar kesalahkaparahan GG yang meluas dengan menggantinya dengan konsep baru yang jauh lebih komprehensif dan reliable yaitu Sound Governance (SG). Terdapat lima alasan pokok yang medasari kesegeraan dalam pergantian paradigma ini.
Pertama, SG jauh lebih komprehensif dari pada GG terutaa dalam melihat aktor-aktor kunci yang harus di pertimbangkan dalam sebuah proses tata pemerintahan. Tidak hanya melihat proses interkasi antara aktor-aktor domestik, yaitu pemerintah, pasar dan masyarakat sipil, akan tetapi SG juga melihat besarnya peran konkret dari aktor-aktor ekonomi politik internasional. Aktor-aktor internasional di sini mencakup kebijakan luar negeri negara-negara maju, organisasi-organisasi multi lateral, korporasi global multinational corporation/transnational corporation (MNC/TNC) dan lembaga donor dan keuangan internasional dan big NGOs. Di Indonesia sendiri telah banyak bukti dan argumen-argumen ilmiah tentang besarnya pengaruh aktor-aktor ini dalam dinamika sosial, politik dan ekonomi dalam negeri yang juga berdampak pada proses tata pemerntahan (Mansour, 2003). Pada Bab I pasal 1 UU No. 25 tahun 2009 disebutkan bahwa penyelenggara pelayanan adalah pemerintah, pihak swasta dan lembaga independen saja.dalam aspek ini UU 25/2009 sama sekali tidak melihat peran dan signifikansi aktor-aktor internasional dalam proses penyedian pelayanan publik. Sementara kalau kita lihat di lapangan berbagai program reformasi birokrasi dan peningkatan kualitas pelayanan banyak di sponsosri oleh lembaga-lembaga internasional. Tapi dalam kontks UU ini, fakta tersebut seolah-olah disamarkan.
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Fadillah Putra; 1- 14
7
Kedua, SG juga mengedepankan adanya penghormatan atas keragaman atas konsepsi birokrasi dan tata pemerintahan, utamanya nilai dasar budaya pemerintahan tradisional yang telah lama terkubur. Selama ini kita, terutama bangsa Indonesia, telah lama me[di]lupakan oleh kekayaan budaya kita sendiri. Sistem pemerintahan daerah di Indonesia adalah sejarah yang sangat panjang, bahkan jauh lebih panjang dar usia negara ini sendiri. Akan tetap model pemerintahan barat telah ditransplantasi seiring dengan masuknya kolonialisme di Indonesia. Bukan hanya di Indonesia, di berbagai belahan dunia, penyeragaman atas sistem pemerintahan barat telah banyak mengubur hidup-hidup keragaman yang luar biasa atas sistem pemerintahan original lokal. Ali Farazmand mencontohkah kebesaran Kerajaan Persia, sebelum di gulung oleh dominasi budaya barat, memiliki prestasi yang sangat besar dalam pengelolaan pemerintahan. Di Indonesia, berbagai sistem pemerintahan berbasis budaya lokal juga sudah banyak terabaikan (Andi, 2007). Tetapi sejarah dan riset ilmiah seolah hanya mulai di bukan semenjak Max Weber mengkonsruksi kosep birokrasi modernya. Di susul perkembangan ilmu administrasi publik berkutnya, terasuk GG, semuanya adalah cerita tentang pembantaian massal budaya lokal sistem pemerintahan. Itulah sebabnya SG menyeruak untuk melihat apakah masih ada peluang untuk menyelamatkan keragaman budaya pemerintahan itu. Lagi, pengakuan budaya lokal dalam mengantarkan pelayanan publik sama sekali tidak muncul dalam UU no 25/2009 ini. Padahal kalau kita berbicara dalam konteks pelayanan publik maka sesungguhnya kita berbicara tentang hubungan antar-manusia, antara organisasi dengan masyarakat tertentu. Sementara manusia dan masyarakat itu tidaklah steril dari bias budaya. Dalam UU ini persoalan bias budaya dalam pelaksanaan pelayanan publik juga tidak mengemuka.
Ketiga, adalah orientasi SG yang lebih kepada keseimbangan dan fleksibilitas antara proses dan output dari sebuah proses tata pemerintahan. SG percaya pada pepatah „banyak jalan menuju Roma‟. Artinya untuk mewujudkan diri sebagai pemerintahan yang baik tidak hanrus dengan satu cara. Melainkan bisa dengan berbagai cara. Hal ini utamanya di picu oleh tumpang tindih atara hubungan proses dan output yang ada di dalam GG. Seperti telah di sadari bahwa tujuan utaa dari pemerintah adalah menegakkan keadilan, menjamin keamanan publik, pertahanan nasional, kesejahteraan umum dan menjamin hak-hak masyarakat (McDowell, 2008). Nah dalam rangka mencapai tujuan itu, GG bersikukuh bahwa hanya ada satu jalan untuk menuju kesana, yaitu dengan menjalankan prinsip-prinsip GG. Persis seperti perilaku pebangunanisme di masa Orde Baru, yaitu hanya ada satu jalan saja untuk maju, yakni pertumbuhan ekonomi. SG lebih mengedepankan pencapaian tujuan ketimbang ribut soal bagaimana cara tujuan itu tercapai. Kendati demikian tetap di dalam SG ada prasarat-prasarat dasar universal terkait demokrasi, transparansi dan akuntabilitas tetap harus ditegakkan. Fleksibilitas yang menjadi titik tekan SG adalah „Inovasi‟, yang merupakan ruh dari implementasi SG dalam praktik pemerintahan sehari-hari (Farazmand, 2004). Dalam UU 25/2009 keragaman ini tidak tampak, misalnya bisa kita lihat poada bagian asas dan pada pasal 16 yang memuat sekian banyak standar-standar teknis yang sangat baku. Belum lagi bila nanti peraturan pelaksana dari UU ini di sahkan tentunya stndar baku ini akan lebih detail dan teknis lagi sehingga membunuh spirit keragaman dan inovasi yang justru akan di usung oleh SG.
Keempat, selaras dengan hukum, perjanjian dan norma internasional. Hal ini merupakan konsekuensi dari perubahan besar yang dilakukan SG dalam dunia administrasi publik yang „sadar globalisasi‟. Memutus begitu saja hubungan antara dinamika ditingkatan lokal dengan konteks global adalah sesuatu yang naif. Jangankan di tingkatan lokal, di tingkat nasional pun masalah ini masih sangat akut. Selama ini yang terjadi adalah hukum-hukum ratifikasi atas
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Fadillah Putra; 1- 14
8
perjanjian-perjanjian internasional yang ada di sekretariat negara masih hanya meurpakan tumpukan peraturan yang tidak pernah diimplementasikan dengan baik. Ambil saja contohnya UU No. 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan Konvensi ILO Mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan perdangan. Di situ diatur banyak hal jaminan internasional atas hak-hak buruh, tapi kenyataannya di Idnoensia praktik pelanggaran hak buruh masih saja marak. Kekhawatiran yang sama mungkin saja terjadi pada UU 25/2009. Proses tata pemerintahan seharusnya sinkron dengn arah dan strategi global jangka panjang yang tertuang dalam hukum, perjanjian atau norma internasional. Ini merupakan gerakan sentrifugal dari tata pemerintahan di tingkat lokal, yang juga pada gilirannya akan berkontribusi pada perbaikan tata peerintahan global (global governance). Di samping ada nilai-nilai lokal yang harus tetap di jaga dalam konteks SG, dnia harus juga makin terkoneksi secara produktif untuk enciptakan kemakmuran bersama. Ketika SG menganjurkan untuk menghormati dan mencoba untuk menerapkan budaya lokal dalam praktik perintahan, bukan berarti mengjak masyarakat untuk menjadi nativist, yaitu sikap yang hanya memikirkan masyarakat lokal dan budaya lokalnya tanpa peduli, dan cenderung mmbenci, aspek-aspke yang lebih luas terlebih global. Penghormatan terhadap budaya lokal dalam SG adalah untuk memjaga kekayaan ragam budaya tata pemerintahan yang pada gilrannya akan berkontribusi untuk perbaikan satu-sama lain.
Kelima, pada dasarnya SG bukanlah sebuah konsep administrasi publik pada umumnya baik dari Birokrasi Weber hingga GG yang di paksakan (imposed) dari barat. SG adalah sebuah konsep ilmiah yang di gali dari Persia. keberhasilan Kerajaan Persia pada Abad 500 SM mengelola wilayah yang begitu luas, terbentang mulai dari Asia, Timur Tengah, Eropa Timur hingga Afrika Utara (Daniel, 2001) berkat di terapkannya prinsi “tolerance dalam pemerintahannya. Sebab di sadari atau tidak wilayah yang begitu luas pada jaman itu identitas perbdaan budaya masing-masing daerah masih sangat kental. Memang hari ini banyak negara yang lebih luas dari pada Kerajaan Persia waktu itu, melainkan perbedaannya adalah aman sekarang, utamannya dengan teknologi informasi, perlintasan antara budaya terjadi jauh lebih intensif. Sehinga integrasi relatif lebih mudah tercapai. Melaikan pada jaman tersebut, sebuah negara besar denga tingkat keragaman budaya yang tinggi dapat bertahan hingga lebih dari 600 tahun adalah prestasi yang luar biasa. Di butuhkan kejeniusan dalam menciptakan sistem pemerintahan yang memungkinkan hal itu terjadi. Toleransi adalah kunci rahasia dari keberhasilan itu. Dalam praktikknya saat ini strategi itu adalah dengan tidak lagi diberlakukannya mekaisme cetrum-pheriphery dalam tata pemerintahan. Hubungan eksploitatif antara pusat dan daerah harus mulai di tinggalkan. Ide brilian ini sesungguhnya bukanlah sebagaiana selama ini diklaim dari Barat. Justru SG membuktikan bahwa konsep-konsep non-Barat sebebenarnya banyak yang applicable, khususnya di bidang pemerintahan. Kesadaran inilah yang seharusnya juga dimunculkan dengan sangat kuat pada UU no 25/2009.
SG dipakai tidak hanya untuk enunjuk pada sistem pemerintahan yang layak dan efektif secara domestik dan sempurna secara ekonomis, politis, manajerial, konstitusional dan terlebih etis. Hal inilah yang menjadikan dasar pembalikan besar-besaran dalam perkembangan ilmu administrasi publik yang ada selama ini. sebab ambisi keberhasilan administrasi publik yang iningin di capai dalam SG itu jelas tetapi tidak mendikte. SG dengan jelas dan spesifik menyebutkan dimensi-dimensi yang harus di capai dalam sebuah proses pemerintahan, tetapi tidak endikte bagaimana masing-masing dimensi harus di capai.
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Fadillah Putra; 1- 14
9
Pentingya Egalitarianisme dalam Reformasi Pelayanan Publik
Makna egalitarianisme yang dimaksud di sini lebih pada relasi yang terjadi antara lembaga donor (kekuatan internasional) pemerintah dan penerima layanan publik (masyarakat). Sebab, dalam GG hubungan yang terjadi sangatlah tidak egaliter. Lembaga donor menjadi pihak yang sangat dominan dan superior. Semnetara peran dari pemerintah justru sangat inferior dan pasif, apalagi masyarakat. Nah, justru penciptaan hubungan yang egaliter inilah yang aka di bangun oleh SG.
Untuk mencapai hasil yang maksimal atas tujuan ideal tersebut, peran dari lembaga-lembaga internasional cukup penting. Hal ini tidak dapat dipungkiri, mengingat untuk kasus Indonesia sebagian proyek-proyek pemebrdayaan dan peningkatan kapasitas pemerintahan dalam pelayanan publik di danai oleh lembaga-lembaga donor ini. hanya saja yang mnjadi masalah selama ini telah terjadi kesalahan cara mengngelola dan mempersepsi kegiatan-kegiatan tersebut. Hubungan antara lembaga donor dana pemerintah (baik pusat ataupun daerah) masih banyak terjadi ketidakharmonisan.
Kegiatan peningkatan kapasitas pemerintah dalam pelaksanaan pelayanan publik yang ada selama ini hanya dipandang sebagai „proyek‟ semata. Lahan untuk mencari uang bagi para pelaku yang terlibat di dalamnya. Hal ini tidak dapat disalahkan, akan tetapi juga harus melihat pada hasil yang harus dicapai. Dana-dana dari lembaga asing umumnya masuk dan menandatangani kontrak dengan pemerintah pusat sebelum masuk ke daerah. Di tingkat pusat sudah banyak broker-broker poyek yang memainkan pengucuran dana ke tingkat daerah. Sehingga daerah pun akan mempersepsi kegiatan atau program peningkatan kapasitas pemerintah dalam pelaksanaan pelayanan publik dari lembaga donor asing itu juga hanya sebatas proyek. Bila hal ini terus berlanjut, ketergantungan akan keberadaan dana-dana asing akan semakin kuat. Dan lembaga donor yang tahu kondisi ini akan memanfaatkannya untuk makin merepresifkan pendekatan dan pola hubungannya dengan negara atau institusi-institusi penerima donor.
Kekuatan internasional semacam itu seharusnya memberikan dukungan dan peluang daripada meberikan tekanan dan hambatan, seperti sanksi, propaganda, sikap permusuhan, konflik perbatasan, perang, ataupun tekanan financial internasional. Hal inilah yang terjadi pada hubungan lembaga pemberi donor dan negara penerima donor yang bersfat neokolonilaistik. Di dasar niat sebaik apapun kalau hubungan neokolonialisme yang terjadi, maka kemajuan dan perbaikan yang hakiki di negara-negara berkebang tak akan pernah tercapai. Sebab seperti hubungan neokolonialistik hanya akan melanggengkan gap antara negara maju dan negara miskin. Hanya akan memperkokoh struktur tidak adil antara centrum-pheriphery, serta menciptakan tatanan ekonomi politik internasional yang eksploitatif. Utamanya ketika kemajua (progress) telah menjadi bagian dari praktik hegemoni dan patokan sistem baku (modular form) yang harus dipatuhi, kapanpun dan dimanapun (Chatterjee, 1993 Blaut, 1993; Shohat dan Stam, 1994).
Pola hubungan antara lembaga pemberi donor dan penerima donor yang lebh egaliter dan emansipatoris sangat penting untuk segera di tegakkan agar proses operasional dari berjalannya peningkatan kapasitas sistem pemerntahan lebih smooth. Sebab para aktor yang menjadi sasaran untuk ditingkatkan kapasitasnya melakukan segala perbaikan atas dasar kesadaran dan kebutuhan mereka. Bkan sebagai kewajiban dan keharusan yang kerapkali merka lakukan atas dasar tekanan dan keterpaksaan. Sering kita melihat dalam skema proyek-peroyek di daerah yang mengatakan bahwa kalau daerah tertentu tidak berhasil mengimplementasikan modul proyek, maka daerah itu tidak akan mendapatkan proyek lagi.
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Fadillah Putra; 1- 14
10
Pernyataan ini bersifat ancaman dan koersif. Hubungan yang neokolonialis, dan dangkal. Sebab mereka tidak melihat secara mendalam apa sebab-sebab kegagalan suatu daerah dalam implementasi proyek terebur. Jangan-jangan memang ada yang salah dengan desain proyeknya.
Dalam SG pola hubungan interpersonal maupun interinstitusional antara pemberi donor dan penerima donor ini sangat penting. Penting untuk mendorong pada terciptanya capacity building, inovasi, kreatifitas dan responsivitas yang adaptif. Tiap-tiap daerah tentu memiliki keunikan sendiri-sendiri, maka perbedaan capaian adalah sesuatu yang wajar terjadi. Semua pihak yang terlibat harus terbuka dan egaliter untuk memahami persoalan dan bersama mencari solusinya. Yang terjadi selama ini adalah hubungan antara juragan dan buruh. Para buruh selalu diliputi rasa segan dan takut ketika berhadapan dengan juragan, takut di pecat dan takut tak lagi endapatkan gaji dari sanga juragan. Sehingga agar selamat dari amukan juragan para buruh berusaha sedapat mungkin membat juragan senang dan gembira. Caranya dengan memberikan laporan-laporan tentang hal-hal yang baik-baik dan menutupi hal-hal yang buruk. Sang juragan juga menikmati previllege ini. Senang ketika semua orang berusaha untuk membuatnya senang, meskipun dengan laporan-laporan fiktif dan palsu. Dan hanya akan marah-marah ketika kedapatan ada anak buahnya yang kurang berhasil dalam pelaksanaan tugas. Persis seperti hubungan penjajah dan terjajah. Dan kenyataannya, pola hubungan seperti ini di abad XXI masih cukup lestari di negeri kita tercinta. Tidak hanya antara bupati dengan para birokrat dibawahnya, tapi juga yang lebih memperihatinkan adalah antara lembaga-lembaga donor dengan pemerintah.
Hal inilah yang menjadi titik tolak SG dalam hal melakukan reformasi atas keberadaan dana-dana asing di negara-negara berkembang. Berbeda dengan kalangan Marxist ekstem yang selalu menolak mentah-mentah segala sesuatu yang datangnya dari World Bank atau IFIs, karena mnganggapnya sebagai agen neo-liberalisme yang selalu eksploitatif. Memang betul bahwa lembaga-lebaga tersebut mengemban misi neoliberal (Alavi, 1991), akan tetapi dalam konteks kekinian menolak mentah-mentah segala bentuk kehadiran mereka juga bukan pilihan gampang. Di samping itu, sikap penolakan mentah-mentah semacam itu juga tidak sejalan dengan solusi arif poskolonial, yaitu provisionalisme. Sebab di beberapa negara (Eropa Barat, Korea Selatan, Jepang, Taiwan dan Amerika Utara) harus diakui faktanya bahwa neo-liberalisme berhasil memajukan ekonomi mereka. Fakta tersebut sama validnya dengan kenyataan bahwa neoliberalisme juga memiskinkan negara di Afrika, Asia Tenggara dan Amerika Latin.
Pun SG berbeda dengan kelompok ekstrem kanan yang selalu dengan membabi buta mengatakan bahwa neo-liberalisme dan segala keturunannya (termasuk GG), adalah selalu baik dan ideal. Dan oleh karena itu satu-satunya plihan bagi negara-negara di seluruh dunia untuk menjadi sejahtera maka harus menerapkan neoliberalisme. Dua sikap ekstrem tersebut sama-sama kekanak-kanakan. Sehingga provisionalisme penting dalam rangka mencegah kita untuk bersikap anti-pati terhadap sesuatu hal. Strategi SG dalam menata ulang hubungan lembaga pemberi donor dengan penerima donor bukanlah semata ditunjukkan dalam sikap manis dan senyum ramah setiap kali bertemu. Tetapi juga harus nampak pada keramahan ideologis. Artinya, para petinggi World Bank dan IFIs lainnya berhentilah berskap seperti juragan dan memperlakukan negara-negara penerima dana sebagai hamba sahaya. Atau para konsultan lembaga asing yang merasa paling pintar dan paling mengerti atas kondisi yang dihadapi negara penerima donor.
Mungkin memang banyak informasi yang diketahui para petinggi di World Bank yang tidak diketahui masyarakat dan birokrat di Indonesia. Tetapi harus diingat bahwa sebaliknya,
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Fadillah Putra; 1- 14
11
banyak pula hal yang diketahui pelaku-pelaku lokal dan tidak di ketahui pejabat-pejabat World Bank. Terlebh dari pada itu, mungkin ada keyakinan ideologis yang kuat yang dimiliki IFIs dan itu berbeda dengan keyakinan ideologis para pelaku dilapangan. Bagaiana seharusnya kita menyikapi perbedaan-perbedaan ini? Satu kata saja; egalitarianisme. Egaliter dalam bersikap dan bernegosiasi atas informasi, nilai, kepentingan dan ideologi.
Inovasi Sebagai Inti Sound Governance
Hal kedua yang sangat menonjol atas jebaruan dari SG adalah pengutamaan adanya inovasi didalam kebijakan dan pelayanan publik. Dalam konsepsi pemerintahan mutakhir , inovasi dan kreatifitas adalah hal yang sangat penting yang harus dimiliki oleh setiap pemerintahan. Sebab, pemerintahan hari ini tidak lagi berhadapan dengan masalah dan realitas yang itu-itu saja. Apel pagi, rapat-rapat rutin, urusan surat-menyurat dan implementasi prosedur sudah bukan merupakan tugas inti dari sebuah pemerintahan. Pada saatnya sistem mekanis akan mengerjakan hal-hal membosankan itu. Pemerintahan modern berhadapan dengan banyak situasi yang kompleks dan kurang terduga sebagai akibat dari realitas yang makin terkoneksi secara ekstrem. Globalisasi bahkan membuat matriks kehidupan menjadi lebih rumit dari sebelumnya (Farazmand, 2004).
“Don’t rock the boat” adalah pepatah yang terlanjur mendarah daging dala tubuh birokrasi kita. Keadaan yang sudah ada telah membuat semua orang senang dan aman, maka janganlah sekali-kali mencoba untuk menggoyangkan perahu yang sudah tenang mengapung di tengah danau. Tapi ketenangan dan kenyamanan itu membuat perahu diam di tempat, tidak bergerak kemanapun. Kepentingan para birokrat untuk memperoleh rasa „aman‟ itulah merupakan tantangan terbesar dalam menumbuhkan inovasi di dalam tubuh pemerintahan. Sistem dan kebiasaan-kebiasaan yang sudah mengakar dalam proses birokrasi pemerintahan telah menciptakan resistensi yang sangat kuat bagi datangnya inovasi. Konfigurasi politik juga turut andil dalam proses pengerdilan inovasi. Kita telah sama-sama menyaksikan bagaimana dominasi tokoh-tokoh konservatif dalam kepemimpinan di tanah air. Kader-kader muda yang diharapkan dapat membawa inovasi tak bisa leluasa muncul ke dalam kancah politik tanpa menggantungkan karirnya pada tokoh-tokoh tua. Kebanyakan tokoh tua juga berperilaku mendikte pilihan dan langkah-langkah politik kaum muda. Kita bisa melihat betapa partai-partai politik besar hari ini sangat tergantung pada figur tokoh tua dan konservatif yang sangat hegemonik.
Sistem mapan birokrasi dan konfigurasi politik di Indonesia telah membuat banyak inisiatif inovasi mengalami proses penuaan dini dan layu sebelum berkembang. Secara psikis, perilaku politik para inovator ketika memasuki sistem menjadi tak dinamis dan cenderung mengekor pada tuntunan para patron, sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Pemimpin-pemimpin muda itu kemudian tercerabut dari akarnya. Keharusan untuk mengikuti „pakem‟ ketika memasuki sebuah sistem harus mulai dipersepsi sebagai mitos, atau setidaknya tantangan. Solusi yang ditawarkan oleh kosep Sound Governance adalah perubahan struktur pemerintahan yang berbasis pada fungsi (kompartementalistik) menuju berbasis pada klien. Dalam hal ini istilah TUPOKSI (Tugas Pokok dan Fungsi) adalah hambatan terbesar dalam reformasi tata pemerintahan. Menemukan solusi brilian atas masalah pokok yang dihadapi masyarakat dan mencari jalan yang lebih baik atas hal yang sedang berjalan, adalah tugas pokok yang diemban semua birokrat.
Inovasi tidak mesti harus bersifat revolusioner dan fragmentatif. Dalam level tertentu bisa saja inovasi adalah revisi atas sistem yang sedang berjalan serta masih dalam koridor
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Fadillah Putra; 1- 14
12
struktur perencanaan jangka panjang. Yang terpenting dalam inovasi tata pemerintahan adalah selalu adanya hal-hal baru (besar atau kecil) di dalam praktik birokrasi keseharian. Inilah saat di mana SG mngharapkan agar inovasi menjadi „rutinitas‟ baru di dalam birokrasi.
Inovasi yang diaksudkan dalam SG berada pada berbagai aspek dalam pelayanan publik. Di bidang teknologi dilakukan dalam hal menemukan teknik dan berbagai metoda baru dalam melancarkan berbagai proses perencanaan maupun pengantaran pelayanan publik. Di bidang pembangunan/pengelolaan sumberdaya inovasi diperlukan dalam hal menemukan cara yang tidak hanya efektif dan efisien melainkan juga membawa mafaat sebesar-besarnya bagi masyarakat. Inovasi dalam sistem komunikasi adalah terkait dengan makin terbukanya ruang publik sehingga memudahkan sarana dan prasaran komunikasi yang egaliter antara aktor-aktor dalam tata pemerintahan. Inovasi juga harus marak di dalam kegiatan-kegiatan operasional seperti di dalam pengelolaan organisasi dan manajemen, pelatihan, serta penelitian dan pengebangan. Tak hany di bidang teknologi, di bidang ideologi inovasi juga sangat diperlukan. Utamanya dalam membongkar berbaga paradigma lama tentang birokrasi yang rutin dan itu-itu saja yang masih kuat terbenam, menuju pada pemahaman birkrasi yang lebih dinamis.
Inovasi merupakan keniscayaan dari dunia yang global dan akin berubah secara cepat. Sebab dengan adanya perubahan globalisasi ini banyak asumsi-asumsi yang harus segera di koreksi sewaktu-waktu. Tidak mungkin, misalnya, dalam menysusn APBD kita hanya bergerak pada asumsi yang monoton dan hanya merubah angka sedikit dari anggaran-anggaran terdahulu. Sikap seperti itu sungguh jauh dari cita-cita birokrasi SG yang dinamis. Maka tanpa inovasi dan adaptasi pemerintahan dan proses pelayanan publik akan cepat rusak (soundless). Akan tetapi memang, inovasi harus didukung oleh kapasitas organisasi yang memadahi dan kemampuan organisasi itu mengimplementasikannya. Oleh karenanyalah dalam dimensi SG juga dicantumkan tentang pentingnya aspek organisasi dan institusi di dalam reformasi tata pemerintahan modern.
Inovasi dalam SG juga harus dsertai dengan kemampuan birokrasi yang tangguh dalam antisipasi dan luwes dalam melakukan pelayanan publik. Hal ini dikarenakan watak inovatif adalah mencakup juga kemahiran dalam melakukan prediksi, dalam pengertian mahir dan eli dalam memilih berbagai variable yang berpengaruh terhadap kondisi saat ini dan masa depan. Kemampuan itu akan membawa pada sikap antisipatif atas segala perubahan. Sehingga birokasi tidak mudah shock dalam menghadapi kondisi-kondisi yang penuh dengan serba kemungkinan yang ada di depan mata. Di samping itu, bila memang ternyata yang terjadi adalah sesuatu yang benar-benar di luar perhitungan, birorasi juga harus mampu dengan luwes beradaptasi dengan lingkungan baru. Situasi politik dan ekonomi dapat berubah setiap waktu, birokrasi harus dapat segera beradaptasi tanpa harus terfragmentasi. Istilah „ganti mentri ganti kebijakan‟ bukanlah sikap luwes yang diaksudkan di sini. Fleksibilitas artinya adalah dalam tataran teknis dan strategi, bukan fleksibel dalam tujuan dan komitmen. Hal ini juga yang ditegaskan oleh Golembiewski bahwa birokrasi harus digerakkan oleh komitmen bukannya kepatuhan. Watak birokrasi yang hanya mengekor pimpinan politik baru adalah watak birokrasi yang pengecut dan hanya mengandalkan kepatuhan tetapi tidak memiliki komitmen. Komitmen pada tujuan dasar pemerintahan, yaitu melayani kepentingan rakyat. Bukannya melayani kepentingan atasan.
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Fadillah Putra; 1- 14
13
Penutup
Demikianlah, demam good governance yang melanda UU no 25/2009 tentang pelayanan publik sebenarnya telah ditemukan boroknya di sana-sini. Terus terang saja, pembicaraan tentang hal-hal yang lebih teknis soal regulasi ini akan menjadi sedikit sia-sia bila masalah ideologisnya belumlah di bereskan. Pengaburan atas realitas dan kedangkanaln dalam memaknai hubungan antar lembaga dalam proses mengantarkan pelayanan publik masih sangat kentara tampak di dalam regulasi ini.
Namun, kabar baiknya, perbaikan ke depan bukanlah sesuatu yang mustahil dan sulit dilakukan. Piranti konseptual sudah tersedia di depan mata. Dengan menelaah lebih jauh akan pemanfaatan konsep baru dan paradigma baru yang disebut Sound Governance sedikit banyak memberika angin segar bagi terwujudnya mimpi-mimpi indah selama ini. Yang perlu dilakukan saat ini adalah sekedar memberi ruang bagi pendekatan baru yang progresif (Sound Governance) untuk tumbuh, dan membuka hati dan kerelaan bagi pendekatan lama (Good Governance) untuk runtuh. Demi makin baiknya pengantaran pelayanan publik di Indonesia ke depan.
DAFTAR PUSTAKA
Alavi, Hamza. 1991. The Structure of Peripheral Capitalism. London: Sage Publication Ltd
Andi, Yani, A. “Prilaku Politik Orang Bugis; Dalam Dinamika Politik Lokal. Tulisan ini Merupakan Pengantar Diskusi dalam Acara Peluncuran Buku “Manusia Bugis” Yang Ditulis Oleh Christian Pelras
Blaut, J. M. 1993. The Colonizer’s Model of the World: Geographical Diffusionism and Eurocentric History. New York-London: Guilford Press
Chatterjee, P. 1993. The Nation and Its Fragments. New York: Princeton University Press
Caufield, C. 1997. Masters of Illusion: The World Bank and the Poverty of Nations. New York: Henry Holt and Co
Daniel, Elton. 2001. The History Of Iran. Greenwood Press
Farazmand A. 2003. “Sound Governance in the Age of the Age of Globalization” in Ali Farazmand, (ed.) Sound Governance: Policy and Administrative Innovations (Westport, CT: Praeger, 2004) http://www.globalpolicy.org/socecon/bwi-wto/wbank/2003/0626blocks.htm
Farazmand, A. 1989. The state Bureaucracy and Revolution in Modern Iran: Agrarian Reform and Regima Politics. New York: Praeger
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Fadillah Putra; 1- 14
14
Herrera, R. 2004. Good Governance against Good Government? Tuesday 2 March 2004 http://www.alternatives.ca/article1144.html
IMF Survey. Vol. 35 No. 17-11 September 2006
Jones, R.J. (ed.). 2002. Bretton Woods system, Routledge Encyclopedia of International Political Economy. London: Routledge
Lobe, J., US Blocks Stronger African Voice at World Bank–NGO, Inter Press Service, June 26, Renzio, P., Good Governance and Poverty Some Reflections Based on UNDP'S Experience in Mozambique. New York: UNDP
Mansour, F. 2003. Bebas dari Neoliberalisme. Yogyakarta: Insist Pers
Mongia, 2007: “Contemporary Postcolonial Theory”. London: Arnold, 1996 Moore, D., “The World Bank”. University of KwaZulu-Natal Press
Shohat. E, Stam R. 1994. Unthinking Eurocentrism: Multiculturalism and Media. New York: Routledge
Tetzlaff, R., International Organizations (World Bank, IMF, EU) as catalyst of democratic values, rule of law and human rights – successes and limits, A discussion paper for the panel: “Survey of Civic Education and Human Rights Curricular Materials Disseminated by major International Organizations“ In Denver/Colorado September, 2006-09-13
World Bank. Equity and Development, World Development Report: 2006 (Oxford University Press, 2005), Overview, pp. 1-17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar