Jumat, 11 Mei 2012

Libidinal Economic dalam Media Televisi; Analisis Postmodernisme Dekonstruktif Televisi Indonesia

Oleh: Kamaruddin

Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X

Libidinal Economic dalam Media Televisi; Analisis Postmodernisme Dekonstruktif Televisi Indonesia 
Oleh: Kamaruddin*) 

Abstract Television in not only an electronic box which radiate blue cathode light, but also pandora box which stream violence and aggressive behaviour. Besides that, mystical and pornography programs are best seller by incoming big advertisement cake. By those program, it seems like local and global culture formed at the same time. Both dialectic are inseparable. But in this study the writer wants to express that all programs on television media dominantly influenced by capitalistic pattern by chasing big advantages without caring media effects. 

Key words; Media effect, local culture, television, postmodernism, media comercial 




Pendahuluan 

Menguatnya sinyalemen, bahwa televisi mengalirkan sebagian tindak kekerasan dan prilaku agresif ini datang dari American Academy of Pediatrics (AAP), sebuah institusi publik untuk pendidikan anak, demikian pendapat Agus Sopian dalam artikelnya Televisi Di Tengah Rimba Perawan dalam Koran Tempo, edisi Sabtu 28 Juni 2003. Kekerasan, pornografi, mistik dalam berbagai kemasannya telah menjadi primadona layar kaca sepanjang tahun 2006. Tayangan ini muncul dalam bentuk fisik dan berdampak psikis berupa perbuatan maupun kata-kata dalam tayangan sinetron, siaran berita, film, sampai tayangan olah raga (Kompas, 24/12/2006). Dominasi tayangan-tayangan yang berbau kekerasan, mistik, dan porno/seks dari waktu ke waktu menjadi pembahasan yang meramaikan diskusi kerisauan tentang televisi. roduksi dan reproduksi tayangan televisi yang berprinsip kapitalisme dan postmodernisme dekontruktif akan dan atau telah merusak tatatan sosial budaya anak bangsa. Berbagai penelitian dalam maupun luar negeri mengakui, siaran negatif televisi semacam itu memiliki pengaruh yang kuat pada anak dan remaja, terutama dalam perkembangan sosial budaya dan emosionalnya. Penelitian LIPI di Palembang dan Semarang juga mengamini besarnya pengaruh televisi terhadap anak dan remaja. Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), mencatat 700 kasus kekerasan terhadap anak telah terjadi selama 2005 juga tidak terlepas dari pengaruh media, khususnya televisi. Pada tahun 2000, Sparks dan Sparks (dalam Zillman, 2000), menyatakan bahwa tayangan kekerasan pada televisi memiliki implikasi berupa peningkatan perilaku agresif penonton. Salah satu bentuk perilaku agresif tersebut adalah menyakiti orang lain atau dirinya sendiri secara fisik. Jauh sebelumnya, Schramm, Lyle dan Parker (1961) telah menyatakan bahwa hubungan antara peningkatan kasus kejahatan yang mengimitasi tayangan kekerasan pada televisi bukanlah suatu kebetulan belaka. *) Staf Pengajar Prodi Komunikasi FISIP Univ. Malikussaleh Lhokseumawe NAD, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia 66
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
Peneliti Comstock dan Strasburger dalam Media Violence (dalam Lyotard, 1993), bahkan berani memberi data kuantitatif bahwa 10-20% kekerasan dalam kehidupan sehari-hari kemungkinan distribusi oleh permainan video dan televisi. Asumsi mereka sekaligus meneguhkan hasil penelitian sebelumnya tentang kekerasan media, sebagaimana ditunjukkan Albert Bandura dari Universitas Stanford dengan eksperimennya yang menggunakan Boneka Bobo, atau George Gerbner dari Universitas Pennsylvania dengan teori kultivasinya. Tapi, sesungguhnya apa yang dimaksud dengan kekerasan itu? Sejumlah peneliti dari empat universitas terkemuka di Amerika Serikat (Universitas California, Universitas Texas, Universitas Wisconsin, dan Universitas North Carolina) menggalang konsorsium riset pada medio 1990-an silam. Riset selama tiga tahun ini dilakukan terhadap 23 stasiun televisi, dengan melibatkan sampel 2.693 program yang berdurasi total 2.737 jam. Hasilnya, mencengangkan. Dalam National Television Violence Study (1998), mereka antara lain melaporkan, sekitar 60% program siaran televisi di Amerika berisi material kekerasan. Ironisnya, persentase terbesar justru berasal dari tayangan buat anak-anak. Definisi Kekerasan dan Realitas Tayangan Televisi Definisi menurut para peneliti media atas kekerasan terbilang sangat canggih. Kekerasan tak hanya ditunjukkan oleh rebahnya sesosok tubuh dengan sekian peluru bersarang di dalamnya. Kekerasan juga diperlihatkan oleh material tayangan perkosaan, perilaku kecerobohan dan serampangan, percikan dan genangan darah, kecelakaan, wajah babak-belur korban ke- kerasan, bahkan kerusakan pada korban nonmanusia. Sekiranya kita berendah hati untuk memanfaatkan definisi kekerasan dari studi tadi, segera kita dapat menemukan betapa bertaburannya kekerasan dalam televisi kita: dari sinetron sampai telenovela, dari film laga sampai film kartun, dari tarung bebas sampai adu panco, bahkan dari tayangan kuis sampai klip musik. Material kekerasan juga terelaborasikan dalam simbol-simbol bahasa. Sebagai muasal kekerasan, televisi tak hanya berperan sebagai medium, yakni sekadar penayang tontonan bikinan rumah-rumah produksi dan perusahaan film. Televisi kita pun telah memperlihatkan kemampuannya sebagai produsen. Simak saja footage berita televisi selama ini. Anda pasti akan menemukan kepingan-kepingan gambar yang memperlihatkan rongsokan kendaraan bekas tabrakan, peristiwa kebakaran, penggerebekan terhadap rumah-rumah pelacuran atau bandar narkotika, tubuh tersangka pelaku kejahatan yang babak-belur, atau sosok mayat dalam kondisi menggenaskan. Tayangan-tayangan program khusus berita kriminal, yang marak diproduksi berbagai stasiun televisi, ikut mempertebal konteks itu. Sekedar contoh, kita bisa menyebut Sergap (RCTI), Buser (SCTV), Patroli (INDOSIAR), Sidik (TPI), Kriminal (Trans TV), Tajuk Kriminal (TELEVISI7), atau Sidik Jari (ANTV). Ini dalam berita-berita berdurasi pendek. Dalam durasi panjang, kode-kode kekerasan berloncatan, antara lain dari Derap Hukum (SCTV), Fakta (ANTV), Investigasi (LATIVI), Cedera (TPI), atau Jejak Kasus (INDOSIAR). 67
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
Saking dramatiknya situasi yang dibentuk, sepintas tayangan-tayangan berita itu tiada beda dengan film. Kita bisa menyaksikan adegan kejar-kejaran aparat kepolisian dan tersangka pelaku kejahatan, dengan klimaks letusan pistol dan robohnya tersangka. Efek drama ditunjang oleh close up wajah tersangka yang meringis melawan sakit, interogasi aparat, serta bercak-bercak darah di lubang bekas terjangan peluru. Terkadang kita ―mengagumi‖ reporter televisi yang hadir secara omni-present di tempat kejadian pada saat peristiwa berlangsung. Namun, di balik kekaguman ini, tersimpan sejumlah pertanyaan yang menggantung di benak. Apakah berita itu lahir dari fakta sebagaimana adanya, atau fakta yang diatur? Apakah gambar itu tercipta dari peristiwa murni on the spot, atau apa yang disebut Lippmann, "lingkungan palsu" (pseudo environment). Lingkungan palsu dibentuk oleh kemalasan kita sehingga maunya mengambil jalan pintas dari situasi yang dirasa rumit, serta ketakutan kita dalam menghadapi fakta-fakta yang sebenarnya. Dari beberapa kasus ada anasir (kabar angin) yang menyebutkan bahwa adakalanya pemberitaan sedramatik itu lahir dari skenario rancangan polisi dan wartawan. Simbiosis mutualisme terbentuk di sini: polisi perlu memperlihatkan prestasi kerjanya, dan wartawan butuh berita. Namanya juga kabar angin, barangkali publik tak perlu mempercayainya. Bagi publik penonton televisi, kabar semacam ini pada akhirnya, mungkin bisa digunakan untuk tak terlampau kagum pada jurnalisme televisi, selain signifier untuk memahami cetak biru sistem penyiaran global. Di layar kaca, berita bukan semata produk jurnalisme, tapi juga hiburan. Kunda Dixit (1997) menamainya menuggets, berita tanpa tulang. Berita seperti ini dibuat dengan konsep sederhana; bahwa berita harus dapat dijual. Menuggets mengacu pada sistem produksi layaknya waralaba hamburger. Berita diproses dan dikemas dalam konsep penyiaran global untuk konsumsi denominator terendah berdasarkan survei pasar. Berita beginian, alih-alih membawa kita (publik) pada pengertian yang lebih baik, justru tak memungkinkan kita untuk memahami realitas sekaligus membawa kita lebih dekat pada pintu kebenaran. Kontras dengan Amerika, sebebas-bebasnya sistem penyiaran di sana, publik terlindungi oleh seperangkat aturan yang bisa menjadi ―palu godam‖ bagi stasiun televisi. Sebut saja Fairness Doctrine yang mewajibkan televisi untuk tunduk pada kebenaran dalam tayangan-tayangannya. Ada juga Right of Reply berupa kewajiban televisi untuk menayangkan pandangan oposan terhadap editorial ketika televisi dinilai hanya menyampaikan berita dari satu sisi saja. Daftar aturan masih bisa diperpanjang oleh Free-Speech Limits on Broadcasting atau Self Regulation. Belum lagi kebijakan V-Chip yang memberi keleluasaan pada penonton untuk menghapus tayangan kekerasan di televisi. Lebih dari itu, broadcaster mana pun akan kehilangan haknya untuk mendapat perlindungan negara di bawah amendemen pertama – payung konstitusi kebebasan berbicara yang selama ini jadi dasar kebebasan isi media – sekiranya broadcaster memproduksi material fitnah, cabul, serangan pribadi, atau menghasut huru-hara. Masyarakat pertelevisian pun masih punya keinginan untuk melakukan otokritik. Jangan lupa, uang jutaan dolar yang digunakan konsorsium riset National Television Violence Study itu tak jatuh dari 68
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
dari langit begitu saja. Riset prestisius ini memang sepenuhnya dibiayai oleh asosiasi televisi komersial di sana. Mereka membayar orang untuk menampar muka mereka sendiri. Televisi telah menjadi referensi mereka untuk berinteraksi, menjadi acuan bagaimana bersikap dan berperilaku dalam kelompok bermain, yang kadang bertentangan dengan hal-hal yang lebih bersifat tradisional, normatif dan religius yang berasal dari orangtua, sekolah, atau budaya tempat mereka tinggal. Pada kebanyakan anak dan remaja, televisi sudah menjadi pilihan hiburan yang utama. Menurut Yayasan Konsumen Anak Indonesia (YKAI), di kawasan Asia-Pasifik, lebih dari 90% rumah tangga memiliki televisi dan anak dan remaja menonton televisi antara 2-5 jam sehari. Sementara, survei YKAI terhadap anak-anak di Jakarta dari golongan ekonomi menengah ke bawah menemukan angka jumlah jam menonton televisi antara 30-35 jam dalam seminggu. Ini adalah sebuah angka yang tidak bisa dikatakan sehat untuk dikonsumsi anak dan remaja, terlebih, mengingat muatan sebagian besar acara televisi, baik impor maupun produksi lokal, tidak mendidik dan tidak pantas dikonsumsi mereka. Dekonstruksi Tayangan Televisi Sebuah realitas yang niscaya ketika televisi-televisi komersial (kapitalis) lebih mengutamakan bisnis. Ketika fungsi komersial/kapital televisi lebih menonjol, maka yang muncul adalah terjadinya pengabaian hak-hak publik untuk mendapatkan tayangan yang berkualitas demi rating yang tinggi. Tayangan beraroma kekerasan, mistik dan seks, yang lebih mengundang iklan. Fenomena popularitas tayangan televisi swasta seperti goyang ngebor Inul, acara gosip dan remeh temeh dunia selebritis, acara bernuansa mistik-klenik, kriminalistik-sadistik, dan erotik/tanda-tanda seksualitas yang memabukkan, metafora-metafora iklan yang menggoda, Acara Fenomena (TRANS TV), Tabir Malam dan Komedi Tengah Malam (LATIVI), Nah Ini Dia (SCTV), Hitam Putih (INDOSIAR), Om Farhan di (ANTV), skandal Maria Eva dan Yahya Zaini, video porno Bandung Lautan Asmara, dan sebagainya, diberitakan nyaris tanpa sensor. Selanjutnya Tayangan mistik/klenik misalnya Gentayangan (TPI), Dunia Lain (TRANS TV), Ekspedisi Alam Gaib (TV 7), Pemburu Hantu (LATIVI) serta dalam bentuk sinetron seperti Mak Lampir, Rahasia Ilahi, Jaka Tingkir, Jaka Tarub, Kaya Mendadak, Sibuta dari Gua Hantu, Pintu Hidayah, Misteri Dua Dunia, Malam Jum’at Kliwon, Ilmu Pelet Membuat Gila dan sebagainya. Bentuk kekerasan seperti acara TKP, Buser, Sidik, Brutal, Smackdown, Patroli, Saksi Mata, Bidik dan lain sebagainya, kiranya mewakili deretan panjang tayangan televisi yang tidak konstruktif. Fenomena ini, tentu harus dilihat dengan kacamata baru. Ini dapat dilihat pada akar budaya masyarakat kita sendiri di mana cara berpikir mitos, tradisi lisan, gosip masih mendominasi. Selain itu, tentu masalah sistem sosial budaya dan ekonomi serta hukum kita yang tidak mampu memilah terpaan budaya kapitalisme dan postmodernisme dekonstruktif tersebut. Masalahnya, kapitalisme dan postmodernisme dekonstruktif dengan iklim persaingan ekonomi sistem kapitalime global di negara kita sudah menjadi trend. 69
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
Prinsip ini telah menciptakan ruang terbuka luas bagi pembiakan budaya porno, budaya kekerasan, bahkan masyarakat mencari yang berbau miskti-klenik dan mitos, akhirnya terbentuk kondisi yang mengarah pada pembiasan (naturalization) terhadap hal tersebut. Lingkungan sosial budaya baru yang secara dramatis ditransformasikan oleh televisi, telah menciptakan suatu bentuk interelasi dan integrasi global yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya dalam sejarah manusia. Fenomena seksualitas, misalnya dalam budaya media merupakan penanda dari kreativitas dekonstruktif pekerja media untuk membentuk citra sosial. Bahwa seksualitas adalah energi tanpa batas dari media yang menutup rasa kebosanan. Dalam sejarah seksualitas manusia, pentabuan merupakan jalan terbaik untuk membungkam seks. Tapi sebagai komoditas, seks adalah energi yang selalu mengalami transformasi terus-menerus dalam historisitas kemanusiaan. Piliang dalam Postrealitas 2004, mengungkapkan bahwa fenomena pornogafi, mistik-klenik dan kekerasan dalam prisma kaca televisi kita, semakin meluas. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari bagaimana berbagai prinsip, konsep, pandangan dunia (world view), makna dan nilai-nilai yang berasal dari filsafat modernisme bahkan postmodernisme memberi bentuk pada media. Sehingga ia melampaui (hyper) melampaui batas-batas moral, norma, etika, budaya, adat dan agama. Penggunaan tubuh wanita juga tidak bisa terlepas dari kapitalisme-sebagai sebuah ideologi ekonomi. Kearah apa yang disebut sebagai libidonomi, yaitu sistem ekonomi yang didalamnya terjadi eksploitasi secara ekstrim segala potensi libido sebagai komunitas, dalam rangka mendapatkan keuntungan maksimal (added value). Ideologi libidonomi kapitalisme menjadikan tubuh dan segala potensi libido-nya- sebagai titik sentral dalam produksi dan reproduksi ekonomi serta pembiakan kapital. Bahwa ada sebuah efek sinergis yang kuat antara kapitalisme sebagai sistem ekonomi politik dan postmodernisme sebagai sebuah sistem pemikiran budaya, menjadi sebuah elemen yang sentral dalam produksi benda-benda komoditi dalam media. Tubuh wanita khususnya tidak saja dijadikan komoditi, akan tetapi juga sebagai metakomoditi yaitu komoditi yang digunakan untuk menjual komoditi lainnya. Dalam wacana kapitalisme tidak saja dieksploitasi nilai gunanya (use vilue) pekerja, prostitusi, pelayan; akan tetapi juga nilai tukarnya (exchange vilue) seperti gadis model, gadis peraga, hostess, dan juga nilai tandanya (sign vilue) seperti erotic magazine, erotic art, erotic video, erotic photogafi, erotic film, erotic vcd, majalah porno, video porno, vcd porno, film porno, cyber-porno dan lainnya. Eksploitasi tersebut berlansung mengikuti model-model pembiakan atau pelipatgandaan secara cepat, baik dalam cara, bentuk, varian, teknik, maupun medianya. Allan Bullock (1988), dalam The Fontana Dictionary of modern Thought, mendefisinikan pornografi sebagai bentuk representasi yang tujuannya adalah untuk menghasilkan kepuasan seksual. Juga didefinisikan kembali oleh Bracher dan Lacan (1993) dalam Discource and Sosial Change, lebih melihat pornografi dari kacamata feminisme. Penggunaan refresentasi perempuan dalam rangka memanipulasi hasrat (desire) orang yang melihat, yang didalamnya berlangsung proses degradasi perempuan dalam 70
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
statusnya sebagai objek seksual laki-laki. Berdasarkan teori psikoanalisis yang dikembangkan oleh Freud dan Lacan, di dalam pornografi, citra (image) dan gambar mempunyai peran yang sangat besar dalam menimbulkan rangsangan maupun kepuasan seksual, dari cara ia ditampilkan bentuk, pose, posisi, sikap, kata-kata (vulgaritas bahasa) dan ekspresi. Hal ini tentu disebabkan oleh rendahnya standar atau selera rendah (bad-taste) atau sampah artistik media, yang berkibat pada pendangkalan estetik dan informasi. Pornografi merupakan bagian dari selera rendah tersebut. Secara etimologis istilah porno dalam bahasa Yunani berarti prostitusi pada tingkatnya paling rendah. Seringkali pihak media berdalih, bahwa gambar yang ditampilkannya bukanlah sebuah pornografi, melainkan sebuah seni. Padahal, seni mempunyai batasan dan kriteria yang jelas mencakup kualitas, standar atau mutu tertentu. Kelompok Frankfurt School, seperti Adorno, Horkheirmer dan Haug, menekankan bagaimana seksualitas dan sifat nafsu rendah menjadi bagian utama dari apa yang mereka sebut industri budaya (culture industry), yaitu sebuah kebudayaan yang selalu berproduksi di dalam domain seksualitas. Haug menggunakan istilah teknokrasi seksualitas, untuk menjelaskan bagaimana nilai-nilai budaya – misalnya nilai estetik, norma – ditopengin oleh nilai-nilai sesualitas, glamour dan erotisme. Yang terjadi adalah erotisasi kebudayaan dan sensualitas otak, yaitu disaratinya otak dan kebudayaan oleh berbagai bentuk sensualitas atau pornografi. Sepertinya media sulit melepaskan diri dari iklim pornografi dan sensualitas. Berbagai nilai yang dibawa oleh postmodernisasi telah membuka uang lebar bagi perkembangan, pembiakan dan produksi siaran berbagai bentuk hasrat lewat pornografi. Tidak hanya itu, proses dehumanisasi tampaknya sedang berlangsung secara besar-besaran. Drama kekerasan terus melanda bangsa ini. Dari bentuk dunia fiksi ke dunia nyata.Citra kekerasan televisi, video, video game, cyberspace, komik, majalah, koran dan mainan anak sarat dengan muatan kreativitas yang dekonstruktif. Kekerasan media telah mengkonstruksi bentuk kekerasan lain dalam dunia anak dan remaja. Berbagai bentuk kekerasan, kecabulan, kelicikan, keserakahan, mistik yang dikonstruksi oleh orang dewasa ke dalam dunia mereka, telah melenyapkan batas antara dunia mereka dengan dunia orang dewasa. Ada pemaksaan struktural dunia dewasa melalui media, yang kini justru dianggap sesuatu yang normal. Dalam pandangan Dieter Lenzen, dunia anak dan remaja sesungguhnya telah mati—the death of the children world. Erich Fromm dalam The Anatomy of Human Destructiveness, menyebutnya sebuah tindakan ekstasi penghancuran. Heidegger di dalam Discourse on Thinking, menyebut manusia yang tidak mampu menggunakan akal sehat ini sebagai manusia yang terjerat dalam ketidakberpirakan (thoughtlessness). Bagi John Gunn dalam Violence in Human Society, mengatakan bahwa bencana krisis kemanusiaan dalam sebuah masyarakat terjadi bila ikatan positif atau perekat sosial, kultural, spiritual telah hancur. Peter L. Berger dan Thomas Luckman dalam The Sosial Construction of Reality, mengatakan bahwa apa yang kita terima sebagai realitas, sebagai pengetahuan, semua dikonstruksikan secara sosial oleh 71
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
media. Menurut Anderson, reality isn’t what it used to be. Bahwa apa yang diproduksi oleh media sebagai tanda dapat menjadi tandingan terhadap realitas yang direfresentasikan—realitas media kini menjadi semacam realitas kedua. Anthony Gidden menyebutnya sebagai sistem ahli, yang mengendalikan pikiran, selera, kesadaran, dan keyakinan mayoritas manusia. Bagi Miller di dalam Material Culture and Mass Consumption, sebuah obyek sosial dan kebudayaan tidak merupakan objek yang berdiri sendiri, terlepas dari manusia. Ada proses dialektika objek-subjek atau objectification, di mana manusia melakukan eksternalisasi – muncul kreasi-kreasi proses internalisasi penanaman makna objek ciptaan. Bila yang diinternalisasikan itu makna-makna destruktif, maka makna tersebut menjadi dasar bagi kreasi-kreasi destruktif. Untuk lebih melihat iklim media kita, kecenderungan pada postmodernisasi yang bersifat dekonstruksi-kapitalisme lewat budaya komoditinya –dibandingkan postmodernisme rekonstruktif yang bersifat positif. Yaitu lebih kepada penentangan akan segala bentuk otoritas, pengekangan, dan pembatasan seperti hukum, aturan, adat-istiadat, norma-norma agama, demi untuk memperoleh kebebasan berekpresi dan pembebasan hasrat secara total. Yang menghancurkan dan mencerai-beraikan otoritas (hegemoni) dan kekuatan, baik yang ada dalam keluarga, tabu, adat, norma, negara, agama. Sistem ekonomi politik kapitalis seperti dikemukan oleh J.F. Lyotard dalam Libidinal Economic, bahwa setiap orang harus dapat mengeksplorasi dan memamerkan setiap rangsangan libido, untuk mendapatkan keuntungan ekonomi maksimal. Budaya harus bersifat afirmatif dan permisif. Dekonstruksi Postmodernisme; Problem Dilematis dan Filosofis Tubuh perempuan akan bernilai ekonomis, misalnya, apabila dapat diproduksi dan direproduksi sebagai nilai tukar lewat berbagai bahasa tanda (bodily sign), yang dapat menyertai tawaran sebuah komuditi, misalnya mobil, motor, lemari es, makanan, sepatu, baju dan lain sebaginya. Semakin seksi dan berani cover girl dalam sebuah iklan misalnya, maka nilai tukarnyapun semakin tinggi dalam pasar libido secara ekonomis dengan prinsip kapital. Yang terjadi adalah budaya ketelanjangan, tubuh menjadi obyektivitas ekstrem yang meninggalkan batasan moral, sosial dan spiritual. Tidak ada lagi nilai subyektivitas, seperti privasi, rahasia, rasa malu, tabu, risih atau rasa berdosa. Batas-batas antara ruang privat dan ruang publik yang selama ini membatasi, kini telah didekonstruksi. Domain privat seperti aurat, kemaluan, organ, tubuh, seks kini dipertontonkan dalam domain publik dan menjadi milik publik, jadilah kita sebagai masyarakat cabul – society of the obscene. Harland menyebutnya antisosial yaitu tidak bertanggungjawab secara sosial. Celakanya, budaya postmodernisme dekonstruksi mendapat respon yang antusias dari berbagai kalangan di Indonesia; anak muda (youth culture), dengan seks bebas, pesta seks anak baru gede (ABG), seks sekolahan, pelacuran diberbagai sudut kota, narkotika menjadi pelampiasan. Para pengusaha (kapitalis) menggunakannya untuk mengikatkan daya tarik komoditi; gadis iklan, foto model, gadis pajangan, prostitusi, gadis pangilan, panti pijat plus-plus dan lainnya. Media mengunakan untuk meningkatkan daya tarik dan rating. Bahwa sesungguhnya 72
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
ada berbagai dimensi yang hilang dalam masyarakat kita; dimensi rahasia, rasa malu, tabu, norma, adat, rasa berdosa, dan dimensi spiritual. Digantikan dengan dimensi ketelanjangan, ketidakacuhan, sekularitas, materialistis, individualistis dan lain-lain. Meminjam pendapat Idy Subandi Ibrahim (1997), dalam sebuah buku Hegemoni Budaya, bahwa dari berbagai peristiwa yang kita saksikan lewat prisma berita global, ternyata dunia yang kita bayangkan bukanlah wajah dunia yang penuh kedamaian dan tanpa kegelisahan. Tapi, malah kejutan-kejutan yang kita dapatkan. Lalu, bagaimana kita harus menghadapi berbagai kekhawatiran dan ketidakpastian ini. Dilematis memang, antara kebebasan/moralitas, pertumbuhan/tradisi, kreativitas/norma dengan libidinal economic media. Namun dari segi filosofi, media harus dirubah dari dekonstruksi yang antikeluarga, antiwahyu, antikonvensi sosial, yang melahirkan budaya materialisme, hedonisme dan konsumerisme, menjadi konstruktif. Menumbuhkan budaya counter-violence, perlu adanya budaya dialogisme ketimbang potret persaingan kapitalistik. Perlu dikembangkan kreativitas konstruktif mengantikan kreativitas destruktif. Juga, dikembangkan budaya tanding melalui komunitas-komunitas untuk menghambat arus tersebut. Perluasan sikap melek media dalam masyarakat/the critical majorities. Seperti Komitmen KPI mulai Januari 2007, televisi sudah tidak ada lagi tayangan pornografi dan pornoaksi dan kekerasan mesti ditaati. Dikatakan Ade Armando anggota KPI saat itu, isi siaran televisi tidak mengganngu publik lewat tayangan ketelanjangan kekerasan dan pornografi, ini sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Kalangan industri media televisi, tentu membutuhkan waktu yang cukup untuk sosialisasi aturan tersebut, baik secara internal sepeti rumah produksi, biro iklan, artis, stasiun televisi dan asosiasi televisi. Juga secara ekternal pihak KPI, kepolisian, akademisi dan elemen masyarakat sipil yang peduli terhadap kondisi tersebut mesti terlibat dalam proses sosialisasi. Media disarankan seharusnya mampu menjalankan fungsi kultural yang tidak lepas dari karakteristik ruang publik dan menjaga agar hak dan kepetingan publik terpenuhi. 


Penutup 

Kehadiran media publik secara ideal mampu mendidik publik dengan nilai-nilai budaya yang menggerakkan orientasi negatif ke positif, etika jurnalistik harus dipakai (dalam Kompas, 21/12/2006). Institusi media seharusnya menyadari bahwa ketika fakta hendak disampaikan kepada publik, strategi pengemasan berita harus dilakukan dengan berpegang pada etika, juga estetika. Tetapi, bukankah media/televisi juga mengemban tugas sosial, yaitu turut mendidik dan mencerdaskan publik melalui tayangan-tayangannya? Bukan lantas mengumbar hasrat pasar/kapitalisme demi keuntungan demikain Harian Kompas menulis, menyikapi fenomena tersebut (11/8/2003). Mudah-mudahan ini menjadi catatan berharga, agar televisi Indonesia dapat merenungkan kembali (instrospeksi) dan menyadari manfaat sekaligus bahaya (dampak negatif) yang bisa ditimbulkannya. Barangkali inilah saatnya televisi Indonesia untuk dapat ―berubah‖ dan mengurangi kekuatan serta pengaruhnya 73
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
bahwa butuh proses yang panjang bagi televisi untuk menjadi pembela dan sebagai ―pendekar berwatak jahat‖, walaupun juga harus disadari semua pihak, penegak kebenaran sesuai dengan filosofi dan fungsinya sebagai media massa yang memancarkan suara (audio) sekaligus menampilkan gambar (visul) begerak.


Daftar Pustaka 

Baudrilard, Jean. 1990. Mass Media Culture. Pluto Press. Bullock, Allan. 1998. The Fontana Dictionory of Modern Thought. Fontana Press. Lyotard, J.F. 1993. Libidinal Economic. London: The Athlone Press. McQuail, Denis. 1996. Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Edisi Kedua (Terjemahan). Jakarta: Erlangga. McQuail’s, Denis. 2000. Mass Communication Theory. London: Sage Publication. Pilliang, Amir Yasraf. 2004. Postrealitas. Jakarta: Jalasutra. Rivers, L. William, 2004. Media Massa dan Media Massa Modern. Edisi Kedua (Terjemahan). Jakarta: Prenada Media. Sopian, Agus. 2003. Televisi di Tengah Rimba Perawan. Artikel dalam Koran Tempo Edisi 28 Juni 2003. Jakarta: Koran Tempo. Suratkabar: Kompas, Edisi 11 Agustus 2003. Kompas, Edisi 21 Desember 2006. Kompas, Edisi 22 Desember 2006. Kompas, 24 Desember 2006. 74

Tidak ada komentar:

Posting Komentar