Jumat, 11 Mei 2012

Inkonsistensi Partai Politik dalam Penerapan UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum

Oleh: Achmad Akmaluddin

Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899X
31
Inkonsistensi Partai Politik dalam
Penerapan UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum
Oleh: Achmad Akmaluddin1


Abstract

Preceded by a concept named democracy that means form or governmental system of a country in order to implement people sovereignty (citizen authority) on state to be implemented by its state government. One of democracy pillar is trias politica principle (budihardjo, 2003:151-156), it divides state politics authority (executive, yudicative, and legislative) and formed into three equal and independent state institutions. Equality and independent of these three institutions is needed in order to control each other. Trias politica implementation preceded by institutionalizing politics through general election.
Key words; Political party, general election, democracy



Pendahuluan

Pemilu adalah sebuah mekanisme politik untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan warga negara. Setidaknya ada empat fungsi pemilu (Hikam, 1999 : 16) antara lain: Legitimasi Politik, terciptanya perwakilan politik, sirkulasi elite politik dan pendidikan politik. Melalui Pemilu, legitimasi pemerintah/penguasa dikukuhkan karena ia adalah hasil pilihan warga negara yang memiliki kedaulatan. Demos memegang kekuasaan tertinggi atau kewenangan tertinggi untuk mengatur legislasi dan fungsi-fungsi yudisial. Konsep Athena atas “kewarganegaraan” mengharuskan warga negara memiliki peran dan fungsi-fungsi ini, dengan berpartisipasi langsung dalam urusan negara (Heald, 2007 : 5-6).
Sampai tahun 2004, Indonesia telah menyelenggarakan delapan kali pemilihan umum. Pemilu untuk pertama kalinya diselenggarakan tahun 1955. Setelah itu ada masa vakum yang cukup lama (kurang lebih enam belas tahun) sampai diselenggarakan pemilu kedua pada tahun 1971. Pemilu kedua ini digelar dalam konteks politik yang berbeda, karena ada proses transfer kekuasaan dari rezim Soekarno ke rezim Orde Baru pada tahun 1966. Rezim Orde Baru cukup konsisten menjalankan pemilu secara regular- lima tahunan- mulai dari dari 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan terakhir 1997.
Setelah era kekuasaan Orde Baru berakhir tahun 1998, maka penyelenggaraan pemilu dipercepat dari jadwal yang seharusnya, tahun 2002. Namun, perubahan konstelasi politik, memaksa Presiden Habibie untuk menyelenggarakan Pemilu pada tahun 1999. Pemilu 1999 diikuti oleh pergelaran pemilu untuk ke sembilan kalinya pada tahun 2004. Pemilu 2004 mempunyai nuansa yang berbeda agak berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, karena disamping memilih anggota legislatif, pemilu 2004 juga memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Pemilu Tahun 1999 (Harjanto, 2006 : 56) menjadi awal kemajuan kualitas demokrasi di Indonesia setelah terbelenggu dalam sistem politik otoritarian sejak demokrasi terpimpin hingga rezim orde baru. Untuk menempuk konsep demokrasi yang ideal memang membutuhkan proses yang panjang, hal ini dapat dilihat dari perubahan-perubahan sistem pemilihan yang digunakan dalam pelaksanaan Pemilu khususnya untuk anggota DPR dan DPRD Propvinsi serta DPRD Kabupaten/Kota.
1 Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP UNBARA
Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899X
32
Terhitung sejak pemilu 1999, berdasarkan UU No. 3 tahun 1999, Sistem Pemilu 1999 menggunakan sistem proporsional dengan sistem stesel daftar. Pemilu tahun 1999 terbilang lebih demokratis ditandai dengan diikuti oleh 48 partai dan berlangsung dengan aman meskipun dalam penghitungan hasil akhir terdapat sedikit perdebatan mengenai stembus accoord kursi yang tersisa.
Pada Tahun 2004, Berdasarkan UU No.12/2003, sistem yang digunakan dalam pemilihan legislatif adalah sistem proporsional dengan daftar terbuka (ps.6 ayat 1). Dalam sistem ini (Awar, 2007:93, selain dicantumkan lambang partai sekaligus daftar nama calon legislatif. Dengan demikian, para pemilih dapat memilih partai dan calon yang dikehendaki. Melalui sistem pemilu proporsional dengan daftar terbuka, masyarakat pemilih tidak lagi hanya mencoblos tanda gambar partai, tetapi boleh memilih orang dari masing-masing kontestan. Parpol dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya 120% dari jumlah kursi satu daerah pemilihan (ps. 65 ayat 2). Daftar calon yang diajukan oleh parpol disusun berdasarkan nomor urut yang ditetapkan parpol sesuai dengan tingkatannya (ps. 67 ayat 3).
Sistem pemilu proporsional dengan daftar terbuka dapat menghindari bias terhadap parpol kecil yang merupakan salah satu kelemahan sistem distrik. Artinya, suara yang diperoleh partai tidak serta merta hangus dan sia-sia jika tidak memenuhi bilang pembagi. Secara teknis, sistem ini juga memperingan beban calon dalam meniti karir di partai politik. Selain itu, partai politik tidak bisa sewenang-wenang menetapkan calon terpilih kecuali jika suara tidak memenuhi BPP. Dengan demikian, akuntabilitas calon terhadap pemilihan dan daerah pemilihan jauh lebih besar dibanding pemilu sebelumnya.
Pemilu tahun 2009 sudah di depan mata, perangkat aturan Pemilihan Umum dimuat dalam UU Nomor 10 tahun 2008. Besar harapan dalam pemilu 2009 sistem yang digunakan adalah sistem proporsional terbuka, sebab pemilu 2004 dengan sistem proporsional tertutup belum mampu menghasilkan anggota legislatif yang berkualitas dan mewakili konstituen. Harapan masyarakat untuk mengikuti Pemilu yang lebih berkualitas tampaknya masih tertunda, elit-elit partai di tingkat pusat belum siap bersaing secara kompetitif dengan elit-elit lokal sehingga dengan kewenangan yang dimilikinya DPR menetapkan UU Nomor 10 Tahun 2008 tepatnya pasal 214 yang memuat Sistem Proporsional Terbatas.
Ketidak tegasan pasal 214 dalam hal penetapan calon, menimbulkan prediksi akan terjadi konspirasi dalam penyusunan daftar nama calon anggota legislatif. Hal ini menjadi wajar, karena untuk memperoleh 30% BPP bukanlah hal yang mudah. Berbagai spekulasi tentang kesemrautan penetapan calon ternyata terbukti, selama proses pendaftaran calon berlangsung terjadi perebutan nomor urut, meskipun telah diatur ketentuan BPP 30%. Bebagai fenomena perebutan nomor urut terjadi mulai dari tingkat Kabupaten/Kota hingga tingkat Nasional.
Uraian di atas memberikan gambaran yang masih buram bagi percepatan proses demokrasi politik di Indonesia. Terkait dengan penyelenggaraan Pemilu 2009 yang akan datang yang menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana konsistensi partai politik dalam penerapan UU No 10 Tahun 2008? Bukankah Mereka (Baca: Partai Politik) yang telah membuat UU tersebut, tetapi mengapa justru mereka sendiri secara bersama-sama melanggar Produk Hukum yang telah mereka perjuangkan?
Kontroversi Penerapan Suara Terbanyak
Sejumlah partai politik memutuskan untuk menggunakan suara terbanyak dalam mekanisme menentukan anggota legislatif terpilih. Keputusan ini paling tidak diambil oleh Partai Amanat Nasional, Partai Bintang Reformasi, Partai Golkar, dan Partai Demokrat
Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899X
33
(Piliang, Sinar Indonesia, Selasa:18 Agustus 2008). Selain empat Partai yang telah menetapkan mekanisme suara terbanyak beberapa partai lain akhirnya menerapkan mekanisme suara terbanyak pula, partai-partai (Inayatullah, Jurnal Nasional, 27 Agustus 2008) tersebut diantaranya; Barnas, Hanura, PDS, PPP, PDIP, dan PNBK. PDIP memakai suara terbanyak bila ada caleg yang mendapatkan suara 15 persen BPP, namun bila tidak ada maka kembali ke nomor urut. Sedangkan PNBK menyesuaikan dengan situasi dan kondisi di suatu daerah pemilihan (dapil).
Dengan diterapkannya sistem suara terbanyak maka sudah terdapat dua sistem yang dipakai dalam menetapkan caleg terpilih. Pertama, tetap mengacu kepada Undang-Undang Pemilu No 10 Tahun 2008. UU Pemilu ini mengatur bahwa calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan perolehan suara calon yang mendapatkan 30 persen dari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) di dapil tersebut. Bila tidak ada caleg yang memenuhi kuota tersebut maka, calon akan ditetapkan sesuai dengan nomor urut (sistem proporsional terbuka terbatas). Kedua, dengan menggunakan suara terbanyak dengan menyampingkan nomor urut ( sistem proporsional terbuka murni) seperti yang diamanatkan undang-undang.
Berbagai analisa mengemuka terkait penerapan suara terbanyak, mulai dari krisis politik di internal partai hingga polical will membangun kompetisi politik yang fair. Apaun yang menjadi alasan partai politik untuk menerapkan suara terbanyak akan menyisakan pertanyaan mengapa tidak ditetapkan pada UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang ketentuan Suara Terbanyak. Tindakan yang tidak konsisten yang ditunjukkan oleh partai politik menunjukkan rendahnya kualitas anggota DPR (Partai Politik) dalam membuat Undang-undang.
Lebih Demokratis
Dipilihnya sistem suara terbanyak oleh beberapa parpol patut diberikan apresiasi karena telah mengembuskan angin segar bagi demokrasi kita. Selama ini sistem nomor urut dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan karena terpilihnya caleg berdasarkan nomor urut dan bukan berdasarkan suara yang diperolehnya.
Dalam kata lain seorang caleg ditetapkan menjadi anggota legislatif adalah berasal dari kedekatannya dengan partai ketimbang kedekatan dengan masyarakat atau konstituennya. Hal ini biasanya akan menimbulkan split loyality di dalam internal partai di mana kader partai yang duduk di legislatif cenderung sangat loyal kepada pengurus parpol ketimbang pemilih yang menjadi konstituennya.
Sebaliknya sistem yang berdasarkan suara terbanyak akan menumbuhkan kompetisi antara caleg parpol yang berbeda maupun sesama caleg dalam satu partai. Dalam sistem ini, semua caleg mendapatkan kesempatan sama untuk menjadi caleg terpilih. Terpilih atau tidaknya caleg tergantung usaha dia untuk mempulerkan diri dan meraih simpati pemilih.
Sehingga caleg yang terpilih adalah caleg yang benar-benar mempunyai kapasitas yang mumpuni dan mampu untuk menjelaskan program-programnya dengan baik ke masyarakat. Bukan caleg yang sekedar mengandalkan lobi ke petinggi parpol untuk mendapatkan nomor urut yang kecil - sering kali dalam proses ini terjadi politik uang - padahal kapasitas dan integritasnya belum teruji di tengah masyarakat.
Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899X
34
Tiga Pendekatan Aspek Konstitusional
Dalam menguraikan permasalahan penerapan UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum terdapat tiga pendekatan dalam mendorong warga negara mentaati konstitusi. Tiga pendekatan tersebut adalah Pendekatan Aspek Hukum, Pendekatan Aspek Politik dan Pendekatan Aspek Moral.
Pertama, pendekatan aspek hukum Dalam pelaksanaannya hukum dapat dipaksakan daya berlakunya oleh aparatur negara untuk menciptakan masyarakat yang damai, tertib dan adil (Thaib, 1999:76). Terhadap perilaku manusia, hukum menuntut manusia supaya melakukan perbuatan yang lahir sehingga manusia terikat pada norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat negara.
Berdasarkan ketentuan di atas maka, penerapan suara terbanyak yang di lakukan oleh partai politik terang-terang telah melanggar hukum yang berlaku, sebagaimana pemberlakuan UU Nomor 10 Tahun 2008. Konsekuensi hukum yang melekat pada UU Nomor 10 Tahun 2008 adalah partai politik sebagai bagian masyarakat yang melembaga dalam institusi politik dan sebagai warga negara terikat akan norma-norma hukum yang berlaku. Apabila dalam pelaksanaannya parpol melanggar, maka sebagai bagian dari warga negara, parpol siap untuk menerima berbagai konsekuensi hukum. Hal yang akan menjadi kekhawatiran setelah proses pemilu nantinya adalah lemahnya legitimasi kekuasaan calon terpilih dengan suara terbanyak (Syafiie, 2000:52).
Untuk menegaskan hal ini kepada partai politik bukan pekerjaan yang mudah, karena elit politik yang seharusnya memperjuangkan penegakan peraturan perundang-undangan justru menyerukan konstituennya untuk melanggar Undang-undang. Sebagaimana kita ketahui bersama, Presiden SBY secara tegas menyampaikan agar Partai Demokrat menerapkan suara terbanyak. Hal yang sama juga dilakukan oleh Ketua Partai Golkar (Wakil Presiden) bahwa partai Golkar menghendaki penerapan suara terbanyak, senada dengan beberapa partai besar maupun partai pendatang baru.
Kedua, pendekatan aspek politik menemukan bahwa hukum dimaknai sebagai produk politik, hal ini memang tidak terbantahkan bahwa proses politik telah melahirhan badan konstituante sebagai produk hukum yang bertugas sebagai badan perumus dan pembuat konstitusi, kemudian peran tersebut dilanjutkan dengan pembuatan undang-undang. Proses yang dilakukan oleh kedua badan ini merupakan kristalisasi dan atau proses politik. Sehingga produk politik berupa konstitusi atau segala macam peraturan perundang-undangan mempunyai daya ikat pemberlakuan bagi warga negara.
Mengacu pada pendekatan aspek politik maka DPR sebagai penjelmaan partai politik yang merupakan representasi masyarakat atau warga negara mempunyai keterikatan pemberlakuan terhadap konstitusi dan sebaga macam peraturan-perundang-undangan. Dengan demikian parpol sebagai subjek sekaligus objek implementasi UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum sudah sepatutnya menerapkannya secara konsisten mengingat UU Pemilu Tahun 2008 tersebut merupakan kristalisasi dan atau proses politik yang dilakukan oleh partai-partai yang mempunyai kursi di DPR, yang pada saat yang sama akan menjadi peserta pada Pemilu 2009.
Sekali lagi Parpol menunjukkan kecerobohannya, partai politik lebih mengedepankan proses politik dibandingkan dengan orientasi dan cita-cita dalam sebuah konstitusi atau
Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899X
35
undang-undang. Dengan dalih ingin mewujudkan demokrasi atau proses pemilihan yang fair saat ini isu central mengenai revisi UU No 10 Tahun 2008 semakin menguat dikalangan Parpol.
Ketiga, aspek pendekatan moral, secara mendalam moral adalah pengaturan perbuatan manusia sebagai manusia ditinjau dari segi baik dan buruknya dipandang dari hubungannya dengan tujuan akhir hidup manusia berdasarkan hukum kodrati. Dalam pelaksanaan moral tidak dapat dipaksakan. Moral menuntut dari kita kepatuhan penyerahan diri secara mutlak.
Jika mengacu pada konsep moral, maka sedianya UU Nomor 10 Tahun 2008 memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat kodrati, dimana setiap manusia atau warga negara berkehendak akan kebaikan, kebebasan dan keleluasaan. Oleh karena itu ketentuan proporsional terbatas (30% BPP) justru sangat bertentangan dengan kodrat manusia. Secara gamlang UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu dapat dikatakan tidak memuat aspek moral dalam penyusunannya, sehingga tidak mempertimbangkan nilai kodrati. Hal ini menjadi wajar karena elit-elit partai bekerja secara politik tanpa adanya penyerahan diri secara mutlak terhadap moral.
Penutup
Harus diakui bahwa mekanisme suara terbanyak memang lebih demokratis, kompetitif, dan memenuhi rasa keadilan dibandingkan nomor urut, tetapi penerapan sistem suara terbanyak melanggar UU Pemilu. Ketidakpastian hukum (legal uncertainty) akan penerapan suara terbanyak berpotensi besar menimbulkan beberapa masalah seperti, caleg nomor urut kecil dengan suara minim bisa saja menolak mengundurkan diri untuk digantikan oleh caleg yang mendapatkan suara terbanyak (namun tidak memenuhi 30% BPP) dengan nomor urut di bawahnya. Meskipun mekanisme internal partai sudah melakukan proses hukum melalui perjanjian tertulis dan dinotariskan. Hal ini dipahami karena kekuatan hukum undang-undang Pemilu lebih tinggi dari kesepakatan internal partai, oleh karena itu KPU sebagai penyelenggara Pemilu harus menjalankan tugasnya berdasarkan Undang-Undang yang berlaku sehingga KPU hanya akan mengesahkan anggota legislatif terpilih berdasarkan ketentuan Undang-undang.
Ketidaksesuaaian sistem yang diterapkan oleh internal partai politik dengan KPU sebagai penyelenggara Pemilu akan menyebabkan konflik hukum dalam bentuk gugatan hukum terhadap KPU dikarenakan tidak mengindahkan mekanisme internal partai. Proses gugatan hukum ini tentu saja akan memperlambat penetapan caleg terpilih dan mengganggu kinerja KPU. Terhambatnya proses penetapan anggota legislatif tentunya akan mengganggu kinerja wakil rakyat tersebut.
Bagaimanapun juga sistem suara terbanyak sangat sesuai dengan semangat demokrasi, oleh karena itu perlu adanya langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mengantisipasi berbagai persoalan yang akan muncul pasca Pemilu 2009. Partai politik yang memiliki kursi di DPR untuk meneguhkan komitmen dalam melakukan penguatan pelembagaan poltik masyarakat melalui pembuatan Undang-undang Pemilu yang berkualitas sehingga dapat dilaksanakan dengan baik guna menjaring calon-calon wakil rakyat yang berkualitas pula.
Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899X
36
Untuk menghindari rumitnya konflik suara terbanyak ini di kemudian hari maka parpol, DPR, dan pemerintah harus segera mengambil langkah antisipatif dengan melakukan revisi terbatas UU Pemilu. Agar proses revisi tidak akan menghabiskan waktu panjang, maka revisi difokuskan pada Pasal 214 dengan merubah ketentuan 30% BPP, menjadi berdasarkan suara terbanyak. Apabila revisi terbatas untuk merubah ketentuan 30% BPP menjadi suara terbanyak maka, dapat dilakukan dengan hanya menambahkan klausul untuk mengakomodasi mekanisme internal partai dalam menentukan caleg terpilih. Pilihan terakhir adalah pembangunan semangat kolektif anggota partai politik dengan mengedepankan kepentingan partai politik dan masing-masing calon yang berkompetisi bersikap bijaksana dalam mengedepankan kepentingan partai dalam hal ini kepentingan konstituen partai politik (baca: Masyarakat Umum).
Daftar Pustaka
Azwar, Rully Chairul. 2007. Konsolidasi Demokrasi di Indonesia dalam Membatja Oelang Indonesia. 2007. Jakarta: PB HMI Periode 2006-2008.
Budiardjo, Miriam. 2003. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Harjanto, Nico. 2006. Sistem Pemilihan Umum Campuran dalam Desain Baru Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Heal, David. 2007. Models Of Democracy, Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: The Akbar Tanjung Institute.
Hikam, Muhammad AS. Politik Kewarganegaraan “Landasan Redemokratisasi di Indonesia. Jakarta: PT. Gelora Aksara Perdana.
Syafiie, Inu Kencana. 2000. Ilmu Politik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Thaib, Dahlan, Dkk. 1999. Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Sumber lain:
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, Tentang Partai Politik.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999, Tentang Pemilihan Umum.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, Tentang Pemilihan Umum.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, Tentang Pemilihan Umum.
Inayatullah, Benni, 27 Agustus 2008. Suara Terbanyak dan Konflik Hukum (Analis Politik dan Perubahan Sosial The Indonesian Institute) Jurnal Nasional www.theindonesianinstitute.com.
Piliang, Indra J, Selasa : 18 August 2008. Kucing Keluar Karung. Sinar Indonesia. www. sindo.org.http://id.wikipedia.org/wiki/demokrasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar