Oleh: Nina Yudha Aryanti
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
Peranan Opinion Leader Dalam Meningkatkan Peran Politik Masyarakat Perdesaan dalam Pembangunan
Oleh: Nina Yudha Aryanti*)
Abstract
Generally, the low of societies participation in Indonesian is caused by almost no political education for societies, especially villagers which is 80% of Indonesian societies. But, if they are socialized and given political education, so it will be a possibility of maturity on societies democracy. This is not what happened in Indonesia. Less of political education for societies has caused democracy crisis so political policies which are related to the people’s life replaced by the political importance of certain groups. This things cause the low of political mobilization in lower circles of society
Key words; Political education, democracy, mobilization dan political communication.
Pendahuluan
Dalam keseharian, rakyat kurang memahami apa itu politik, apa manfaatnya bagi mereka sehingga rakyat berada dalam kondisi yang dilematis. Minimnya pendidikan politik rakyat dapat menguntungkan atau merugikan, tergantung dari mana memandangnya. Namun secara umum rendahnya pendidikan politik rakyat dapat menghambat pembangunan, karena dalam praktiknya aspek politik berkaitan dengan bidang kehidupan yang lainnya. Rakyat yang termarjinalkan secara politik, memiliki kecenderungan juga termarjinalkan secara ekonomi, bahkan mengalami keterlambatan dalam perolehan percepatan pembangunan daerahnya. Dengan demikian, pendidikan politik rakyat perlu untuk ditingkatkan. Bukan hanya semata-mata alasan politik yang berkaitan dengan dukungan rakyat terhadap Partai politik (parpol), namun lebih jauh peningkatan pendidikan politik rakyat akan berpengaruh pada percepatan pembangunan. Pemberdayaan politik masyarakat perdesaan dalam pembangunan harus dilakukan dengan menempatkan masyarakat sebagai fokus dan pelaku utama pembangunan, yang dapat dilakukan melalui 3 tahapan sebagai berikut, yaitu; 1) Menciptakan suasana yang kondusif yang memungkinkan potensi yang ada di masyarakat dapat berkembang sehingga masyarakat mampu mengembangkan diri sesuai dengan kondisinya; 2) Memperkuat potensi sumber daya yang ada pada masyarakat yang didukung dengan pembukaan akses masyarakat untuk memanfaatkan peluang yang ada, dan; 3) memaksimalkan pemberdayaan masyarakat yang dapat dipelopori dengan adanga kader-kader pembangunan di perdesaan. Reformasi yang ada di negeri ini ternyata masih belum tuntas. Masih banyak masalah politik di tingkat bawah yang belum tersentuh. Bahkan otonomi daerah yang diberlakukan belum mampu mencari bentuk yang ideal yang sesuai bagi masyarakat. *) Staf Pengajar Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNILA dan Kandidat Doktor Komunikasi UNPAD 35
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
Seharusnya momen reformasi yang didukung dengan digulirkannya otonomi daerah, mestinya mampu mengangkat dan meningkatkan partisipasi politik masyarakat desa. Sejarah panjang negeri ini terkesan menunjukkan bahwa rakyat hanya tahu bahwa partisipasi politik disalurkan melalui pemilihan umum (pemilu) sebagai suatu kewajiban tanpa memahami hak-hak nya. Pemilu lebih terkesan sebagai pesta rakyat daripada pesta demokrasi. Era orde baru yang berlangsung selama 30 tahun ini tidak mampu bertahan lagi, reformasi terjadi di negeri ini seakan mendobrak “ketenangan” kehidupan politik. Sepertinya ada banyak sisi kehidupan yang tersembunyi dan terbungkam selama 32 tahun orde baru berkuasa. Tapi apakah dobrakan reformasi ini mampu membawa negeri ini kearah yang lebih baik. Mungkin ya di satu sisi; akan tetapi tidak di sisi kehidupan yang lain. Bagi sebagian kelompok, reformasi dianggap sebagai era kebangkitan. Namun masih banyak hal yang harus dilakukan agar reformasi kehidupan politik dan demokrasi negeri ini berjalan dengan baik. Rendahnya kedewasaan politik rakyat menjadi hal yang terabaikan manakala kepentingan politik suatu organisasi/parpol manjadi prioritas. Lantas siapa yang bertugas memberikan pendidikan politik rakyat. Hal ini menjadi suatu dilema bagi parpol. Jika pendidikan politik rakyat menjadi tugas partai politik, maka tidak menutup kemungkinan adanya monopoli parta besar karena pendidikan politik sudah tentu memerlukan biaya yang sangat besar. Lantas, apakah kewajiban memberikan pendidikan politik merupakan tanggung jawab pemerintah yang notabene juga berasal dari satu atau gabungan dari parpol yang menang dalam pemilu. Dalam praktiknya, mekanisme pendidikan politik rakyat menjadi hal yang tidak jelas. Coba kita cermati perilaku masyarakat saat kampanye parpol menjelang pemilu. Loyalitas seseorang terhadap satu partai politik tidak dapat dipetakan dengan jelas. Kampanye politik sebagai salah satu bagian dari pesta rakyat terkesan hanya hura-hura tanpa substansi yang jelas. Arak-arakan kendaraan dan pentas musik hanya menjadi hiburan bagi rakyat atau sekedar sublimasi anak-anak muda untuk ugal-ugalan di jalanan yang dapat dengan mudah melanggar aturan lalu lintas. Pentas musik yang diselingi dengan pidato politik terkesan hanya sebagai tempat untuk mengumbar janji-janji palsu yang penting mendapatkan dukungan suara pada saat pemilu dengan mengabaikan amanah politik pemberi suara. Melihat kondisi ini, lantas sebenarnya siapa yang memerlukan pendidikan dan kedewasaan politik agar demokrasi bisa menyejahterakan rakyat. Fenomena dilematis ini seperti benang kusut yang sulit untuk diurai. Satu per satu fenomena politik yang saling berkaitan ini harus dapat ditemukan jalan keluarnya agar demokrasi dan kedewasaan politik negeri ini menjadi lebih baik. Simpul Persoalan Kompleksnya masalah pendidikan dan peningkatan kedewasaan politik dapat diurai dari level bawah. Peningkatan pendidikan dan partisipasi masyarakat di tingkat bawah memungkinkan untuk dilakukan salah satunya dikarenakan adanya sistem pemilihan kepala desa, di mana masyarakat mengetahui keseharian kehidupan dan kiprahnya dalam kehidupan 36
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
masyarakat tanpa terlibat dalam suatu parpol sehingga rakyat mengetahui kompetensi calon dimaksud. Dengan demikian idealnya, pendidikan politik rakyat dapat dimulai dari tingkat bawah. Lantas siapa yang menjadi penyelenggaranya? Beberapa aspek yang berkaitan dengan hal ini bukan hanya masalah kepentingan politik partai tertentu saja akan tetapi pengaruh budaya, ekonomi, tingkat pendidikan formal rakyat harus dijadikan pertimbangan dalam upaya meningkatkan partisipasi politik rakyat. Hal yang perlu ditegaskan bahwa partisipasi politik bukan semata-mata partisipasi masyarakat dibidang politik akan tetapi lebih pada pentingnya dukungan politis rakyat dalam pelaksanaan pembangunan. Fenomena politik dan demokrasi yang kompleks di negeri ini salah satunya dapat dipahami melalui kajian komunikasi, sehingga akan muncul pertanyaan sebagai berikut; Bagaimana proses komunikasi politik di tingkat bawah (perdesaan) yang menuntut adanya peran pemuka masyarakat sebagai pemuka pendapat (opinion leader) dalam upaya meningkatkan partisipasi politik dalam mendukung proses pelaksanaan pembangunan? Partisipasi Politik Masalah partisipasi politik merupakan masalah yang dihadari oleh hampir semua negara, karena partisipasi politik berkaitan dengan kelangsungan hidup negara. Partisipasi politik rakyat bukan hanya mencerminkan pendidikann dan kedewasaan politik rakyat, namun lebih jauh hal ini merupakan tolok ukur tinggi rendahnya dukungan, partisipasi dan tanggungjawab rakyat dalam menyelenggarakan kehidupan negaranya. Tanggung jawab ini sangat besar dan berat, terlebih lagi apabila rakyat tidak menyadari perannya dalam kehidupan bernegara. Meskipun negara dipimpin oleh team work yang baik dan bertanggungjawab atas kehidupan rakyatnya, namun kelangsungan hidup negara tidak akan dapat berjalan baik tanpa adanya dukungan dari rakyat. Negara ini diibaratkan tubuh manusia yang terdiri dari berbagai sistem, sedangkan rakyat diibaratkan sebagai darah yang mengalir di seluruh tubuh, termasuk di seluruh sistem yang ada didalamnya. Bagaimana tubuh dan sistem yang ada didalamnya bekerja dengan baik tanpa adanya darah yang mengalir. Jika tidak, tubuh yang sehat tidak akan mungkin ada. Dengan demikian, partisipasi politik menunjukkan adanya integritas mental dan komitmen moral rakyat terhadap sistem politik yang ada. Partisipasi politik masyarakat merupakan komponen penting dalam pembangunan, karena salah satu tolok ukur kemajuan pembangunan, khususnya demokrasi dapat dilihat dari tingkat partisipasi politik rakyat. Apabila rakyat tidak dapat menyatakan partisipasi politiknya lantas bagaimana dengan demokrasi di negeri ini? Tidak dapatnya masyarakat menyatakan partisipasi politiknya dapat dikarenakan dua hal yaitu masyarakat tidak diberi kesempatan atau masyarakat tidak mengatahui bagaimana menyatakannya. Partisipasi politik diperlukan pemerintah dan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan. Partisipasi rakyat menjadi hal yang penting bagi pemerintah sebagai mekanisme kontrol bagi pelaksanaan pembangunan. 37
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
Dengan demikian, pemerintah harus memperhatikan aspek sosial, ekonomi dan budaya yang ada dan berkembang di masyarakat agar dapat dioptimalkan peran dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Partisipasi rakyat menjadi hal yang enting dalam pembangunan, yang menurut Abe (2001) partisipasi politik sebagai wahana bagi pendidikan politik rakyat. Salah satu cara untuk mengetahui kualitas partisipasi politik masyarakat dapat dilihat dari keterlibatan dan peran serta aktifnya dalam proses pembangunan, yang dapat dilakukan dengan cara; 1) Partisipasi politik masyarakat digunakan sebagai alat untuk mendapatkan informasi tentang kondisi dan kebutuhan di tingkat bawah. Informasi ini lah yang seharusnya digunakan sebagai masukan untuk merancang program pembangunan; 2) Partisipasi masyarakat terhadap pembangunan akan maksimal apabila rakyat dilibatkan secara aktif dalam proses pembangunan sehingga akan muncul rasa memiliki terhadap perlaksanaan pembangunan, dan; 3) Dengan melibatkan rakyat akan menumbuhkan partisipasi politik. Pemberdayaan politik masyarakat dilakukan idealnya dengan tujuan untuk melayani masyarakat dan menempatkan masyarakat sebagai mitra dalam pembangunan sehingga dalam proses pembangunan bukan menempatkan masyarakat sebagai obyek pembangunan. Dengan demikian kedewasaan politik mutlak diperlukan untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan pembangunan. Peningkatan partisipasi politik rakyat merupakan hal yang kompleks karena menyenth hampir semua bidang kehidupan. Beberapa faktor yang mempengaruhi partisipasi politik rakyat adalah faktor sosial ekonomi, faktor budaya dan faktor politik yang terdiri dari peranan komunikasi politik dalam meningkatkan kesadaran politik. Faktor Sosial Ekonomi Partisipasi politik berkaitan dengan faktor sosial ekonomi. Hal ini dapat dilihat bahwa tingkat kehidupan masyarakat, tingkat pendidikan dan tingkat kesejahteraan masyarakat akan mempengaruhi bagaimana rakyak akan berpartisipasi di bidang politik. Kondisi masyarakat Indonesia yang sebagaian besar tinggal di perdesaan dengan mata pencaharian sebagai petani sering diposisikan marginal dengan stereotipe bahwa masyarakat desa identik dengan kemiskinan dan kebodohan. Kondisi ini seringnya mengakibatkan akses politik rakyat perdesaan terkesan tidak ada. Disinilah sebenarnya diperlukan pemuka masyarakat untuk menyadarkan masyarakatnya bahwa meskipun mereka tinggal di perdesaan, mereka seharusnya memerlukan partisipasi pembangunan agar percepatan pembangunan yang berdampak pada peningkatan kehidupan perekonomian dapat terwujud. Namun terkadang rakyat tidak menyadari bahwa partisipasi politiknya dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk meningkatkan kehidupan sosial ekonominya. Atau mungkin di masyarakat tidak terbangun suasana yang kondusif yang memungkinkan masyarakat untuk berperan aktif dalam proses pembangunan, terlebih lagi sistem pembangunan yang diterapkan adalan top down yang memosisikan rakyat sebagai obyek pembangunan yang pasif. 38
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
Hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal ini adalah; 1) Rakyat tetap berpartisipasi dibidang politik bahkan meningkatkannya; 2) Pemerintah menyediakan regulasi yang mampu mengakomodir partisipasi dari rakyat di tingkat bawah, dan; 3) Mengaktifkan peran wakil masyarakat yang ada di pemerintah untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat. Selain itu, kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan akan muncul apabila masyarakat sudah makmur, dalam arti secara umum masyarakat sudah tidak mengalami kesulitan dan himpitan ekonomi. Faktor Budaya Keterkaitan kondisi sosial ekonomi masyarakat terhadap partisipasi politiknya tentunya tidak dapat dilepaskan dari faktor budaya. Secara umum, budaya yang ada di Indonesia merupakan budaya timur yang paternalisitik yang cenderung fatalistik, bersolidaritas vertikal dan sikap loyal tunggal diiringi dengan totalitas pengabdian dan sehingga muncul rasa hormat yang dapat mengekang kebebasan berkreasi untuk mengembangkan potensi diri. Secara khusus, Alvin L. Bertrand (1980:116), menyebutkan bahwa kebudayaan dapat dipandang sebagai semua cara hidup (ways of life) yang dipelajari dan diharapkan, yang sama-sama diikuti oleh para anggota dari suatu kelompok masyarakat tertentu. Sikap demokratis yang terbangun di masyarakat sangat didominasi dan diwarnai oleh budaya lokal yang dijadikan rujukan dalam berperilaku. Proses transformasi dari budaya yang cenderung menepatkan pimpinan dalam posisi yang otoriter justru dapat menjerumuskan pemuka masyarakat untuk tidak mendewasakan masyarakatnya secara politis. Dilema ini dapat dijumpai di masyarakat perdesaan yang cenderung lebih memunculkan sikap dan perilaku yang tut wuri handayani tanpa diikuti dengan ing madyo mangun karso. Selain masalah budaya paternalistik yang mungkin menghambat peningkatan partisipasi politik masyarakat, masalah sensitivitas budaya menjadi hal yang tidak dapat terabaikan. Masalah-masalah konflik etnik justru dijadikan komoditas politik unutk mendapatkan dukungan. Hal ini memang ironis. Namun isu budaya lokal semata-mata bukan masalah way of live dan world view masyarakat yang merujuk ke budaya tertentu. Namun dapat saja berakibat pada fatalistik. Kita ambil contoh misalnya partisipasi politik masyarakat dalam pilkada. Sensitivitas etnik seakan “membutakan” masyarakat untuk tidak memandang calon secara professional. Memang seseorang yang memiliki ciri budaya yang sama akan memiliki kecenderungan untuk bersolidaritas secara vertikal. Akan tetapi apakah akan selalu demikian adanya? Kecenderungan masyarakat perdesaan yang homogen, menjadikan kendala budaya dalam upaya peningkatan partisipasi masyarakat menjadi hal yang sulit untuk dilakukan, adanya budaya rujukan yang sama menjadikan tidak adanya persaingan politik antar kelompok budaya. Namun kondisi ini akan berbeda dalam setting masyarakata yang multikultural. Persaingan politik antarkelompok budaya turut mewarnai dinamika masyarakat. Disinilah peran pemuka adat dalam meningkatkan partisipasi politik masyarakat 39
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
baru terasa. Masyarakat yang hidup berdampingan dalam kelompok budaya yang berbeda akan lebih merasakan dinamika persaingan, bukan hanya karena faktor sosial ekonomi saja, namun juga masalah politik. Hal lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi kondisi ini salah satunya adalah perlunya peran media massa untuk menambah wawasan masyarakat akan penting perannya dalam pembangunan. Selain itu perlu adanya model pendidikan politik pendamping yang bukan semata-mata menempatkan tokoh masyarakat sebagai ujung tombak keberhasilan upaya meningkatkan partisipasi masyarakat akan tetapi juga melibatkan pihak lain. Faktor Politik Partisipasi politik rakyat tidak dapat dipisahkan dari pendidikan politiknya. Pendidikan politik dapat dilakukan melalui banyak cara, sebagaimana pendidikan/ komunikasi yang secara umum dilakukan. Komunikasi politik merupakan komunikasi terencana yang dilakukan dengan tujuan bukan hanya untuk mempengaruhi aspek kognitif dan afektif khalayaknya, tapi juga memungkinkan terjadinya mobilisasi massa. Komponen yang ada dalam pendidikan politik melalui komunikasi politik yaitu; 1) Ada sumber (komunikator) sebagai penyampai pesan. Komunikator politik biasanya berupa individu-individu yang menduduki struktur kekuasaan yang berada dalam institusi, asosiasi, partai politik, lembaga pengelola media massa dan tokoh masyarakat. Komunikator politik bertugas menyampaikan pesan-pesan politik baik secara langsung ataupun melalui media massa; 2) Ada pesan yang disampaikan (materi pendidikan politik). Pesan politik sangat beragam jenis dan sifatnya sesuai dengan tujuannya; 3) Media yang digunakan, yang biasanya dalam komunikasi politik menggunakan media massa untuk menjangkau khalayak politik yang juga bersifat massa; meskipun dapat juga menggunakan komunikasi personal/ tatap muka yang lebih banyak dilakukan melalui kelompok, dan; 4) Khalayak atau rakyat yang berperan sebgai partisipan politik. Sedangkan luarannya adalah peningkatan pengetahuan politik sehingga rakyat dapat bersikap dan berperilaku politik yang baik. Berbeda dengan proses komunikasi pada umumnya, dalam komunikasi politik sangat diperlukan adanya pemuka pendapat yang difungsikan sebagai ’penerjemah’ pesan politik baik dari pemerintah maupun dari pihak lain. Dengan demikian opinion leader berperan sebagai agen politik di tingkat bawah yang memiliki peranan yang penting dalam keberhasilan komunikasi. Dalam beberapa kasus, opinion leader berperan sebagai penghubung antara media massa dengan khalayak. Dalam konteks ini, Nasution (1990:57), menyebutkan bahwa keberadaan opinion leader dipengaruhi oleh struktur sosial masyarakat. Dalam masyarakat tradisional, susunan struktur sosial yang ada menentukan siapa yang layak berkomunikasi dengan siapa, tentang masalah apa dan dengan cara apa. Dengan kata lain, struktur sosial tradisional pada hakikatnya mempunyai aturan-aturan yang menentukan baik pola maupun arus 40
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
komunikasi yang berlangsung dalam masyarakat tersebut. Dikaitkan dengan pendidikan dan penyebaran pesan politik media massa, awalnya opnion leader berfungsi sebagai gate yang menyaring pesan media massa untuk kemudian disampaikan kepada khalayak. Hal ini dilakukan karena dulunya media massa masih minim sehingga khalayak sulit menjangkau pesan dari media massa, akses khalayak terhadap media sangat rendah. Sekarang, banyaknya jumlah media massa dan tingginya akses khalayak terhadap media massa mempengaruhi posisi, peran dan fungsi opinion leader dalam penyebaran pesan dari media massa termasuk pesan politik. Komunikasi politik dilakukan dalam upaya untuk meningkatkan kesadaran politik. Kesadaran politik ini berkaitan dengan pengetahuan, minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik. Peningkatan pengetahuan dapat dilakukan melalui sosialisasi secara face to face maupun melalui media massa. Adanya kelompok-kelompok informal di masyarakat dapat juga difungsikan sebagai agen perubahan dalam masyarakat. Dalam kaitan itu Pelaksana komunikasi politik di perdesaan bukan hanya dapat dilakukan olen pemuka masyarakat. Selain masuknya media massa di perdesaan, peranan kelompok informal dapat juga diberdayakan untuk membantu percepatan pendidikan politik rakyat. Lebih lanjut, tingkat kesadaran masyarakat akan partisipasi politiknya dapat dilihat dari perhatiannya terhadap masalah pembangunan di desanya (Budiharjo, 1985). Informasi yang diperoleh melalui media massa tentang percepatan pembangunan di daerah lain tentunya memiliki pengaruh tersendiri terhadap kehidupan masyarakat lain. Kecenderungan masyarakat untuk berkembang salah satunya dilakukan melalui pembangunan, bukan hanya pembangunan secara fisik saja, akan tetapi juga pembangunan non fisik masyarakatnya. Pembangunan non fisik masyarakat perdesaan dapat berupa peningkatan kualitas dan standart hidup masyarakat, peningkatan tingkat pendidikan, kesejahteraan dan kesehatan masyarakat, yang secara tidak langsung akan meningkatkan partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup orang-orang di sekitarnya/masyarakat.
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
Seharusnya momen reformasi yang didukung dengan digulirkannya otonomi daerah, mestinya mampu mengangkat dan meningkatkan partisipasi politik masyarakat desa. Sejarah panjang negeri ini terkesan menunjukkan bahwa rakyat hanya tahu bahwa partisipasi politik disalurkan melalui pemilihan umum (pemilu) sebagai suatu kewajiban tanpa memahami hak-hak nya. Pemilu lebih terkesan sebagai pesta rakyat daripada pesta demokrasi. Era orde baru yang berlangsung selama 30 tahun ini tidak mampu bertahan lagi, reformasi terjadi di negeri ini seakan mendobrak “ketenangan” kehidupan politik. Sepertinya ada banyak sisi kehidupan yang tersembunyi dan terbungkam selama 32 tahun orde baru berkuasa. Tapi apakah dobrakan reformasi ini mampu membawa negeri ini kearah yang lebih baik. Mungkin ya di satu sisi; akan tetapi tidak di sisi kehidupan yang lain. Bagi sebagian kelompok, reformasi dianggap sebagai era kebangkitan. Namun masih banyak hal yang harus dilakukan agar reformasi kehidupan politik dan demokrasi negeri ini berjalan dengan baik. Rendahnya kedewasaan politik rakyat menjadi hal yang terabaikan manakala kepentingan politik suatu organisasi/parpol manjadi prioritas. Lantas siapa yang bertugas memberikan pendidikan politik rakyat. Hal ini menjadi suatu dilema bagi parpol. Jika pendidikan politik rakyat menjadi tugas partai politik, maka tidak menutup kemungkinan adanya monopoli parta besar karena pendidikan politik sudah tentu memerlukan biaya yang sangat besar. Lantas, apakah kewajiban memberikan pendidikan politik merupakan tanggung jawab pemerintah yang notabene juga berasal dari satu atau gabungan dari parpol yang menang dalam pemilu. Dalam praktiknya, mekanisme pendidikan politik rakyat menjadi hal yang tidak jelas. Coba kita cermati perilaku masyarakat saat kampanye parpol menjelang pemilu. Loyalitas seseorang terhadap satu partai politik tidak dapat dipetakan dengan jelas. Kampanye politik sebagai salah satu bagian dari pesta rakyat terkesan hanya hura-hura tanpa substansi yang jelas. Arak-arakan kendaraan dan pentas musik hanya menjadi hiburan bagi rakyat atau sekedar sublimasi anak-anak muda untuk ugal-ugalan di jalanan yang dapat dengan mudah melanggar aturan lalu lintas. Pentas musik yang diselingi dengan pidato politik terkesan hanya sebagai tempat untuk mengumbar janji-janji palsu yang penting mendapatkan dukungan suara pada saat pemilu dengan mengabaikan amanah politik pemberi suara. Melihat kondisi ini, lantas sebenarnya siapa yang memerlukan pendidikan dan kedewasaan politik agar demokrasi bisa menyejahterakan rakyat. Fenomena dilematis ini seperti benang kusut yang sulit untuk diurai. Satu per satu fenomena politik yang saling berkaitan ini harus dapat ditemukan jalan keluarnya agar demokrasi dan kedewasaan politik negeri ini menjadi lebih baik. Simpul Persoalan Kompleksnya masalah pendidikan dan peningkatan kedewasaan politik dapat diurai dari level bawah. Peningkatan pendidikan dan partisipasi masyarakat di tingkat bawah memungkinkan untuk dilakukan salah satunya dikarenakan adanya sistem pemilihan kepala desa, di mana masyarakat mengetahui keseharian kehidupan dan kiprahnya dalam kehidupan 36
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
masyarakat tanpa terlibat dalam suatu parpol sehingga rakyat mengetahui kompetensi calon dimaksud. Dengan demikian idealnya, pendidikan politik rakyat dapat dimulai dari tingkat bawah. Lantas siapa yang menjadi penyelenggaranya? Beberapa aspek yang berkaitan dengan hal ini bukan hanya masalah kepentingan politik partai tertentu saja akan tetapi pengaruh budaya, ekonomi, tingkat pendidikan formal rakyat harus dijadikan pertimbangan dalam upaya meningkatkan partisipasi politik rakyat. Hal yang perlu ditegaskan bahwa partisipasi politik bukan semata-mata partisipasi masyarakat dibidang politik akan tetapi lebih pada pentingnya dukungan politis rakyat dalam pelaksanaan pembangunan. Fenomena politik dan demokrasi yang kompleks di negeri ini salah satunya dapat dipahami melalui kajian komunikasi, sehingga akan muncul pertanyaan sebagai berikut; Bagaimana proses komunikasi politik di tingkat bawah (perdesaan) yang menuntut adanya peran pemuka masyarakat sebagai pemuka pendapat (opinion leader) dalam upaya meningkatkan partisipasi politik dalam mendukung proses pelaksanaan pembangunan? Partisipasi Politik Masalah partisipasi politik merupakan masalah yang dihadari oleh hampir semua negara, karena partisipasi politik berkaitan dengan kelangsungan hidup negara. Partisipasi politik rakyat bukan hanya mencerminkan pendidikann dan kedewasaan politik rakyat, namun lebih jauh hal ini merupakan tolok ukur tinggi rendahnya dukungan, partisipasi dan tanggungjawab rakyat dalam menyelenggarakan kehidupan negaranya. Tanggung jawab ini sangat besar dan berat, terlebih lagi apabila rakyat tidak menyadari perannya dalam kehidupan bernegara. Meskipun negara dipimpin oleh team work yang baik dan bertanggungjawab atas kehidupan rakyatnya, namun kelangsungan hidup negara tidak akan dapat berjalan baik tanpa adanya dukungan dari rakyat. Negara ini diibaratkan tubuh manusia yang terdiri dari berbagai sistem, sedangkan rakyat diibaratkan sebagai darah yang mengalir di seluruh tubuh, termasuk di seluruh sistem yang ada didalamnya. Bagaimana tubuh dan sistem yang ada didalamnya bekerja dengan baik tanpa adanya darah yang mengalir. Jika tidak, tubuh yang sehat tidak akan mungkin ada. Dengan demikian, partisipasi politik menunjukkan adanya integritas mental dan komitmen moral rakyat terhadap sistem politik yang ada. Partisipasi politik masyarakat merupakan komponen penting dalam pembangunan, karena salah satu tolok ukur kemajuan pembangunan, khususnya demokrasi dapat dilihat dari tingkat partisipasi politik rakyat. Apabila rakyat tidak dapat menyatakan partisipasi politiknya lantas bagaimana dengan demokrasi di negeri ini? Tidak dapatnya masyarakat menyatakan partisipasi politiknya dapat dikarenakan dua hal yaitu masyarakat tidak diberi kesempatan atau masyarakat tidak mengatahui bagaimana menyatakannya. Partisipasi politik diperlukan pemerintah dan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan. Partisipasi rakyat menjadi hal yang penting bagi pemerintah sebagai mekanisme kontrol bagi pelaksanaan pembangunan. 37
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
Dengan demikian, pemerintah harus memperhatikan aspek sosial, ekonomi dan budaya yang ada dan berkembang di masyarakat agar dapat dioptimalkan peran dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Partisipasi rakyat menjadi hal yang enting dalam pembangunan, yang menurut Abe (2001) partisipasi politik sebagai wahana bagi pendidikan politik rakyat. Salah satu cara untuk mengetahui kualitas partisipasi politik masyarakat dapat dilihat dari keterlibatan dan peran serta aktifnya dalam proses pembangunan, yang dapat dilakukan dengan cara; 1) Partisipasi politik masyarakat digunakan sebagai alat untuk mendapatkan informasi tentang kondisi dan kebutuhan di tingkat bawah. Informasi ini lah yang seharusnya digunakan sebagai masukan untuk merancang program pembangunan; 2) Partisipasi masyarakat terhadap pembangunan akan maksimal apabila rakyat dilibatkan secara aktif dalam proses pembangunan sehingga akan muncul rasa memiliki terhadap perlaksanaan pembangunan, dan; 3) Dengan melibatkan rakyat akan menumbuhkan partisipasi politik. Pemberdayaan politik masyarakat dilakukan idealnya dengan tujuan untuk melayani masyarakat dan menempatkan masyarakat sebagai mitra dalam pembangunan sehingga dalam proses pembangunan bukan menempatkan masyarakat sebagai obyek pembangunan. Dengan demikian kedewasaan politik mutlak diperlukan untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan pembangunan. Peningkatan partisipasi politik rakyat merupakan hal yang kompleks karena menyenth hampir semua bidang kehidupan. Beberapa faktor yang mempengaruhi partisipasi politik rakyat adalah faktor sosial ekonomi, faktor budaya dan faktor politik yang terdiri dari peranan komunikasi politik dalam meningkatkan kesadaran politik. Faktor Sosial Ekonomi Partisipasi politik berkaitan dengan faktor sosial ekonomi. Hal ini dapat dilihat bahwa tingkat kehidupan masyarakat, tingkat pendidikan dan tingkat kesejahteraan masyarakat akan mempengaruhi bagaimana rakyak akan berpartisipasi di bidang politik. Kondisi masyarakat Indonesia yang sebagaian besar tinggal di perdesaan dengan mata pencaharian sebagai petani sering diposisikan marginal dengan stereotipe bahwa masyarakat desa identik dengan kemiskinan dan kebodohan. Kondisi ini seringnya mengakibatkan akses politik rakyat perdesaan terkesan tidak ada. Disinilah sebenarnya diperlukan pemuka masyarakat untuk menyadarkan masyarakatnya bahwa meskipun mereka tinggal di perdesaan, mereka seharusnya memerlukan partisipasi pembangunan agar percepatan pembangunan yang berdampak pada peningkatan kehidupan perekonomian dapat terwujud. Namun terkadang rakyat tidak menyadari bahwa partisipasi politiknya dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk meningkatkan kehidupan sosial ekonominya. Atau mungkin di masyarakat tidak terbangun suasana yang kondusif yang memungkinkan masyarakat untuk berperan aktif dalam proses pembangunan, terlebih lagi sistem pembangunan yang diterapkan adalan top down yang memosisikan rakyat sebagai obyek pembangunan yang pasif. 38
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
Hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal ini adalah; 1) Rakyat tetap berpartisipasi dibidang politik bahkan meningkatkannya; 2) Pemerintah menyediakan regulasi yang mampu mengakomodir partisipasi dari rakyat di tingkat bawah, dan; 3) Mengaktifkan peran wakil masyarakat yang ada di pemerintah untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat. Selain itu, kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan akan muncul apabila masyarakat sudah makmur, dalam arti secara umum masyarakat sudah tidak mengalami kesulitan dan himpitan ekonomi. Faktor Budaya Keterkaitan kondisi sosial ekonomi masyarakat terhadap partisipasi politiknya tentunya tidak dapat dilepaskan dari faktor budaya. Secara umum, budaya yang ada di Indonesia merupakan budaya timur yang paternalisitik yang cenderung fatalistik, bersolidaritas vertikal dan sikap loyal tunggal diiringi dengan totalitas pengabdian dan sehingga muncul rasa hormat yang dapat mengekang kebebasan berkreasi untuk mengembangkan potensi diri. Secara khusus, Alvin L. Bertrand (1980:116), menyebutkan bahwa kebudayaan dapat dipandang sebagai semua cara hidup (ways of life) yang dipelajari dan diharapkan, yang sama-sama diikuti oleh para anggota dari suatu kelompok masyarakat tertentu. Sikap demokratis yang terbangun di masyarakat sangat didominasi dan diwarnai oleh budaya lokal yang dijadikan rujukan dalam berperilaku. Proses transformasi dari budaya yang cenderung menepatkan pimpinan dalam posisi yang otoriter justru dapat menjerumuskan pemuka masyarakat untuk tidak mendewasakan masyarakatnya secara politis. Dilema ini dapat dijumpai di masyarakat perdesaan yang cenderung lebih memunculkan sikap dan perilaku yang tut wuri handayani tanpa diikuti dengan ing madyo mangun karso. Selain masalah budaya paternalistik yang mungkin menghambat peningkatan partisipasi politik masyarakat, masalah sensitivitas budaya menjadi hal yang tidak dapat terabaikan. Masalah-masalah konflik etnik justru dijadikan komoditas politik unutk mendapatkan dukungan. Hal ini memang ironis. Namun isu budaya lokal semata-mata bukan masalah way of live dan world view masyarakat yang merujuk ke budaya tertentu. Namun dapat saja berakibat pada fatalistik. Kita ambil contoh misalnya partisipasi politik masyarakat dalam pilkada. Sensitivitas etnik seakan “membutakan” masyarakat untuk tidak memandang calon secara professional. Memang seseorang yang memiliki ciri budaya yang sama akan memiliki kecenderungan untuk bersolidaritas secara vertikal. Akan tetapi apakah akan selalu demikian adanya? Kecenderungan masyarakat perdesaan yang homogen, menjadikan kendala budaya dalam upaya peningkatan partisipasi masyarakat menjadi hal yang sulit untuk dilakukan, adanya budaya rujukan yang sama menjadikan tidak adanya persaingan politik antar kelompok budaya. Namun kondisi ini akan berbeda dalam setting masyarakata yang multikultural. Persaingan politik antarkelompok budaya turut mewarnai dinamika masyarakat. Disinilah peran pemuka adat dalam meningkatkan partisipasi politik masyarakat 39
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
baru terasa. Masyarakat yang hidup berdampingan dalam kelompok budaya yang berbeda akan lebih merasakan dinamika persaingan, bukan hanya karena faktor sosial ekonomi saja, namun juga masalah politik. Hal lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi kondisi ini salah satunya adalah perlunya peran media massa untuk menambah wawasan masyarakat akan penting perannya dalam pembangunan. Selain itu perlu adanya model pendidikan politik pendamping yang bukan semata-mata menempatkan tokoh masyarakat sebagai ujung tombak keberhasilan upaya meningkatkan partisipasi masyarakat akan tetapi juga melibatkan pihak lain. Faktor Politik Partisipasi politik rakyat tidak dapat dipisahkan dari pendidikan politiknya. Pendidikan politik dapat dilakukan melalui banyak cara, sebagaimana pendidikan/ komunikasi yang secara umum dilakukan. Komunikasi politik merupakan komunikasi terencana yang dilakukan dengan tujuan bukan hanya untuk mempengaruhi aspek kognitif dan afektif khalayaknya, tapi juga memungkinkan terjadinya mobilisasi massa. Komponen yang ada dalam pendidikan politik melalui komunikasi politik yaitu; 1) Ada sumber (komunikator) sebagai penyampai pesan. Komunikator politik biasanya berupa individu-individu yang menduduki struktur kekuasaan yang berada dalam institusi, asosiasi, partai politik, lembaga pengelola media massa dan tokoh masyarakat. Komunikator politik bertugas menyampaikan pesan-pesan politik baik secara langsung ataupun melalui media massa; 2) Ada pesan yang disampaikan (materi pendidikan politik). Pesan politik sangat beragam jenis dan sifatnya sesuai dengan tujuannya; 3) Media yang digunakan, yang biasanya dalam komunikasi politik menggunakan media massa untuk menjangkau khalayak politik yang juga bersifat massa; meskipun dapat juga menggunakan komunikasi personal/ tatap muka yang lebih banyak dilakukan melalui kelompok, dan; 4) Khalayak atau rakyat yang berperan sebgai partisipan politik. Sedangkan luarannya adalah peningkatan pengetahuan politik sehingga rakyat dapat bersikap dan berperilaku politik yang baik. Berbeda dengan proses komunikasi pada umumnya, dalam komunikasi politik sangat diperlukan adanya pemuka pendapat yang difungsikan sebagai ’penerjemah’ pesan politik baik dari pemerintah maupun dari pihak lain. Dengan demikian opinion leader berperan sebagai agen politik di tingkat bawah yang memiliki peranan yang penting dalam keberhasilan komunikasi. Dalam beberapa kasus, opinion leader berperan sebagai penghubung antara media massa dengan khalayak. Dalam konteks ini, Nasution (1990:57), menyebutkan bahwa keberadaan opinion leader dipengaruhi oleh struktur sosial masyarakat. Dalam masyarakat tradisional, susunan struktur sosial yang ada menentukan siapa yang layak berkomunikasi dengan siapa, tentang masalah apa dan dengan cara apa. Dengan kata lain, struktur sosial tradisional pada hakikatnya mempunyai aturan-aturan yang menentukan baik pola maupun arus 40
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
komunikasi yang berlangsung dalam masyarakat tersebut. Dikaitkan dengan pendidikan dan penyebaran pesan politik media massa, awalnya opnion leader berfungsi sebagai gate yang menyaring pesan media massa untuk kemudian disampaikan kepada khalayak. Hal ini dilakukan karena dulunya media massa masih minim sehingga khalayak sulit menjangkau pesan dari media massa, akses khalayak terhadap media sangat rendah. Sekarang, banyaknya jumlah media massa dan tingginya akses khalayak terhadap media massa mempengaruhi posisi, peran dan fungsi opinion leader dalam penyebaran pesan dari media massa termasuk pesan politik. Komunikasi politik dilakukan dalam upaya untuk meningkatkan kesadaran politik. Kesadaran politik ini berkaitan dengan pengetahuan, minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik. Peningkatan pengetahuan dapat dilakukan melalui sosialisasi secara face to face maupun melalui media massa. Adanya kelompok-kelompok informal di masyarakat dapat juga difungsikan sebagai agen perubahan dalam masyarakat. Dalam kaitan itu Pelaksana komunikasi politik di perdesaan bukan hanya dapat dilakukan olen pemuka masyarakat. Selain masuknya media massa di perdesaan, peranan kelompok informal dapat juga diberdayakan untuk membantu percepatan pendidikan politik rakyat. Lebih lanjut, tingkat kesadaran masyarakat akan partisipasi politiknya dapat dilihat dari perhatiannya terhadap masalah pembangunan di desanya (Budiharjo, 1985). Informasi yang diperoleh melalui media massa tentang percepatan pembangunan di daerah lain tentunya memiliki pengaruh tersendiri terhadap kehidupan masyarakat lain. Kecenderungan masyarakat untuk berkembang salah satunya dilakukan melalui pembangunan, bukan hanya pembangunan secara fisik saja, akan tetapi juga pembangunan non fisik masyarakatnya. Pembangunan non fisik masyarakat perdesaan dapat berupa peningkatan kualitas dan standart hidup masyarakat, peningkatan tingkat pendidikan, kesejahteraan dan kesehatan masyarakat, yang secara tidak langsung akan meningkatkan partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup orang-orang di sekitarnya/masyarakat.
Penutup
Dengan melihat kondisi Indonesia yang masih mengalami ketertinggalan dengan negara lain, maka negeri ini sangat memerlukan percepatan pembangunan di segala bidang. Hal yang tidak dapat diabaikan dalam pelaksanaan proses pembangunan adalah keterlibatan dan partisipasi aktif masyarakat. Mengenai partisipasi aktif model ini, Erich Fromm (1996:104), menyebutkan partisipasi aktif dalam masalah negara sebagai keseluruhan dan masalah-masalah pemerintah secara kemasyarakatan, memerlukan formasi kelompok-kelompok dialog yang di dalamnya terjadi proses saling memberi informasi, perdebatan dan pembuatan keputusan yang diperlukan. Meskipun mengalami kendala, sepertinya slogan pembangunan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat harus benar-benar direalisasikan. Oleh karenanya, fenomena rendahnya partisipasi politik rakyat memerlukan penanganan yang serius oleh semua pihak, bukan hanya dari pemerintah saja. 41
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
Dukungan pemerintah mutlak diperlukan dalam mendukung peningkatan pendidikan dan partisipasi politik masyarakat, khususnya masyarakat di perdesaan yang mencapai 80% di Indonesia. Selain itu, peran aktif pemuka masyarakat, media massa dan pihak terkait sangat diperlukan untuk mambantu peningkatan partisipasi politik masyarakat.
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
Dukungan pemerintah mutlak diperlukan dalam mendukung peningkatan pendidikan dan partisipasi politik masyarakat, khususnya masyarakat di perdesaan yang mencapai 80% di Indonesia. Selain itu, peran aktif pemuka masyarakat, media massa dan pihak terkait sangat diperlukan untuk mambantu peningkatan partisipasi politik masyarakat.
Daftar Pustaka
Abe, Alexander. 2001. Perencanaan Daerah Memperkuat Prakarsa Rakyat Dalam Otonomi Daerah. Yogyakarta: Gramedia Pustaka Utama. Bertrand, Alvin L. 1980. Sosiologi. (Terjemahan Sanapiah S. Faisal). Surabaya: Bina Ilmu. Budiharjo, Miriam. 1985. Demokrasi Di Indonesia: Kumpulan Karangan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Fromm, Erich. 1996. Revolusi Harapan; Menuju Masyarakat Teknologi yang Manusiawi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nasution, Zulkarimein. 1990. Komunikasi Politik Suatu Pengantar. Jakarta: Ghalia Indonesia.
42
42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar