Senin, 04 Juni 2012

Tindak Pidana Pajak dan Money Laundry

Volume 3, No. 5, Juni 2010 ISSN: 1979–0899XX

Tindak Pidana Pajak dan Money Laundry
Oleh: Santi Indriani 
Abstract
Gayus Tanbunan’s Cases is Public debate right now, it’s be new people talk in mechanisms of law corridor in Indonesia. The Issues of MARKUS which act by the public servant is not foreign again when the problem of century is not finished yet. Tax Criminal Perpetration was once of crimination in tax dimension which involve many people, Tax Criminal perpetration it’s not do by personal and the characteristic of this criminal Perpetration is do by corporation by other people. There is compromise by assumes it’s good corporation between other side ,which tax officer will win in the tax of court, and tax obligatory will give present to tax officer. The present that given by tax obligatory possible causes money laundry. Actually tax reformation for many times is symbol of a corrupt resistance for tax institution was something that impossible to do, like cool mount, tax perpetration most of them still “hide”.
Key words: Tax perpetration, money laundry
Pendahuluan
Kasus Gayus Tambunan yang menjadi topik hangat dalam setiap pemberitaan tentunya mengalihkan pandangan publik terhadap kasus century. Kejahatan Pajak merupakan kejahatan kerah Putih (white colour crime), maksudnya adalah kejahatan ini dilakukan oleh seseorang yang memiliki keahlian dibidangnya sehinga dalam melakukan kejahatan tidak hanya dilakukan sendiri melainkan melibatkan pihak-pihak tertentu.
Pajak merupakan sumber utama pendanaan suatu Negara, baik dengan tujuan pembangunan, pertahanan maupun pelaksanaan administrasi pemerintahan. Faktor dominan dari pajak tersebut, menyebabkan banyak kepentingan ada di dalamnya. Mulai dari kepentingan orang pribadi, pengusaha, badan usaha hingga kepentingan politik. Banyaknya kepentingan yang mendominasi perpajakan, menyebabkan timbulnya perilaku yang menyimpang berupa “kepatuhan yang semu” atas pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak.
Sebaliknya adanya kepentingan tersebut merupakan suatu “peluang emas” bagi pejabat perpajakan untuk menjadikan pajak sebagai suatu objek untuk mendapatkan apa yang diharapkannya. Dua kepentingan dari pihak-pihak yang berbeda, namun pada inti tujuannya sama, menghasilkan persamaan persepsi tentang bagaimana menggunakan peraturan perpajakan sebagai suatu sarana untuk melakukan tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindak kriminal perpajakan.
Penyelesaian tindak kriminal di bidang perpajakan belum mendapatkan solusi seperti yang diharapkan pemerintah maupun masyarakat. Disisi lain belum adanya perbaikan mental dari para pegawai dilingkungan perpajakan yang disebabkan oleh pengaruh dari para wajib pajak tertentu yang mengarah kepada penyuapan dan pemerasan, sehingga kepatuhan terhadap ketentuan peraturan yang ada tidak dapat dilaksanakan dengan baik.
Dari tahun ke tahun target yang harus dicapai oleh bidang perpajakan mengalami kenaikan yang signifikan.Beberapa kali aparat perpajakan menyesuaikan kondisi dan keadaan tersebut dengan cara ekstensifikasi pajak, yang berarti mencari sumber-sumber

 Dosen Tetap Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP UNBARA

more in pdf

Penerapan Good Governance; Perspektif Teoritik Birokrasi dan Administrasi Publik

Volume 3, No. 5, Juni 2010 ISSN: 1979 – 0899X

Penerapan Good Governance;
Perspektif Teoritik Birokrasi dan Administrasi Publik
Oleh: Yulisnaningsih 
Abstract
Nowadays, people get bored with formal, rigid, inefficient and slow democracy, on the other side bureaucracy is necessity in modern life. Democratic government system emphasizes that power focus is both on government and people’s hand. The implementation of good government system is how far the constellation among three components: people, government, and entrepreneur that run together. In the fact, the changing of balancing system of those three components spreads corruption, collusion, and nepotism.
Key words: Good governance, bureaucracy, public administration
Pendahuluan
Berkaitan dengan good governance, Mardiasmo (2002:18; dalam Tangkilisan, 2005:114) mengemukakan bahwa orientasi pembangunan sektor publik adalah untuk menciptakan good governance, di mana pengertian dasarnya adalah kepemerintahan yang baik. Kondisi ini berupaya untuk menciptakan suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab sejalan prinsip demokrasi, efisien, pencegahan koropsi, baik secara politik maupun administratif.
Tuntutan reformasi yang berkaitan dengan aparatur negara termsuk daerah perlunya mewujudkan administrasi negara yang mampu mendukung kelancaran dan keterpaduan pelaksanaan tugas, dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan menuntut dipraktikannya prinsip good governance. Menurut UNDP (dalam LAN dan BPKP, 2000:7; seperti dikutip Tangkilisan, 2005:114), mengemukakan karakteristik good governance adalah sebagai berikut:
1. Participation. Setiap warga negara mempunyai suara dalam penbuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya.
2. Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak asasi manusia.
3. Transparancy (tranparansi) yang dibangun atas dasar kebebasan arus informasi.
4. Responsiveness. Setiap lembaga dan proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan harus mencoba melayani sikap stakeholders.
5. Consensus orientation. Gopod governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur.
6. Equity. Semua warga negara mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.
7. Efectiveness and effeciency. Proses-proses dan lembaga-lembaga menghasilkan produknya sesuai dengan yang telah digariskan, dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin.
8. Acountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan

 Dosen LB Pada Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP UNBARA

more in pdf

Pendidikan Gratis dan Sosialisasi BOS Di Propinsi Sumatera Selatan; Perspektif Kebijakan Komunikasi

Volume 3, No. 5, Juni 2010 ISSN: 1979–0899X

Pendidikan Gratis dan Sosialisasi BOS
Di Propinsi Sumatera Selatan; Perspektif Kebijakan Komunikasi
Oleh: Hendra Alfani 
Abstract
Politics reformation and regional autonomy have made education policy system in controversy. Especially about the allocation of education budget that should reach 20 percent as mentioned in Law Number 20 Year 2003 about National Education System. National education ministry policy runs School Operational Aids (BOS) program that give free education for elementary and junior high schools in region implemented by provincial and regency / city government. In general it is a proper policy and useful for people. Technically, if we observe the process of socialization, information, and communication, the policy creates confusion caused by multi-interpretation and weak control. This writing tries to observe the problem from communication perspective, how a public policy should be communicated systematically in order to gain the advantage.
Key words: Politics reformation, regional autonomy, public policy, communication
Pendahuluan
Perjalanan panjang kita sebagai sebuah negara-bangsa yang merdeka tidak bisa dilepaskan dari peran tokoh-tokoh terdidik yang dimiliki bangsa ini. Pada masa perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia, peran mereka dalam menggerakkan seluruh elemen masyarakat untuk sadar akan hak-haknya sebagai sebuah bangsa mampu mendorong dan membuka jalan bagi terbentuknya sebuah negara bangsa yang merdeka dan berdaulat. Lahirnya National Onderwijs Institut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara pada tanggal 3 Juli tahun 1922 menjadi sebuah tonggak bersejarah dalam upaya membangun kesadaran akan pentingnya pendidikan dalam meraih cita-cita kemerdekaan.
Pada perkembangan selanjutnya, Undang-Undang Dasar 1945 yang digunakan sebagai landasan legal formal kehidupan berbangsa dan bernegara mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan (pengajaran) dan pemerintah diberi kewajiban untuk mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional.
Sayang, amanat luhur para pendiri bangsa tersebut tidak dapat dilaksanakan secara maksimal oleh pemerintah sebagai pengemban dan pelaksana amanat Undang-Undang. Dalam laporan tahunan UNDP 2004, indeks pembangunan manusia Indonesia menempati urutan ke-111 (setelah sebelumnya berada diurutan ke-112) dari 177 negara. Bila dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN, Indonesia hanya sejajar dengan Vietnam tapi di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Adapun hasil survei tentang kualitas pendidikan di Asia yang dilakukan oleh PERC yang berbasis di Hong Kong, Indonesia menempati urutan keduabelas atau yang terburuk di Benua Asia. (http://www.suaramerdeka.com).

 Dosen Tetap Pada Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Baturaja

more in pdf

Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah: Urgensi Akuntabilitas Laporan Keuangan

Volume 3, No. 5, Juni 2010 ISSN: 1979–0899X

Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah:
Urgensi Akuntabilitas Laporan Keuangan
Oleh: Marratu Fahri 
Abstract
Mariana and Paskarina (2008), mention that democratic accountability assumes that government has to be responsible to people who have given mandate to government. There are two kinds of accountability. The first is internal accountability that is given by second party, the ones who give authority to government and financial support. The second is external accountability. It is a responsibility to those who are the target in government’s policy.
Key words: Government, accountability, policy, financial
Pendahuluan
Akuntabilitas mestinya berlaku untuk semua bentuk pertanggungjawaban pemerintah kepada publiknya. Terlebih lagi untuk pertanggungjawaban keuangan negara hal mana mencerminkan semua aktivitas pemerintah dalam menjalankan roda kehidupan negara. Bentuk pertanggungjawaban keuangan negara dapat dilihat secara nyata oleh publik dalam laporan keuangan negara yang dikeluarkan. Dengan demikian publik diharapkan mampu menilai apakah pertanggungjawaban keuangan sebagaimana terlihat dalam laporan keuangan tersebut layak diterima atau tidak.
Laporan keuangan merupakan suatu hasil dari proses akuntansi untuk suatu periode tertentu. Agar suatu laporan keuangan negara dapat dinilai oleh publik maka diperlukan suatu standar akuntansi yang dapat digunakan sebagai dasar penilaiannya. Dengan adanya standar akuntasi yang baik, laporan keuangan menjadi lebih berguna, dapat diperbandingkan, tidak menyesatkan dan dapat menciptakan transparansi. Di samping itu, laporan keuangan agar dapat dikatakan transparan dan dapat dipertanggungjawabkan maka haruslah bersifat menyeluruh sehinga mengungkap semua sumber-sumber yang dimiliki maupun digunakan dalam aktivitas atau kegiatan yang dilakukan.
Dari paparan latar belakang tersebut terdapat dua permasalahan mendasar berkaitan dengan laporan keuangan yang secara otomatis terkait pula dengan proses penyusunan laporan keungan tersebut, maupun bentuk laporan keuangan yang dihasilkan, yakni: Pertama, diperlukannya standar akuntansi yang mengatur proses maupun bentuk laporan keuangan sesuai dengan yang berlaku umum. Kedua, bagaimana laporan keuangan yang disusun tersebut mampu menggambarkan semua potensi, posisi dan kondisi keuangan negara yang sebenarnya.
Oleh karena itu, tulisan singkat ini hendak mengkaji tentang urgensi akuntabilitas laporan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam konteks mewujudkan clean government dan good governance di era otonomi daerah.

 Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Baturaja Sedang Studi di MIP FISIP UNILA

more in pdf

Arah dan Tujuan Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Jurusan Dakwah (Studi Kasus Arah dan Tujuan Prodi KPI Jurusan Dakwah STAIN Curup)

Volume 3, No. 5, Juni 2010 ISSN: 1979– 0899X

Arah dan Tujuan Program Studi
Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Jurusan Dakwah
(Studi Kasus Arah dan Tujuan Prodi KPI Jurusan Dakwah STAIN Curup)
Oleh: Sumarni Sumai 
Abstract
Government has great responsibility to sharpen nation’s mind in order to reach fair, wealthy, and prosperous people with no difference through national education system regulated in Law Number 20 Year 2003. It is not easy and takes time to reach the goal. Capacity and commitment from the agents of education field needed, including Islam broadcasting communication (KPI) study program, missionizing (dakwah) major in STAIN Curup, to make strong plan on strategy and direction. SWOT analysis and planning by Macnamara can be used to create direction and purpose of KPI program study as mentioned by Salmadanis that KPI zone is mass and institutionalized activity.
Key words: Islam broadcasting communication, strategy, planning
Pendahuluan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengamanatkan anggaran pendidikan sebesar 20% dari total APBN. Anggaran 20% tersebut ditujukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara menyeluruh, meliputi sarana prasarana, tenaga pendidik, kurikulum, penguatan kelembagaan, proses belajar-mengajar, penelitian, prestasi akademik, dan peningkatan mutu anak didik (output). Pemerintah memiliki tanggungjawab yang sangat besar untuk melaksanakan amanat Undang-undang tersebut dan mewujudkannya menjadi sesuatu yang nyata.
Tujuan akhir dari hal tersebut adalah sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa; mencerdaskan bangsa dan terwujudnya masyarakat yang adil, makmur, sejahtera tanpa perbedaan. Artinya bahwa semua warga negara memiliki hak yang sama untuk menjadi cerdas dan menikmati fasilitas pendidikan yang disediakan oleh negara sesuai dengan standar kualitas yang ditetapkan.
Sejak beberapa tahun terakhir pemerintah telah meningkatkan anggaran pendidikan hingga mendekati angka 20% sebagaimana diamanatkan undang-undang. Program-program yang mendukung upaya peningkatan kualitas pendidikan terus digulirkan dengan pendanaan yang cukup besar; sertifikasi guru dan dosen, peningkatan kesejahteraan guru dan dosen, pembangunan gedung-gedung sekolah baru, penyediaan beasiswa bagi tenaga didik, adalah beberapa contoh yang bisa disebut.
Kebijakan tentang otonomi kampus digulirkan juga dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan tinggi yaitu bagaimana menjadikan kampus sebagai sebuah lembaga pendidikan yang mampu mengurus dirinya sendiri dan bersaing secara sehat antar perguruan tinggi sejenis. Tantangannya adalah bagaimana membuat perguruan tinggi diminati banyak calon mahasiswa oleh sebab kualitas yang memenuhi standar yang ditetapkan pemerintah, mulai dari

 Dosen Tetap Prodi KPI STAIN Curup Bengkulu, Alumni Magister Ilmu Komunikasi USAHID Jakarta

more in pdf

Peranan Perguruan Tinggi dalam Media Literacy Bagi Masyarakat

Volume 3, No. 5, Juni 2010 ISSN: 1979 – 0899X

Peranan Perguruan Tinggi dalam Media Literacy Bagi Masyarakat
Oleh: Isnawijayani 
Abstract
Communication Media has been developed in the form of printed Media and electronic Media. This development is not only easy to communicate and receive information fast wherever and whenever we go but also cheap. Besides positive impacts, it has negative influence to children and teenagers growth and adults. In other word it brings great influence to people. That is why Media literacy is needed so people will be able to know what Media is. Media presents through a long process. What we see is not 100% true. There are politics, economics, culture etc in it. People have to know and understand Media.
Key words: Media literacy, information, media effect, people
Pendahuluan
Tulisan ini bukan asli pemikiran penulis, melainkan dari berbagai sumber referensi dan reduksi pemikiran para ahli. Sementara deskripsi tentang persoalan media, lebih banyak didasarkan pada pengalaman penulis selama 5 tahun menjadi dosen Komunikasi dan menjadi Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sumatera Selatan. Pembahasan tentang topik ini diawali dengan latar belakang lahirnya Media literacy, pemaknaannya, dan Media literacy di Perguruan Tinggi. Penulis menutup bahwa Media literacy perlu disampaikan kepada masyarakat melalui Perguruan Tinggi. Mudah-mudahan rangkuman pemikiran ini bermanfaat bagi kita semua.
Mengapa Harus Ada Media Literacy?
Dahulu berkomunikasi memerlukan waktu dan tidak cepat mendapat respon. Sekarang, seiring perkembangan teknologi, media baru muncul sebagai alternatif yang digunakan masyarakat yang hemat waktu, mudah dan efektif. Masyarakat mulai tenggelam dalam dunia yang dipenuhi oleh media. Dalam Media Now (2009) kehadiran teknologi media menjadikan konvergensi (titik temu) teknologi media, telekomunikasi, dan komputer. Teknologi mempengaruhi gaya hidup masyarakat. Yang tadinya orang membaca suratkabar, kini beralih ke media online yang lebih murah dan media ini mudah diakses bahkan dapat dibaca lewat hand phone.
Buku Understanding Media–The Extensions of Man (Marshall McLuhan, 1999), mengatakan medium is message (pesan media ya media itu sendiri). McLuhan menganggap media sebagai perluasan manusia dan media yang berbeda-beda mewakili pesan yang berbeda-beda. Media menciptakan dan mempengaruhi kehidupan manusia sebagai individu dan masyarakat. Hal ini juga yang menjadikan globalisasi. Sehingga McLuhan menyampaikan Teori Determinime Teknologi yang menuai kritik dan berbagai tuduhan, ia melebih-lebihkan

 Dosen PNSD Prodi Komunikasi FISIP Universitas Baturaja, Doktor Ilmu Komunikasi UM Malaysia

more in pdf

Negara dan Civil Society dalam Masalah Disintegrasi Bangsa

Volume 3, No. 5, Juni 2010 ISSN: 1979–0899X

Negara dan Civil Society dalam Masalah Disintegrasi Bangsa
Oleh: Yunizir Djakfar 
Abstract
In storage of Indonesia, civil societies especially say that in post reformation discourse at 1998 envelope economic reformation, politic, sosial and culture. The incident at September, New York (WTC) becomes pioneer to global civil society power that come up new aware in most of authority’s country strictly increase of country safety. Because of terrorisms, that happening in New York is insult of human right. So that civil society is appears in the problem of nation integrity that become existence of manifests from individual.
Key words: Civil society, nation integrity
Pendahuluan
Konsep civil society tentu bukan penemuan abad 21, civil society yang kita ambil sampai hari ini terutama berdasarkan perkembangan yang rnutakhir, yaitu masa-masa sekitar runtuhnya blok sosialis dengan runtuhnya The Imperium Uni Soviet (Rusia) itu pada tahun 1989.
Meskipun ada yang kemudian membenturkan konsep civil society dengan msyarakat madani di mana civil society dianggap berasal dari Barat, sementara masyarakat madani lahir dalam peradaban masyarakat Islam, akan tetapi yang dikedepankan dalam tulisan ini adalah bahwa, baik civil society maupun masyarakat madani, adalah sama-sama mendorong terwujudnya masyarakat yang hidup berdasarkan kaidah keilmuan, dibimbing oleh keinsafan terhadap nilai proporsionalitas, mandiri, demokratis, menjunjung tinggi moral dan terbuka terhadap kritik. Dalam perkembangan lebih lanjut, civil society dimengerti sebagai entitas yang berbeda dengan negara.
Dalam khasanah ke-Indonesia-an, civil society terutama mengemukakan dalam diskursus pasca Reformasi 1998. Meliputi ide pembaruan ekonomi, politik, sosial hingga budaya. Adanya peristiwa 11 September, New York (WTC) lantas juga menjadi tonggak kekuatan civil society global yang juga mernbangkitkan kembali satu kesadaran baru di kalangan banyak penguasa-penguasa negara untuk lebih ketat dalam melakukan pengamanan negara. Karena terorisme seperti yang terjadi di New York tersebut merupakan bentuk penistaan terhadap hak hidup masyarakat. Maka civil society pun menapak pada persoalan kesatuan bangsa yang menjadi manifestasi eksistensi dari berbagai individu. Sebab berkenaan dengan hak hidup setiap manusia.
Sementara kesatuan sebuah bangsa adalah komitmen sakral dan para anggotanya yang telah mengikat din dalam sebuah wadah dengan beraneka ragam latar belakang, dengan demikian upaya-upaya yang mengarah kepada tindakan memecah belah adalah juga merupakan bagian dari langkah-langkah merongrong sebuah penyatuan dari berbagai kelompok tersebut. Ancaman ini tentu saja harus diantisipasi secara lebih tegas, tidak hanya

 Dekan FISIP Universitas Baturaja, Sedang Studi di MIP FISIP UNILA

more in pdf

Panggung Politik dan Komunikasi Politik DPR RI Periode 1999-2004 “Perang itu adalah politik berdarah dan politik itu adalah perang tak berdarah”

Volume 3, No. 5, Juni 2010 ISSN: 1979–0899X

Panggung Politik dan Komunikasi Politik DPR RI Periode 1999-2004
Oleh: Lely Arrianie 
“Perang itu adalah politik berdarah dan politik itu adalah perang tak berdarah”
Abstract
Most of House of Representative (DPR) members for 1999-2004 period are members since 1997. They experience reformation era when Soeharto was demoted and Abdurrahman Wahid (Gus Dur) resigned. It was a full of debate and violence period, wrapped by political messages. People hope reformation bring wind of change and politician in House of Representative make people get involved in political communication in House of Representative. Will politics change? Will the politician change too?
Key words: Reformation, political communication
Pendahuluan
Suasana reformasi telah memberikan dampak luar biasa terutama dalam kehidupan perpolitikan di tanah air. Kebungkaman yang terbelenggu selama tiga puluh dua tahun pemerintahan Orde Baru yang represif terlepas sudah, dari rakyat secara pribadi, kelompok kepentingan serta organisasi massa, pemuda mahasiswa maupun organisasi partai politik serta merta meneriakkan aspirasi, tuntutan dan agenda mereka ke panggung-panggung politik.
Asosiasi Parlemen Indonesia (API) melaporkan melalui Panduan Parlemen Indonesia bahwa, fenomena yang terlihat dari banyaknya tuntutan masyarakat yang diajukan ke dewan tidak terlepas dari langkah awal demokratisasi di Indonesia. Pemilu 1999 yang relatif dianggap sebagai pemilu paling fair sepanjang sejarah perpolitikan Indonesia setelah pemilu 1955, dan dianggap telah melahirkan institusi pemerintahan paling legitimate.
Kehadiran politisi di panggung politik DPR RI juga di apresiasi dengan beragam argumen, sama seperti politisi lain yang manggung di panggung politik di daerah-daerah, wajah-wajah baru menghiasi teater politik dan melakonkan adegan politik dengan intensitas dan kegamangan politik yang beragam pula.
Sementara rakyat menanti hasil kerja mereka dengan antusiasme yang relatif besar, banyaknya aspirasi dan tingginya ekspektasi rakyat terhadap dewan merefleksikan peran lembaga legislatif sebagai dokter ahli yang harus dapat segera menyembuhkan berbagai macam penyakit pasien. Tingginya ekspektasi rakyat tentu harus diimbangi dengan kinerja anggota dewan yang perlu di dukung oleh para experts, yang terdiri atas para peneliti yang handal dalam bidangnya, karena anggota dewan bukanlah kumpulan orang yang serba tahu, yang selalu menguasai seluruh permasalahan rakyat, pemerintahan dan kenegaraan (Panduan Parlemen Indonesia, 2001:476).
Di sisi lain, berdasarkan hasil penelitian tergambar bahwa harapan rakyat terhadap anggota dewan ternyata telah diapresiasi secara berlebihan oleh kebanyakan anggota dewan. Tampilan politisi yang memukau tidak hanya diperlihatkan dengan simbol keanggotaan yang

 Dosen Komunikasi FISIP Universitas Bengkulu, Doktor Ilmu Komunikasi UNPAD

more in pdf

Media Politik dan Politik Media; Antara Independensi dan Sebuah Keniscayaan

Volume. 2, No. 3, Juni 2009 ISSN: 1979– 0899X

Media Politik dan Politik Media;
Antara Independensi dan Sebuah Keniscayaan
Oleh: Hendra Alfani
Abstract
In performing its functions, media can be seen in three perspectives. Those are economics, sociology and politics perspective. Economics perspective declares that media is an institution that can be put as instrument to gain profit. Media is a good for the owner. Second perspective which is sociology perspective declares that media is an institution that plays role as social agent.
Key words: Media, politic, independency
Pendahuluan
Media mempunyai peran yang sangat signifikan dalam membentuk pola pikir manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Media dijadikan sebagai salah satu referensi utama yang dapat mempengaruhi perilaku tiap individu. Sedangkan perspektif politik, menyatakan bahwa media merupakan institusi yang menyajikan informasi dengan membawa ideologi tertentu. Setiap pesan yang dikonstruksi media pastinya mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Dalam konteks yang lebih luas media diibaratkan sebagai pihak yang mampu menjadi oposan bagi pemerintah.
Sepuluh tahun sudah bangsa ini lepas dari jeratan orde baru. Dimulainya era reformasi menandai beralihnya iklim politik dari yang dulunya menganut otoritarianisme ke demokrasi. Satu dasawarsa tentu bukan waktu yang bisa dikatakan sebentar. Dalam rentang waktu tersebut bangsa ini telah berjuang. Berjuang untuk menciptakan iklim demokrasi. Dalam relasinya dengan media, tentunya kita semua berpikir, berada dalam posisi manakah media dalam mengawal perubahan ini? Apakah media sudah turut berkontribusi dalam membentuk iklim demokrasi yang sebenarnya?
Ada dua indikasi yang dapat menjawab itu semua yakni, independensi media dan terciptanya ruang publik (public sphere). Mengapa dua hal tersebut? Independensi selalu berkaitan erat dengan kebebasan pers, sedangkan ruang publik menjadi barometer sejauh mana partisipasi publik dalam ranah politik melalui media. Independensi bisa dikatakan momok bagi media masa kini. Sebagai institusi ekonomi, tidak dapat dipungkiri media menjadi alat bagi pemodal untuk meraih untuk yang maksimal. Ketika media ditempatkan sebagai barang dagangan, bisa jadi media lebih mengutamakan kepentingan profit daripada memenuhi hak-hak publik. Kepentingan publik bisa saja ditempatkan pada level subordinat yang tidak mendapatkan perhatian serius dari institusi media.
Selain itu, isu kepemilikan (ownership) merupakan masalah besar yang hingga kini masih belum terpecahkan. Sudah menjadi rahasia umum bila faktor kepemilikan dapat mewarnai konten yang ditampilkan oleh media massa. Di Indonesia saja misalnya, semua orang dapat menilai keberpihakan ANTV dalam merekonstruksi berita tentang lumpur Lapindo. Kepemilikan Aburizal Bakrie di ANTV membuat dewan redaksi mereka memilih

 Dosen Tetap Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNBARA


more in pdf

Implementasi Pelayanan Publik dalam Era Otonomi Daerah

Volume 2, Nomor 3, Juni 2009 ISSN: 1979 – 0899XX

Implementasi Pelayanan Publik dalam Era Otonomi Daerah
Oleh: Herni Ramayanti
Abstract
The region autonomy, demanded local government character to give welfare for society with supply public service very wanted. Paradigm reshuffle from good government aim good governance (local governance), will involve connection between local government with society in government activity/affair. The good governance must there balance between public, private and social or society. There by region autonomy not only in central government authority capitulation limitation to region, but more than that is region autonomy is authority capitulation to society. Related to this matter, questio furthermore how does character with government in supply public service that involve participation private and society.
Key words: Public service, autonomy region, government
Pendahuluan
Di Indonesia istilah lokal gorvenance berarti pemerintah daerah yang memiliki otonomi daerah. Pemerintah daerah diselenggarakan oleh kepala daerah selaku penyelenggara pemerintah daerah tertinggi bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) melaksanakan fungsi policy making dan police execuring dengan menggunakan perangkat birokrasi lokal. Dalam hal yang menyangkut public service dilaksanakan oleh dinas dan BUMD. Public service memiliki karakteristik sebagaimana dikemukakan Holtham: (a) Secara umum tidak dapat memilih pelanggan; (b) Peranannya dibatasi Undang-Undang; (c) Konflik/permasalahan politik kelembagaan; (d) Kompleksitas pertanggung jawaban; (e) Sangat terbuka pada sistem keamanan; (f) Setiap kuatifitas harus beralasan, dan; (g) Tujuan sulit untuk diukur.
Dengan karakteristik demikian, pelayanan publik membutuhkan organisasi yang berbeda dengan organisasi yang dapat memilih konsumennya secara selektif. Setiap kenaikan harga atas suatu public service harus dibicarakan dahulu dan mendapat persetujuan dari legeslatif. Terdapat public service yang seperti penyediaan air bersih, listrik infrastruktur dan sebagainya tidak sepenuhnya barang.
Seperti penyediaan air bersih, listrik, infrastrukur dan sebagainya tidak sepenuhnya dapat diserahkan berdasarkan mekanisme pasar. Akan terdapat kelompok masyarakat yang tidak dapat mengakses public services bila diserahkan kepada provat/swasta. Gejala ini disebut denggan kegagalan pasar (market vailure). Untuk mengatasi permasalahan tersebut dan upaya memberikan pemerataan terhadap akses public services pemerintah melakukan intervensi dengan menyediakan public goods dengan dua karakteristik, yaitu (1) ”non-exludability” dan (2) non-rivalry comsuption. Dengan demikan pihak swasta tidak bersedia menghasilkan barang publik (murni), maka pemerintahlah yang harus menyediakan agar kesejahteraan seluruh masyarakat dapat ditingkatkan. Intervensi pemerintah akan lebih menonjol diwilayah pedesaan dibandingkan dengan perkotaan yang tuntutan akan public services sangat tinggi kenyataan yang tak terhindarkan adalah pergeseran barang jasa menjadi barang privat. Sebagai contoh permasalahan kebakaran diperkotaan menjadi sangat penting dan menjelma menjadi salah satu public services. Fenomena tersebut menunjukkan adanya government growt. Pertumbuhan beban pemerintah bukan saja

 Dosen Tetap Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP UNBARA


more in pdf

Metodologi Kuantitatif dalam Penelitian Sosial

Volume 2, Nomor 3, Juni 2009 ISSN: 1979 – 0899XX

Metodologi Kuantitatif dalam Penelitian Sosial
Oleh: Anis Feblin1
Abstract
In many cases, qualitative and q uantitative researches are different, although there are a lot of alikeness too, complementing to each other. All of social researchers have systematically collected and analyzed empirical data and carefully examined their patterns in order to understand and explain social life. Differences between qualitative and q uantitative life can create confusion among students, researchers, and readers of research reports. Those who appraise qualitative research by means of q uantitative research standards often get dissappointed, and such is the case with the contrary one. It is the best to appraise each of the styles. To appraise their respective strengths, it is very important to understand differences of researchers’ orientation. One of differences between the two styles derives from the existing data characteristics. Soft data take form of impressions, words, sentences, photos, symbols, and so on, dictating research strategies and techniq ue of data collection that is different compared to hard data, taking form of numbers. Another difference is that researchers qualitatively and quantitatively have varied assumptions on social life and different objectives. The difference can make tools used by other forces become unsuitable and irrelevant to others.
Key words: Quantitative, qualitative, research design
Pendahuluan
Metodologi kuantitatif mendasarkan pada filosofi positivistik atau naturalistik (fenomenologi). Selama lebih dari satu abad, struktur, proses dan latar belakangnya menawarkan dasar untuk pengembangan dan praktek standar metode ilmu sosial. Sejalan dengan hal di atas, standar tersebut membentuk prinsip‐prinsip teoritikal dari penelitian kuantitatif. Biasanya bersifat deduktif, positivistik, obyektif, dan “bebas nilai”. Secara ringkas prinsip‐prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
 Realitas adalah obyektif, sederhana dan positif serta terdiri dari kesan indrawi; terdapat satu realitas secara alamiah, satu kebenaran.
 Manusia ditentukan oleh dunia sosialnya dalam cara yang sama dimana dunia naturalistik diatur dengan hukum tetap; manusia berhubungan dengan pola tetap yang secara empiris dapat diamati. Tugas ahli sosiologi adalah menemukan hukum ilmiah yang menjelaskan perilaku manusia.
 Fakta harus dijaga terpisah dari nilai; ilmuwan sosial tidak boleh membuat penilaian atas nilai.
 Ilmu alam dan sosial memberikan prinsip logika dan metodologi yang sama. Ilmuwan sosial dapat menggunakan metode ilmu fisika.
 Metafisika, alasan filosofi dan spekulasi merupakan ilusi; tidak dapat menawarkan data yang reliabel dan valid, mereka tidak memiliki relevansi empiris, dan tidak mempergunakan prosedur jelas yang dapat menghasilkan pengulangan serta pengujian kembali.

1 Dosen Tetap Program Studi Ekonomi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Baturaja

more in pdf

Korupsi dan Good Governance

Volume. 2, No. 3, Juni 2009 ISSN: 1979– 0899X

Korupsi dan Good Governance
Oleh: Marratu Fahri
Abstract
One of problems winding our nation is corruption. It ruins our nation. The low of publik service is caused by the corruption. Because of that, good governance convinced can reduce corruption. Good governance requires transparency, accountability and populace participation.
Key words : Corruption, good governance
Pendahuluan
Dalam pandangan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin dalam Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah (2006:v-vi), good governance sudah menjadi istilah politik dan sekarang ini lebih disukai daripada istilah lama, clean governance. Pemerintahan yang baik tentu good dalam pengertiannya yang lebih luas. Mungkin dalam bahasa Arab padanannya adalah khair. Jadi kalau ada istilah khairu ummah, mungkin padanan kata untuk good governance adalah khairu ummah, pemerintahan yang baik yang mau menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemerintah.
Good governance merupakan salah satu pilar dan prasyarat bagi terwujudnya masyarakat madani (civil society). Masyarakat madani itu sendiri selain menjadi bagian dari masyarakat tetapi juga mengandaikan adanya kebaikan di lingkungan pemerintahan. Pemerintah yang mendapat amanat dari rakyat memiliki wewenang untuk mengelola kemajemukan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat melalui satu sistem hukum. Penegakan supremasi hukum itulah hak yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah. Dengan demikian negara mempunyai posisi yang sangat sentral dan strategis, karena bisa dikatakan bahwa baik buruknya kehidupan berbangsa dan bernegara sangat tergantung dari perilaku penyelenggara negara atau penyelenggara pemerintahan. Karena itu maka good governance sebagai sebuah cita-cita masyarakat madani perlu ditegakkan.
Dalam pada itu, tingginya angka korupsi di negara kita sesungguhnya adalah gambaran betapa lemah dan tidak adanya good governance dimaksud. Persoalan ini tentu sangat menarik untuk didiskusikan mengingat korupsi sangat merugikan dan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pengertian, Penyebab, dan Bentuk Korupsi
Menurut Transparansi Internasional, seperti dikutip Amien Rais (2008:177 ) korupsi adalah “ perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka”. Robert Klitgaard mengajukan rumus sederhana, yakni : C = D + M – A atau Corruption = Discretion + Monopoly – Accountability. Korupsi mengandung unsur-unsur: melawan hukum/melanggar
 Dosen Tetap Pada Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP UNBARA, Sedang Studi di MIP FISIP UNILA

more in pdf

Pembangunan yang Berpusat Pada Manusia

Volume. 2, No. 3, Juni 2009 ISSN: 1979– 0899X

Pembangunan yang Berpusat Pada Manusia
Oleh: Andy Corry Wardhani
Abstract
In development model centering on human, government role is creating social environment that enable to stimulate man development and potentiality actualization. The creating of social environment needs self organize learning system, with orienting informal organization network and communication flow on need and local variety as complement of more formal command system. Structural arrangement depends on populace initiative to create based on unlimited information. It determines inputs of development centering on human.
Key words : Development, government, populace
Pendahuluan
Para Perencana pembangunan di negara-negara berkembang dan ahli pembangunan lainnya sepanjang dua dasawarsa terakhir makin menyadari pentingnya pendekatan alternatif dalam pembangunan. Pada mulanya para perencana pembangunan begitu yakin bahwa pembangunan yang dirancang secara teknokratis, melalui pengelolaan sumberdaya secara terpusat dan memberikan kepercayaan yang berlebihan kepada birokrasi pemerintah sebagai pelaku utama pembangunan, akan mampu mengatasi berbagai persoalan dasar masyarakat seperti kemiskinan, kesenjangan sosial dan keterbelakangan. Aplikasi Model-model pembangunan yang digunakan tidak jarang menghasilkan program-program pembangunan yang bukan hanya mengabaikan akan tetapi juga menurunkan kemampuan masyarakat untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi melalui inisiatif lokal dan lebih dari pada itu membuat mereka menjadi sangat tergantung kepada birokrasi-birokrasi terpusat yang memiliki kemampuan absorpsi sumberdaya yang sangat besar, akan tetapi sebaliknya kurang memiliki kepekaan untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan lokal ( Korten, 1988 ).
Pendekatan pembangunan yang berpusat pada manusia (people-centered development), telah mengundang kebangkitan kembali dengan semangat baru yang lebih bersifat partisan pembangunan masyarakat. Pendekatan pembangunan seperti ini merupakan suatu elemen dasar dari suatu strategi pembangunan yang lebih luas, bertujuan untuk mencapai suatu transformasi berdasarkan nilai-nilai yang berpusat pada manusia dan potensi-potensi yang ditawarkan oleh teknologi maju berdasarkan informasi. Pembangunan yang berpusat pada manusia, memandang manusia sebagai warga masyarakat, sebagai fokus utama maupun sumber utama pembangunan, nampaknya dapat dipandang sebagai suatu strategi alternatif pembangunan masyarakat yang menjamin komplementaritas dengan pembangunan bidang-bidang lain, khususnya bidang ekonomi.
Landasan berpijak pendekatan pembangunan seperti ini bukan birokrasi dan program-program serta proyek-proyek yang dirancang dan dikelola secara terpusat, melainkan masyarakat atau komunitas itu sendiri, kebutuhan-kebutuhannya, kemampuan-lemampuannya dan lebih luas dari semuanya adalah penguasaan atas sumberdaya-sumberdaya dan nasib

 Doktor Ilmu Komunikasi; Dosen Tetap Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNILA

more in pdf

Pendidikan Politik Warga Negara dalam Menciptakan Demokrasi yang Berkualitas

Volume. 2, No. 3, Juni 2009 ISSN: 1979– 0899X

Pendidikan Politik Warga Negara
dalam Menciptakan Demokrasi yang Berkualitas
Oleh: Yunizir Djakfar
Abstract
In communication theory, education is one of specializations such as propaganda, journalism, public relation etc. Education as activities of influencing, changing, and forming attitude and behavior based on truthful and useful values to human kind. In political education process as process to get orientation behavior toward politics phenomenon through someone else, it is part of process that determines someone’s political attitude, such as nationalism, social class, ethnic group, ideology, right and obigation. At this moment our citizens get natural political education, political party expected to be center of political education is really far from this hope. It is reasonable that from now on government can give better political education in order to get qualified democracy.
Key words: Political education, citizen, democracy
Pendahuluan
Usaha mempertahankan sistem yang sedang berlangsung sekaligus upaya pelestarian sistem nilai politik (politik, budaya, ideologi, pola keyakinan) sebagai proses mengaktifkan unsur-unsur dinamis yang ada pada diri manusia yaitu sikap, perilaku, sistem berpikir, pandangan, unsur indriatif dan unsur-unsur instingtif yang diarahkan kepada suatu objek tertentu (kondisi pelestarian) agar objek tersebut didekati.
Pendidikan politik sangat bergantung kepada sistem nilai yang mendasarinya. Pola pendidikan pada negara-negara penganut sistem totaliter akan berbeda dengan pola pendidikan pada negara-negara penganut sistem demokrasi. Demikian pula tujuannya pun akan merupakan perbedaan berbanding terbalik antara kedua pola tersebut. Di dalam pelestarian sistem nilai atau politik, maka pendidikan politik merupakan salah satu upaya selain upaya lainnya yang merupakan aktivitas mempengaruhi, mengubah dan membentuk perilaku.
Pendidikan politik adalah sebagai proses yang melalui masyarakat menyampaikan “budaya politik” yaitu norma-norma dan nilai-nilai, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian pendidikan politik atau sosialisasi politik merupakan faktor penting dalam terbentuknya budaya politik (political culture) suatu bangsa.
Suatu definisi yang dirumuskan oleh seorang ahli sosiologi politik M. Rush (1992) “pendidikan/sosialisasi politik adalah proses yang melaluinya orang dalam masyarakat tertentu belajar mengenali sistem politiknya. Proses ini sedikit banyak menentukan persepsi dan reaksi mereka terhadap fenomena politik (political socialization may be defined is the process by which individuals in a given society become acquainted with the political system and which to a certain degree determines their perception and their reactions to political phenomena).

 Dekan FISIP UNBARA Sedang Studi di MIP FISIP UNILA

more in pdf

Kisruh DPT dalam Pilpres 2009: Studi Analisis Isi Pada Suratkabar Nasional dan Lokal

Volume. 2, No. 3, Juni 2009 ISSN: 1979– 0899X

Kisruh DPT dalam Pilpres 2009:
Studi Analisis Isi Pada Suratkabar Nasional dan Lokal
Oleh: Habib Muhsin
Abstract
General Election Commission (KPU) as general election organizer has duty and authority in practising president and vice president election at 8 June 2009 in Indonesia. One of the phenomenon in general election of president and vice president at that time is the conflict List of Voters Permanent (Daftar Pemilih Tetap/DPT) . This study describes DPT problems by national and local newspapers in Indonesia. The objectives of this study are directed to know the content conflict of DPT news in local and national newspapers. These findings of content analysis conducted in this study indicate the conflict of DPT influence negative quality in general election of presiden and vice president 2009.
Key words: Election, voters, newspapers, conflict
Pendahuluan
Reformasi bidang politik di Indonesia saat ini telah mengalami perubahan yang cukup fundamental dalam ketatanegaraan melalui amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu klausul dalam amandemen konstitusi tersebut ialah bahwa Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia dipilih secara langsung oleh rakyat Indonesia. Oleh karena itu sejak pemilu tahun 2004 dan kemudian pemilu 2009 rakyat Indonesia menyaksikan dan mengalami pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) yang dipilih secara langsung.
Pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden adalah sebuah mekanisme politik untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan warga negara. Penyelenggaraan pemilu secara reguler lima tahunan merupakan sarana untuk menyampaikan aspirasi politik rakyat, pengisian jabatan politik kenegaraan oleh rakyat secara langsung, dan sekaligus sebagai sarana kontrol dan evaluasi politik rakyat secara langsung terhadap penyelenggaraan negara pada masa lalu dan masa datang.
Makna pilpres yang paling esensial bagi suatu kehidupan politik yang demokratis adalah sebagai mekanisme pergantian kekuasaan (pemerintah) berdasarkan regulasi, norma, dan etika, sehingga sirkulasi elite politik dapat dilakukan secara damai dan beradab. Institusi pemilu merupakan produk dari pengalaman sejarah umat manusia dalam mengelola kekuasaan. Dalam sejarah demokrasi, pemilu yang teratur merupakan cara damai dalam mengganti pemerintahan. Dengan demikian, pemilihan umum menghindarkan penggunaan kekerasan berdarah dalam menggantikan pemerintah berkuasa yang sudah tidak lagi dikehendaki rakyat.

more in pdf

Mesjid Agung Palembang dan Komunikasi Syiar Islam Bagi Masyarakat

Volume. 2, No. 3, Juni 2009 ISSN: 1979– 0899X

Mesjid Agung Palembang dan Komunikasi Syiar Islam Bagi Masyarakat
Oleh: Isnawijayani 
Abstract
This research aims to know the relationship between Palembang great mosque and Islam propagation communication for community. The hypothesis is the function of Palembang great mosque (x) and Islam communication (y). The population of research is 55 board members of Palembang great mosque. The research uses full sampling technique. The result shows that 99 % Palembang great mosque has strong relationship to Islam propagation communication for community. The determination coefficient is 0,98, it means that Islam propagation communication is 98 determined by function of great mosque as place of worship. We can say that the function of great mosque as place of worship is influenced by 98 % Islam propagation communication and 2 % other factors such as personal communication done by the board.
Keywords : Mosque, place of worship, Islam propagation communication
Pendahuluan
Antara abad ke-7 sampai abad ke-10 kerajaan Sriwijaya meluaskan kekuasaannya ke daerah Semenanjung Malaka sampai Kedah dalam rangka penguasaan Selat Malaka yang merupakan kunci bagi pelayaran dan perdagangan Internasional. Kedatangan orang-orang Muslim ke daerah itu sama sekali belum memperlihatkan dampak-dampak politik, karena mereka datang memang untuk usaha pelayaran dan berniaga. Keterlibatan orang-orang Islam dalam politik baru terlihat pada abad ke-9 M. Ketika mereka terlibat dalam pemberontakan petani-petani Cina terhadap kekuasaan T’ang pada masa pemerintahan Kaisar Hi-Tsung (878-889).
Akibat pemberontakan itu, kaum muslimin banyak yang dibunuh, sebagian lainnya lari ke Kedah dan Palembang yang berada dalam wilayah Kerajaan Sriwijaya dan mereka membuat perkampungan Muslim. Kerajaan Sriwijaya pada waktu itu memang melindungi orang-orang Muslim di wilayah kekuasaannya karena kepentingan ekonomi.
Kehadiran pedagang-pedagang Muslim di wilayah kekuasaan Sriwijaya ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan penduduk setempat, karena ajaran-ajaran Islam yang dibawa dan diajarkan oleh pedagang asing mudah menyatu dan dapat diterima masyarakat setempat disebabkan ajaran ini tampil sangat terbuka dan penuh toleransi serta mengajak pengikutnya berpikir dan berbuat rasional. Secara tidak langsung Agama Islam mulai berkembang, baik karena terjadinya hubungan perniagaan juga ada yang melalui hubungan perkawinan. Akibatnya terjadi akulturasi dan transformasi budaya yang cukup signifikan antara Islam dan budaya setempat, seperti adat istiadat, sikap, perilaku dan pola hubungan masyarakat.
Berdasarkan hasil Seminar Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan pada tanggal 29 Nopember 1984 yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia Tingkat I Sumatera Selatan di Palembang.(Hanfiah: 1985), disimpulkan sbb: sumber-sumber sejarah

 Doktor Ilmu Komunikasi; Dosen PNSD Kopertis Wilayah II DPK di Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNBARA

more in pdf

Kapitalisme, Organisasi Media dan Jurnalis: Perspektif Ekonomi Politik Media

Volume. 2, No. 3, Juni 2009 ISSN: 1979– 0899X

Kapitalisme, Organisasi Media dan Jurnalis: Perspektif Ekonomi Politik Media
Oleh: Kamaruddin Hasan dan Deddy Satria M
Abstract
Globalization is so close with global capitalism effect spreading in every aspect of life such as economy, politics, social, law and culture. The world has no boundary. Technology progress and science disguise the border among countries. Internet and television make the distance no longer be a problem. It was never imagined before. This is what we call globalization era marked by free market causing capital easy to go in and out. Avoiding free market will make a country be isolated from international association. Globalization demands integration of all aspects in life: economy, politics, social and culture. Globalization can not be detached from capitalism.
Key words: Capitalism, globalization, media, journalism
Pendahuluan
Globalisasi sejatinya adalah anak yang lahir dari rahim kapitalisme. Boleh dikatakan Globalisasi adalah anak kandung kapitalisme. Kapitalisme yang awalnya hanya beroperasi dalam suatu negara kemudian merambah ke negara lain, demi memasarkan produknya dan mencari keuntungan demi mengakumulasi modal. Bila di masa kolonial kapitalisme melakukan koloni untuk mencari bahan mentah dan perluasan pasar, di masa pascakolonial, kapitalisme beroperasi dengan membonceng kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Globalisasi dengan konsep liberalisme merupakan spirit dasar kapitalisme, ternyata tidak hanya merasuk dalam bidang ekonomi dengan paket-paket privatisasinya. Tidak hanya pula menyelundup liar ke ranah diskursus keyakinan seperti keagamaan dengan diabolisme intelektualnya, tapi juga telah mewabah dalam media massa.
Globalisasi tidak serta bersifat netral. Tatanan kemajuan yang dibentuk dan dipengaruhi globalisasi juga tidak sekedar bebas nilai. Sistem global yang turut masuk dalam industri komunikasi modern berdampak dalam beberapa segi. Dampak-dampak itu adalah subversi kebudayaan, ideologi korporat. Pertama, subversi kebudayaan. Dampak nyata dengan globalisasi media adalah salah satunya sistem kepemilikan global yang menjadi tren industri media massa modern. Kekuatan modal asing mampu berpenetrasi dalam struktur media lokal atau nasional yang pada akhirnya berpengaruh pada masalah transmisi kebudayaan global ke tingkat yang lebih rendah dalam hal ini nasional dan lokal. Ancaman media global tidak berhenti pada masalah sosial politik saja tapi justru masuk secara pelan dan hegemonik dalam nilai-nilai budaya masyarakat. Keuntungan imperialisme ekonomi tidak berhenti tapi berlanjut pada apa yang sering disebut dengan imperialisme kebudayaan. Kedua, ideologi korporat. Ideologi korporat dalam media massa kontemporer adalah akumulasi modal atau akumulasi keuntungan. Konsekuensi logis dari kapitalisme media adalah selain pengembangan pasar dan kapasitas teknologi juga melibatkan perluasan dan peningkatan volume kapital atau modal melalui diversifikasi barang atau jasa media massa modern.









 Dosen Tetap Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Univ. Malikussaleh Lhokseumawe NAD Alumni Pascasarjana Komunikasi UI

more in pdf

Jumat, 01 Juni 2012

Informasi Elektronik Sebagai Bukti dalam Perkara Pidana

Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X

Informasi Elektronik Sebagai Bukti dalam Perkara Pidana
Oleh: Nur Ro’is
Abstract
The development of technological progress is always accompanied by the legal issues that arise in comparative law left behind by developments there. Electronic information as a result of developments in information technology that are so fast to bring the problems associated with proving particularly in the realm of criminal procedural law in which evidence is still adheres to traditional proofs, which is based on evidence that conventional.
Keywords : Electronic information, evidence, electronic evidence
Pendahuluan
Perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat dan menyebar hampir keseluruhan bidang kemasyarakatan. Perkembangan di bidang teknologi informasi juga mempengaruhi aspek-aspek hukum berlaku. Batas-batas wilayah suatu negara serasa tidak berarti lagi dengan perkembangan teknologi informasi yang ada, hubungan antara satu belahan dunia ke belahan dunia yang lain dilakukan dalam tempo hitungan detik. Transaksi-transaksi antar wilayah negara dilakukan secara jarak jauh dan bisa dilakukan kapan saja. Pihak-pihak pelaku transaksi tersebut hanya berpegang kepada azas kepercayaan dan bukti berupa data elektronik yang mereka pegang. Pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi telah mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global. Teknologi informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum.
Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum siber atau hukum telematika. Hukum siber atau cyber law, secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian pula, hukum telematika yang merupakan perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology), hukum dunia maya (virtual world law), dan hukum mayantara.
Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem komunikasi baik dalam lingkup lokal maupun global (internet) dengan memanfaatkan teknologi informasi berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual. Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.
Aktivitas dalam ruang cyber bersifat virtual yang berdampak sangat nyata, sekalipun alat buktinya bersifat elektronik, sebagai contoh dalam kegiatan electronic commerce antara lain diintrodusir adanya dokumen elektronik yang memiliki kedudukan yang disetarakan dengan dokumen yang dibuat secara tertulis diatas kertas
 Dosen PNSD Kopertis Wilayah II DPK di FISIP UNBARA
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
91 Nur Ro’is; 90 – 96
Dengan demikian, subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata. Dalam kegiatan e-commerce antara lain dikenal adanya dokumen elektronik yang kedudukannya disetarakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas.
Berkaitan dengan hal itu, perlu diperhatikan sisi keamanan dan kepastian hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi agar dapat berkembang secara optimal. Oleh karena itu, terdapat tiga pendekatan untuk menjaga keamanan di cyberspace, yaitu pendekatan aspek hukum, aspek teknologi, aspek sosial, budaya, dan etika. Untuk mengatasi gangguan keamanan dalam penyelenggaraan sistem secara elektronik, pendekatan hukum bersifat mutlak karena tanpa kepastian hukum, persoalan pemanfaatan teknologi informasi menjadi tidak optimal.
Inti Permasalahan
Permasalahan hukum yang sering dihadapi adalah terkait dengan “penyampaian informasi, komunikasi dan atau transaksi secara elektronik” khususnya dalam konteks penerapan pembuktian dan hal lain yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.
Informasi elektronik menjadi suatu hal yang baru dalam hukum pidana Indonesia dikarenakan landasan Hukum Acara Pidana Indonesia yaitu UU No. 8 Tahun 1981 sama sekali tidak mengenal informasi elektronik sebagai salah satu alat bukti yang sah.
Informasi elektronik sendiri memiliki pengertian sebagai satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya (UU No 11 Tahun 2008 Pasal 1 Angka 1).
Dalam perkara pidana juga terjadi pergeseran pandangan umum terhadap alat bukti itu sendiri seiring dengan perkembangan teknologi informasi ini. Bukti berupa informasi elektronik sebagai hasil dari teknologi informasi menjadi hal yang diperdebatkan mengenai keabsahannya dalam pembuktian.
Tulisan ini mencoba mengangkat permasalahan “Bagaimana kedudukan informasi elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana?” Dalam tulisan ini pembahasan pertanyaan dibatasi hanya pada; teori umum tentang pembuktian dan kedudukan informasi elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam undang-undang.
Teori Pembuktian Pidana
Pembuktian merupakan bagian dari hukum acara pidana, menurut Andi Hamzah tujuan dari hukum acara pidana adalah mencari kebenaran materiil itu adalah sebagian dari tertib hukum indonesia yaitu menuju masyarakat yang tertib, tentram, adil dan sejahtera (Andi Hamzah, 1984, Hal 18).
Menurut R. Subekti, membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Lebih lanjut dikatakan bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau “perkara” di muka hakim atau pengadilan. Kemudian Sudikno Mertokusumo, menerangkan bahwa pembuktian mengandung beberapa pengertian, yaitu arti logis, konvensional dan yuridis. Membuktikan dalam arti logis adalah memberikan kepastian dalam arti mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Untuk membuktikan dalam arti konvensional, disinipun membuktikan berarti juga memberikan kepastian, hanya saja bukan kepastian mutlak, melainkan kepastian nisbi atau relatif
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
92 Nur Ro’is; 90 – 96
sifatnya. Dan membuktikan dalam arti yuridis berarti memberi dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Dengan demikian membuktian adalah suatu cara yang diajukan oleh pihak yang berperkara di muka persidangan atau pengadilan untuk memberikan dasar keyakinan bagi hakim tentang kepastian kebenaran suatu peristiwa yang terjadi (Yuyun Yuliana, 2002:7).
Secara umum teori sistem pembuktian dalam hukum acara pidana dapat secara singkat diuraikan sebagai berikut (Reda Mantovani, 2008 Hal.38):
a. Sistem pembuktian conviction-in time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilian “keyakinan hakim”. Keyakinan hakim menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Darimana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bias juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim dan langsung menarik keyakinan dari keterangan terdakwa;
b. Sistem pembuktian conviction-rasionee, dalam sistem ini pun dapat dikatakan keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi dalam sistem pembuktian ini faktor keyakinan hakim dibatasi, yakni harus didukung dengan “alas an-alasan yang jelas”;
c. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif merupakan pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim, menurut sistem ini “ keyakinan hakim tidak ikut diambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa”. sistem ini berpedoman pada alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Untuk menentukan salah atau tidaknya terdakwa tergantung pada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang;
d. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, sistem ini merupakan gabungan atara sistem berdasarkan keyakinan hakim dan sistem pembuktian berdasar undang-undang secara positif.
Sumber hukum pembuktian adalah undang-undang, doktrin atau ajaran dan jurisprudensi. Karena hukum pembuktian bagian dari hukum acara pidana, maka sumber hukum yang pertama adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, Tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan penjelasannya yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209. ( Sasangka ,2003 Hal 10).
Apabila di dalam praktik menemui kesulitan dalam penerapannya atau menjumpai kekurangan atau untuk memenuhi kebutuhan maka digunakan doktrin atau yurisprudensi. Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat digunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.
Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan dengan cara-cara bagaimana alat bukti tersebut dipergunakan dan dengan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya. Sistem pembuktian yang dianut oleh Indonesia dapat dilihat dalam Undang-Undang No 8 tahun 1981 dalam pasal 183 berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
93 Nur Ro’is; 90 – 96
Selanjutnya dalam pasal 184 ayat 1 diatur mengenai alat bukti itu sendiri yaitu: a) Keterangan saksi; b) Keterangan ahli; c) Surat; d) Petunjuk, dan; e) Keterangan terdakwa. Dalam undang-undang tersebut sama sekali tidak disebutkan mengenai informasi elektronik.
Alat Bukti Informasi Elektronik dalam Undang-Undang
Meskipun mengenai alat bukti informasi elektronik tidak disebutkan dalam KUHAP sejak tahun 2001 dalam hukum acara pidana telah mengenal mengenai bukti informasi elektronik dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Alat bukti informasi elektronis di introduksi dalam pasal 26A :
“Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari; a) Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan; b) Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.”
Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang No 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dalam pasal 38 jo Pasal 1 butir 7 Undang-Undang No 15 Tahun 2002 jo Pasal 1 butir 9 Undang-Undang No 25 tahun 2003yang mengatur tentang alat bukti berupa informasi elektronik sebagai berikut:
“Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada: a) Tulisan, suara, atau gambar; b) Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; c) Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.”
Kemudian dalam PERPU No 1 Tahun 2002 yang telah diundangkan dengan Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme disebutkan dalam pasal 27;
Pasal 27: Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi: a) Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; b) Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; c) Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada; (1) Tulisan, suara, atau gambar; (2) Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; (3) Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Selanjutnya data elektronik sebagai alat bukti dapat juga ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan dalam Pasal 1 point 20 disebutkan: Audit Kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
94 Nur Ro’is; 90 – 96
kepabeanan. Pada pasal 5A Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 disebutkan sebagai berikut :
“(1) Pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dapat disampaikan dalam bentuk tulisan di atas formulir atau dalam bentuk data elektronik; (2) Penetapan kantor pabean tempat penyampaian pemberitahuan pabean dalam bentuk data elektronik dilakukan oleh Menteri; (3) Data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat bukti yang sah menurut Undang-Undang ini; (4) Ketentuan mengenai tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.”
Dalam penjelasan pasal 5A ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 dijelaskan Data elektronik (softcopy) yaitu informasi atau rangkaian informasi yang disusun dan/atau dihimpun untuk kegunaan khusus yang diterima, direkam, dikirim, disimpan, diproses, diambil kembali, atau diproduksi secara elektronik dengan menggunakan komputer atau perangkat pengolah data elektronik, optikal, atau cara lain yang sejenis.
Tahun 2008 menjadi momentum penting dalam perkembangan hukum di Indonesia dengan keluarnya undang-undang yang mengatur mengenai cyberspace yaitu Undang-undang no 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE ). Di dalam undang-undang tersebut dijelaskan mengenai definisi Informasi elektronik ; adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya Pasal 1 (1).
Selanjutnya dalam Pasal 5 UU No 11 Tahun 2008 disebutkan mengenai sahnya Informasi Elektronik sebagai alat bukti yang sah ;
Pasal 5; 1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah; 2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia; 3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang ini, dan; 4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: (a) Surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan; b) Surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Mengenai persyaratan suatu informasi elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 6 UU Nomor 11 Tahun 2008 ;
Pasal 6: Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
Mengenai bentuk dari dokumen elektronik itu sendiri penjelasan Pasal 6 UU No 11 Tahun 2008 menerangkan bahwa Selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi dan/atau dokumen yang tertuang di atas kertas semata, padahal pada hakikatnya informasi dan/atau dokumen dapat dituangkan ke dalam media apa saja, termasuk media elektronik. Dalam lingkup sistem elektronik, informasi yang asli dengan salinannya tidak relevan lagi
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
95 Nur Ro’is; 90 – 96
untuk dibedakan sebab sistem elektronik pada dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan lagi dari salinannya.
Ketentuan selanjutnya yang mengatur tentang Informasi Elektronik sebagai alat bukti ditemukan dalam Pasal 44 UU No 11 tahun 2008 ;
Pasal 44: Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan undang-undang ini adalah sebagai berikut: a) Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan, dan; b) Alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
Ketentuan mengenai Informasi Elektronik berkaitan sebagai alat bukti juga dapat ditemukan dalam Undang-Undang No 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dalam pasal 24;
Pasal 24: Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Hukum Acara Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak terbatas pada: a) Barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan cetakan, baik elektronik, optik, maupun bentuk penyimpanan data lainnya, dan; b) data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya.
Alat Bukti Informasi Elektronik dalam Perkara Tindak Pidana Umum
Meskipun Undang-undang di Indonesia telah mengenal Informasi Elektronik sebagai salah satu alat bukti akan tetapi secara umum Hukum Acara Pidana Indonesia masih mengacu pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 sebagai landasan hukum. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 alat bukti hanya terbatas pada; Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan Terdakwa. Informasi Elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti pada kasus-kasus yang bersifat khusus di mana undang-undang telah mengaturnya sebagai alat bukti yang sah seperti dalam kasus korupsi, Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik, Pornografi dan Tindak Pidana Kepabeanan.
Informasi Elektronik dalam RUU Tentang Hukum Acara Pidana Indonesia
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa informasi elektronik tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam tindak pidana umum dikarenakan landasan hukum acara di Indonesia adalah undang-undang No. 8 Tahun 1981 dimana undang-undang tersebut tidak mengenal informasi elektronik sebagai salah satu alat bukti yang sah.
Keterbatasan dalam UU No 8 Tahun 1981 dalam alat bukti ini yang menyebabkan perlu adanya pembaharuan dalam KUHAP. Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Draft Tahun 2008 sudah mengenal mengenai bukti elektronik sebagai alat bukti ( Pasal 177 ayat (1).c )
(1) Alat bukti yang sah mencakup: a) barang bukti; b) surat-surat; c) bukti elektronik; d) keterangan seorang ahli; e) keterangan seorang saksi; f) keterangan terdakwa; dan; g) pengamatan Hakim.
Menurut penjelasan pasal 177 ayat (1) huruf c RUU KUHAP Yang dimaksud dengan “bukti elektronik” adalah informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, termasuk setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
96 Nur Ro’is; 90 – 96
apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Penutup
Dalam Hukum Acara di Indonesia telah mengenal alat bukti Informasi Elektronik sebagai alat bukti yang sah untuk tindak pidana khusus seperti kasus Korupsi, Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik, Pornografi dan Tindak Pidana Kepabeanan. Untuk tindak pidana umum masih mengacu pada UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dimana Informasi Elektronik tidak dikenal sebagai salah satu alat bukti yang Sah. Dengan demikian untuk tindak pidana umum informasi elektronik tidak bisa digunakan sebagai alat bukti yang sah. Dalam Draft Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tahun 2008 sudah memuat tentang Informasi elektronik sebagai salah satu alat bukti yang sah baik untuk tindak pidana khusus maupun tindak pidana umum.
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Andi. 2004. Hukum Acara Pidana Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Sinar Grafika
Subekti, R. 1978. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradya Paramita
Manthovani, Reda. 2006. Problematika dan Solusi Penanganan Kejahatan Cyber di Indonesia. Jakarta: PT. Malibu
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang No 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Undang-Undang No 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Tahun 2008

Hukum dan Kekuasaan dalam Implementasinya

Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X

Hukum dan Kekuasaan dalam Implementasinya
Oleh: Santi Indriani 
Abstract
Power and the law are matters that have strong relevance, if justice without power is paralyze but power without law is a mere power. Law and power as the two sosial systems. Law and power are very close connection, when the law can not always be as a guarantor of legal certainty, upholders of community rights, or the guarantor of justice. There are so many laws that blunt, unable to cut the abuse, did not uphold justice and not to show himself as a guideline that should be followed in completing the various cases, which should be answered by law. Even the fact that many legal products that are based more on the interests of rulers rather than the interests of justice in society.
Keywords: Law, power, legal product, law certainty
Pendahulauan
Kekuasaan mempunyai peranan yang dapat menentukan nasib berjuta-juta manusia. Kekuasaan seringkali disamakan dengan konsep politik, bahkan banyak yang beranggapan bahwa kekuasaan adalah politik. Begitu pentingnya peranan kekuasaan dalam masyarakat baik yang masih sahaja maupun yang sudah besar atau rumit susunannya menyebabkan munculnya penilaian baik atau buruknya harus diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang sudah ditentukan atau disadari oleh masyarakat. Kekuasaan tidak dapat dibagi rata kepada semua anggota masyarakat oleh sebab tidak merata itulah munculnya makna yang pokok dari kekuasaan itulah merupakan kemampuan untuk melancarkan pengaruh dengan pihak lain yang menerima pengaruh itu rela atau karena terpaksa (Soejono Soekamto, 2007:227).
Kekuasaan dan hukum merupakan hal yang memiliki relevansi yang kuat, jika Hukum tanpa kekuasaan adalah lumpu namun kekuasaan tanpa hukum merupakan kekuasaan belaka. Hukum dan kekuasaan sebagai dua sistem kemasyarakatan. Hukum dan kekuasaan sangat erat kaitannya, manakala ketika hukum tidak selalu dapat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat, atau penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mampu memotong kesewenangg-wenangan, tidak mampu menegakan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang seharusnya diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum (Mahfud, M.D., 2009:7). Bahkan kenyataannya banyak produk hukum yang lebih didasarkan pada kepentingan penguasa yang memegang kekuasaan dominan.
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dikatakan bahwa hukum tidak steril dari subsistem kemasyarakatannya, di mana kekuasaan kerapkali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum, sehingga menjadi permasalahan tetang subsistem mana yang lebih suprematif apakah kekuasaan atau hukum. Untuk menganalisis hubungan antara hukum dan kekuasaan, maka analisis ini diarahkan pada pembahasan mengenai
 Dosen Tetap Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP UNBARA sedang Studi di Magister Hukum FH UNSRI
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
82 Santi Indriani; 81 - 89
pengaruh kekuasaan terhadap hukum baik dalam hal intervensi kekuasaan terhadap hukum, maupun kekuasaan yang bagaimana yang dapat melahirkan produk hukum.
Konsep Dasar Hukum
Hukum adalah Tata aturan (order) sebagai suatu system aturan-aturan (rules) tentang perilaku manusia. Dengan demikian hukum tidak menunjuk pada pada suatu aturan tunggal (rule), tetapi seperangkat aturan (rules) yang memiliki suatu kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem. Konsekuensinya adalah tidak mungkin memahami hukum jika hanya memperhatikan satu aturan saja (Jimly A. Shidique dan M. Ali Safaat, 2006:13).
Konsep hukum seringkali secara luas digunakan dengan mengalami bias politik dan bias ideologi. Pendapat yang menyatakan bahwa hukum dalam rezim Boelshervim,sosialisme nasional,atau fasisme yang menindas kebebasan adalah bukan hukum menunjukan bagaimana bias politik dapat mempengaruhi definisi hukum. Akhirnya konsep hukum dibuat terkait dengan cita keadilan, yaitu demokrasi dan liberalisme (Jimly A. Shidique dan M. Ali Safaat, 2006:15).
Membebaskan konsep hukum dari ide keadilan cukup sulit karena secara terus menerus dicampur adukan secara politis terkait dengan tedensi ideologis untuk membuat hukum terlihat sebagai keadilan. Jika hukum dan keadilan identik, jika hanya aturan yang adil disebut sebagai hukum, maka suatu suatu tata aturan sosial yang disebut hukum adalah adil, yang berarti suatu justifikasi moral. Tedensi mengidentikan hukum dan keadilan adalah tedensi untuk menjustifikasi suatu tata aturan sosial . Hal ini merupakan tedensi dan cara kerja politik, bukan tedensi ilmu pengetahuan. (Jimly A.Shidique dan M.Ali Safaat, 2006:17).
Suatu tata aturan yang menghendaki perilaku individu tertentu dan dilakukan dengan menetapkannya sebagai paksaan terukur disebut sebagai suatu perintah yang memaksa (acoersive order). Ketika hukum digambarkan sebagai perintah atau ekspresi kehendak legislator, dan ketika tata hukum dikatakan sebagai perintah, maka merupakan perintah depsycologized. Suatu perintah yang tidak mengimplikasikan makna adanya keinginan secara psikologis.
Menurut Sudikno Mertokusumo yang mengemukakan pengertian hukum, bahwa hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaanya dengan suatu sanksi (Sudikno Mertokusumo, 1999:40). Dari pengertian tersebut dapat kita simpulkan unusr-unsur yang terkandung didalam pengertian tersebut adalah: 1) Hukum merupakan kumpulan-kumpulan peraturan atau kaidah-kaidah hukum; 2) Hukum merupakan peraturan tentang tingkah laku, dan; 3) Hukum dapat dipaksakan.
Menurut Salim bahwa hukum merupakan keseluruhan aturan-aturan hukum baik yang dibuat oleh negara maupun yang hidup dan berkembang didalam masyarakat, dengan tujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat (Salim, HS, 2010:25). Berdasarkan definisi-definisi yang telah dikemukakan sebelumnya pada dasarnya kita dapat membedakan hukum itu menjadi: 1) Hukum yang dibuat oleh negara; 2) Hukum yang hidup, tumbuh, dan berkembang didalam masyarakat.
Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Negara tersebut mengikat seluruh masyarakat dan barang siapa yang melanggar substansi ketentuan dari aturan tersebut dapat dikenakan sanksi, baik sanksi pidana, perdata, maupun administrative. Sementara itu hukum yang hidup didalam masyarakat adalah hukum yang diataati oleh masyarakat diluar aturan atau Undang-Undang yang berlaku tetapi merupakan hukum yang berlaku pada suatu tempat atau wilayah yang ditaati dan dipegang teguh oleh masyarakat setempat (living law).
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
83 Santi Indriani; 81 - 89
Definisi Kekuasaan
Konsep kekuasaan paling banyak digunakan didalam ilmu politik bahkan ada masyarakat awam yang menganggap bahwa politik adalah kekuasaan. Menurut Max Weber Kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan dan apapun dasar kemauan ini Miriam Budiardjo, 1984:16). Serupa dengan apa yang dikatakan oleh Max Weber merujuk pada buku klasik The Power Elite karya C. Wright Milss mengatakan bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk melaksanakan kemauan kendati orang lain menentang (Leo Agustino, 2007:71).
Berdasarkan dua definisi yang dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa kekuasaan adalah daulat atas diri sendiri untuk melakukan apa yang dikehendaki oleh oleh orang itu. Artinya kita memiliki kekuasaan manakala diri kita mampu untuk melakukan apa yang dikehendaki walaupun ada pihak lain yang tidak menghendaki tindakan yang sedang kita laksanakan bahkan menentang apa yang sedang kita lakukan.
Menurut Harold D Laswell dan Abraham Kaplan mendefinisikan kekuasaan adalah sustu hubungan di mana seseorang atau kelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain agar sesuai dengan tujuan dari pihak pertama. Definisi yang disampaikan oleh Laswell dan Kaplan sejalan dengan yang dikemukakan Charles Andrain, bahwa kekuasaan adalah penggunaan sejumlah sumberdaya (asset, kemampuan) untuk memperoleh kepatuhan (dalam Leo Agustino, 2007:72).
Kekuasaan merupakan kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh yang dimiliki untuk mempengaruhi perilaku pihak lain, sehingga pihak lain berperilaku sesuai dengan kehendak pihak yang mempengaruhi (Ramlan Subekti, 1992:58). Berdasarkan berbagai konsep dan definisi yang dikemukakann di atas, maka kekuasaan lebih luas dari kemampuan untuk menggerakan keinginan diri sendiri, tetapi jauh dari itu yakni kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dengan memanfaatkan sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki oleh pemberi pengaruh.
Kekuasaan dan Otoritas
Kekuasaan merupakan konsep yang berkaitan dengan perilaku. Menurut Robert Dahl seseorang memiliki kekuasaan atas orang lain apabila orang tersebut melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak dikehendakinya. Dalam hal ini kemampuan yang dilakukan seseorang yang menyebabkan orang lain melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya ini akan menjadi batasan yang efektif apakah kekuasaan tersebut ada. Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa hubungan kekuasaan harus memenuhi dua persyaratan yaitu: 1) Tindakan tersebut dilaksanakan oleh pihak yang mempengaruhi maupun yang dipengaruhi; 2) Terdapat kontak atau komunikasi antara keduanya baik langsung mapun tidak langsung.
Pada sudut lain kekuasaan juga berhubungan dengan otoritas atau wewenang, Di mana otoritas adalah kekuasaan yang dilembagakan (institutionalized power) atau kekuasaan yang diabsahkan atau istilah yang dipakai oleh Laswell dan Kaplan adalah formal power (kekuasaan formal).
Menurut Max Weber terdapat tiga bentuk otoritas atau wewenang yaitu; 1) Otoritas tradisional adalah otoritas atau kewenangan yang yang didasarkan pada kepercayaan diantara anggota masyarakat bahwa tradisi lama serta kedudukan kekuasaan yang dilandasi oleh tradisi adalah wajar dan patut dihormati; 2) Otoritas kharismatik adalah kepercayaan anggota masyarakat pada kesaktian dan kekuatan mistik religi pemimpin, dan; 3) Otoritas legal formal adalah otortas atau kewenangan yang didasarkan atas kepercayaan atas
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
84 Santi Indriani; 81 - 89
tatanan hukum rasional yang melandasi kedudukan seorag pemimpin(Soejono Soekamto. 2007:243)
Karakteristik Kekuasaan
Terdapat beberapa karakteristik yang muncul ketika kita membahas permasalahan kekuasaan yaitu: 1) Kekuasaan baru akan muncul ketika terjadi interaksi atara aktor (individu, kelompok, institusi ataupun negara). Kekuasaan akan terjadi manakala ada hubungan antara subjek dan objek. Kekuasaan memang tidak muncul secara serta-merta, ia memerlukan periodesasi waktu di mana salah satu aktor akan terlihat begitu mendominasi atau menghomogeni dibandingkan dengan aktor lainnya; 2) Pemegang kekuasaan adalah aktor yang memiliki sumber kekuasaan lebih besar dibandingkan dengan dengan mereka yang diperintah, dan; 3) Pemegang kekuasaan akan mempengaruhi pihak lain untuk melakukan kehendaknya dengan mengunakan kekuasaan yang dimilikinya tersebut. Secara konseptual bahwa kekuasaan adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk untuk mempengaruhi pihak lain untuk mengikuti perintah atau atau keinginannya, maka jelas bahwa kekuasaan akan sangat berhubungan dengan politik (Leo Agustino, 2007:74)
Sumber dan Kegunaan Kekuasaan
Ada beberapa sumber-sumber kekuasaan jika dikaitkan dengan kegunaannya, maka dapat diperoleh gambar sebagai berikut: (Soejono Soekamto. 2007:232).
No. Sumber Kekuasaan Kegunaannya
1.
Militer, Polisi, Kriminal
Pengendalian kekerasan
2.
Ekonomi
Mengendalikan tanah, buruh, kekayaan material dan produksi
3.
Politik
Pengambilan Keputusan
4.
Hukum
Mempertahankan,Mengubah, melancarkan interaksi
5.
Tradisi
Sistem Kepercayaan nilai-nilai
6
Ideologi
Pandangan Hidup, Integrasi
7.
Diversionary Power
Kepentingan Rekreatif
Hubungan antara Hukum dan Kekuasaan
Kekuasaan seringkali melakukan intervensi terhadap hukum baik atas pembentukan hukum maupun atas pelaksanaan hukum dalam hal ini penegakan hukum (law enforcement) (Soeheno, 2010:10). Definisi hukum tidak hanya dapat kita pandang sebagai ketentuan pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan yang bersifat das sollen melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataannya (das sein) bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh kekuasaan, baik dalam perumusan materi, muatan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya.
Kajian terhadap hubungan antara kekuasaan dan hukum pada dasarnya berangkat dari asumsi dasar bahwa kekuasaan memiliki pengaruh terhadap hukum, di mana seperti yang dikemukakan oleh mahfud bahwa hukum merupakan formalisasi atau kristalisasi dari kehendak-kehendak penguasa yang saling berinteraksi dan saling bersaing. Yang menjadi permasalahan adanya tarik menarik antara kekuasaan dan hukum, di mana konfigurasi antara kekuasaan dan hukum menjadi suatu hal yang menjadi beralasan manakala adanya kontantasi bahwa kerapkali otonomi hukum di Indonesia ini diintervensi oleh kekuasaan.
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
85 Santi Indriani; 81 - 89
Lebih kuatnya peranan energi kekuasaan terhadap hukum ini menunjukan keterkaitan antara hukum dengan kekuasaan.
Prinsip yang menyatakan bahwa kekuasaan dan hukum harus berjalan dan bekerjasama serta saling menguatkan, di mana ada ungkapan yang menyatakan bahwa Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman (Mahfud, 2009:20), menjadi semacam impian belaka. Hal ini tidak lain disebabkan secara implementasi hukum selalu menjadi cerminan dari kehendak pemegang kekuasaan sehingga tidak heran jika orang menganggap bahwa hukum adalah kekuasaan.
Apeldorn misalnya mencatat adanya beberapa pengikut paham yang menyatakan bahwa hukum adalah kekuasaan, seperti kaum sofis di Yunani yang menyatakan bahwa keadilan adalah apa yang berfaedah bagi orang yang lebih kuat, Leslee mengatakan bahwa konstitusi suatu negara bukanlah UUD yang tertulis yang merupakan secarik kertas melainkan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata dalam suatu negara, Gumplowics mengatakan hukum berdasar atas penaklukan yang lemah oleh yang kuat, hukum adalah susunan definisi yang dibentuk oleh pihak yang kuat untuk mempertahankan kekuasannya. Sebagian pengikut aliran Positivisme menganggap bahwa kepatuhan terhadap hukum tidak lain dari tunduknya orang yang lebih lemah pada kehendak yang lebih kuat, sehingga hukum merupakan hak orang yang terkuat (Mahfud:2009:21).
Sehubungan dengan lebih dominannya energi kekuasaan terhadap hukum apa yang dikemukakan oleh Dahendroft dapat menjawab pertanyaan mengapa hukum menjadi cermin dari kehendak pemegang kekuasaan atau identik dengan kekuasaan. Berdasarkan rangkuman dari karya tiga sosiolog (Pareto, Mosca, dan Aron) Menurut Dahendroft ada enam ciri kelompok dominan atau pemegang kekuasaan yaitu:
1. Jumlahnya selalu lebih kecil dari jumlah kelompok yang dikuasai;
2. Memiliki kelebihan kekayaan khusus untuk tetap memelihara domonasinya berupa kekayaan materiil, intelektual, dan kehormatan moral;
3. Dalam pertentangan selalu terorganisasi dengan lebih baik dibandingkan dengan kelompok yang ditundukan;
4. Kelas penguasa hanya terdiri dari orang-orang yang memegang kekuasaan dominant dalam bidang politik sehingga disebut dengan elit penguasa;
5. Kelas penguasa selalu berupaya memonopoli dan mewariskan kekuasaannya kepada kelas atau kelompoknya sendiri, dan;
6. Ada reduksi perubahan sosial terhadap perubahan komposisi kelas penguasa.
Hukum dan Kekuasaan dalam Konteks Pembentukan Produk Hukum
Sebelum membahas bagaimana kekuasaan memiliki peranan dalam pembentukan produk-produk hukum, maka kembali saya kemukakan bahwa hukum sering dikatakan sebagai produk politik atau pembentukan hukum.
Pembentukan produk hukum sudah tentu tidak terlepas dari pengaruh pemegang kekuasaan pada saat itu. Lahirnya produk hukum misalnya peraturan perundang-undangan dibentuk dengan sistem dan prosedur tertentu oleh pejabat yang berwenang yang dituangkan dalam bentuk tertulis. Hukum dalam arti luas mencakup semua peraturan yang dibuat oleh lembaga-lembaga tertentu sesuai dengan lingkup kewenangannya. Semua produk hukum yang mengikat disusun secara hirarkis untuk menentukan derajatnya masing-masing dengan kosekuensi jika ada aturan yang bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi maka yang berlaku adalah yang derajatnya lebih tinggi. Kekuasaan dan hukum dalam pembentukan produk hukum sangat erat kaitanya yaitu Hukum adalah sebagai produk yang dibentuk oleh pemegang kekuasaan. Sebagai contoh adalah pada masa orde baru karakter produk hukum di Indonesia bersifat otoriter, demikian pula pada masa
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
86 Santi Indriani; 81 - 89
reformasi karakter produk hukum kita pun mencerminkan kekuasaan penguasa pada masa reformasi. Dengan kata lain bahwa produk hukum ini berubah manakala terjadi perubahan pemegang kekuasaan, hal ini terbukti ketika berakhirnya masa orde baru digantikan dengan masa reformasi, semua produk hukum orde baru diganti. Sehingga tampak jelas bagi kita bahwa fakta menunjukan ketika penguasa berubah maka hukum juga berubah (Mahfud, 2010:265).
Berdasarkan uraian di atas menurut hemat penulis pembentukan produk hukum tidak terlepas dari pengaruh pemegang kekuasaan, sehingga jelas bahwa adanya konfigurasi kekuasaan terhadap lahirnya produk hukum dengan kata lain lahirnya produk hukum tidak terlepas dari konfigurasi kekuasaan dan besarnya energi kekuasaan.
Pembentukan produk hukum tidak lain merupakan salah satu fungsi kekuasaan legislatif. Yang dimaksud dengan fungsi legislasi itu berasal dari bahasa inggris legislation yang berarti perundang-undangan, berasal dari kata kerja to legislate yang berarti mengatur atau membuat undang-undang (Saldi Isra, 2010: 78).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata legislasi berarti pembuatan undang-undang, dengan kata lain fungsi legislasi adalah fungsi membuat undang-undang. Sebagai sebuah fungsi untuk membuat undang-undang, kekuasaan legislasi merupakan sebuah proses (legislation as a process). Menurut Jimly A. Shidique bahwa fungsi kekuasaan dalam konteks fungsi legislasi menyangkut empat bentuk kegiatan yaitu: pertama, prakarsa pembuatan undang-undang (legislativeinitiation). Kedua, pembahasan rancangan undang-undang (law making process). Ketiga, persetujuan atu pengesahan rancangan undang-undang. Keempat, pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya (binding decision making on international law agreement and treaties or other legal legal binding documents) (Jimly A. Shidiqie, 2006:34).
Pembentukan produk undang-undang yang dalam hal ini masuk sebagai kekuasaan legislatif cenderung mempunyai peranan yang sangat dominan dalam menentukan corak dan karakter hukum yang ada dinegara kita. Ada dua karakter produk hukum yang merupakan refleksi dari pemegang kekuasaan yaitu, 1) Produk hukum responsif atau populistik adalah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu dalam masyarakat, dan; 2) Produk hukum konservatif/elite merupakan produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elite politik, lebih mencerminkan visi sosial elite politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah, bersifat positivis instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksana ideologi dan program negara (Mahfud, 2010:30).
Dari uraian di atas terlihat jelas hubungan antara hukum dan kekuasaan sebagai dua dimensi yang berbeda namun secara pragmatis menunjukan keterkaitan antara satu sama lain, produk aturan yang dibuat oleh penguasa itu merupakan resultante-resultante dari pemegang kekuasaan di mana harus dilaksanakan secara konsisten dan soheh oleh pemegang kekuasaan sebagai control dalam membatasi kekuasaan.
Hukum dan Kekuasaan dalam Konteks Penegakan Hukum
Gagasan negara hukum yang didasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri negara Republik Indonesia merupakan penolakan yang tegas terhadap setiap bentuk pemerintahan yang otoriter yang biasanya menindas hak-hak asasi rakyat. Sekaligus pula, gagasan negara hukum merupakan pernyataan yang tidak menghendaki adanya struktur sosial-politik yang timpang yang menjadi sumber utama ketidakadilan.
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
87 Santi Indriani; 81 - 89
Berangkat dari doktrin dan teori yang ada, gagasan itu haruslah diletakkan dalam dua sistem kekuasaan, yakni sistem kekuasaan politik dan sistem kekuasaan hukum itu sendiri yang semuanya juga harus diatur di dalam konstitusi. Dalam sistem kekuasaan politik, syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menunjang tegaknya negara hukum itu adalah (YLBH-KRHN melalui www.google.com)
1. Adanya sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat. Bentuk-bentuk pelaksanaannya, dilakukan melalui pemilu guna memilih orang-orang yang akan duduk didalam pemerintahan (eksekutif dan legislatif);
2. Adanya pembagian kekuasaan yang seimbang dengan check and balances yang jelas dan tegas;
3. Adanya peran nyata dari anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi jalannya pemerintahan;
4. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia, dan;
5. Adanya lembaga peradilan yang bebas dan mandiri.
Sedangkan di dalam sistem hukum/penegakan hukum itu, meliputi;
1. Struktur dan institusi hukum; dalam hal ini dengan melihat bahwa mata rantai proses penegakan hukum itu yang meliputi kekuasaan penyidikan, penuntutan, kekuasaan kehakiman dan bantuan hukum yang dilakukan oleh kejaksaan, kepolisian kehakiman dan advokat/pengacara;
2. Budaya hukum itu harus bisa merefleksikan perilaku-perilaku yang hidup dan berkembang dalam masyarakat yang demokratis, transparan, partispatif dan dapat dipertanggungjawabkan yang mendukung dimensi keadilan dalam penegakan hukum;
3. Substansi; Substansi/materi hukum itu haruslah memuat unsur-unsur norma yang dapat mendukung berfungsi dan bekerjanya sistem hukum. Dalam hal ini diperlukan dengan memakai standar-standar yang berlaku secara universal/internasional.
Meskipun reformasi yang berintikan penegakan supremasi hukum (supremacy of law) sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun, namun sekarang ini masih banyak keluhan bahwa supremasi hukum tidak juga tegak. Mestinya dengan adanya reformasi situasi penegakan hukum dapat lebih baik, tetapi nyatanya tidak juga. Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) masih merajalela, mafia peradilan tepatnya judicial corruption ditenggarai masih mengila (Mahfud, 2010:70).
Tidak dapat disangkal humanisme dan pembahruan system hukum pada masa reformasi sudah gencar dilakukan, namun secara implementasi meskipun hasilnya masih cukup mengecewakan namun kita harus tetap berusaha untuk menegakan hukum dengan segala kosekuensinya.
Dalam studi tentang hukum banyak identifikasi yang diberikan sebagai sifat dan karakter produk hukum seperti memaksa, tidak berlaku surut, dan umum. Dalam berbagai studi tentang hukum dikemukakan misalnya hukum mempunyai sifat umum sehingga peraturan hukum tidak ditunjukan kepada seseorang dan tidak akan kehilangan kekuasaannya jika telah berlaku terhadap suatu peristiwa kongkret. Peraturan hukum juga bersifat abstrak yakni mengatur hal-hal yang belum terkait dengan kasus-kasus kongkret. Selain itu ada yang mengidentifikasikan sifat hukum dalam sifat imperatif dan fakultatif (Mahfud, 2009:26).
Dalam buku yang berjudul Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, Nonet dan Selzinck menjelaskan bahwa masuknya pemerintah kedalam pola kekuasaan yang bersifat menindas, melalui hukum berhubungan erat dengan masalah kemiskinan pada SDM elit pemerintahan. Hukum berkaitan erat dengan kekuasaan karena tata hukum
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
88 Santi Indriani; 81 - 89
senantiasa terikat pada status quo. Tata hukum tidak mungkin ada jika tidak terkait pada suatu tatanan tertentu yang menyebabkan hukum mengefektifkan kekuasaannya. Dengan demikian pihak yang berkuasa dengan baju otoritas mempunyai kewenangan menuntut warga negara agar mematuhi kekuasaan yang bertahta ( Mahfud, 2009:27).
Dalam proses penegakan hukum, maka tidak akan bisa lepas dari pengaruh kekuasaan, karena untuk menjalankan dan mempertahankan hukum harus dengan kekuasaan.
Penutup
Selain terlepasnya keadilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari etika dan moral, masalah yang kita hadapi adalah hubungan antara kekuasaan dan hukum sebagai dua subsistem kemasyarakatan. Dalam hal-hal tertentu terkadang energi kekuasaan akan mendominasi hukum ditambah dengan melemahnya dasar etik dan moral, sehingga pembuatan dan penegakan hukum banyak diwarnai dengan kepentingan-kepentingan pemegang kekuasaan baik secara teknis, tidak substansial dan jangka pendek.
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan pada bagian awal tulisan ini, maka ada beberapa catatan penting yang dapat kita jadikan suatu ikhtisar dalam pointer-pointer terkait hubungan antara hukum dan kekuasaan dalam implementasinya berikut ini yaitu:
1. Secara teoritis hubungan antara hukum dan kekuasaan memang sangat erat kaitannya, di mana hubungan antara hukum dan kekuasaan yaitu sebagai das sollen hukum determinan atas kekuasaan karena setiap kekuasaan harus tunduk pada aturan-aturan hukum;
2. Sebagai das sein kekuasaan determinan terhadap hukum, di mana jelas bahwa hukum merupakan produk kekuasaan, karena hukum merupakan resultante-resulatante penguasa yang dibentuk tidak lain sebagai kristalisasi dari kehendak penguasa;
3. Hukum dan kekuasaan dalam konteks penegakan hukum di mana jelas bahwa hukum dan kekuasaan berhubungan secara interdeterminan, karena kekuasaan tanpa hukum merupakan kezaliman sedangkan hukum tanpa kekuasaan akan lumpuh.
DAFTAR PUSTAKA
Agustino, Leo. 2007. Perihal Memahami Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu
Budiardjo, Miriam. 1984. Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan
H.S, Salim. 2010. Perkembangan Teori Di dalam Hukum. Jakarta: Rajawali Pers
Isra, Saldi. 2010. Pergeseran Fungsi Legislasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Shidique, Jimly A. dan M. Ali Safaat. 2006. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
_______________. 2006. Pengantar Hukum Tata Negara. Jilid II. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI
MD, Mahfud. 2009. Politik Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
89 Santi Indriani; 81 - 89
_______________. 2010. Konstitusi dan Hukum dalam Kontraversi Isu. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Soerjono, Sokamto. 2007. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Soeheno. 2010. Politik Hukum di Indonesia. Yogyakarta: BPFE
Sudikno, Mertokusumo. 1999. Mengenal Hukum Sebagai Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty
Subekti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Ganesha Ilmu
Sumber Lain:
YLBH-KRHN, Draft Usulan Materi Penegakan Hukum dalam Amandemen UUD 1945 , melalui www.goggle.com, diakses tanggal 29 Juli 2010