Selasa, 03 Juli 2012

Preferensi Pembaca Terhadap Majalah Berbahasa Daerah (Studi pada Pelanggan Majalah Penjebar Semangat di Perumnas Sawojajar Malang Jawa Timur)


Preferensi Pembaca Terhadap Majalah Berbahasa Daerah
(Studi pada Pelanggan Majalah Penjebar Semangat di
Perumnas Sawojajar Malang Jawa Timur)
Oleh: Emy Sri Purwani 
Abstract
In Java, there are some Java-language magazines that still exist today, Panjebar Semangat is the ones which first published in 1933 and survived until now with a circulation of about twelve thousand copies. Spreading not only in Java but also outside the island and abroad. The study, entitled Readers’ Preference On The Region Language Magazine was conducted with exploratory qualitative approach. The data sources are magazine subscribers Panjebar Semangat that resides in the Housing Sawojajar Malang. The data obtained were trying to uncover how the preference or preferences that may arise. Presentation of data using descriptive type with emic perspective. The result this research showed that the social background as Javanesse make them like Java language magazine. Magazines are not just used as reading material but more than that, used as container for interactions among fellow readers, as a place to draw knowledge and awareness of the art form and culture of Java. Interacting with other readers and editors make them like the rubric of reader letters. Background of social life that is still very thick with art and culture of Java, causing a preference for Java-language magazines as well. Panjebar Semangat’s readers are the people who grew up in an environment that upholds the values and norms of Javanese culture as much as possible tried to defend himself to keep living life according to the adopted culture. By selecting the Java language magazine, they showed identity at the same time strive to maintain a cultural symbol that raised them.
Keywords: Customer, preferences
Pendahuluan
Tonggak perkembangan media massa di Indonesia dimulai pada jaman penjajahan Belanda dengan lahirnya penerbitan pertama tahun 1744. Siklus media massa mengikuti situasi dan kondisi di Indonesia, baik secara ekonomi maupun politik. Pada awalnya media massa menggunakan bahasa pengantar Belanda karena saat itu Indonesia dikuasai Belanda dan banyak orang menguasai bahasa tersebut sebagai bahasa pergaulan, tetapi dalam perkembangan selanjutnya bermunculan media massa berbahasa pengantar Melayu, Indonesia, Inggris, Jawa, dan Tionghoa. Media berbahasa daerah pertama kali terbit di Surakarta tahun 1855 bernama Bromartani menggunakan bahasa dan aksara Jawa (Suprawoto, 2004:29-36). Setelah itu media massa terus berkembang hingga seperti sekarang ini.
Perkembangan teknologi media dan beragam isi media yang mengikuti trend gaya hidup dan hiburan masa kini cenderung membuat orang menjatuhkan pilihan pada media yang umum dan termutakhir. Mayoritas media massa di Indonesia menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar, namun ada beberapa media yang menggunakan selain bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya, misalnya harian berbahasa Inggris, Mandarin dan majalah berbahasa daerah seperti Jawa atau Sunda bahkan Batak.

pdf file 

Analisis Yuridis Izin Prinsip Bupati OKU Terhadap Pembukaan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit dalam Kaitannya dengan UU Sektoral (Kajian Yuridis UUPLH dan UUPA)


Analisis Yuridis Izin Prinsip Bupati OKU
Terhadap Pembukaan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit dalam
Kaitannya dengan UU Sektoral (Kajian Yuridis UUPLH dan UUPA)

Oleh: Santi Indriani 
Abstract
Principle permits issued to PT. Mitra Ogan Regent in the absence of an EIA study contradict UUPLH and PP No.27 of 1998 on EIA. Because of all the businesses that have an impact on the environment must be accompanied by an EIA document. EIA as a legal instrument to be made in accordance with the procedures and provisions, and not just as a fulfillment of administrative requirements. Before issuing permits local governments should analyze the principle of advance planning activities to be carried out by PT. Mitra Ogan in this case the opening of oil palm plantations. Then on the basis of consideration of the impact that would result from such development should also involve community participation. The provisions of Article 5 (3) that every person has the right to play a role in environmental management in accordance with laws and regulations applicable.
Keywords: Principle permits, AMDAL, local goverment
Pendahulauan
Otonomi daerah memberikan kewenangan bagi setiap daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri dalam rangka meningkatkan kesehjateraan masyarakat. Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam ketentuan pasal 1 UU No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, pemerintah daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud di dalam UUD 1945.
Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, banyak aspek positif yang diharapkan dalam pemberlakuan undang-undang tersebut. Otonomi daerah memang dapat membawa perubahan positif di daerah dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan yang tidak begitu penting atau sebagai pelaku pinggiran. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah sangat baik, yaitu untuk memberdayakan daerah, termasuk masyarakatnya, mendorong prakarsa dan peran serta masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan.

pdf file

Evaluasi Terhadap Strategi Komunikasi dan Kebijakan Publik Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Baturaja Kabupaten OKU



Evaluasi Terhadap Strategi Komunikasi dan Kebijakan Publik
Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Baturaja Kabupaten OKU
Oleh: Isnawijayani 
Abstract
At this time, Indonesia is experiencing the atmosphere of the thirst for peace. The thirst is caused by the pressures of life that always come every day, and the pressure demanded the settlement immediately. Moreover, the mass media in Indonesia is more often to show scenes of violence in many conflicts, which a negative effect. Violence seems to be an acceptable thing, and violence becomes a way to solve the problem. This is caused by the perpetrators of violence do not get enough social sanction.
Keywords: Communication strategy, public policy, empathy, violence
Pendahuluan
Apa yang terjadi secara umum pada masyarakat Indonesia, tentu tidak jauh berbeda dengan masyarakat di Kota Baturaja Kabupaten Ogan Komering Ulu Propinsi Sumatera Selatan. Mungkin saja hal ini disebabkan masalah kehidupan yang sudah tidak tertanggung lagi. Jika seseorang merasa tersinggung atau tidak senang, membuat orang dari semua tingkatan, kaya ataupun miskin cepat marah secara emosional.
Sementara dunia menghendaki kompetisi yang nyata dapat terlihat. Semua orang tidak ingin terpuruk, maka menghadapi semua itu kalau kesenangan rutinitas harus diganggu, tidaklah heran dengan mudah orang akan memaki, meneror, mengintimidasi, mengajak berkelahi bahkan memukul orang atau apapun yang dekat dengannya.
Disinilah diperlukan empati, komunikasi dari hati ke hati (human communication) yang dilakukan seorang pemimpin pemerintah atau bupati sebagai kepala pemerintahan di tingkat kabupaten. Jika bupati sebagai wakil pemerintah menghendaki agar pedagang kecil dengan modal yang pas, harus dipindahkan, tentu tahu apa yang dirasakan. Betapa bingung mengahadapi kenyataannya itu. Karena bingungnya maka yang nampak adalah perilaku marah, frustasi, depresi, dan berujung pada perilaku merusak orang lain atau diri sendiri.
Untuk itu sebetulnya masyarakat memerlukan pencerahan dari pemerintah atau pemimpin dalam hal ini bupati. Bupati harus segera memberi langkah cepat menghadapi bahaya yang membuat orang terpuruk. Disisi lain kota harus tertata dengan rapi, bersih dan asri. Keadaan kota adalah cerminan dari pemerintah dan siapa yang menjadi pemimpinnya.

pdf file

Checks and Balance Antara Eksekutif dan Legislatif di Era Otonomi Daerah


Checks and Balance Antara Eksekutif dan Legislatif di Era Otonomi Daerah
Oleh: Hardinata 
Abstract
In process of Indonesia national legislation, the House of Representatives (DPRD) is one of the main elements of governance in the region. Therefore, as a partner of local government, duties and functions of parliament (based on the mandate of the law) is more emphasis on the duties and functions of control or balance (checks and balances) between the branches of power, leadership and ranks of the bureaucracy. DRRD existence, whose members are directly elected by the people in the general election, is sufficient to reflect the representation of popular sovereignty and the rationalization of the principles of democracy. Revised from the procedural and substantive, the condition is a significant development in the process of democratization in Indonesia.
Keywords: Legislation, checks and balances, decentralization, governance
Pendahuluan
Harapan baru bagi rakyat Republik Indonesia dengan lahirnya reformasi 1998, yang telah merubah tatanan sistem pemerintahan sentralisasi menjadi sistem desentralisasi (otonomi daerah), melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, kemudian direvisi melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, dengan tujuan sama, yaitu pengaturan tata kelola pemerintahan di daerah. Undang-undang otonomi juga mengatur peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang selama ini hanya menjadi ”stempel” pemerintah, berubah menjadi mitra kerja pemerintah daerah dengan tugas pokok dan fungsi yang lebih jelas dan terukur.
Otonomi daerah itu berarti hak, wewenang dan kewajiban suatu pemerintahan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Fungsi mengatur diberikan kepada aparat legislatif, yaitu DPRD. Itulah sebabnya DPRD pada masing-masing daerah dapat membuat Peraturan Daerah (Perda) masing-masing ketentuan yang berlaku. Sedangkan fungsi mengurus diserahkan kepada eksekutif daerah yaitu kepala daerah dan dinas-dinas otonomnya (Inu Kencana, 2011:64).
Sesunguhnya harapan untuk dapat diciptakan adanya ckeck and balance antara DPRD dan Bupati/Walikota sebelum lahir undang-undang otonomi, dimana kedudukan dan peran pemerintah daerah (bupati dan perangkatnya) terlalu kuat, sementara peran DPRD sangat lemah. Dengan lemahnya peran itu, maka secara logika mencerminkan lemahnya partisipasi masyarakat.
Dalam pandangan Kansil (2003:143), kedudukan kepala daerah dan DPRD sama tinggi, Kepala daerah memimpin bidang eksekutif dan DPRD bergerak di bidang legislatif. Meskipun demikian, harus diakui bahwa pembuatan peraturan daerah tidak dapat dilakukan oleh DPRD sendiri, tetapi bersama-sama dengan kepala daerah dan DPRD. Selanjutnya, tugas kepala daerah ialah memimpin penyelengaraan dan bertanggungjawab penuh atas jalannya pemerintahan daerah.

pdf file

Penerapan Asas-Asas Pembuatan Peraturan Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kota Palembang


Penerapan Asas-Asas Pembuatan Peraturan Daerah dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kota Palembang
Oleh: Mudasir 
Abstract
This research aimend at finding out if regional regulations, especially tax and original contribution related to original real income have fulfilled the criteria for creating proper regional regulation. By looking at the requirements of creating a regional regulation starting from the preparation of regional regulation up to the legitimating and regulating the regional paper of Palembang City. Method used in thus thesis writing was normative study with the stressing on normative juridical approach, that was an approach based on the regulations. The result of this research shaw that the regional regulations of Palembang City was regenerally arranged based on the community vision and mission without preceded by the arrangement of academic text and the community did not involve directly in the making of the draft of regional regulations, especially those related to tax or retribution in which the community became the subject-object of it. As the result, the arranged regional regulations have not reffered fully to requirements of making Palembang City that have been cancelled by the central government.
Keywords: Regional regulation, governement, autonomy, community
Pendahuluan
Salah satu problema yang dihadapi oleh sebagian daerah kabupaten/kota dalam lingkup Provinsi Sumatera Selatan dewasa ini adalah berkisar pada upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Problema ini muncul karena adanya kecenderungan berpikir dari sebagian kalangan birokrat di daerah yang menganggap bahwa parameter utama yang menentukan kemandirian suatu daerah dalam berotonomi adalah terletak pada besarnya “perolehan” PAD.
Terkait dengan itu, Nuralam Abdullah (2001:3), menyatakan bahwa dari perspektif sejarah mengungkapkan bahwa pemerintah daerah pada masa lalu sangat bergantung pada subsidi dana dari pemerintah pusat. Hasil identifikasi dan inventarisasi kemampuan keuangan daerah yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (PUOD) menunjukkan bahwa hanya 21,92% dari 292 Daerah Tingkat II di Indonesia yang dipandang mampu untuk membiayai pembangunan daerahnya.

pdf file

Perwujudan Good Governance di Era Otonomi Daerah


Perwujudan Good Governance di Era Otonomi Daerah
Oleh: Yunizir Djakfar 
Abstract

Decentralization policy is based on Law Number 32 Year 2004 regarding Regional Government is the policy of birth in order to respond and fulfill the demands of reform as democratize relations between regional and local empowerment. Regional autonomy according to Law No. 32 of 2004 is understood as an autonomous regional authority to regulate and manage the interests of society at its own initiative based on the aspirations of society based on statutory regulations.
Keywords: Autonomy, democracy, reform, authority
Pendahuluan
Realisasi otonomi daerah yang nyata berdasarkan aturan perundang-undangan, merupakan perwujudan dari good governace yang berjalan di Indonesia pasca reformasi yang mengakhiri pemerintahan Orde Baru. Indonesia bukan negara liberal, di mana swasta memiliki kebebasan yang luar biasa dalam negara. Namun hubungan negara menjadi pengayom rakyat, di mana negara punya tujuan (wajib) mensejahterakan rakyatnya.
Era otonomi daerah, dalam pandangan Syamsuddin Haris (2009), bukan merupakan ancaman bagi upaya pengembangan industri dan perdagangan, namun sebaliknya justru memberikan kesempatan dan dukungan bagi pengembangan perindustrian dan perdagangan. Dengan kewenangan yang dimiliki daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, maka terbuka kesempatan untuk megembangkan peridustrian dan perdagangan secara optimal di daerah. Sejalan dengan kewenangan yang dimiliki daerah, pengembangan industri dan perdagangan akan lebih efektif jika diarahkan kepada kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi, karena pada umumnya setiap daerah memiiki kelompok usaha jenis tersebut.
Pelaksanaan tata pemerintahan yang baik adalah bertumpu pada tiga domain yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat. Ketiga domain tersebut harus bekerja secara sinergis, yang berarti setiap domain diharapkan mampu menjalankan perannya dengan optimal agar pencapaian tujuan berhasil dengan efektif (Syamsuddin Haris, 1995).
Pemerintah berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif; swasta menciptakan pekerjaan dan pendapatan sedangkan masyarakat berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi, politik termasuk mengajak kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik.

pdf file

Analisis Peranan PTPN VII dalam Membangun Kondusivitas Lingkungan Usaha Kecil di Era Globalisasi dari Perspektif Corporate Social Responsibility


Analisis Peranan PTPN VII dalam Membangun Kondusivitas Lingkungan
Usaha Kecil di Era Globalisasi dari Perspektif Corporate Social Responsibility
Oleh: Yahnu Wiguno Sanyoto 

Abstract
In the era of highly competitive competition, PTPN VII (Persero) have an obligation to foster the partners built around the working area conceptually, well planned and sustainable (sustainability development) to solve problems that had blanketed the small business, involving internal constraints and external. Efforts to tackle the problem are implemented through a new awareness concept called Corporate Social Responsibility (CSR) which is defined as the moral responsibility of a company against its strategic stakeholders, especially the community around the work area and operations. CSR regards the company as a moral agent. With or without the rule of law, a company must uphold morality. The success of a company in view of CSR is to promote the moral and ethical principles, namely, to the best result, without prejudice to other community groups.
Keywords: Partnership, responsibility, corporate social responsibility, small business
Pendahuluan
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan salah satu pelaku kegiatan ekonomi dalam perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berupaya mengimplementasikan amanat pasal 33 ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen keempat) yang berbunyi, ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. BUMN secara definisi adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
PT. Perkebunan Nusantara VII (Persero) atau yang lebih kita kenal dengan PTPN VII (Persero) merupakan salah satu BUMN di sektor perkebunan, juga memiliki peran dan tanggung jawab yang sama dengan BUMN-BUMN lainnya untuk membangun masyarakat di sekitarnya yaitu Provinsi Lampung, Sumatera Selatan dan Bengkulu, khususnya dalam rangka mewujudkan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang selama ini belum optimal. Apalagi dengan kondisi perekonomian dan dunia usaha yang semakin kompetitif di era globalisasi saat ini baik secara lokal, nasional, regional maupun global. Oleh sebab itu, PTPN VII (Persero) memiliki tanggung jawab moral untuk mendorong kemajuan dunia usaha khususnya usaha kecil di sekitarnya agar produk mereka mampu bersaing dengan produk dari luar negeri. Ini dikarenakan, usaha kecil sebagai salah satu pelaku ekonomi juga memiliki sifat yang tangguh, unggul, serta berdaya saing, berdaya tarik, dan berdaya lestari.

pdf file

Global Governance: Perspektif Liberalisme


Global Governance: Perspektif Liberalisme
Oleh: Robi Cahyadi Kurniawan 
Abstract
The emergence of global governance as the needs of "legitimacy" of the norms in force in the world at that time. Term of the legitimacy is the product of the politics that provide justification. Global governance is seen more as a political product rather than as a concept is useful as a source of legitimacy. Governance issues reduced a political as a concept, mechanism and process of reorganizing the world to be more open to the market.
Keywords: Global governance, legitimacy, a product of politics, liberalism
Pendahuluan
Sejak akhir perang dingin, globalisasi menjadi perbincangan tidak hanya dalam ilmu sosial tetapi juga dalam komunitas politik internasional. Globalisasi menciptakan skala (ruang) yang berkembang, pertumbuhan, percepatan dan kedalaman pengaruh dalam arus atau aliran interregional dan pola-pola dalam interaksi sosial (Held; McGrew, 2000:4). Tetapi apakah globalisasi itu? Globalisasi biasanya menunjukkan sesuatu yang multidimensi (Gidden; 1990, Held; 1999).
Globalisasi menurut Gidden meliputi penyebaran dari 4 dimensi institusi, meliputi: a) hasil modernisasi dalam sistem negara bangsa global; b) tatanan militer dunia; c) ekonomi kapitalis dunia, dan; d) divisi pekerja internasional.
Held (1999), melihat 7 (tujuh) aspek sejarah globalisasi untuk menjelaskan tatanan globalisasi dunia: politik; termasuk penyebaran negara bangsa, timbulnya multi lapisan (tingkat) pemerintahan, reaksi yang berkembang dalam organisasi kekerasan; termasuk perang dan produksi senjata, perdagangan dan pasar global, keuangan global, kekuatan perusahaan multinasional, jaringan produksi global, migrasi global, globalisasi budaya.
Komisi Global Governance (GloGov) lahir untuk menyikapi hal tersebut, kelompok independen dari 28 pemimpin negara di dunia yang melaporkan persoalan-persoalan yang disebut Our Global Neighborhood (lingkungan global kita) tahun 1995. Implikasi dari globalisasi bagi GloGov. Konsepsi mereka tentang globalisasi meliputi beberapa dimensi; seperti ekonomi, keamanan, lingkungan dan munculnya masyarakat global (global civil society), pembangunan global, termasuk bantuan dalam pembangunan.

pdf file

Manajemen Pengelolaan Sumberdaya Manusia Partai Politik (Studi Tentang Konflik Internal DPD PAN Kabupaten Ogan Komering Ulu Sumsel)


Manajemen Pengelolaan Sumberdaya Manusia Partai Politik
(Studi Tentang Konflik Internal DPD PAN Kabupaten Ogan Komering Ulu Sumsel)
Oleh: Marratu Fahri 
Abstract
To get good resource started from the system of recruitment. By the system, it will be able select between the characteristics of the candidates through value system and ideology of political parties. Surely, the people who have the potential and the same ideology will be recruited. Competition with other political parties is also going to fight the best people who will be able to strengthen and develop its political party organization.
Keywords: Political party, recruitment, political ideology, value system
Pendahuluan
Dalam banyak kasus, faktor sumberdaya manusia (tentu saja dalam pengertian yang luas) sebagai pelaku utama dalam memajukan dan mengembangkan sebuah organisasi, seringkali menjadi persoalan utama yang tak dapat pandang sebelah mata. Demikian halnya dengan organisasi yang memiliki peran penting serta fungsi vital seperti partai politik (parpol). Oleh karena itu, dalam pandangan Cornelis Lay dkk., sistem pengelolaan sumberdaya manusia dalam partai politik terangkai dalam tiga tema utama, yakni: a) sistem penyeleksian atau rekrutmen; b) sistem peningkatan kapasitas atau kaderisasi, dan; c) sistem penataan peran atau sistem karir (2006:1).
Sementara itu, Firmanzah (2008:70), dari sudut pandang yang hampir sama dengan Lay, menyebutkan bahwa partai politik sebagai suatu organisasi sangat berperan dalam mencetak pemimpin yang berkualitas dan berwawasan nasional. Pemimpin yang berkualitas ini tidak hanya berorientasi pada kepentingan partai politik yang diwakilinya. Ketika menjadi pemimpin nasional, ia otomatis menjadi pemimpin semua orang. Pemimpin ini tidak lahir dengan sendirinya. Perlu suatu proses pendidikan – baik formal maupun nonformal – yang mampu membentuk jiwa dan karakter pemimpin. Dalam struktur dan sistem politik, organisasi partai politiklah yang paling bertanggungjawab untuk melahirkan pemimpin-pemimpin berkualitas. Untuk dapat melakukan tugas ini, dalam tubuh organisasi partai politik perlu dikembangkan sistem rekrutmen, seleksi, dan kaderisasi politik.
Selain melakukan proses rekrutmen, di dalam tubuh parpol perlu dikembangkan sistem pendidikan dan kaderisasi kader-kader politiknya. Sistem kaderisasi ini sangat penting mengingat perlu adanya transfer pengetahuan (knowledge) politik, tidak hanya yang terkait dengan sejarah, misi, visi, dan strategi partai politik, tetapi juga hal-hal yang terkait dengan permasalahan bangsa dan negara. Dalam sistem kaderisasi juga dapat dilakukan transfer keterampilan dan keahlian berpolitik.

pdf file

Analisis Terhadap Dinamika Civil Society di Ranah Lokal


Analisis Terhadap Dinamika Civil Society di Ranah Lokal
Oleh: Robi Cahyadi Kurniawan
Abstract
Democracy in areas of Indonesia including the lowest level of provincial government is the village level that only plays in a procedural level, Schumpeter said that democracy in this level just pointing and selecting the persons who are considered able to lead a region based majority vote (majority). Democracy of this procedural only emphasized a mechanism by just looking at the object of democracy in the realm of political parties, constituency and political rights of citizens who can choose. The political programs were forwarded by political parties as the lips service, a sweetener in their campaign promises.
Keywords: Democracy, civil society, political parties
Pendahuluan
Patut menjadi perhatian, bahwa masyarakat di tingkat bawah dalam lingkup akar rumput (grassroots) seolah-olah menikmati sajian ini, karena momen pemilu apapun bentuknya baik pilpres, pemilukada maupun pilkades merupakan salah satu cara mereka untuk meraih keuntungan sesaat. Dana kampanye partai-partai banyak dihabiskan untuk mencoba menggaet konstituen dengan melakukan kampanye-kampanye yang dibungkus dengan pesta rakyat, mengundang biduan terkenal, membagikan kaos-kaos berlambang partai, membagikan sembako bahkan membagikan angpau yang berisi uang.
Praktek-praktek ini jelas ditampik oleh para petinggi partai, tetapi cobalah kita bertanya pada pemilih, praktek ini jelas terjadi, walaupun ada perbedaan pola dan tingkatannya pada wilayah pedesaan dan perkotaan.
Masyarakat pemilih dalam kasus pemilukada dan pilkades, dibeberapa tempat sudah tidak peduli lagi bakal calon yang akan maju untuk mencalonkan diri menjadi orang nomor satu didaerahnya, asal partai dan latar belakngnya. Pola berpikir praktis yang cenderung ekstrem telah membuat pilihan mereka jatuh kepada siapa saja bakal calon yang dapat “membeli” suara mereka, baik dengan imbalan barang, uang atau pun jasa.
Trauma masyarakat kita di masa krisis moneter beberapa tahun lalu, berlanjut pada krisis-krisis lain disegala bidang. Beban ekonomi yang semakin berat, peluang kerja dan usaha yang terbatas serta menipisnya akses mendapatkan barang-barang publik yang disediakan oleh negara, menyebabkan pilihan tersebut menjadi logis.

pdf file

Otonomi Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat Menuju Perubahan Sosial


Otonomi Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat Menuju Perubahan Sosial
Oleh: Romzi Nihan
Abstract
The implementation and development of government has given social change that caused the gap, the gap between regions, the gap between the groups of region. Then, it was evidenced by the high of poverty level with the standard is Rp 5.566/day in 1998. Then, the number of poverty reached more than 37 million people, if the international standard used is the $ 2 / day = ± 18 000 per day, the poverty is estimated 140 million people. So it must be admitted that the implementation of governance has not been able to solve the problem of poverty and unemployment. It means that community empowerment has not success to encourage social change to be better. Because of the economic growth was pursued by the tendency of natural resource exploitation which encourage the destruction of natural resources and environment that could potentially exacerbate the poverty level.
Keywords: Regional autonomy, social change, poverty, policy
Pendahuluan
Pengalaman pelaksanaan pembangunan di Indonesia, menimbulkan kesadaran perlunya reformasi kebijakan dalam pendekatan pemerintahan dan pembangunan yang kemudian melahirkan UU Otonomi Daerah, yaitu dengan ditetapkannya UU 22/1999 yang kemudian direvisi dengan UU 32/2004. Tulisan singkat akan mencoba mengkaji filosofi otonomi daerah yang meliputi demokratisasi, rentang kendali, potensi dan keragaman daerah, peran serta dan pemberdayaan masyarakat. Kemudian pemerataan dan keadilan sebagai target perubahan sosial yang diinginkan.
Pada hakekatnya diadakannya pemerintahan dan pembangunan adalah dalam rangka memberikan pelayanan guna mendorong perubahan sosial yang lebih baik, secara terprogram dan berkesinambungan. Artinya, hal-hal yang sudah baik ditumbuhkembangkan sedangkan yang belum baik dirubah menjadi baik, supaya terjadi pembangkitan semua potensi secara optimal untuk mewujudkan perubahan sosial kearah yang lebih baik dari waktu kewaktu.
Pada dasarnya otonomi daerah bermaksud untuk memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur daerahnya sendiri. Hal ini beranjak dari pemikiran akan luasnya wilayah dengan beragam budaya dan adat istiadat, sehingga dipandang perlu menyusun pemerintahan dengan hak otonomi yang rasional sebagai jalan untuk mempercepat kemajuan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat secara merata dan berkeadilan, tapi dalam perjalanan otonomi selama 8 (delapan) tahun secara nyata belum memenuhi harapan masyarakat.

pdf file

Peran Strategis Komisi Pemilihan Umum dalam Pelaksanaan Pemilu


Peran Strategis Komisi Pemilihan Umum dalam Pelaksanaan Pemilu
Oleh: Hardinata 
Abstract
In the culture of Elections in Indonesia, one of new challenge for Indonesia is the Regional Election directly initiated by the government through Law No. 32 of 2004 on Local Government which replaced Law No. 22 of 1999. The Law No. 32 of 2004 is considered to be more accommodating to the political interests of the Indonesian nation as a whole as well as accommodate the aspirations of the community in order to guarantee the implementation of democracy in the region. This will be very interesting because this will be a climax of the election results are implemented directly.
Keywords: Elections, the election commission authority, judicial review
Pendahuluan
Sehubungan dengan pemilihan umum dalam hal pilkada langsung, format politik Indonesia pada saat ini adalah neo-patrimonialisme, yang berarti perkembangan suatu negara atau organisasi sosial yang telah menggunakan sarana yang modern, dengan stabilitas sistem yang terjaga. Hal ini terlebih karena kemampuan pemimpin dalam merekatkan kepentingan kelompok disekitarnya. Neo-patrimonialisme mensyaratkan kesamaan pandangan politik dan ideologi dikalangan elite dan kekuatan utama dan adanya depolitisasi massa. Dalam konstruksi pemikiran neo-patrimonialisme, massa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan politik.
Dalam pandangan Miriam Budiarjao, dikebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang, sekaligus tolak ukur dari demokarsi itu sendiri. Hasil pemilihan umum yang diselengarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan (agak) akurat partisipasi dan aspirasi masyarakat (2008:461).
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada), memang menjadi sebuah pekerjaan yang besar untuk tiap daerah. Karena inilah pesta demokrasi yang pertama secara langsung untuk memilih pimpinan di daerah masing-masing. Namun, ada banyak catatan yang harus dicermati mengenai pelaksanaan pemilukada. Karena kalau diperhatikan proses terbitnya segala aturan pelaksana pemilukada sarat kepentingan politis. Sebagai contohnya di UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah di mana peserta pemilu dicalonkan oleh partai politik yang memiliki jumlah suara (kursi) tertentu di DPRD.
Sementara, tanggungjawab pelaksanaan pemilukada kepada DPRD yang notabene adalah representasi dari suara partai politik yang mencalonkan kontestan dalam pemilukada. Di samping itu, PP tentang pemilukada yang dibahas cukup lama dikhawatirkan sebagai proses “bargain politik” antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Menurut Ramlan Surbakti (1992:137), dalam setiap sistem pemilu yang biasanya diatur dalam peraturan perundang-undangan, setidaknya mengandung tiga variabel pokok, yaitu penyuaraan (balloting), distrik pemilihan (electoral district), dan formula pemilihan.

pdf file

Analisis Pola Pemberian Bantuan Keuangan Bagi Partai Politik di Kota Palembang


Analisis Pola Pemberian Bantuan Keuangan
Bagi Partai Politik di Kota Palembang
Oleh: Ong Berlian
Abstract
This research aims to determine how to control political party in using financial aid by National Unity of Politics and Public Protection (Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat) Palembang. This research was the type of applied research. The research included in descriptive study. This study focuses on the pattern of financial aid for the development of political parties by BKBPPM Palembang. Type of data used in this study was qualitative data. Data was collected by direct interviews and literature study. Analysis conducted through three steps; there were data reduction, data display, and conclusion drawing / verification. The result showed that the financial aid makes political party activity was better, it was not all usage of political party finance for service become more efficient and not all usage of the equipment, facilities and infrastructure to be more durable, it depended on the awareness and responsibility of each political party committee. The usage of financial aid a political party das not fulfill based on the rules, this was caused by there was still a political party that had not tried to understand and apply the applicable rules.
Keywords: Political parties, financial aid, the responsibility
Pendahuluan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik, penetapan besaran bantuan keuangan kepada partai politik tidak dengan menetapkan harga nominal untuk satu suara, melainkan melalui formulasi berdasarkan hasil penghitungan jumlah bantuan keuangan tahun anggaran sebelumnya dibagi dengan jumlah perolehan suara hasil pemilu bagi partai politik yang mendapatkan kursi periode sebelumnya. Besarnya jumlah bantuan keuangan tahun anggaran berkenaan sama dengan nilai bantuan per suara hasil pemilu dikalikan dengan jumlah perolehan suara hasil pemilu.
Bantuan keuangan kepada partai politik dialokasikan sebagai dana penunjang kegiatan partai politik untuk pelaksanaan pendidikan politik dan operasional Sekretariat Partai Politik Dewan Pimpinan Daerah Partai Politik. Hal ini dimaksudkan dalam rangka penguatan kelembagaan partai politik sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pemberian bantuan keuangan partai politik diberikan secara proporsional yang penghitungannya berdasarkan jumlah perolehan suara.

pdf file

Analisis Problem dan Prospek Implementasi Kebijakan Pemilukada Langsung


Analisis Problem dan Prospek Implementasi Kebijakan Pemilukada Langsung
Oleh: Yahnu Wiguno Sanyoto 
Abstract
The purpose of this research is to analyze the problems and prospects of implementation of direct local election policies so that know the effectiveness of the existence of policy. This research is a literature with a qualitative approach. In this research, the researchers collected data in the literature and documentation then data will be analyzed more deeply again thus forming a natural-scientific conclusion that can be received by various society. The result of discussion can be concluded that the implementation of direct local election policies impact positively in order to realize the ideals of an ideal democratic state, including the order of government organizations such as: (a) the harmonization in the context of the relationship between regional head/vice head with the local house of representatives; (b) generate credible and accountable regional head / vice regional head (c) minimize the money politic between the regional head/vice head with the local house of representatives; (d) reduce the dominance of the interests of political parties, (e) people take responsibility for the choices , (f) minimizing the distortions to the implementation of local democracy, (g) create good governance and clean government of local governance is; (h) direct election is proof of the embodiment of democratic governance.
Keywords : Policy, direct election, democracy
Pendahuluan
Dalam perjalanan sejarah pemerintahan daerah di Indonesia, sejak zaman kemerdekaan terdapat setidak-tidaknya 9 (sembilan) macam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan di daerah, sebagai landasan berpikir dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah baik pada masa orde lama, orde baru, maupun orde reformasi. Pada masa orde lama, diawal kemerdekaan kita mengenal adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 dengan sifatnya yang sentralistis, dikarenakan dalam setiap aktivitasnya kepentingan daerah tidak boleh bertentangan dengan pemerintah pusat. Pada pasal 2 UU ini terdapat dualisme fungsi kepala daerah yakni sebagai Ketua Badan Perwakilan Rakyat Daerah (BPRD) dan sebagai pelaksana pekerjaan mengatur rumah tangga daerahnya.
Selanjutnya, muncul Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 yang di dalamnya terdapat wewenang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk mencalonkan kepala daerah/wakil kepala daerah. Artinya di sini sudah mulai berlaku sistem pemilihan perwakilan, karena pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah diserahkan kepada wakil rakyat yang duduk di badan legislatif daerah. Dilihat dari penjelasan singkat di atas, maka pada saat kedua undang-undang tersebut berlaku peran DPRD lebih ditonjolkan daripada peran kepala daerah.
 Staf Pengajar Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Baturaja

pdf file

Implementasi Etika Birokrasi dalam Meningkatkan Akuntabilitas Aparat


Implementasi Etika Birokrasi dalam Meningkatkan Akuntabilitas Aparat
Oleh: Yunizir Djakfar 
Abstract
Nowdays, bureaucracy ethic is a very interesting topic for discussion, especially in creating clean government and respectable. The tendencies or symptoms happened which performance of its duties, so many of the bureaucratic apparatus often violate the rule set. Ethics of bureaucracy in governance is associated with morality and mentality of bureaucracy in providing public services which is reflected through the basic tasks and functions of government, the main function of the service, setting or regulation functions and functions of community empowerment. So, we are talking about ethics bureaucracy means about how the bureaucracy carries out duties and functions in accordance with the conditions set.
Keywords: Ethics, bureaucracy, services, government
Pendahuluan
Pertanyaan mendasar yang barangkali patut dilontarkan adalah bagimana proses penentuan etika dalam birokrasi itu sendiri. Siapa yang akan mengukur seberapa jauh etis atau tidaknya penerapan etika dalam birokrasi. Bagaimana dengan kondisi saat itu dan pada daerah tertentu yang mengatakan bahwa itu etis saja di daerah atau wilayah mereka dan tindakan itu dapat dibenarkan. Akan tetapi di daerah atau wilayah yang berbeda, mungkin berbeda bahkan tidak dapat dibenarkan.
Oleh karena itu dapat ditegaskan, bahwa implementasi etika birokrasi dalam pelayanan publik tergantung pada situasi dan kondisi daerah atau wilayah masing-masing. Hal itu sangat terpergantung dari seberapa jauh tingkat pelanggaran yang dilakukan. Di mana pelanggaran itu dilakukan, kapan dan bagaimana serta sanksi apa yang akan diterapkan. sanksi sosial-moral ataukah sanksi hukum. Semua itu bisa bersifat temporer dan sangat bervariasi di negara kita, sebab hal itu juga terkait dengan kondisi sosial dan budaya yang berlaku sesuai dengan norma, adat dan kebiasaan setempat.
Tulisan singkat ini mencoba menganalisis bagaimana implementasi etika birokrasi dilaksanakan paling tidak pada tataran standar pelayanan minimal. Sehingga sejalan dengan semangat peningkatan akuntabilitas aparat birokrasi pemerintahan diberbagai level.
Pengertian Etika
Secara mendasar, etika adalah sistem nilai pribadi yang digunakan untuk memutuskan apa yang benar atau apa yang paling tepat, dalam suatu situasi tertentu; memutuskan apa yang konsiten dengan system nilai yang ada dalam organisasi dan diri pribadi.
Kata etika berasal dar bahasa Yunani, ethos atau taetha yang berarti tempat tinggal, padang rumput, kebiasaan atau adat istiadat. Oleh filsuf Yunani, Aristoteles, etika digunakan
 Dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Baturaja, Sedang Menyelesaikan Tesis di MIP FISIP Univ. Lampung

pdf file

Senin, 04 Juni 2012

Tindak Pidana Pajak dan Money Laundry

Volume 3, No. 5, Juni 2010 ISSN: 1979–0899XX

Tindak Pidana Pajak dan Money Laundry
Oleh: Santi Indriani 
Abstract
Gayus Tanbunan’s Cases is Public debate right now, it’s be new people talk in mechanisms of law corridor in Indonesia. The Issues of MARKUS which act by the public servant is not foreign again when the problem of century is not finished yet. Tax Criminal Perpetration was once of crimination in tax dimension which involve many people, Tax Criminal perpetration it’s not do by personal and the characteristic of this criminal Perpetration is do by corporation by other people. There is compromise by assumes it’s good corporation between other side ,which tax officer will win in the tax of court, and tax obligatory will give present to tax officer. The present that given by tax obligatory possible causes money laundry. Actually tax reformation for many times is symbol of a corrupt resistance for tax institution was something that impossible to do, like cool mount, tax perpetration most of them still “hide”.
Key words: Tax perpetration, money laundry
Pendahuluan
Kasus Gayus Tambunan yang menjadi topik hangat dalam setiap pemberitaan tentunya mengalihkan pandangan publik terhadap kasus century. Kejahatan Pajak merupakan kejahatan kerah Putih (white colour crime), maksudnya adalah kejahatan ini dilakukan oleh seseorang yang memiliki keahlian dibidangnya sehinga dalam melakukan kejahatan tidak hanya dilakukan sendiri melainkan melibatkan pihak-pihak tertentu.
Pajak merupakan sumber utama pendanaan suatu Negara, baik dengan tujuan pembangunan, pertahanan maupun pelaksanaan administrasi pemerintahan. Faktor dominan dari pajak tersebut, menyebabkan banyak kepentingan ada di dalamnya. Mulai dari kepentingan orang pribadi, pengusaha, badan usaha hingga kepentingan politik. Banyaknya kepentingan yang mendominasi perpajakan, menyebabkan timbulnya perilaku yang menyimpang berupa “kepatuhan yang semu” atas pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak.
Sebaliknya adanya kepentingan tersebut merupakan suatu “peluang emas” bagi pejabat perpajakan untuk menjadikan pajak sebagai suatu objek untuk mendapatkan apa yang diharapkannya. Dua kepentingan dari pihak-pihak yang berbeda, namun pada inti tujuannya sama, menghasilkan persamaan persepsi tentang bagaimana menggunakan peraturan perpajakan sebagai suatu sarana untuk melakukan tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindak kriminal perpajakan.
Penyelesaian tindak kriminal di bidang perpajakan belum mendapatkan solusi seperti yang diharapkan pemerintah maupun masyarakat. Disisi lain belum adanya perbaikan mental dari para pegawai dilingkungan perpajakan yang disebabkan oleh pengaruh dari para wajib pajak tertentu yang mengarah kepada penyuapan dan pemerasan, sehingga kepatuhan terhadap ketentuan peraturan yang ada tidak dapat dilaksanakan dengan baik.
Dari tahun ke tahun target yang harus dicapai oleh bidang perpajakan mengalami kenaikan yang signifikan.Beberapa kali aparat perpajakan menyesuaikan kondisi dan keadaan tersebut dengan cara ekstensifikasi pajak, yang berarti mencari sumber-sumber

 Dosen Tetap Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP UNBARA

more in pdf

Penerapan Good Governance; Perspektif Teoritik Birokrasi dan Administrasi Publik

Volume 3, No. 5, Juni 2010 ISSN: 1979 – 0899X

Penerapan Good Governance;
Perspektif Teoritik Birokrasi dan Administrasi Publik
Oleh: Yulisnaningsih 
Abstract
Nowadays, people get bored with formal, rigid, inefficient and slow democracy, on the other side bureaucracy is necessity in modern life. Democratic government system emphasizes that power focus is both on government and people’s hand. The implementation of good government system is how far the constellation among three components: people, government, and entrepreneur that run together. In the fact, the changing of balancing system of those three components spreads corruption, collusion, and nepotism.
Key words: Good governance, bureaucracy, public administration
Pendahuluan
Berkaitan dengan good governance, Mardiasmo (2002:18; dalam Tangkilisan, 2005:114) mengemukakan bahwa orientasi pembangunan sektor publik adalah untuk menciptakan good governance, di mana pengertian dasarnya adalah kepemerintahan yang baik. Kondisi ini berupaya untuk menciptakan suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab sejalan prinsip demokrasi, efisien, pencegahan koropsi, baik secara politik maupun administratif.
Tuntutan reformasi yang berkaitan dengan aparatur negara termsuk daerah perlunya mewujudkan administrasi negara yang mampu mendukung kelancaran dan keterpaduan pelaksanaan tugas, dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan menuntut dipraktikannya prinsip good governance. Menurut UNDP (dalam LAN dan BPKP, 2000:7; seperti dikutip Tangkilisan, 2005:114), mengemukakan karakteristik good governance adalah sebagai berikut:
1. Participation. Setiap warga negara mempunyai suara dalam penbuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya.
2. Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak asasi manusia.
3. Transparancy (tranparansi) yang dibangun atas dasar kebebasan arus informasi.
4. Responsiveness. Setiap lembaga dan proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan harus mencoba melayani sikap stakeholders.
5. Consensus orientation. Gopod governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur.
6. Equity. Semua warga negara mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.
7. Efectiveness and effeciency. Proses-proses dan lembaga-lembaga menghasilkan produknya sesuai dengan yang telah digariskan, dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin.
8. Acountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan

 Dosen LB Pada Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP UNBARA

more in pdf

Pendidikan Gratis dan Sosialisasi BOS Di Propinsi Sumatera Selatan; Perspektif Kebijakan Komunikasi

Volume 3, No. 5, Juni 2010 ISSN: 1979–0899X

Pendidikan Gratis dan Sosialisasi BOS
Di Propinsi Sumatera Selatan; Perspektif Kebijakan Komunikasi
Oleh: Hendra Alfani 
Abstract
Politics reformation and regional autonomy have made education policy system in controversy. Especially about the allocation of education budget that should reach 20 percent as mentioned in Law Number 20 Year 2003 about National Education System. National education ministry policy runs School Operational Aids (BOS) program that give free education for elementary and junior high schools in region implemented by provincial and regency / city government. In general it is a proper policy and useful for people. Technically, if we observe the process of socialization, information, and communication, the policy creates confusion caused by multi-interpretation and weak control. This writing tries to observe the problem from communication perspective, how a public policy should be communicated systematically in order to gain the advantage.
Key words: Politics reformation, regional autonomy, public policy, communication
Pendahuluan
Perjalanan panjang kita sebagai sebuah negara-bangsa yang merdeka tidak bisa dilepaskan dari peran tokoh-tokoh terdidik yang dimiliki bangsa ini. Pada masa perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia, peran mereka dalam menggerakkan seluruh elemen masyarakat untuk sadar akan hak-haknya sebagai sebuah bangsa mampu mendorong dan membuka jalan bagi terbentuknya sebuah negara bangsa yang merdeka dan berdaulat. Lahirnya National Onderwijs Institut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara pada tanggal 3 Juli tahun 1922 menjadi sebuah tonggak bersejarah dalam upaya membangun kesadaran akan pentingnya pendidikan dalam meraih cita-cita kemerdekaan.
Pada perkembangan selanjutnya, Undang-Undang Dasar 1945 yang digunakan sebagai landasan legal formal kehidupan berbangsa dan bernegara mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan (pengajaran) dan pemerintah diberi kewajiban untuk mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional.
Sayang, amanat luhur para pendiri bangsa tersebut tidak dapat dilaksanakan secara maksimal oleh pemerintah sebagai pengemban dan pelaksana amanat Undang-Undang. Dalam laporan tahunan UNDP 2004, indeks pembangunan manusia Indonesia menempati urutan ke-111 (setelah sebelumnya berada diurutan ke-112) dari 177 negara. Bila dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN, Indonesia hanya sejajar dengan Vietnam tapi di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Adapun hasil survei tentang kualitas pendidikan di Asia yang dilakukan oleh PERC yang berbasis di Hong Kong, Indonesia menempati urutan keduabelas atau yang terburuk di Benua Asia. (http://www.suaramerdeka.com).

 Dosen Tetap Pada Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Baturaja

more in pdf

Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah: Urgensi Akuntabilitas Laporan Keuangan

Volume 3, No. 5, Juni 2010 ISSN: 1979–0899X

Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah:
Urgensi Akuntabilitas Laporan Keuangan
Oleh: Marratu Fahri 
Abstract
Mariana and Paskarina (2008), mention that democratic accountability assumes that government has to be responsible to people who have given mandate to government. There are two kinds of accountability. The first is internal accountability that is given by second party, the ones who give authority to government and financial support. The second is external accountability. It is a responsibility to those who are the target in government’s policy.
Key words: Government, accountability, policy, financial
Pendahuluan
Akuntabilitas mestinya berlaku untuk semua bentuk pertanggungjawaban pemerintah kepada publiknya. Terlebih lagi untuk pertanggungjawaban keuangan negara hal mana mencerminkan semua aktivitas pemerintah dalam menjalankan roda kehidupan negara. Bentuk pertanggungjawaban keuangan negara dapat dilihat secara nyata oleh publik dalam laporan keuangan negara yang dikeluarkan. Dengan demikian publik diharapkan mampu menilai apakah pertanggungjawaban keuangan sebagaimana terlihat dalam laporan keuangan tersebut layak diterima atau tidak.
Laporan keuangan merupakan suatu hasil dari proses akuntansi untuk suatu periode tertentu. Agar suatu laporan keuangan negara dapat dinilai oleh publik maka diperlukan suatu standar akuntansi yang dapat digunakan sebagai dasar penilaiannya. Dengan adanya standar akuntasi yang baik, laporan keuangan menjadi lebih berguna, dapat diperbandingkan, tidak menyesatkan dan dapat menciptakan transparansi. Di samping itu, laporan keuangan agar dapat dikatakan transparan dan dapat dipertanggungjawabkan maka haruslah bersifat menyeluruh sehinga mengungkap semua sumber-sumber yang dimiliki maupun digunakan dalam aktivitas atau kegiatan yang dilakukan.
Dari paparan latar belakang tersebut terdapat dua permasalahan mendasar berkaitan dengan laporan keuangan yang secara otomatis terkait pula dengan proses penyusunan laporan keungan tersebut, maupun bentuk laporan keuangan yang dihasilkan, yakni: Pertama, diperlukannya standar akuntansi yang mengatur proses maupun bentuk laporan keuangan sesuai dengan yang berlaku umum. Kedua, bagaimana laporan keuangan yang disusun tersebut mampu menggambarkan semua potensi, posisi dan kondisi keuangan negara yang sebenarnya.
Oleh karena itu, tulisan singkat ini hendak mengkaji tentang urgensi akuntabilitas laporan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam konteks mewujudkan clean government dan good governance di era otonomi daerah.

 Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Baturaja Sedang Studi di MIP FISIP UNILA

more in pdf

Arah dan Tujuan Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Jurusan Dakwah (Studi Kasus Arah dan Tujuan Prodi KPI Jurusan Dakwah STAIN Curup)

Volume 3, No. 5, Juni 2010 ISSN: 1979– 0899X

Arah dan Tujuan Program Studi
Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Jurusan Dakwah
(Studi Kasus Arah dan Tujuan Prodi KPI Jurusan Dakwah STAIN Curup)
Oleh: Sumarni Sumai 
Abstract
Government has great responsibility to sharpen nation’s mind in order to reach fair, wealthy, and prosperous people with no difference through national education system regulated in Law Number 20 Year 2003. It is not easy and takes time to reach the goal. Capacity and commitment from the agents of education field needed, including Islam broadcasting communication (KPI) study program, missionizing (dakwah) major in STAIN Curup, to make strong plan on strategy and direction. SWOT analysis and planning by Macnamara can be used to create direction and purpose of KPI program study as mentioned by Salmadanis that KPI zone is mass and institutionalized activity.
Key words: Islam broadcasting communication, strategy, planning
Pendahuluan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengamanatkan anggaran pendidikan sebesar 20% dari total APBN. Anggaran 20% tersebut ditujukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara menyeluruh, meliputi sarana prasarana, tenaga pendidik, kurikulum, penguatan kelembagaan, proses belajar-mengajar, penelitian, prestasi akademik, dan peningkatan mutu anak didik (output). Pemerintah memiliki tanggungjawab yang sangat besar untuk melaksanakan amanat Undang-undang tersebut dan mewujudkannya menjadi sesuatu yang nyata.
Tujuan akhir dari hal tersebut adalah sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa; mencerdaskan bangsa dan terwujudnya masyarakat yang adil, makmur, sejahtera tanpa perbedaan. Artinya bahwa semua warga negara memiliki hak yang sama untuk menjadi cerdas dan menikmati fasilitas pendidikan yang disediakan oleh negara sesuai dengan standar kualitas yang ditetapkan.
Sejak beberapa tahun terakhir pemerintah telah meningkatkan anggaran pendidikan hingga mendekati angka 20% sebagaimana diamanatkan undang-undang. Program-program yang mendukung upaya peningkatan kualitas pendidikan terus digulirkan dengan pendanaan yang cukup besar; sertifikasi guru dan dosen, peningkatan kesejahteraan guru dan dosen, pembangunan gedung-gedung sekolah baru, penyediaan beasiswa bagi tenaga didik, adalah beberapa contoh yang bisa disebut.
Kebijakan tentang otonomi kampus digulirkan juga dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan tinggi yaitu bagaimana menjadikan kampus sebagai sebuah lembaga pendidikan yang mampu mengurus dirinya sendiri dan bersaing secara sehat antar perguruan tinggi sejenis. Tantangannya adalah bagaimana membuat perguruan tinggi diminati banyak calon mahasiswa oleh sebab kualitas yang memenuhi standar yang ditetapkan pemerintah, mulai dari

 Dosen Tetap Prodi KPI STAIN Curup Bengkulu, Alumni Magister Ilmu Komunikasi USAHID Jakarta

more in pdf

Peranan Perguruan Tinggi dalam Media Literacy Bagi Masyarakat

Volume 3, No. 5, Juni 2010 ISSN: 1979 – 0899X

Peranan Perguruan Tinggi dalam Media Literacy Bagi Masyarakat
Oleh: Isnawijayani 
Abstract
Communication Media has been developed in the form of printed Media and electronic Media. This development is not only easy to communicate and receive information fast wherever and whenever we go but also cheap. Besides positive impacts, it has negative influence to children and teenagers growth and adults. In other word it brings great influence to people. That is why Media literacy is needed so people will be able to know what Media is. Media presents through a long process. What we see is not 100% true. There are politics, economics, culture etc in it. People have to know and understand Media.
Key words: Media literacy, information, media effect, people
Pendahuluan
Tulisan ini bukan asli pemikiran penulis, melainkan dari berbagai sumber referensi dan reduksi pemikiran para ahli. Sementara deskripsi tentang persoalan media, lebih banyak didasarkan pada pengalaman penulis selama 5 tahun menjadi dosen Komunikasi dan menjadi Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sumatera Selatan. Pembahasan tentang topik ini diawali dengan latar belakang lahirnya Media literacy, pemaknaannya, dan Media literacy di Perguruan Tinggi. Penulis menutup bahwa Media literacy perlu disampaikan kepada masyarakat melalui Perguruan Tinggi. Mudah-mudahan rangkuman pemikiran ini bermanfaat bagi kita semua.
Mengapa Harus Ada Media Literacy?
Dahulu berkomunikasi memerlukan waktu dan tidak cepat mendapat respon. Sekarang, seiring perkembangan teknologi, media baru muncul sebagai alternatif yang digunakan masyarakat yang hemat waktu, mudah dan efektif. Masyarakat mulai tenggelam dalam dunia yang dipenuhi oleh media. Dalam Media Now (2009) kehadiran teknologi media menjadikan konvergensi (titik temu) teknologi media, telekomunikasi, dan komputer. Teknologi mempengaruhi gaya hidup masyarakat. Yang tadinya orang membaca suratkabar, kini beralih ke media online yang lebih murah dan media ini mudah diakses bahkan dapat dibaca lewat hand phone.
Buku Understanding Media–The Extensions of Man (Marshall McLuhan, 1999), mengatakan medium is message (pesan media ya media itu sendiri). McLuhan menganggap media sebagai perluasan manusia dan media yang berbeda-beda mewakili pesan yang berbeda-beda. Media menciptakan dan mempengaruhi kehidupan manusia sebagai individu dan masyarakat. Hal ini juga yang menjadikan globalisasi. Sehingga McLuhan menyampaikan Teori Determinime Teknologi yang menuai kritik dan berbagai tuduhan, ia melebih-lebihkan

 Dosen PNSD Prodi Komunikasi FISIP Universitas Baturaja, Doktor Ilmu Komunikasi UM Malaysia

more in pdf

Negara dan Civil Society dalam Masalah Disintegrasi Bangsa

Volume 3, No. 5, Juni 2010 ISSN: 1979–0899X

Negara dan Civil Society dalam Masalah Disintegrasi Bangsa
Oleh: Yunizir Djakfar 
Abstract
In storage of Indonesia, civil societies especially say that in post reformation discourse at 1998 envelope economic reformation, politic, sosial and culture. The incident at September, New York (WTC) becomes pioneer to global civil society power that come up new aware in most of authority’s country strictly increase of country safety. Because of terrorisms, that happening in New York is insult of human right. So that civil society is appears in the problem of nation integrity that become existence of manifests from individual.
Key words: Civil society, nation integrity
Pendahuluan
Konsep civil society tentu bukan penemuan abad 21, civil society yang kita ambil sampai hari ini terutama berdasarkan perkembangan yang rnutakhir, yaitu masa-masa sekitar runtuhnya blok sosialis dengan runtuhnya The Imperium Uni Soviet (Rusia) itu pada tahun 1989.
Meskipun ada yang kemudian membenturkan konsep civil society dengan msyarakat madani di mana civil society dianggap berasal dari Barat, sementara masyarakat madani lahir dalam peradaban masyarakat Islam, akan tetapi yang dikedepankan dalam tulisan ini adalah bahwa, baik civil society maupun masyarakat madani, adalah sama-sama mendorong terwujudnya masyarakat yang hidup berdasarkan kaidah keilmuan, dibimbing oleh keinsafan terhadap nilai proporsionalitas, mandiri, demokratis, menjunjung tinggi moral dan terbuka terhadap kritik. Dalam perkembangan lebih lanjut, civil society dimengerti sebagai entitas yang berbeda dengan negara.
Dalam khasanah ke-Indonesia-an, civil society terutama mengemukakan dalam diskursus pasca Reformasi 1998. Meliputi ide pembaruan ekonomi, politik, sosial hingga budaya. Adanya peristiwa 11 September, New York (WTC) lantas juga menjadi tonggak kekuatan civil society global yang juga mernbangkitkan kembali satu kesadaran baru di kalangan banyak penguasa-penguasa negara untuk lebih ketat dalam melakukan pengamanan negara. Karena terorisme seperti yang terjadi di New York tersebut merupakan bentuk penistaan terhadap hak hidup masyarakat. Maka civil society pun menapak pada persoalan kesatuan bangsa yang menjadi manifestasi eksistensi dari berbagai individu. Sebab berkenaan dengan hak hidup setiap manusia.
Sementara kesatuan sebuah bangsa adalah komitmen sakral dan para anggotanya yang telah mengikat din dalam sebuah wadah dengan beraneka ragam latar belakang, dengan demikian upaya-upaya yang mengarah kepada tindakan memecah belah adalah juga merupakan bagian dari langkah-langkah merongrong sebuah penyatuan dari berbagai kelompok tersebut. Ancaman ini tentu saja harus diantisipasi secara lebih tegas, tidak hanya

 Dekan FISIP Universitas Baturaja, Sedang Studi di MIP FISIP UNILA

more in pdf

Panggung Politik dan Komunikasi Politik DPR RI Periode 1999-2004 “Perang itu adalah politik berdarah dan politik itu adalah perang tak berdarah”

Volume 3, No. 5, Juni 2010 ISSN: 1979–0899X

Panggung Politik dan Komunikasi Politik DPR RI Periode 1999-2004
Oleh: Lely Arrianie 
“Perang itu adalah politik berdarah dan politik itu adalah perang tak berdarah”
Abstract
Most of House of Representative (DPR) members for 1999-2004 period are members since 1997. They experience reformation era when Soeharto was demoted and Abdurrahman Wahid (Gus Dur) resigned. It was a full of debate and violence period, wrapped by political messages. People hope reformation bring wind of change and politician in House of Representative make people get involved in political communication in House of Representative. Will politics change? Will the politician change too?
Key words: Reformation, political communication
Pendahuluan
Suasana reformasi telah memberikan dampak luar biasa terutama dalam kehidupan perpolitikan di tanah air. Kebungkaman yang terbelenggu selama tiga puluh dua tahun pemerintahan Orde Baru yang represif terlepas sudah, dari rakyat secara pribadi, kelompok kepentingan serta organisasi massa, pemuda mahasiswa maupun organisasi partai politik serta merta meneriakkan aspirasi, tuntutan dan agenda mereka ke panggung-panggung politik.
Asosiasi Parlemen Indonesia (API) melaporkan melalui Panduan Parlemen Indonesia bahwa, fenomena yang terlihat dari banyaknya tuntutan masyarakat yang diajukan ke dewan tidak terlepas dari langkah awal demokratisasi di Indonesia. Pemilu 1999 yang relatif dianggap sebagai pemilu paling fair sepanjang sejarah perpolitikan Indonesia setelah pemilu 1955, dan dianggap telah melahirkan institusi pemerintahan paling legitimate.
Kehadiran politisi di panggung politik DPR RI juga di apresiasi dengan beragam argumen, sama seperti politisi lain yang manggung di panggung politik di daerah-daerah, wajah-wajah baru menghiasi teater politik dan melakonkan adegan politik dengan intensitas dan kegamangan politik yang beragam pula.
Sementara rakyat menanti hasil kerja mereka dengan antusiasme yang relatif besar, banyaknya aspirasi dan tingginya ekspektasi rakyat terhadap dewan merefleksikan peran lembaga legislatif sebagai dokter ahli yang harus dapat segera menyembuhkan berbagai macam penyakit pasien. Tingginya ekspektasi rakyat tentu harus diimbangi dengan kinerja anggota dewan yang perlu di dukung oleh para experts, yang terdiri atas para peneliti yang handal dalam bidangnya, karena anggota dewan bukanlah kumpulan orang yang serba tahu, yang selalu menguasai seluruh permasalahan rakyat, pemerintahan dan kenegaraan (Panduan Parlemen Indonesia, 2001:476).
Di sisi lain, berdasarkan hasil penelitian tergambar bahwa harapan rakyat terhadap anggota dewan ternyata telah diapresiasi secara berlebihan oleh kebanyakan anggota dewan. Tampilan politisi yang memukau tidak hanya diperlihatkan dengan simbol keanggotaan yang

 Dosen Komunikasi FISIP Universitas Bengkulu, Doktor Ilmu Komunikasi UNPAD

more in pdf

Media Politik dan Politik Media; Antara Independensi dan Sebuah Keniscayaan

Volume. 2, No. 3, Juni 2009 ISSN: 1979– 0899X

Media Politik dan Politik Media;
Antara Independensi dan Sebuah Keniscayaan
Oleh: Hendra Alfani
Abstract
In performing its functions, media can be seen in three perspectives. Those are economics, sociology and politics perspective. Economics perspective declares that media is an institution that can be put as instrument to gain profit. Media is a good for the owner. Second perspective which is sociology perspective declares that media is an institution that plays role as social agent.
Key words: Media, politic, independency
Pendahuluan
Media mempunyai peran yang sangat signifikan dalam membentuk pola pikir manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Media dijadikan sebagai salah satu referensi utama yang dapat mempengaruhi perilaku tiap individu. Sedangkan perspektif politik, menyatakan bahwa media merupakan institusi yang menyajikan informasi dengan membawa ideologi tertentu. Setiap pesan yang dikonstruksi media pastinya mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Dalam konteks yang lebih luas media diibaratkan sebagai pihak yang mampu menjadi oposan bagi pemerintah.
Sepuluh tahun sudah bangsa ini lepas dari jeratan orde baru. Dimulainya era reformasi menandai beralihnya iklim politik dari yang dulunya menganut otoritarianisme ke demokrasi. Satu dasawarsa tentu bukan waktu yang bisa dikatakan sebentar. Dalam rentang waktu tersebut bangsa ini telah berjuang. Berjuang untuk menciptakan iklim demokrasi. Dalam relasinya dengan media, tentunya kita semua berpikir, berada dalam posisi manakah media dalam mengawal perubahan ini? Apakah media sudah turut berkontribusi dalam membentuk iklim demokrasi yang sebenarnya?
Ada dua indikasi yang dapat menjawab itu semua yakni, independensi media dan terciptanya ruang publik (public sphere). Mengapa dua hal tersebut? Independensi selalu berkaitan erat dengan kebebasan pers, sedangkan ruang publik menjadi barometer sejauh mana partisipasi publik dalam ranah politik melalui media. Independensi bisa dikatakan momok bagi media masa kini. Sebagai institusi ekonomi, tidak dapat dipungkiri media menjadi alat bagi pemodal untuk meraih untuk yang maksimal. Ketika media ditempatkan sebagai barang dagangan, bisa jadi media lebih mengutamakan kepentingan profit daripada memenuhi hak-hak publik. Kepentingan publik bisa saja ditempatkan pada level subordinat yang tidak mendapatkan perhatian serius dari institusi media.
Selain itu, isu kepemilikan (ownership) merupakan masalah besar yang hingga kini masih belum terpecahkan. Sudah menjadi rahasia umum bila faktor kepemilikan dapat mewarnai konten yang ditampilkan oleh media massa. Di Indonesia saja misalnya, semua orang dapat menilai keberpihakan ANTV dalam merekonstruksi berita tentang lumpur Lapindo. Kepemilikan Aburizal Bakrie di ANTV membuat dewan redaksi mereka memilih

 Dosen Tetap Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNBARA


more in pdf

Implementasi Pelayanan Publik dalam Era Otonomi Daerah

Volume 2, Nomor 3, Juni 2009 ISSN: 1979 – 0899XX

Implementasi Pelayanan Publik dalam Era Otonomi Daerah
Oleh: Herni Ramayanti
Abstract
The region autonomy, demanded local government character to give welfare for society with supply public service very wanted. Paradigm reshuffle from good government aim good governance (local governance), will involve connection between local government with society in government activity/affair. The good governance must there balance between public, private and social or society. There by region autonomy not only in central government authority capitulation limitation to region, but more than that is region autonomy is authority capitulation to society. Related to this matter, questio furthermore how does character with government in supply public service that involve participation private and society.
Key words: Public service, autonomy region, government
Pendahuluan
Di Indonesia istilah lokal gorvenance berarti pemerintah daerah yang memiliki otonomi daerah. Pemerintah daerah diselenggarakan oleh kepala daerah selaku penyelenggara pemerintah daerah tertinggi bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) melaksanakan fungsi policy making dan police execuring dengan menggunakan perangkat birokrasi lokal. Dalam hal yang menyangkut public service dilaksanakan oleh dinas dan BUMD. Public service memiliki karakteristik sebagaimana dikemukakan Holtham: (a) Secara umum tidak dapat memilih pelanggan; (b) Peranannya dibatasi Undang-Undang; (c) Konflik/permasalahan politik kelembagaan; (d) Kompleksitas pertanggung jawaban; (e) Sangat terbuka pada sistem keamanan; (f) Setiap kuatifitas harus beralasan, dan; (g) Tujuan sulit untuk diukur.
Dengan karakteristik demikian, pelayanan publik membutuhkan organisasi yang berbeda dengan organisasi yang dapat memilih konsumennya secara selektif. Setiap kenaikan harga atas suatu public service harus dibicarakan dahulu dan mendapat persetujuan dari legeslatif. Terdapat public service yang seperti penyediaan air bersih, listrik infrastruktur dan sebagainya tidak sepenuhnya barang.
Seperti penyediaan air bersih, listrik, infrastrukur dan sebagainya tidak sepenuhnya dapat diserahkan berdasarkan mekanisme pasar. Akan terdapat kelompok masyarakat yang tidak dapat mengakses public services bila diserahkan kepada provat/swasta. Gejala ini disebut denggan kegagalan pasar (market vailure). Untuk mengatasi permasalahan tersebut dan upaya memberikan pemerataan terhadap akses public services pemerintah melakukan intervensi dengan menyediakan public goods dengan dua karakteristik, yaitu (1) ”non-exludability” dan (2) non-rivalry comsuption. Dengan demikan pihak swasta tidak bersedia menghasilkan barang publik (murni), maka pemerintahlah yang harus menyediakan agar kesejahteraan seluruh masyarakat dapat ditingkatkan. Intervensi pemerintah akan lebih menonjol diwilayah pedesaan dibandingkan dengan perkotaan yang tuntutan akan public services sangat tinggi kenyataan yang tak terhindarkan adalah pergeseran barang jasa menjadi barang privat. Sebagai contoh permasalahan kebakaran diperkotaan menjadi sangat penting dan menjelma menjadi salah satu public services. Fenomena tersebut menunjukkan adanya government growt. Pertumbuhan beban pemerintah bukan saja

 Dosen Tetap Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP UNBARA


more in pdf

Metodologi Kuantitatif dalam Penelitian Sosial

Volume 2, Nomor 3, Juni 2009 ISSN: 1979 – 0899XX

Metodologi Kuantitatif dalam Penelitian Sosial
Oleh: Anis Feblin1
Abstract
In many cases, qualitative and q uantitative researches are different, although there are a lot of alikeness too, complementing to each other. All of social researchers have systematically collected and analyzed empirical data and carefully examined their patterns in order to understand and explain social life. Differences between qualitative and q uantitative life can create confusion among students, researchers, and readers of research reports. Those who appraise qualitative research by means of q uantitative research standards often get dissappointed, and such is the case with the contrary one. It is the best to appraise each of the styles. To appraise their respective strengths, it is very important to understand differences of researchers’ orientation. One of differences between the two styles derives from the existing data characteristics. Soft data take form of impressions, words, sentences, photos, symbols, and so on, dictating research strategies and techniq ue of data collection that is different compared to hard data, taking form of numbers. Another difference is that researchers qualitatively and quantitatively have varied assumptions on social life and different objectives. The difference can make tools used by other forces become unsuitable and irrelevant to others.
Key words: Quantitative, qualitative, research design
Pendahuluan
Metodologi kuantitatif mendasarkan pada filosofi positivistik atau naturalistik (fenomenologi). Selama lebih dari satu abad, struktur, proses dan latar belakangnya menawarkan dasar untuk pengembangan dan praktek standar metode ilmu sosial. Sejalan dengan hal di atas, standar tersebut membentuk prinsip‐prinsip teoritikal dari penelitian kuantitatif. Biasanya bersifat deduktif, positivistik, obyektif, dan “bebas nilai”. Secara ringkas prinsip‐prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
 Realitas adalah obyektif, sederhana dan positif serta terdiri dari kesan indrawi; terdapat satu realitas secara alamiah, satu kebenaran.
 Manusia ditentukan oleh dunia sosialnya dalam cara yang sama dimana dunia naturalistik diatur dengan hukum tetap; manusia berhubungan dengan pola tetap yang secara empiris dapat diamati. Tugas ahli sosiologi adalah menemukan hukum ilmiah yang menjelaskan perilaku manusia.
 Fakta harus dijaga terpisah dari nilai; ilmuwan sosial tidak boleh membuat penilaian atas nilai.
 Ilmu alam dan sosial memberikan prinsip logika dan metodologi yang sama. Ilmuwan sosial dapat menggunakan metode ilmu fisika.
 Metafisika, alasan filosofi dan spekulasi merupakan ilusi; tidak dapat menawarkan data yang reliabel dan valid, mereka tidak memiliki relevansi empiris, dan tidak mempergunakan prosedur jelas yang dapat menghasilkan pengulangan serta pengujian kembali.

1 Dosen Tetap Program Studi Ekonomi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Baturaja

more in pdf

Korupsi dan Good Governance

Volume. 2, No. 3, Juni 2009 ISSN: 1979– 0899X

Korupsi dan Good Governance
Oleh: Marratu Fahri
Abstract
One of problems winding our nation is corruption. It ruins our nation. The low of publik service is caused by the corruption. Because of that, good governance convinced can reduce corruption. Good governance requires transparency, accountability and populace participation.
Key words : Corruption, good governance
Pendahuluan
Dalam pandangan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin dalam Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah (2006:v-vi), good governance sudah menjadi istilah politik dan sekarang ini lebih disukai daripada istilah lama, clean governance. Pemerintahan yang baik tentu good dalam pengertiannya yang lebih luas. Mungkin dalam bahasa Arab padanannya adalah khair. Jadi kalau ada istilah khairu ummah, mungkin padanan kata untuk good governance adalah khairu ummah, pemerintahan yang baik yang mau menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemerintah.
Good governance merupakan salah satu pilar dan prasyarat bagi terwujudnya masyarakat madani (civil society). Masyarakat madani itu sendiri selain menjadi bagian dari masyarakat tetapi juga mengandaikan adanya kebaikan di lingkungan pemerintahan. Pemerintah yang mendapat amanat dari rakyat memiliki wewenang untuk mengelola kemajemukan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat melalui satu sistem hukum. Penegakan supremasi hukum itulah hak yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah. Dengan demikian negara mempunyai posisi yang sangat sentral dan strategis, karena bisa dikatakan bahwa baik buruknya kehidupan berbangsa dan bernegara sangat tergantung dari perilaku penyelenggara negara atau penyelenggara pemerintahan. Karena itu maka good governance sebagai sebuah cita-cita masyarakat madani perlu ditegakkan.
Dalam pada itu, tingginya angka korupsi di negara kita sesungguhnya adalah gambaran betapa lemah dan tidak adanya good governance dimaksud. Persoalan ini tentu sangat menarik untuk didiskusikan mengingat korupsi sangat merugikan dan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pengertian, Penyebab, dan Bentuk Korupsi
Menurut Transparansi Internasional, seperti dikutip Amien Rais (2008:177 ) korupsi adalah “ perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka”. Robert Klitgaard mengajukan rumus sederhana, yakni : C = D + M – A atau Corruption = Discretion + Monopoly – Accountability. Korupsi mengandung unsur-unsur: melawan hukum/melanggar
 Dosen Tetap Pada Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP UNBARA, Sedang Studi di MIP FISIP UNILA

more in pdf

Pembangunan yang Berpusat Pada Manusia

Volume. 2, No. 3, Juni 2009 ISSN: 1979– 0899X

Pembangunan yang Berpusat Pada Manusia
Oleh: Andy Corry Wardhani
Abstract
In development model centering on human, government role is creating social environment that enable to stimulate man development and potentiality actualization. The creating of social environment needs self organize learning system, with orienting informal organization network and communication flow on need and local variety as complement of more formal command system. Structural arrangement depends on populace initiative to create based on unlimited information. It determines inputs of development centering on human.
Key words : Development, government, populace
Pendahuluan
Para Perencana pembangunan di negara-negara berkembang dan ahli pembangunan lainnya sepanjang dua dasawarsa terakhir makin menyadari pentingnya pendekatan alternatif dalam pembangunan. Pada mulanya para perencana pembangunan begitu yakin bahwa pembangunan yang dirancang secara teknokratis, melalui pengelolaan sumberdaya secara terpusat dan memberikan kepercayaan yang berlebihan kepada birokrasi pemerintah sebagai pelaku utama pembangunan, akan mampu mengatasi berbagai persoalan dasar masyarakat seperti kemiskinan, kesenjangan sosial dan keterbelakangan. Aplikasi Model-model pembangunan yang digunakan tidak jarang menghasilkan program-program pembangunan yang bukan hanya mengabaikan akan tetapi juga menurunkan kemampuan masyarakat untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi melalui inisiatif lokal dan lebih dari pada itu membuat mereka menjadi sangat tergantung kepada birokrasi-birokrasi terpusat yang memiliki kemampuan absorpsi sumberdaya yang sangat besar, akan tetapi sebaliknya kurang memiliki kepekaan untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan lokal ( Korten, 1988 ).
Pendekatan pembangunan yang berpusat pada manusia (people-centered development), telah mengundang kebangkitan kembali dengan semangat baru yang lebih bersifat partisan pembangunan masyarakat. Pendekatan pembangunan seperti ini merupakan suatu elemen dasar dari suatu strategi pembangunan yang lebih luas, bertujuan untuk mencapai suatu transformasi berdasarkan nilai-nilai yang berpusat pada manusia dan potensi-potensi yang ditawarkan oleh teknologi maju berdasarkan informasi. Pembangunan yang berpusat pada manusia, memandang manusia sebagai warga masyarakat, sebagai fokus utama maupun sumber utama pembangunan, nampaknya dapat dipandang sebagai suatu strategi alternatif pembangunan masyarakat yang menjamin komplementaritas dengan pembangunan bidang-bidang lain, khususnya bidang ekonomi.
Landasan berpijak pendekatan pembangunan seperti ini bukan birokrasi dan program-program serta proyek-proyek yang dirancang dan dikelola secara terpusat, melainkan masyarakat atau komunitas itu sendiri, kebutuhan-kebutuhannya, kemampuan-lemampuannya dan lebih luas dari semuanya adalah penguasaan atas sumberdaya-sumberdaya dan nasib

 Doktor Ilmu Komunikasi; Dosen Tetap Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNILA

more in pdf

Pendidikan Politik Warga Negara dalam Menciptakan Demokrasi yang Berkualitas

Volume. 2, No. 3, Juni 2009 ISSN: 1979– 0899X

Pendidikan Politik Warga Negara
dalam Menciptakan Demokrasi yang Berkualitas
Oleh: Yunizir Djakfar
Abstract
In communication theory, education is one of specializations such as propaganda, journalism, public relation etc. Education as activities of influencing, changing, and forming attitude and behavior based on truthful and useful values to human kind. In political education process as process to get orientation behavior toward politics phenomenon through someone else, it is part of process that determines someone’s political attitude, such as nationalism, social class, ethnic group, ideology, right and obigation. At this moment our citizens get natural political education, political party expected to be center of political education is really far from this hope. It is reasonable that from now on government can give better political education in order to get qualified democracy.
Key words: Political education, citizen, democracy
Pendahuluan
Usaha mempertahankan sistem yang sedang berlangsung sekaligus upaya pelestarian sistem nilai politik (politik, budaya, ideologi, pola keyakinan) sebagai proses mengaktifkan unsur-unsur dinamis yang ada pada diri manusia yaitu sikap, perilaku, sistem berpikir, pandangan, unsur indriatif dan unsur-unsur instingtif yang diarahkan kepada suatu objek tertentu (kondisi pelestarian) agar objek tersebut didekati.
Pendidikan politik sangat bergantung kepada sistem nilai yang mendasarinya. Pola pendidikan pada negara-negara penganut sistem totaliter akan berbeda dengan pola pendidikan pada negara-negara penganut sistem demokrasi. Demikian pula tujuannya pun akan merupakan perbedaan berbanding terbalik antara kedua pola tersebut. Di dalam pelestarian sistem nilai atau politik, maka pendidikan politik merupakan salah satu upaya selain upaya lainnya yang merupakan aktivitas mempengaruhi, mengubah dan membentuk perilaku.
Pendidikan politik adalah sebagai proses yang melalui masyarakat menyampaikan “budaya politik” yaitu norma-norma dan nilai-nilai, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian pendidikan politik atau sosialisasi politik merupakan faktor penting dalam terbentuknya budaya politik (political culture) suatu bangsa.
Suatu definisi yang dirumuskan oleh seorang ahli sosiologi politik M. Rush (1992) “pendidikan/sosialisasi politik adalah proses yang melaluinya orang dalam masyarakat tertentu belajar mengenali sistem politiknya. Proses ini sedikit banyak menentukan persepsi dan reaksi mereka terhadap fenomena politik (political socialization may be defined is the process by which individuals in a given society become acquainted with the political system and which to a certain degree determines their perception and their reactions to political phenomena).

 Dekan FISIP UNBARA Sedang Studi di MIP FISIP UNILA

more in pdf

Kisruh DPT dalam Pilpres 2009: Studi Analisis Isi Pada Suratkabar Nasional dan Lokal

Volume. 2, No. 3, Juni 2009 ISSN: 1979– 0899X

Kisruh DPT dalam Pilpres 2009:
Studi Analisis Isi Pada Suratkabar Nasional dan Lokal
Oleh: Habib Muhsin
Abstract
General Election Commission (KPU) as general election organizer has duty and authority in practising president and vice president election at 8 June 2009 in Indonesia. One of the phenomenon in general election of president and vice president at that time is the conflict List of Voters Permanent (Daftar Pemilih Tetap/DPT) . This study describes DPT problems by national and local newspapers in Indonesia. The objectives of this study are directed to know the content conflict of DPT news in local and national newspapers. These findings of content analysis conducted in this study indicate the conflict of DPT influence negative quality in general election of presiden and vice president 2009.
Key words: Election, voters, newspapers, conflict
Pendahuluan
Reformasi bidang politik di Indonesia saat ini telah mengalami perubahan yang cukup fundamental dalam ketatanegaraan melalui amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu klausul dalam amandemen konstitusi tersebut ialah bahwa Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia dipilih secara langsung oleh rakyat Indonesia. Oleh karena itu sejak pemilu tahun 2004 dan kemudian pemilu 2009 rakyat Indonesia menyaksikan dan mengalami pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) yang dipilih secara langsung.
Pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden adalah sebuah mekanisme politik untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan warga negara. Penyelenggaraan pemilu secara reguler lima tahunan merupakan sarana untuk menyampaikan aspirasi politik rakyat, pengisian jabatan politik kenegaraan oleh rakyat secara langsung, dan sekaligus sebagai sarana kontrol dan evaluasi politik rakyat secara langsung terhadap penyelenggaraan negara pada masa lalu dan masa datang.
Makna pilpres yang paling esensial bagi suatu kehidupan politik yang demokratis adalah sebagai mekanisme pergantian kekuasaan (pemerintah) berdasarkan regulasi, norma, dan etika, sehingga sirkulasi elite politik dapat dilakukan secara damai dan beradab. Institusi pemilu merupakan produk dari pengalaman sejarah umat manusia dalam mengelola kekuasaan. Dalam sejarah demokrasi, pemilu yang teratur merupakan cara damai dalam mengganti pemerintahan. Dengan demikian, pemilihan umum menghindarkan penggunaan kekerasan berdarah dalam menggantikan pemerintah berkuasa yang sudah tidak lagi dikehendaki rakyat.

more in pdf

Mesjid Agung Palembang dan Komunikasi Syiar Islam Bagi Masyarakat

Volume. 2, No. 3, Juni 2009 ISSN: 1979– 0899X

Mesjid Agung Palembang dan Komunikasi Syiar Islam Bagi Masyarakat
Oleh: Isnawijayani 
Abstract
This research aims to know the relationship between Palembang great mosque and Islam propagation communication for community. The hypothesis is the function of Palembang great mosque (x) and Islam communication (y). The population of research is 55 board members of Palembang great mosque. The research uses full sampling technique. The result shows that 99 % Palembang great mosque has strong relationship to Islam propagation communication for community. The determination coefficient is 0,98, it means that Islam propagation communication is 98 determined by function of great mosque as place of worship. We can say that the function of great mosque as place of worship is influenced by 98 % Islam propagation communication and 2 % other factors such as personal communication done by the board.
Keywords : Mosque, place of worship, Islam propagation communication
Pendahuluan
Antara abad ke-7 sampai abad ke-10 kerajaan Sriwijaya meluaskan kekuasaannya ke daerah Semenanjung Malaka sampai Kedah dalam rangka penguasaan Selat Malaka yang merupakan kunci bagi pelayaran dan perdagangan Internasional. Kedatangan orang-orang Muslim ke daerah itu sama sekali belum memperlihatkan dampak-dampak politik, karena mereka datang memang untuk usaha pelayaran dan berniaga. Keterlibatan orang-orang Islam dalam politik baru terlihat pada abad ke-9 M. Ketika mereka terlibat dalam pemberontakan petani-petani Cina terhadap kekuasaan T’ang pada masa pemerintahan Kaisar Hi-Tsung (878-889).
Akibat pemberontakan itu, kaum muslimin banyak yang dibunuh, sebagian lainnya lari ke Kedah dan Palembang yang berada dalam wilayah Kerajaan Sriwijaya dan mereka membuat perkampungan Muslim. Kerajaan Sriwijaya pada waktu itu memang melindungi orang-orang Muslim di wilayah kekuasaannya karena kepentingan ekonomi.
Kehadiran pedagang-pedagang Muslim di wilayah kekuasaan Sriwijaya ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan penduduk setempat, karena ajaran-ajaran Islam yang dibawa dan diajarkan oleh pedagang asing mudah menyatu dan dapat diterima masyarakat setempat disebabkan ajaran ini tampil sangat terbuka dan penuh toleransi serta mengajak pengikutnya berpikir dan berbuat rasional. Secara tidak langsung Agama Islam mulai berkembang, baik karena terjadinya hubungan perniagaan juga ada yang melalui hubungan perkawinan. Akibatnya terjadi akulturasi dan transformasi budaya yang cukup signifikan antara Islam dan budaya setempat, seperti adat istiadat, sikap, perilaku dan pola hubungan masyarakat.
Berdasarkan hasil Seminar Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan pada tanggal 29 Nopember 1984 yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia Tingkat I Sumatera Selatan di Palembang.(Hanfiah: 1985), disimpulkan sbb: sumber-sumber sejarah

 Doktor Ilmu Komunikasi; Dosen PNSD Kopertis Wilayah II DPK di Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNBARA

more in pdf

Kapitalisme, Organisasi Media dan Jurnalis: Perspektif Ekonomi Politik Media

Volume. 2, No. 3, Juni 2009 ISSN: 1979– 0899X

Kapitalisme, Organisasi Media dan Jurnalis: Perspektif Ekonomi Politik Media
Oleh: Kamaruddin Hasan dan Deddy Satria M
Abstract
Globalization is so close with global capitalism effect spreading in every aspect of life such as economy, politics, social, law and culture. The world has no boundary. Technology progress and science disguise the border among countries. Internet and television make the distance no longer be a problem. It was never imagined before. This is what we call globalization era marked by free market causing capital easy to go in and out. Avoiding free market will make a country be isolated from international association. Globalization demands integration of all aspects in life: economy, politics, social and culture. Globalization can not be detached from capitalism.
Key words: Capitalism, globalization, media, journalism
Pendahuluan
Globalisasi sejatinya adalah anak yang lahir dari rahim kapitalisme. Boleh dikatakan Globalisasi adalah anak kandung kapitalisme. Kapitalisme yang awalnya hanya beroperasi dalam suatu negara kemudian merambah ke negara lain, demi memasarkan produknya dan mencari keuntungan demi mengakumulasi modal. Bila di masa kolonial kapitalisme melakukan koloni untuk mencari bahan mentah dan perluasan pasar, di masa pascakolonial, kapitalisme beroperasi dengan membonceng kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Globalisasi dengan konsep liberalisme merupakan spirit dasar kapitalisme, ternyata tidak hanya merasuk dalam bidang ekonomi dengan paket-paket privatisasinya. Tidak hanya pula menyelundup liar ke ranah diskursus keyakinan seperti keagamaan dengan diabolisme intelektualnya, tapi juga telah mewabah dalam media massa.
Globalisasi tidak serta bersifat netral. Tatanan kemajuan yang dibentuk dan dipengaruhi globalisasi juga tidak sekedar bebas nilai. Sistem global yang turut masuk dalam industri komunikasi modern berdampak dalam beberapa segi. Dampak-dampak itu adalah subversi kebudayaan, ideologi korporat. Pertama, subversi kebudayaan. Dampak nyata dengan globalisasi media adalah salah satunya sistem kepemilikan global yang menjadi tren industri media massa modern. Kekuatan modal asing mampu berpenetrasi dalam struktur media lokal atau nasional yang pada akhirnya berpengaruh pada masalah transmisi kebudayaan global ke tingkat yang lebih rendah dalam hal ini nasional dan lokal. Ancaman media global tidak berhenti pada masalah sosial politik saja tapi justru masuk secara pelan dan hegemonik dalam nilai-nilai budaya masyarakat. Keuntungan imperialisme ekonomi tidak berhenti tapi berlanjut pada apa yang sering disebut dengan imperialisme kebudayaan. Kedua, ideologi korporat. Ideologi korporat dalam media massa kontemporer adalah akumulasi modal atau akumulasi keuntungan. Konsekuensi logis dari kapitalisme media adalah selain pengembangan pasar dan kapasitas teknologi juga melibatkan perluasan dan peningkatan volume kapital atau modal melalui diversifikasi barang atau jasa media massa modern.









 Dosen Tetap Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Univ. Malikussaleh Lhokseumawe NAD Alumni Pascasarjana Komunikasi UI

more in pdf

Jumat, 01 Juni 2012

Informasi Elektronik Sebagai Bukti dalam Perkara Pidana

Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X

Informasi Elektronik Sebagai Bukti dalam Perkara Pidana
Oleh: Nur Ro’is
Abstract
The development of technological progress is always accompanied by the legal issues that arise in comparative law left behind by developments there. Electronic information as a result of developments in information technology that are so fast to bring the problems associated with proving particularly in the realm of criminal procedural law in which evidence is still adheres to traditional proofs, which is based on evidence that conventional.
Keywords : Electronic information, evidence, electronic evidence
Pendahuluan
Perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat dan menyebar hampir keseluruhan bidang kemasyarakatan. Perkembangan di bidang teknologi informasi juga mempengaruhi aspek-aspek hukum berlaku. Batas-batas wilayah suatu negara serasa tidak berarti lagi dengan perkembangan teknologi informasi yang ada, hubungan antara satu belahan dunia ke belahan dunia yang lain dilakukan dalam tempo hitungan detik. Transaksi-transaksi antar wilayah negara dilakukan secara jarak jauh dan bisa dilakukan kapan saja. Pihak-pihak pelaku transaksi tersebut hanya berpegang kepada azas kepercayaan dan bukti berupa data elektronik yang mereka pegang. Pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi telah mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global. Teknologi informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum.
Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum siber atau hukum telematika. Hukum siber atau cyber law, secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian pula, hukum telematika yang merupakan perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology), hukum dunia maya (virtual world law), dan hukum mayantara.
Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem komunikasi baik dalam lingkup lokal maupun global (internet) dengan memanfaatkan teknologi informasi berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual. Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.
Aktivitas dalam ruang cyber bersifat virtual yang berdampak sangat nyata, sekalipun alat buktinya bersifat elektronik, sebagai contoh dalam kegiatan electronic commerce antara lain diintrodusir adanya dokumen elektronik yang memiliki kedudukan yang disetarakan dengan dokumen yang dibuat secara tertulis diatas kertas
 Dosen PNSD Kopertis Wilayah II DPK di FISIP UNBARA
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
91 Nur Ro’is; 90 – 96
Dengan demikian, subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata. Dalam kegiatan e-commerce antara lain dikenal adanya dokumen elektronik yang kedudukannya disetarakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas.
Berkaitan dengan hal itu, perlu diperhatikan sisi keamanan dan kepastian hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi agar dapat berkembang secara optimal. Oleh karena itu, terdapat tiga pendekatan untuk menjaga keamanan di cyberspace, yaitu pendekatan aspek hukum, aspek teknologi, aspek sosial, budaya, dan etika. Untuk mengatasi gangguan keamanan dalam penyelenggaraan sistem secara elektronik, pendekatan hukum bersifat mutlak karena tanpa kepastian hukum, persoalan pemanfaatan teknologi informasi menjadi tidak optimal.
Inti Permasalahan
Permasalahan hukum yang sering dihadapi adalah terkait dengan “penyampaian informasi, komunikasi dan atau transaksi secara elektronik” khususnya dalam konteks penerapan pembuktian dan hal lain yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.
Informasi elektronik menjadi suatu hal yang baru dalam hukum pidana Indonesia dikarenakan landasan Hukum Acara Pidana Indonesia yaitu UU No. 8 Tahun 1981 sama sekali tidak mengenal informasi elektronik sebagai salah satu alat bukti yang sah.
Informasi elektronik sendiri memiliki pengertian sebagai satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya (UU No 11 Tahun 2008 Pasal 1 Angka 1).
Dalam perkara pidana juga terjadi pergeseran pandangan umum terhadap alat bukti itu sendiri seiring dengan perkembangan teknologi informasi ini. Bukti berupa informasi elektronik sebagai hasil dari teknologi informasi menjadi hal yang diperdebatkan mengenai keabsahannya dalam pembuktian.
Tulisan ini mencoba mengangkat permasalahan “Bagaimana kedudukan informasi elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana?” Dalam tulisan ini pembahasan pertanyaan dibatasi hanya pada; teori umum tentang pembuktian dan kedudukan informasi elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam undang-undang.
Teori Pembuktian Pidana
Pembuktian merupakan bagian dari hukum acara pidana, menurut Andi Hamzah tujuan dari hukum acara pidana adalah mencari kebenaran materiil itu adalah sebagian dari tertib hukum indonesia yaitu menuju masyarakat yang tertib, tentram, adil dan sejahtera (Andi Hamzah, 1984, Hal 18).
Menurut R. Subekti, membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Lebih lanjut dikatakan bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau “perkara” di muka hakim atau pengadilan. Kemudian Sudikno Mertokusumo, menerangkan bahwa pembuktian mengandung beberapa pengertian, yaitu arti logis, konvensional dan yuridis. Membuktikan dalam arti logis adalah memberikan kepastian dalam arti mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Untuk membuktikan dalam arti konvensional, disinipun membuktikan berarti juga memberikan kepastian, hanya saja bukan kepastian mutlak, melainkan kepastian nisbi atau relatif
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
92 Nur Ro’is; 90 – 96
sifatnya. Dan membuktikan dalam arti yuridis berarti memberi dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Dengan demikian membuktian adalah suatu cara yang diajukan oleh pihak yang berperkara di muka persidangan atau pengadilan untuk memberikan dasar keyakinan bagi hakim tentang kepastian kebenaran suatu peristiwa yang terjadi (Yuyun Yuliana, 2002:7).
Secara umum teori sistem pembuktian dalam hukum acara pidana dapat secara singkat diuraikan sebagai berikut (Reda Mantovani, 2008 Hal.38):
a. Sistem pembuktian conviction-in time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilian “keyakinan hakim”. Keyakinan hakim menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Darimana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bias juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim dan langsung menarik keyakinan dari keterangan terdakwa;
b. Sistem pembuktian conviction-rasionee, dalam sistem ini pun dapat dikatakan keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi dalam sistem pembuktian ini faktor keyakinan hakim dibatasi, yakni harus didukung dengan “alas an-alasan yang jelas”;
c. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif merupakan pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim, menurut sistem ini “ keyakinan hakim tidak ikut diambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa”. sistem ini berpedoman pada alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Untuk menentukan salah atau tidaknya terdakwa tergantung pada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang;
d. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, sistem ini merupakan gabungan atara sistem berdasarkan keyakinan hakim dan sistem pembuktian berdasar undang-undang secara positif.
Sumber hukum pembuktian adalah undang-undang, doktrin atau ajaran dan jurisprudensi. Karena hukum pembuktian bagian dari hukum acara pidana, maka sumber hukum yang pertama adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, Tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan penjelasannya yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209. ( Sasangka ,2003 Hal 10).
Apabila di dalam praktik menemui kesulitan dalam penerapannya atau menjumpai kekurangan atau untuk memenuhi kebutuhan maka digunakan doktrin atau yurisprudensi. Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat digunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.
Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan dengan cara-cara bagaimana alat bukti tersebut dipergunakan dan dengan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya. Sistem pembuktian yang dianut oleh Indonesia dapat dilihat dalam Undang-Undang No 8 tahun 1981 dalam pasal 183 berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
93 Nur Ro’is; 90 – 96
Selanjutnya dalam pasal 184 ayat 1 diatur mengenai alat bukti itu sendiri yaitu: a) Keterangan saksi; b) Keterangan ahli; c) Surat; d) Petunjuk, dan; e) Keterangan terdakwa. Dalam undang-undang tersebut sama sekali tidak disebutkan mengenai informasi elektronik.
Alat Bukti Informasi Elektronik dalam Undang-Undang
Meskipun mengenai alat bukti informasi elektronik tidak disebutkan dalam KUHAP sejak tahun 2001 dalam hukum acara pidana telah mengenal mengenai bukti informasi elektronik dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Alat bukti informasi elektronis di introduksi dalam pasal 26A :
“Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari; a) Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan; b) Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.”
Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang No 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dalam pasal 38 jo Pasal 1 butir 7 Undang-Undang No 15 Tahun 2002 jo Pasal 1 butir 9 Undang-Undang No 25 tahun 2003yang mengatur tentang alat bukti berupa informasi elektronik sebagai berikut:
“Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada: a) Tulisan, suara, atau gambar; b) Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; c) Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.”
Kemudian dalam PERPU No 1 Tahun 2002 yang telah diundangkan dengan Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme disebutkan dalam pasal 27;
Pasal 27: Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi: a) Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; b) Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; c) Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada; (1) Tulisan, suara, atau gambar; (2) Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; (3) Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Selanjutnya data elektronik sebagai alat bukti dapat juga ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan dalam Pasal 1 point 20 disebutkan: Audit Kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
94 Nur Ro’is; 90 – 96
kepabeanan. Pada pasal 5A Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 disebutkan sebagai berikut :
“(1) Pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dapat disampaikan dalam bentuk tulisan di atas formulir atau dalam bentuk data elektronik; (2) Penetapan kantor pabean tempat penyampaian pemberitahuan pabean dalam bentuk data elektronik dilakukan oleh Menteri; (3) Data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat bukti yang sah menurut Undang-Undang ini; (4) Ketentuan mengenai tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.”
Dalam penjelasan pasal 5A ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 dijelaskan Data elektronik (softcopy) yaitu informasi atau rangkaian informasi yang disusun dan/atau dihimpun untuk kegunaan khusus yang diterima, direkam, dikirim, disimpan, diproses, diambil kembali, atau diproduksi secara elektronik dengan menggunakan komputer atau perangkat pengolah data elektronik, optikal, atau cara lain yang sejenis.
Tahun 2008 menjadi momentum penting dalam perkembangan hukum di Indonesia dengan keluarnya undang-undang yang mengatur mengenai cyberspace yaitu Undang-undang no 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE ). Di dalam undang-undang tersebut dijelaskan mengenai definisi Informasi elektronik ; adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya Pasal 1 (1).
Selanjutnya dalam Pasal 5 UU No 11 Tahun 2008 disebutkan mengenai sahnya Informasi Elektronik sebagai alat bukti yang sah ;
Pasal 5; 1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah; 2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia; 3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang ini, dan; 4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: (a) Surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan; b) Surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Mengenai persyaratan suatu informasi elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 6 UU Nomor 11 Tahun 2008 ;
Pasal 6: Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
Mengenai bentuk dari dokumen elektronik itu sendiri penjelasan Pasal 6 UU No 11 Tahun 2008 menerangkan bahwa Selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi dan/atau dokumen yang tertuang di atas kertas semata, padahal pada hakikatnya informasi dan/atau dokumen dapat dituangkan ke dalam media apa saja, termasuk media elektronik. Dalam lingkup sistem elektronik, informasi yang asli dengan salinannya tidak relevan lagi
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
95 Nur Ro’is; 90 – 96
untuk dibedakan sebab sistem elektronik pada dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan lagi dari salinannya.
Ketentuan selanjutnya yang mengatur tentang Informasi Elektronik sebagai alat bukti ditemukan dalam Pasal 44 UU No 11 tahun 2008 ;
Pasal 44: Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan undang-undang ini adalah sebagai berikut: a) Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan, dan; b) Alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
Ketentuan mengenai Informasi Elektronik berkaitan sebagai alat bukti juga dapat ditemukan dalam Undang-Undang No 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dalam pasal 24;
Pasal 24: Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Hukum Acara Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak terbatas pada: a) Barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan cetakan, baik elektronik, optik, maupun bentuk penyimpanan data lainnya, dan; b) data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya.
Alat Bukti Informasi Elektronik dalam Perkara Tindak Pidana Umum
Meskipun Undang-undang di Indonesia telah mengenal Informasi Elektronik sebagai salah satu alat bukti akan tetapi secara umum Hukum Acara Pidana Indonesia masih mengacu pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 sebagai landasan hukum. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 alat bukti hanya terbatas pada; Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan Terdakwa. Informasi Elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti pada kasus-kasus yang bersifat khusus di mana undang-undang telah mengaturnya sebagai alat bukti yang sah seperti dalam kasus korupsi, Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik, Pornografi dan Tindak Pidana Kepabeanan.
Informasi Elektronik dalam RUU Tentang Hukum Acara Pidana Indonesia
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa informasi elektronik tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam tindak pidana umum dikarenakan landasan hukum acara di Indonesia adalah undang-undang No. 8 Tahun 1981 dimana undang-undang tersebut tidak mengenal informasi elektronik sebagai salah satu alat bukti yang sah.
Keterbatasan dalam UU No 8 Tahun 1981 dalam alat bukti ini yang menyebabkan perlu adanya pembaharuan dalam KUHAP. Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Draft Tahun 2008 sudah mengenal mengenai bukti elektronik sebagai alat bukti ( Pasal 177 ayat (1).c )
(1) Alat bukti yang sah mencakup: a) barang bukti; b) surat-surat; c) bukti elektronik; d) keterangan seorang ahli; e) keterangan seorang saksi; f) keterangan terdakwa; dan; g) pengamatan Hakim.
Menurut penjelasan pasal 177 ayat (1) huruf c RUU KUHAP Yang dimaksud dengan “bukti elektronik” adalah informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, termasuk setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
96 Nur Ro’is; 90 – 96
apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Penutup
Dalam Hukum Acara di Indonesia telah mengenal alat bukti Informasi Elektronik sebagai alat bukti yang sah untuk tindak pidana khusus seperti kasus Korupsi, Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik, Pornografi dan Tindak Pidana Kepabeanan. Untuk tindak pidana umum masih mengacu pada UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dimana Informasi Elektronik tidak dikenal sebagai salah satu alat bukti yang Sah. Dengan demikian untuk tindak pidana umum informasi elektronik tidak bisa digunakan sebagai alat bukti yang sah. Dalam Draft Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tahun 2008 sudah memuat tentang Informasi elektronik sebagai salah satu alat bukti yang sah baik untuk tindak pidana khusus maupun tindak pidana umum.
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Andi. 2004. Hukum Acara Pidana Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Sinar Grafika
Subekti, R. 1978. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradya Paramita
Manthovani, Reda. 2006. Problematika dan Solusi Penanganan Kejahatan Cyber di Indonesia. Jakarta: PT. Malibu
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang No 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Undang-Undang No 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Tahun 2008