Jumat, 11 Mei 2012

Kebijakan Pelayanan Kesehatan Sistem Desentralisasi

Oleh: Roni Ferdi
Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899X

Kebijakan Pelayanan Kesehatan Sistem Desentralisasi
Oleh: Roni Ferdi

Abstract

Constitution of World Health of Organization (WHO,1948), law of health No 23/1992 about health decides that health is fundamental right for every citizen. Constitution of 1945 article 28 H emphasize and declare that every inhabitan has right on health service, and it is emphasized in article 34 clause 3 that state takes responsibility in providing health facilities and health services. Every individual, family dan society has right to get health protection, and state takes responsibility to organize so the society include the poor get the right of healthy life. The implication is every inhabitant gets health service compatible to medical needs and pay according to their income and providing health service like hospital is the duty and authority of disctrict government.
Key words: State, decentralization, policy, health, service


Pendahuluan

Desentralisasi sering disebut sebagai suatu pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada seseorang yang berada pada level bawah dalam suatu organisasi. Sistem desentralisasi kesehatan di Indonesia di mulai pada tahun 2001 dengan harapan dapat mendorong kebijakan dan program kesehatan yang lebih berorientasi kepada kebutuhan prioritas masyarakat.
Dan sungguh merupakan suatu ke khawatiran apabila dalam pelaksanaanya kebijakan kesehatan sistem desentralisasi tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena kesehatan tidak bias ditawar dan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Memang ada beberapa hal yang bisa mempengaruhi langsung dan tidak langsung proses dan kontek dalam mengambil kebijakan kesehatan.
Politik dan Krisis
Situasi politik dan perubahan sistem politik menentukan proses dan pelaksanaan kebijakan termasuk kebijakan kesehatan. Sebelum tahun 1997, sistem politik di Indonesia bersifat otoriter di mana pemerintah mendominasi pengambilan keputusan disemua tingkatan. Negara melalui pejabat dan pamong mengontrol sistematik kehidupan masyarakat. Disektor kesehatan pemerintah pusat mengendalikan kebijakan, perancangan dan pelaksanaan program. Investasi besar sektor kesehatan dan pendidikan dilakukan tahun 1970-an sampai akhir tahun 1990-an, tetapi akuntabilitas rendah dan masyarakat sipil kurang terlibat dalam politik dan proses kebijakan kesehatan.
Krisis moneter yang melanda Indonesia dan negara lain di kawasan ini jelas punya dampak luas, baik dari segi ekonomi, politik dan lapangan kerja, sosial budaya dan juga tentunya pelayanan kesehatan. Masalah krisis ekonomi ini juga belum kunjung mereda, apalagi belakangan ini dibarengi dengan masalah politik berat dan pelik yang melilit kita semua. Sementara itu, krisis ekonomi Asia ini bahkan juga dikhawatirkan membawa
1 Dosen STIKES Alma’arif Baturaja
Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899X
68
dampak buruk ke dunia pada keseluruhanya dan menyebabkan terjadinya krisis global (globocrisis atau globshock). Dalam majalah Nesweek pertengahan tahun 1998 disebutkan Asia’s crisis : going from bad to worse ; just how bad can it get. Richard Mann (1997) dalam sebuah buku yang membahas krisis ekonomi di Indonesia menuliskan jawaban terhadap pertanyaan kapan kira-kira krisis ekonomi di Indonesia akan berakhir, jawabanya adalah only time would tell.
Krisis moneter menyebabkan tingkat pendapatan menurun dan harga komoditas impor termasuk obat meningkat tajam sedangkan daya beli masyarakat turun. Keadaan ini dapat menyebakan mereka mengubah prioritas komoditi yang ingin dibelinya dan bukan tidak mungkin kesehatan merupakan salah satu komoditas yang tidak mendapat prioritas utama, atau setidaknya ada pergeseran jenis pelayanan kesehatan yang dikonsumsi dan bukan tidak mungkin akan banyak yang beralih ke self medication. Situasi ini membuat pemerintah meminta bantuan masyarakat donor guna mengembangkan jaringan pengaman sosial bidang kesehatan (JPS-BK).
Situasi krisis mendorong reformasi institusi politik. Peran dan pengaruh parlemen menguat, sedangkan kontrol pemerintah pusat menurun dan organisasi masyarakat sipil bertambah. Perubahan ini langsung dan tidak langsung menuntut perubahan peran Departemen Kesehatan di tingkat nasional dan Dinas Kesehatan di daerah harus berani melakukan inovasi dan kreativitas dalam menerapkan kebijakan kesehatan. Perlu disadari bahwa pelayanan kesehatan yang baik tidak selalu membutuhkan biaya yang tinggi, yang terpenting adalah manajemen kebijakan yang harus baik, sesuai dengan harapan dan kebutuhan seluruh masyarakat.
Pola Pikir dalam Prilaku Kesehatan
Davidson and Ress Mogg (1993), menyatakan bahwa masyrakat luas di Amerika Serikat beranggapan bahwa mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu adalah “hak mereka”. Hal ini tentu memicu para penyelenggara pelayanan kesehatan untuk secara serius berupaya meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang akan diberikan kepada masyarakat. Bercermin dari pola pikir masyarakat Amerika tersebut, yang memandang bahwa kesehatan yang bermutu adalah suatu hak yang harus didapatkan. Masyarakat Indonesia juga harus menyadari bahwa kesehatan adalah hak mutlak kita semua karena kesehatan adalah kebutuhan dasar yang paling utama.
Pada dasarnya masih banyak pola pikir dan prilaku tentang kesehatan di masyarakat kita yang masih kental menganut kepercayaan praktek kesehatan tradisional diantaranya masih banyak persalinan di pedesaan dan semi-kota yang ditolong dukun bayi, masih ada anggapan masyarakat bahwa penyakit disebabkan oleh makhluk halus sehingga mereka lebih memilih berobat ke dukun daripada memanfaatkan sarana kesehatan dan masih ada prilaku masyarakat merasa membutuhkan upaya kesehatan jika mereka telah berada dalam tahap sakit yang parah.
Masih kurangnya kesadaran masyarakat kita tentang prilaku sehat dan memanfaatkan sarana kesehatan merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah untuk lebih menggiatkan program promotif kesehatan dan pendidikan kesehatan bagi masyarakat di daerahnya masing-masing. Dengan cara ini maka penggunaan sarana kesehatan diharapkan dapat lebih ditingkatkan kualitas pelayananya dan masyarakat dapat menyadari bahwa sarana kesehatan yang telah disediakan oleh pemerintah memang diperuntukkan bagi masyarakat.
Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899X
69
Sistem Kesehatan
Pemahaman sempit tentang sistem pelayanan kesehatan membuat fokus pelayanan lebih kuratif dibanding preventif. Sistem pelayanan kesehatan seperti ini dapat memacu investasi besar pada rumah sakit. Anggaran kesehatan yang masih rendah, sistem pengobatan dan penggunaan dana yang tidak efektif dan efesien adalah satu elemen kronis penyebab lemahnya sistem pelayanan kesehatan terutama ibu dan anak. Sejauh ini sumber swasta menempati kisaran 75 % sampai 80% pembiayaan kesehatan. Dari sumber swasta ini sekitar 72% dari kantong masyarakat. Situasi ini membuat pelayanan kesehatan akan menjadi lebih mahal terlebih bagi masyarakat miskin.
Kinerja sektor kesehatan diperlemah oleh rendahnya kompetensi dan ketimpangan distribusi tenaga kesehatan. Disamping itu banyak tenaga kesehatan pemerintah bekerja tidak resmi disektor swasta karena alasan pendapatan dan tradisi. Akses dan kualitas pelayanan kesehatan masih memprihatinkan. Belum ada suatu mekanisme yang menjamin akses terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi masyarakat miskin.
Proses Formal Kebijakan Kesehatan
Indonsesia mengadopsi dua legalisasi otonomi daerah pada tahun 1999 (1) devolusi otoritas pemerintah (UU No.22/1999) dan (2) desentralisasi fiskal terkait (UU No.25/1999) yang mengubah bentuk hubungan hirarki komando pusat ke daerah. Undang undang di atas bersama dengan peraturan pemerintah No.25/2000 yang formalnya dimulai pada tahun 2001 berimplikasi terhadap desentralisasi wewenang perancangan dan pelaksanaan program pembangunan termasuk kesehatan, pendidikan, pertanian, komunikasi, industri dan perdagangan, kepada pemerintah kabupaten dan kota.
Hukum dan peraturan antara pemerintah pusat dan daerah di berbagai sektor sering kurang konsisten. Sektor kesehatan di pusat dan daerah belum optimal menyesuaikan peran dan tanggung jawabnya. Kekurangan jelasan hubungan struktural membuat Departemen kesehatan ragu menggerakan sektor lain dan pemerintah daerah dalam penanganan isu -isu nasional kesehatan . Peran dan fasilitasi departemen kesehatan dan dinas kesehatan propinsi sejauh ini belum optimal.
Sebagai elit lokal baru di kabupaten dan kota, bupati, walikota dan DPRD berperan kuat dalam menentukan kebijakan lokal pembangunan, termasuk kesehatan. Persoalah yang lebih krusial adalah pendanaan, pasalnya paradigma pembangunan fisik warisan pemrintahan orde baru masih merasuk ketulang sumsum para pejabat. Pemerintah pusat dan daerah maupun DPR yang masih cenderung memprioritaskan alokasi anggaran dana untuk pembangunan fisik, karena lebih mudah dilihat sebagai ukuran keberhasilan dalam memimpin suatu daerah. Pembangunan sumber daya manusia, kesejahteraan sosial dalam hal ini kesehatan masih belum optimal jadi prioritas perhatian dalam kebijakan kesehatan desentralisasi. Kalaupun ada komitmen belum diwujudkan dalam alokasi anggaran yang signifikan. Kondisi ironis ini dalam jangka panjang akan membahayakan pelayanan kesehatan masyarakat jika kebijakan kesehatan seperti ini tidak dibenahi. Situasi ini menuntut Dinas Kesehatan kabupaten/kota untuk lebih mampu dan lebih aktif melakukan advokasi kesehatan.
Dibanyak kabupaten/kota, isu kesehatan masih menempati posisi rendah dalam skala prioritas pembangunan. Keterbatasan dana cenderung menjadikan sektor pelayanan publik termasuk kesehatan sebagai sumber pendapatan daerah.
Proses dan implementasi kebijakan kesehatan yang memihak kebutuhan masyarakat masih menghadapi banyak tantangan. Proses kebijakan kesehatan belum mendasarkan pada data atau bukti dan belum melibatkan masyrakat sipil dan aktor kunci lain. Di
Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899X
70
samping itu budaya pendekatan proyek kelemahan sistem kesehatan dan diskoneksi kebijakan pusat daerah membuat implementasi kebijakan perbaikan pelayanan kesehatan semakin tidak mudah.
Privatisasi dan Komersialisasi Pelayanan Kesehatan
Meski pemerintah menyediakan dana alokasi khusus untuk membiayai pelayanan kesehatan dasar, situasi pendanaan pelayanan kesehatan belum nyata membaik. Di beberapa kabupaten dan kota, rumah sakit daerah tidak menerima dana dari pemerintah daerah. Sebagai konsekuensi, pemerintah daerah dan fasilitas pelayanan kesehatan cenderung menaikan biaya pelayanan guna menutupi biaya operasional. Situasi ini membuat pelayanan kesehatan menjadi mahal dan kurang terjangkau bagi masyarakat miskin.
Masyarakat yang tidak puas dengan pelayanan kesehatan pemerintah dapat mencari pelayanan yang sama yang lebih berkualitas dari sektor swasta. Hal ini sebagai satu pilihan bagi masyarakat mampu, tetapi tidak bagi banyak anggota masyarakat yang kurang mampu karena rumah sakit dan dokter swasta jauh lebih mahal. Hampir separuh rumah sakit di Indonesia dikelola swasta.Lebih jauh sektor pelayanan kesehatan publik semakin menurun karena kecenderungan rumah sakit pemerintah berubah menjadi rumah sakit komersial. Kecenderungan ini semakin mengurangi akses masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Penggunaan Data dalam Proses Kebijakan
Penggunaan data dalam proses kebijakan kesehatan masih menjadi tantangan. Penggunaan data bagi para manajer dan pengambil kebijakan kesehatan belum sebagai suatu budaya. Akibatnya perencanaan kesehatan sering kurang mendasarkan kepada kebutuhan prioritas dan manajemen program kesehatan kurang didukung dengan monitoring dan evaluasi yang ditunjang dengan data yang memadai.
Kurangnya penggunaan data boleh jadi karena data yang tersedia kurang akurat. Sebaliknya kurangnya penggunaan data menyebabkan rendahnya motivasi dan upaya memperbaiki pengumpulan dan pelaporan data kesehatan. Hal seperti ini akan meimbulakn kesulitan dalam mendapat umpan balik pengalaman dan bukti dalam pengambilan kebijakan kesehatan yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
Sistem informasi kesehatan terutama informasi puskesmas yang masih lemah, dan lumpuh sejalan dengan desentralisasi. Sekarang ini, kurang dari 30% puskesmas yang melaporkan secara teratur data pelayanan kesehatan ke tingkat administrasi yang lebih tinggi. Kepincangan sistem informasi puskesmas ini membuat survei menjadi sumber utama data untuk perencanaan, manajemen dan evaluasi program kesehatan. Data survei ini penting, tetapi belum mampu menggambarkan utuh situasi pelayanan kesehatan.
Penutup
Ke depan, sistem Kebijakan pelayanan kesehatan desntralisasi yang merupakan tanggung jawab daerah masing masing harus lebih dioptimalkan pelaksanaan pengambilan kebijakan hendaknya lebih memprioritaskan kebutuhan masyarakat.
Penyelenggaraan kebijakan kesehatan desentralisasi di tingkat daerah membutuhkan budaya inovasi dan kreasi karena permasalahan kesehatan masyarakat terutama Negara berkembang dalam hal ini Indonesia pada dasarnya menyangkut dua aspek utama yang harus diperhatikan dalam pembangunan kesehatan. Pertama, ialah aspek fisik seperti
Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899X
71
tersedianya sarana pelayanan kesehatan dan pengobatan penyakit dan yang kedua adalah aspek non-fisk yang menyangkut prilaku kesehatan. Pemahaman sehat yang dicetuskan oleh organisasi kesehatan sedunia (WHO) adalah “a state of complete physical, mental and social wellbeing” (WHO, 1981 :38). Dari pernyataan ini jelas terlihat bahwa sehat itu tidak hanya menyangkut kondisi fisik, melainkan kondisi mental dan sosial seseorang.
Proses kebijakan kesehatan perlu di koreksi di semua tingkatan supaya dihasilkan kebijakan dengan implementasi kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan pada akhirnya dapat diwujudkan kesehatan sejahtera badan, jiwa, sosial, ekonomis di masyarakat Indonesia.
Daftar Pustaka
Aditama, Tjandra Yoga.1999. Manajemen Administrasi Rumah Sakit. Jakarta: Universitas Indonesia.
Davidson JD & Ress-Mogg LW. 1993. The Great Reckoning. New York: Simon & Scuster.
Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman Pelaksanaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin. Jakarta: Depkes RI.
Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. 1997. Informasi Rumah Sakit. Jakarta: Dirjen PMD Depkes RI.
Sarwono, Solita. 1993. Sosiologi Kesehatan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
World Health Organization (WHO). 1981. Development of Indicators for Monitoring Progress Toward Health for All by the Year 2000. Geneva: WHO.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar