Jumat, 11 Mei 2012

Praktek Ideologi Partai Politik di Propinsi Lampung

Oleh: Darmawan Purba
 
Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899X

Praktek Ideologi Partai Politik di Propinsi Lampung
Oleh: Darmawan Purba

Abstract

Ten years ago, 21 May 1998 is a historical momentum of the beginning of reformation order. One of the phenomenon at that time is the emergence of political parties, where the emergence includes political party number and various principle and political ideology. Since 1975 (based on Law No 3/1975 and changed with Law No 3/1985 about political party and Golongan Karya) until 31 January 1999, political party amount in Indonesia is restricted only two with definite name, which are Partai Persatuan Pembangunan (PPP) and Partai Demokrasi Indonesia (PDI) plus Golongan Karya. But since Law No 2/1999 implemented on 1 February 1999 about political party, there were 48 political parties became participant on 7 June 1999 General Election. The next phase on 5 April 2004 legistative election participated by 24 political parties, whereas 2009 General Election will be participated by 38 political parties.
Key words: Political party, ideology,general election


Pendahuluan

Sejak dikeluarkannya UU No. 2 Tahun 1999 pada tanggal 1 Februari 1999 tentang Partai Politik, keharusan berasas tunggal Pancasila tersebut ditiadakan. Pemberlakuan UU No.2 Tahun 1999 sampai saat ini dapat dikatakan bahwa kehidupan kepartaian di Indonesia telah mengalami pasang naik dan pasang surut dari segi jumlah parpol dan ciri atau ideologi masing-masing parpol.
Pada Pemilu legislatif 2004 yang lalu diikuti oleh 24 parpol dengan aneka ciri atau ideologinya masing-masing antara lain:
1) Pancasila tanpa tambahan apapun (dianut oleh 13 Parpol yaitu: Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK), Partai Demokrat, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrasi Indonesia- Perjuangan (PDI-P), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Golkar, Partai Patriot Pancasila, Partai Sarikat Indonesia (PSI), Partai Persatuan Daerah (PPD), dan Partai Pelopor;
2) Pancasila dan UUD 1945 dianut oleh satu partai yaitu Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD);
3) Pancasila berasaskan kekeluargaan dan gotong royong dianut oleh satu Parpol, yaitu Partai Merdeka.
4) Keadilan, demokrasi dan Pancasila dianut oleh satu partai yaitu Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB);
5) Marhaenisme ajaran Bung Karno dianut oleh dua Parpol, yaitu Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNI Marhaenisme), dan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK); dan
6) Islam dianut oleh lima Parpol; Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Persatuan Nahdlatul Umat Indonesia (PPNUI), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Bintang Reformasi (PBR).
1 Dosen IP FISIP UNBARA, Sedang Menempuh Studi di MIP FISIP UNILA
Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899X
47
Aneka Asas Parpol; Kosekuensi Logis
Munculnya aneka asas parpol tersebut merupakan konsekuensi logis dari kemajemukan masyarakat Indonesia. Karena itu, dilihat dari sisi ini dapat dikatakan terdapat unsur demokratisasi. Pertanyaan yang muncul selanjutnya apakah ideologi atau asas-asas parpol tersebut benar-benar dijadikan penuntun dalam praktek kehidupan politik sehari-hari secara konsisten dalam kehidupan internal parpol di Propinsi Lampung? Dalam perilaku kader-kader Parpol di DPRD Lampung? Serta dalam proses rekruitmen Gubernur Lampung 2009-2014? Dan jika tidak, apakah sebenarnya ideologi yang digunakan oleh partai politik peserta pemilu 2004 tersebut?
Ideologi dapat dipahami sebagai keseluruhan pandangan, cita-cita, nilai-nilai dasar dan keyakinan-keyakinan yang dijadikan pedoman normatif kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara karena dianggap mampu membangkitkan kesadaran akan kemerdekaan dan memberikan orientasi tentang dunia beserta isinya dan kaitan-kaitannya serta menanamkan motivasi dalam perjuangan masyarakat untuk mengubah dunia agar lebih memuaskan manusia (Darmodiharjo, 1989:15).
Sementara itu, ideologi politik diartikan sebagai sistem kepercayaan yang memberikan penjelasan-penjelasan pembenar mengenai pentingnya keteraturan politik bagi masyarakat guna mengefektifkan pencapaian tujuan yang diinginkan. Ideologi memiliki aneka macam fungsi, antara lain sebagai basis legitimasi politik, penuntun penentuan kebijakan dan tingkah laku politik, membangkitkan persatuan massa dan menggerakkannya untuk berbuat sesuatu atau dengan kata lain, ideologi juga berfungsi sebagai alat untuk mengelola konflik maupun persatuan. Selain itu, ideologi juga berfungsi sebagai tali pengikat gerakan-gerakan politik (Piliang, 2006:74).
Partai politik sebagai suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik – (biasanya) dengan cara konstitusionil – untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka (Budiardjo, 2003 : 161) tentunya memiliki ideologi tersendiri terkait dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai.
Secara umum Partai Politik memiliki tujuan tertentu berdasarkan UU No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik Pasal 11 dijelaskan tentang fungsi partai politik sebagai berikut:
a. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
b. Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;
c. Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;
d. Partisipasi politik warga negara Indonesia; dan
e. Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
Konflik Internal, Tradisi Partai Politik
Di awal telah diuraikan bahwa salah satu fungsi ideologi antara lain adalah sebagai alat untuk mengelola konflik maupun persatuan dan tali pengikat gerakan-gerakan politik. Namun fungsi tersebut pada umumnya tidak menjadi kenyataan dalam kehidupan beberapa partai politik. Indikator tersebut dapat dilihat dari berbagai konflik politik yang terjadi di Propinsi Lampung pasca pemilu 2004 hingga menjelang pemilihan Gubernur Lampung.
Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899X
48
Beberapa catatan tersebut diantaranya, Partai Golkar sebagai pemenag pemilu 2004 tidak luput dari perpecahan konflik internal Partai Golkar ditandai dengan pemberhentian beberapa ketua DPD Kabupaten/Kota salah satunya adalah ketua DPD Partai Golkar Kota Bandar Lampung yang diberhentikan, dampak konflik tersebut berdiri Forum Penyelamat Partai Golkar Lampung. Konflik berkepanjangan berakhir dengan pengrusakan kantor DPD Partai Golkar Propinsi Lampung.
Beberapa konflik lainnya adalah dengan terjadinya penarikan wewenang pengurus wilayah partai di Lampung terjadi di PPP, PKB, dan Partai Demokrat. Wewenang Ketua DPD Partai Demokrat Lampung Thomas Azis Riska ditarik medio 2007 dan kepemimpinannya digantikan Plt. Ketua Peter Tji'din. Ketua DPW PPP Lampung Darwis Sani Merawi dibekukan 5 Oktober 2007 karena ditengarai DPP terlibat politik yang pilkada.
Kemudian, kepemimpinan Ketua DPW PKB Lampung Musa Zainuddin dibekukan DPP berdasar pada keputusan rapat pleno pada tanggal 29 Februari 2008 (http://beritanasional.blogspot.com/2008/04/bongkar-pasang-ketua-Parpol-dilampung.html, Jumat, 2008 April 11). Konflik tidak hanya terjadi pada partai-partai besar beberapa partai kecil juga mengalami dualisme kepemimpinan seperti PNI Marhaenisme dan PDS.
Mencermati perpecahan internal parpol yang terjadi seperti tersebut di atas menandakan bahwa asas atau ideologi yang dianut oleh parpol-parpol tersebut (Baik yang berideologi Keagamaan maupun sekuler), tidak berfungsi atau tidak difungsikan sebagai tali pengikat persatuan di dalam parpol yang bersangkutan. Selain itu, dampak konflik yang terjadi secara langsung menyebabkan ketidakmampuan partai politik dalam menjalankan fungsinya.
Praktek Ideologi di DPRD Lampung
Jika saja ideologi masing-masing Parpol peraih kursi di DPRD lampung hasil Pemilu 2004 benar-benar diterapkan, maka kecil kemungkinan terjadinya perseteruan antar fraksi ataupun koalisi fraksi dilembaga legislatif tersebut. Terlebih yang dijadikan pokok perseteruan tidak menyangkut kepentingan konstituen yang diwakili para anggota fraksi di DPRD Lampung. Justru yang terjadi di DPRD Lampung adalah perseteruan antara sesama anggota DPRD.
Salah satu contohnya adalah perseteruan antara kelompok anggota DPRD yang tidak mengakui keabsahan Gubernur Lampung dengan Kelompok yang mendukung atau yang mengakui keabsahan Gubernur Lampung. Perseteruan ini berawal dari pemilihan gubernur lampung periode 2003-2008 pada hari senin tanggal 30 Desember 2002 yang pada saat itu dimenangkan oleh pasangan Alzier Dianis Thabrani–Ansyori Yunus. Pada tahapan selanjutnya pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung terpilih terjegal beberapa kasus sehingga ketetapan DPRD tentang Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih dianulir dan diadakan pemilihan gubernur ulang. Selama tahun 2003 – sampai pertengahan Juni 2004 Propinsi Lampung dipimpin Pejabat Gubernur, pada saat itu proses hukum dan konflik antara Alzier Dianis Thabrani–Ansyori Yunus dengan Mendagri terus terjadi. Pada tahapan pemilihan gubernur ulang pasangan Drs. Sjachroedin ZP, SH – Drs. Syamsurya Ryacudu terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung Periode 2004-2009.
Pada tanggal 2 Juni 2004 Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih dilantik dan menjalankan tugas-tugas eksekutif bersama DPRD Lampung sebagai legislatif sampai pertengahan tahun 2005 ketegangan di Propinsi Lampung terjadi kembali pasca terbitnya Putusan MA Nomor: 437/K/TUN/2004 (17 Juni 2004) yang mengabulkan gugatan Alzier Dianis Thabrani. Putusan MA tersebut menjadi referensi bagi sebagian anggota legislatif untuk menerbitkan SK No. 15 DPRD Lampung 2005 yang berisi tentang mencabut hasil
Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899X
49
keputusan DPRD Nomor 47 tahun 2004 tentang calon gubernur terpilih periode 2004– 2009 (Drs. Sjachroedin ZP, SH – Drs. Syamsururya Ryacudu) yang kemudian di pertegas dengan tidak mengakui eksistensi Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung. Perseteruan yang terjadi berlangsung cukup panjang sampai akhir tahun 2006, polarisasi yang terjadi di DPRD tentunya mengganggu kinerja lembaga legislatif tersebut (Forum Kajian Konflik Lampung, 2006:5–20).
Sebaliknya, ketika DPRD harus membahas APBD Propinsi Lampung malah terjadi upaya-upaya untuk tidak membahas APBD. Perseteruan berkepanjangan mengakibatkan tidak berjalannya pembahasan APBD Propinsi Lampung dengan baik. Konsekuensi keadaan tersebut menyebabkan macetnya pembangunan Propinsi Lampung.
Perseteruan di antara para anggota DPRD tersebut sekali lagi menunjukkan bahwa “ideologi” yang lebih diperjuangkan oleh elit-elit Parpol di DPRD adalah kekuasaan yang dapat menguntungkan dirinya. Karena itu, ideologi yang diartikan sebagai keseluruhan pandangan, cita-cita, nilai-nilai dasar dan keyakinan-keyakinan yang dijadikan pedoman normatif kehidupan bermasyarakat tampaknya kurang dipegang teguh oleh elit-elit parpol di DPRD.
Praktek dalam Rekruitmen Calon Kepala Daerah;Pagmatisme Ideologi
Mengacu pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasangan calon kepala daerah (gubernur-wakil gubernur; bupati-wakil bupati; walikota-wakil walikota) dilakukan secara langsung oleh rakyat dari pasangan calon yang diajukan partai politik atau gabungan partai politik. Selanjutnya menurut pasal 36 Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan dan pemberhentian kepala daerah.
Salah satu agenda besar yang akan dilaksanakan di Propinsi Lampung adalah pemilihan Gubernur Propinsi Lampung, sebagai konsekuensi penerapan maka calon-calon gubernur harus mendapatkan dukungan partai politik sekurang-kurangnya 15% dari perolehan kursi di DPRD Lampung dan atau 15% suara pada Pemilu 2004.
Untuk memenuhi syarat 15% hanya dua partai poltik yang dapat mencalonkan Gubernur dan Wakil Gubernur secara penuh, yaitu PDI dan Golkar, sedangkan partai-partai lain yang tidak mencukupi harus bergabung dengan partai lain atau berkoalisi. Berikut koalisi dukungan partai terhadap calon Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung 2009-1014.
Dukungan Partai Politik
Dalam Pencalonan Gubernur Lampung
No. Nama Partai Pendukung
1
Zulkifli Anwar
PAN, PKS
3
Alzier Dianis Tabrani
GOLKAR, PPP, PKB
4
Oemarsono
PKPB, PPNUI, PPDK, PBB, PNBK, Partai Pelopor dan PNI Marhenisme
5
Andy Acmad
PBR, PD
6
Sjachroedin ZP
PDI-P, PKPI, Partai Patriot Pancasila, PPD, PPIB, dan Partai Buruh
Diolah dari berbagai sumber
Berdasarkan dukungan partai yang didapat para calon Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung, menunjukkan semua calon yang melalui jalur partai terjadi koalisi partai. Dilihat dari perkawinan ideologinya telah terjadi koalisi-koalisi yang sangat cair. Koalisi-koalisi pasangan calon kepala daerah terbentuk dari partai-partai yang berasal dari latar belakang
Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899X
50
ideologi yang berbeda. Misalnya terjadi koalisi antara partai yang berasas Islam dengan partai-partai yang berasas nasionalis sekuler. Koalisi cair seperti ini lebih-lebih terjadi pada partai-partai kecil yang tidak memenuhi persyaratan 15%.
Landasan pemikiran koalisi parpol dalam merekrut pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tersebut di atas tampaknya tidak didasarkan secara selektif pada ideologi masing-masing partai, tetapi lebih didasarkan pada ideologi pragmatisme, kepentingan sesaat (jangka pendek) yaitu seberapa besar partai-partai mendapat keuntungan dan kemenangan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Penutup
Berdasarkan telaahan didepan dapatlah ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut. Pertama, ideologi yang dianut dan dicantumkan didalam Anggaran Dasar Partai-Partai Politik ternyata tidak berfungsi sebagai pemersatu para elit dalam parpol tersebut. Hal itu dapat dilihat dari perpecahan-perpecahan yang terjadi dalam tubuh parpol, termasuk yang berideologi keagamaan tertentu. Pola pikir dan pola tingkah laku para elit dalam parpol tersebut tampaknya tidak sepenuhnya dituntun oleh dan didasarkan pada ideologi yang dianut oleh parpol yang bersangkutan. Hal itu mungkin disebabkan oleh definisi parpol itu yang sarat dengan muatan pencarian kekuasaan politik. Karena itu para elit politik tampak lebih berkutat mencari kekuasaan politik untuk dirinya sendiri daripada memperjuangkan persatuan dan kesatuan organisasinya.
Kedua, jika pola perilaku politik para elit parpol yang duduk di DPRD dicermati, maka yang lebih terlihat bukanlah perjuangan untuk melaksanakan asas atau ideologi partainya untuk diterapkan menjadi kebijakan kenegaraan demi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, melainkan lebih mementingkan perolehan posisi dan keuntungan diri dan golongannya semata-mata.
Ketiga, ideologi yang dianut dan dicatumkan dalam Anggaran Dasar setiap parpol juga tidak dipraktekkan secara ketat untuk mengelola hubungan antara parpol yang satu dan yang lainnya. Hal itu dapat disimak dari kasus terjadinya koalisi antar parpol yang berbeda asas atau ideologi dalam pemasangan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung. Dengan kata lain, telah terjadi hubungan ideologis antar parpol yang bersifat cair. Sekali lagi, hal ini mungkin disebabkan karena definisi parpol itu sendiri yaitu sebagai sarana pencarian kekuasaan politik. Hal ini menengarai bahwa yang tampaknya dijadikan ideologi parpol dalam praktek kehidupan politik sehari-hari bukanlah asas yang tercantum dalam Anggaran Dasar setiap parpol, tetapi kekuasaan politis dan kemungkinan juga keuntungan-keuntungan politik satu terhadap yang lain. Dengan kata lain, ideologi yang mendominasi parpol adalah pragmatisme politik dan barangkali secara tidak langsung juga pragmatisme ekonomi.
Keempat, kasus-kasus seperti itu kiranya bukan salah siapa-siapa dan bukan pula kesalahan definisi partai politik. Tetapi tampaknya memang begitulah dalil politik praktis, demi mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan politik. Namun yang tampaknya perlu menjadi renungan bersama untuk diterapkan di masa mendatang agar posisi dan kekuasaan politik tersebut benar-benar dimanfaatkan untuk mensejahterakan rakyat. Sebab dalam sistem politik, demokrasi, sumber dari posisi dan kekuasaan politik adalah rakyat dan karena itu penggunaannya harus benar-benar bermanfaat untuk rakyat.
Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899X
51
Daftar Pustaka
Budiardjo, Miriam. 2003. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Darmodiharjo, Darji. 1989. Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Malang: Laboratorium Pancasila IKIP Malang.
Piliang, Indra J dan Legowo, T.A. Disain Baru Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta: Kanisius
Hertanto. 2006. Teori-teori Politik dan Pemikiran Politik di Indonesia (Buku Ajar). Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Forum Kajian Konflik Politik Lampung. 2006. Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah. Bandar Lampung. Edisi, Sabtu Tanggal 09 Agustus 2008.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik
(http://beritanasional.blogspot.com/2008/04/bongkar-pasang-ketua-Parpol-di lampung.html, Jumat, 2008 April 11)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar