Jumat, 11 Mei 2012

Menggagas Media Lokal di Era Neo Liberal

Oleh: Abdul Firman Ashaf
 
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X

Menggagas Media Lokal di Era Neo Liberal 
Oleh: Abdul Firman Ashaf *) 

Abstract 

This article has a purpose to describe dinamic condition of political media in the middle of political economic world, also Indonesia that tends to neo liberal. Next, this article propose some opinions and actions for local media in order to respond tendency of neo liberal political economic, for societies importance.
 Key words; Local media, political media, neo liberal 


Pendahuluan 

Berakhirnya sistem politik otoriter Orde Baru memang menandai lahirnya era baru yang lebih demokratis, terbuka, dan membuka ruang partisipasi yang lebih luas. Implikasinya, media massa yang sebelumnya berada dalam tekanan, kembali dapat mengecap kebebasan dalam kerja kreatif maupun jurnalistik. Semua itu adalah hasil dari perlawanan yang tak kunjung henti yang dilakukan media massa dipenghujung berakhirnya rezim Orde Baru. Namun, apakah spirit itu masih ada saat ini? Apakah model perlawanan demikian masih tepat untuk kondisi saat ini? Bagaimana sebaiknya media lokal merespon situasi ini? Tulisan ini akan menunjukan kondisi media dan medan determinasi yang melingkupinya, yang mengisyaratkan perlunya kembali dibangun spirit baru dengan reformulasi yang lebih historis. Spirit ini dapat menjadi inspirasi penting bagi media lokal untuk menempatkannya sebagai aktor penting dalam dinamika masyarakat lokal. Konseptualisasi Relasi Media-Negara Diskursus relasi media dan negara cukup menyita banyak perhatian ilmuwan sosial, terutama karena karakternya yang rumit. Relasi tersebut tidak bisa dikemas dalam sebuah penjelasan yang tunggal. Terdapat berbagai wajah dalam usaha untuk mengkonseptualisasinya. Berikut ini ada lima konseptualisasi yang bisa diajukan, yaitu1 : Pertama; media bisa dilihat sebagai – sekedar – mediasi dari berbagai kekuatan sosial, ekonomi dan politik yang beinteraksi. Dalam hal ini pers merupakan refleksi dari dinamika hubungan antara negara dan kekuatan-kekuatan politik dalam masyarakat. Pandangan ini mengecilkan kemampuan negara dalam mengembangkan kepentingannya sendiri, sehingga senantiasa hanya dianggap sebagai representasi pergulatan kepentingan dalam masyarakat. Kedua; media dilihat sebagai salah satu bagian dari kekuatan sosial-politik dari berbagai kekuatan sosial, politik dan ekonomi yang berinteraksi dalam suatu orde politik tertentu. Dalam konteks hubungan negara dan masyarakat, media menempatkan dirinya sebagai kekuatan sosial politik (non negara) yang berhadapan dengan kekuatan politik negara. Ini berarti media dimiliki secara ekonomis oleh kekuatan - kekuatan masyarakat. Namun *) Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Lampung dan Kandidat Doktor Komunikasi UNPAD. 1Usaha untuk mengkonseptualisasi relasi media dan negara ini, penulis sangat terbantu oleh usaha konseptualisasi yang dibuat Abar dan Mc Quail. Dua yang pertama, merujuk pada sumber-sumber ini. Lihat Ahmad Zaini Abar, Kisah Pers Indonesia: 1966-1974, LKiS, Yogyakarta, 1995: 36-37, dan Denis Mc Quail, 1991: 85, terutama berkaitan dengan asumsi mereka perihal teori negara organis, pluralis, dan marxis. 23
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
demikian, pandangan ini mengabaikan relasi antara kekuatan-kekuatan dalam masyarakat dengan elemen-elemen negara, karena itu penting untuk melihat konseptualisasi selanjutnya. Ketiga; media merupakan bagian dari proyek kepentingan kelas dominan. Dalam hal ini media dimiliki oleh masyarakat, namun pemiliknya merupakan representasi kelompok dominan dalam masyarakat. Posisi negara dalam konsepsi ini adalah mengikuti argumentasi strukturalisme marxis, melayani kepentingan kelompok dominan tersebut. Seringkali negara, bahkan, merupakan bagian dari kelompok dominan. Alhasil, kelompok dominan merupakan kelompok yang diuntungkan oleh negara. Negara justru menjaga kelangsungan eksistensinya dengan mereproduksi secara terus-menerus kelangsungan hidup kelompok dominan. Namun demikian, disisi lain sesungguhnya media tidak sepenuhnya dapat dikontrol oleh kelompok dominan dalam masyarakat, sebagaimana konseptualisasi selanjutnya. Keempat; dengan pengandaian bahwa negara juga bisa memiliki kemandirian, maka media bisa dilihat merupakan bagian dari instrumen negara. Dalam hal ini media bisa saja dimiliki oleh masyarakat, namun hubungan antara media dan negara bersifat regulatif dan sumber daya. Kuatnya kontrol negara pada sisi regulasi dan sumberdaya, membuat media lebih memperjuangkan kepentingan negara. Tetapi, perlu disimak bahwa negara bukanlah entitas yang monolitik, karena itu penting untuk memahami kontradiksi-kontradiksi tertentu dari negara, sekaligus melihat dinamika media itu sendiri. Kita akan sampai pandangan selanjutnya. Kelima; media berada dalam konteks struktur tertentu, namun karena sesungguh- nya struktur juga bersifat dinamis maka relasi antara media dan negara juga mengalami pasang surut. Dalam posisi ini, pada konteks historis tertentu media bisa merupakan medium artikulasi negara (hegemonik), namun pada konteks historis lain, media mampu mengembangkan strategi-strategi resistensi. Ringkasnya, konsepsi yang pertama, kedua dan ketiga mengikuti argumentasi society centered; konsepsi keempat mengikuti argumentasi state-centered; sedangkan konsepsi yang kelima sekaligus mewakili argumentasi state and society centered. Pola relasi negara, media dan masyarakat dalam konseptualisasi kelima (state and society centered) mengikuti argumentasi Giddens. Menurut Giddens, hubungan “negara” dan “masyarakat” adalah social practice. Terutama jika “negara” dipahami sebagai struktur dan “masyarakat” sebagai agensi. Salah satu elemen “masyarakat” adalah media. Memang terdapat pandangan yang merujuk bahwa media sendiri sesungguhnya juga merupakan struktur, dan bahkan negara bisa dikatakan sebagai agensi. Terdapat pandangan yang melihat agen dan struktur dan lapisan-lapisan yang khas, dengan demikian Agency bisa merujuk pada tindakan sosial human agents dalam pengertian yang luas, tidak hanya individu, tetapi juga bisa kelompok terorganisir, organisasi, dan negara (misalnya: Burns, 1986). Tulisan ini melihat agent sebagai tindakan-tindakan sosial yang dilakukan oleh pelaku-pelaku sosial baik sebagai individu maupun kolektivitas (jurnalis, pemimpin redaksi, pemilik modal, pengiklan, khalayak, dll.) (Hidayat, 2000: 435). 24
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
Argumentasi di balik itu adalah bahwa dalam pandangan strukturasi, struktur diasumsikan selain bersifat mengekang juga memberdayakan. Dengan demikian relasi negara dan masyarakat, dimana media berada, bersifat cair dan dinamis. Ia bisa memihak pada negara dalam situasi terhegemoni, namun bisa pula mengembangkan strategi resistensi terhadap negara. Media memihak kepada negara apabila media patuh dan tidak mengambil jarak terhadap struktur atau negara. Namun karena struktur juga bisa usang dan bisa dianggap tidak memadai lagi, maka media, lewat kesadaran diskursif, mampu berbalik mengkoreksi struktur. Konseptualisasi ini akan membantu kita untuk menemukan penjelasan memadai bagaimana media menjalin relasi dengan negara, dan aktor-aktor diluar negara. Spirit Pra Transisi Masa transisi demokrasi di penghujung tahun 90-an merupakan periode yang menarik minat para peneliti. Hal ini karena periode tersebut merupakan arus balik dari situasi politik yang authoritarian kepada eforia kebebasan dan ekspektasi akan sistem yang lebih demokratis. Periode ini ditandai dengan kebebasan media untuk mengambil peran sebagai aktor perubahan. Terdapat banyak pandangan yang mengafirmasi kecenderungan bahwa media mengambil posisi sebagai aktor dalam fase transisi tersebut (Hidayat, et.al, 2000). Kondisi ini sebenarnya sudah menjadi kecenderungan diakhir 80an dan awal 90an. Menurut penelitian Anders Uhlin (1998) tentang kemunculan gerakan pro demokrasi di Indonesia, menyebutkan bahwa periode akhir tahun 80-an dan awal tahun 90-an adalah periode pra transisi. Dalam masa ini, dominasi negara atas masyarakat memang masih kuat, namun tidak sehebat sebagaimana yang diinginkan oleh seorang pemimpin otoriter. Sebuah masyarakat sipil dengan sejumlah besar LSM yang relatif independen telah muncul dan menjadi semakin sulit bagi negara untuk mengontrolnya dan menekan unsur-unsur masyarakat yang membangkang. Beberapa struktur ide otoriter yang diatasnya hegemoni Orde Baru dibangun menjadi semakin usang dan kurang bermanfaat bagi rezim otoriter. Struktur ide otoriter semacam itu mendapatkan serangan dari berbagai aktor pro demokrasi. Pandangan serupa juga diyakini oleh Ariel Heryanto (1999) yang menunjuk dekade 1990-an ditandai dengan peningkatan pesat gerakan-gerakan oposisi. Wilayah geografis yang memunculkan protes-protes rakyat telah meluas, juga latar belakang sosial para partisipan dalam protes-protes tersebut. Dekade 1990-an juga dicirikan oleh melonjaknya frekwensi dan militansi gerakan-gerakan yang menentang rezim Orde Baru. Kuatnya gema moral dan religius dalam sejumlah protes menunjukan kesinambungan dengan protes rakyat di masa lalu. Sebagaimana dimasa lalu, gerakan-gerakan oposisi baru masih didominasi oleh para aktivis kampus dan kaum profesional. Selain mahasiswa, terdapat juga jurnalis, seniman, pengacara, akademisi, dan aktivis NGO. Karena itulah, disebut sebagai “oposisi kelas menengah”. Perihal gerakan oposisi yang muncul dari kalangan media era 90an, dapat dilihat dari gerakan diam-diam maupun terbuka melalui pemberitaan beberapa media ter- 25
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
hadap peristiwa-peristiwa yang melibatkan konflik antara negara dan masyarakat. Kasus pembredelan Tempo, Editor dan Detik, misalnya memunculkan perlawanan dari kalangan media. Beberapa harian, misalnya, menerapkan strategi diskursus yang delegitimatif, baik dalam teks pemberitaannya, maupun respon yang diberikan oleh para jurnalisnya (Ashaf, 2005). Kasus lain adalah Peristiwa 27 Juli 1996, sekalipun masih diliputi suasana represif, terdapat beberapa media yang mengambil posisi alternatif. Terdapat media yang sekalipun dalam pemberitaan masih memberikan porsi yang besar bagi artikulasi negara, namun para jurnalisnya menyadari betul bahwa peristiwa tersebut hanyalah rekaan rezim Orde Baru untuk memberangus gerakan masyarakat sipil (Ashaf, 2004). Perlawanan yang sama juga dilakukan oleh media lokal di beberapa daerah, baik secara diam-diam maupun terbuka (D’Haenens, 2000) Era Baru, Spirit Baru Jika diamati, spirit perlawanan yang dilakukan media di era 90-an sebenarnya sangat politis. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa model perlawanan seperti itu segera menjadi klasik, sesaat setelah rezim Orde Baru tutup usia. Sekalipun masih terdapat anggapan bahwa anasirnya masih ada dalam gagasan maupun aktor-aktornya, namun sebagai sebuah sistem ia telah terkoreksi. Di era pasca-otoriterisme, media memasuki masa yang lebih liberal, lawan yang teridentifikasi sebagai ikon tiran telah sirna. Namun, nampaknya media masih menempatkan diri dalam model perlawanan yang klasik. Negara masih diposisikan sangat kuat dan mengatasi masyarakat. Media juga masih membangun retorika perlawanan terhadap negara. Hal ini nampak dari inisiasi media yang memberi porsi yang besar pada civil society dengan frame yang oposisioner. Hal ini sangat masuk akal, mengingat media dan masyarakat menginternalisasi trauma berada dalam perilaku negara yang represif. Trauma inilah yang kemudian membuat media mengambil jalan untuk mendukung penguatan masyarakat sipil dan menolak determinasi negara. Media pada akhirnya memilih kawan aliansi yaitu LSM yang merupakan representasi masyarakat sipil. Tidak keliru, namun permasalahannya sebenarnya jauh lebih kompleks. Mengapa? karena dalam konteks hubungan antara masyarakat sipil dan negara juga harus diformulasi kembali. Pola hubungan antara masyarakat sipil yang terepresentasi melalui LSM dan negara masih berada dalam pola yang melihat negara dalam konteks gagasan kapitalisme negara, padahal dipenghujung era 90an dan hingga kini gagasan yang dominan adalah neoliberalisme. Artinya, dalam beberapa hal, kekuatan-kekuatan neo liberal justru mempergunakan LSM sebagai garda terdepan untuk melawan negara. Neo liberal justru mengambil keuntungan ditengah konflik antara masyarakat sipil dan negara. Karena desakan yang kuat lama kelamaan negara justru mereduksi peran dirinya sendiri dan selanjutnya melibatkan dirinya dalam sistem global yang percaya pada kekuatan pasar. Ada indikasi bahwa keberhasilan reformasi kebijakan negara menjadi kebijakan neoliberal saat ini, disadari atau tidak, adalah atas dukungan dan desakan advokasi dari sebagian kalangan LSM. 26
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
Banyak kebijakan negara saat ini yang mengadopsi kebijakan neoliberal, misalnya, pemotongan subsidi negara dan pembebasan tarif produk pertanian, privatisasi perusahaan negara, perguruan tinggi, serta pelayanan kesehatan dan pendidikan. Artinya, tanpa disadari, LSM justru menjadi “panitia” atas berlakunya kebijakan yang menyingkirkan dan memarjinalkan kaum miskin. Jika demikian, pesan normatifnya adalah media sebaiknya membangun kembali spirit baru untuk melakukan koreksi melalui perspektif yang lebih luas dan komprehensif, yang tidak senantiasa melihat negara semata sebagai pelaku utama, yang sebenarnya hanya sebagai agen neoliberal. Mereduksi persoalan dengan melihat negara sebagai pelaku utama, membuat masyarakat, yang menggantungkan informasi dari media massa, semakin tidak menyadari bahwa semua kebijakan negara berada dalam desain institusi neo liberal global seperti WTO dan IMF. Dengan kata lain, media harus merumuskan kembali siapa lawan yang sebenarnya saat ini dan memilih secara selektif kelompok-kelompok civil society yang secara riil menunjukan keberpihakannya dan juga telah merumuskan kembali kerangka aksi dan ideologisnya. Penutup Pelajaran apa yang bisa diperoleh oleh media lokal? Lalu bagaimana memformulasi aksi yang tepat di tengah dinamika politik lokal saat ini? Di era pemilukada langsung saat ini misalnya, media mesti memainkan peran penting dalam mengelola sumber-sumber informasi yang tidak semata menggunakan kacamata oposisioner yang determinatif dan larut dalam wacana yang memfragmentasi masyarakat dalam isu-isu konflik vertikal masyarakat dan pemerintah daerah, atau isu-isu horisontal antara masyarakat. Hal ini karena konteks pilkada langsung dapat menjadi laboratorium yang baik untuk menguji posisi media. Dengan kebebasan yang dimilikinya, media lokal mesti berperan dalam praksis sebagai entitas yang mencermati dan menghayati secara mendalam kepentingan lokal, dan mengembangkan kecurigaan terhadap agenda-agenda neo liberal terhadap masyarakat lokal. Tentu saja usaha untuk membangun peran baru ini, media lokal harus menyelesaikan permasalahan dirinya sendiri. Isu ini penting, mengingat media adalah industri. Cirinya yang demikian membuat media cukup sulit untuk menghindar dari kerumitan jaringan neo liberal, yang pada akhirnya juga membuatnya menjadi anti masyarakat sipil. Di negara demokrasi seperti Amerika Serikat pun, dalam beberapa hal, media justru mengembangkan kepentingan yang tidak pro publik. Dengan demikian, apa yang harus dilakukan adalah media lokal mesti menjadi ruang publik bagi kepentingan dan aspirasi masyarakat lokal, dan dengannya masyarakat menjadikannya sebagai sumber kesadaran kritis, sadar akan kompleksitas realitas kemasyarakatan, memiliki kemampuan untuk menganalisis, dan menjadi basis untuk melakukan tindakan. Media, dengan spirit baru, berada bersama masyarakat lokal, dalam menginterpretasi dan mengajukan versi realitas yang memihak pada kepentingan lokal yang dirumuskannya sendiri lewat pemberitaan dan produk kultural lainnya. Dengan demikian, media lokal adalah aktor lokal dengan peran lokal, dan bukan periferal. 27
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X

Daftar Pustaka 

Abar, Ahmad Zaini.1995. Kisah Pers Indonesia: 1966-1974. Yogyakarta: LkiS. Ashaf, Abdul Firman. 2005. Perlawanan Para Jurnalis: Harian Kompas dalam Peristiwa Bredel 1994. Sosiohumaniora, Jurnal Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora Vol. 7, No. 2, Juli 2005. Bandung: LP Universitas Padjadjaran. Ashaf, Abdul Firman. 2004. Politik Pers Islam. Bandung: Tesis Magister BKU Ilmu Komunikasi, Program Studi Ilmu Sosial, Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran. D’Haenens, L, Effendi Gazali, dan Chantal Verelst. 2000. Pembuat Berita TV Memandang Lahan Serta Racikan Mereka di Masa Jaya dan Berlalunya Rezim Soeharto. dalam Dedy Nur Hidayat,. et.al. 2000. Pers dalam “Revolusi Mei” Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta: Gramedia. Heryanto, Ariel. 1999. Oposisi Kelas Menengah Indonesia Dekade 1990-an. Dalam Hadijaya (Ed.).1999. Kelas Menengah Bukan Ratu Adil. Yogyakarta: Tiara Wacana. Hidayat, Dedy Nur. 2000. Jurnalis, Kepentingan Modal, dan Perubahan Sosial, dalam Dedy N. Hidayat, et.al. 2000. Pers dalam “Revolusi Mei”: Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hidayat, Dedy Nur. et.al. 2000. Pers dalam “Revolusi Mei”: Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Mc Quail, Denis.1991. Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga. Uhlin, Anders. 1998. Oposisi Berserak: Arus Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia. Bandung: Mizan. 28

Tidak ada komentar:

Posting Komentar