Oleh: Umi Rahmawati
Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899XX
27
Konflik Sosial dan Komunikasi
Oleh: Umi Rahmawati 1
27
Konflik Sosial dan Komunikasi
Oleh: Umi Rahmawati 1
Abstract
We can see Conflict as a way to get goal or intense, sosial conflict causes destroy and death, there is always a possibility of a social conflict in a community. The sociologist had analyzed about all of social conflict perspective. Once solution to minimize a sosial conflict rudely by transparent communication.
Key word : Social conflict, perspective, communication
Pendahuluan
Konflik dapat dilihat sebagai sebuah perjuangan antar individu atau kelompok untuk memenangkan suatu tujuan yang ingin dicapai. Koflik dapat bersifat spontan, dipicu doronga sesaat, dilandasi oleh sebab-sebab yang kurang rasional menyebabkan korban bahkan kerusuhan dan kematian.
Beberapa tahun terakhir ini, banyak terjadi konflik dengan tindakan kekerasan, tidak lagu bersifat spontan tetapi terencana secara rapi, canggih dengan timing yang tepat. Perencanaan da operasinya rahasia (covered operation). Contoh klasik konflik dengan tindak kekerasan jenis ini adalah agrasi sistematis terlembagakan atau terorisme resmi.
Banyak di antara kita tersentak karena begitu gampangnya timbul koflik. Kebanyakkan konflik diakhiri dengan tindak kekerasan yang benar-benar kejam, tidak terkendali. Namun kita harus mengajui bahwa sejak kita sebelum kemerdekaan ditandai dengan banyaknya konflik, sengketa, pemberontakkan dan peperangan mulai dari Sabang sampai Merauke.
Identifikasi Pendekatan
Dalam karya klasik tokoh sosiologi Tallcott Parsons dan Edward Shills (1951), dinyatakan bahwa proses sosial yang terwujud sebagai tindakan sosial pada dasarnya untuk dapat saling bekerjasama karena itu mempunyai fungsi-fungsi yang menekankan tujuan untuk terwujudnya kehidupan sosial dan kemayarakatan yang bercorak keseimbangan diantara unsure-unsurnya, sehingga menghasilkan integrasi sosial. Oleh Parsons dan pengikutnya tindakkan-tindakkan yang terwujud sebagai konflik dilihat sebagai pengimpangan atau tindakkan fungsional dala, kehidupan manusia.
Ahli sosiologi konflik, melihat gejala-gejala sosial, termasuk tindakkan-tindakkan sosial manusia adalah hasil dari konflik. Menurut ahli Sosiologi konflik , kepentingan-kepentingan yang dipunyi\ai orang per-orang atau kelompok berada diatas norma-norma dan nilai-nilai. Usaha-usaha pencapaian tujuan didorong oleh konflik-kpnflik individu atau kelompok sebagai aspek biasa dalam kehidupan kehidupan sosial manusia.
Dahrendrof (1959), salah seorang tokoh yang mengembangkan model konflik, melihat bahwa kehidupan manusia dalam bermasyarakatan didasari oleh konflik kekuatan, bahkan semata-mata disebabkan oleh sebab-sebab ekonomi sebagaimana dikemukakan oleh Karl Marx, tetapi karena berbagai aspek yang ada dalam masyarakat, yang dilihatnya
1 Dosen Prodi IP dan PD II FISIP UNBARA
Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899XX
28
sebagai organisasi sosial. Selanjutnya dikatakan bahwa organisasi menyajikan pendistribusian kekuatan sosial pada warganya secara tidak merata oleh karena itu warga masyarakat akan tergolong menjadi mereka yang “mempunyai” dan yang “miskin” dalam kaitannya dengan kekuatan sosial atau kekuasaan. Karena organisasi itu membatasi berbagai tindakkan manusia maka pembatas-pembatasan itu hanya dapat dilakukan oleh mereka yang “mempunyai” kekuasaan, sedangkan mereka yang “miskin” kekuasaan, yang terkena oleh pembatasan-pembatasan secara organisasi oleh mereka yang “mempunyai” kekuasaan, akan berada dalam konflik denga mereka yang mempunyai kekuasaan.
Konflik dalam perspektif Dahrendorf tersebut merupakan suatu yang endemik atau yang selalu ada dalam kehidupan manusia bermasyarakat. Coakley (1986, 24-33), seorang ahli sosiologi olahraga, melihat kehidupoan manusia sebagai sebuah keteraturan, dan bahwa kekuatan itu terbentuk karena adanya berbagai dukungan yang bersumber dalam masyarakat itu sendiri. Dukungan yang dimaksud adalah pranata sosial, norma sosial serta nilai budaya dari masyarakat tersebut.
Olahraga menurut Coakley, adalah salah satu aspek dalam kehidupan masyarakat yang mendukung lestarinya keteraturan. Model keteraturan-keteraturan tersebut sebenarnya adalah model dialektik Dario hgakikat olahraga itu sendiri, yaitu kompelis (konflik) yang terwujud sebagai konflik antar individu atau kelompok.
Jadi keteraturan hanya mungkin terwujud kalau ada perbedaan diantara unsure-unsurnya, dan jika perbedaan itu berada dalam keadaan kompelisi (konflik) yang dilakukan secara teratur karena memenuhi aliran permainan yang bersifat jujur dan adil. Model keteraturan ini menuntut nilai-nilai budaya yang menjadi acuan bagi etika dan moral yang tercermin dalam aturan permainan atau konflik.
Potensi Konflik
Model keteraturan dari Coakley, bertentangan dengan model kesimbangan dari Tallcott dan Edward Shills. Model keseimbangan (ekuilibirium) telah digunakan dalam pemerintahan Orde Baru untuk menciptakan kestabilan, dan karena itu untuk meredam konflik dan perbedaan-perbedaan, yang dalam paradigma ekuilibirium adalah bentuk-bentuk penyimpangan yang tidak fungsional dalamkehidupan. Penekanan dari kestabilan sosial era orde baru adalah gotong royong dan anti individualisme, dan oleh karena itu memuji keseragaman, keseimbangan dan keserasian. Aturan main yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dibentuk dari atas ke bawah, yang tidak selamanya diterima oleh mereka yang di bawah tetapi harus diterima karena kalau tidak dianggap menyimpang atau tidak fungsional dalam masyarakat.
Model gotong royong dengan aturan main yang datangnya dari atas telah membentuk konflik terselubung. Konflik itu terjadi antara mereka yang menikmati berbagai bentuk kekuasaan dan fasilitasnya dengan mereka yang tersingkirkan atau dimiskinkan kemampuan sosialnya oleh kemapanan kekuasaan. Kebencian yang mendalam terhadap kemapanan kekuasaan akibat ketersingkiran meledak setelah runtuhnya Orde Baru dalam masa reformasi ini. Di mana proses Demokrasi menuju kedewasaanya, barulah berbagai bentuk ketidakadilan dan penderitaan karena kesewenang-wenangan yang diderita masyarakat meledak dalam berbagai bentuk konflik sosial.
Bila kita mengikuti model Dahrendorf, maka dalam setiap masyarakat terdapat potensi konflik, karena setiap masyarakat akan mempunyai kepentingan yang harus dipenuhi, dan pemenuhan kepentingannya akan dan bahkan harus mengorbankan kepentingan warga masyarakat lainnya.
Jadi konflik sosial akan ada. Diperlukan waktu yang lama untuk mencapai kehidupan sosial berkualitas yang memuat sikap dan sifat demokratik, kejujuran dan keadilan. Perlu
Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899XX
29
intervensi yang tepat oleh seluruh jajaran bangsa agar konflik sosial tidak berakibat kehancuran integritas sebagai bangsa yang beradab.
Peran Komunikasi
Jika diakui bahwa komunikasi adalah bagian dari budaya yang beradab, maka komunikasi dengan berbagai kiat dan pendekatannya bisa dipercaya untuk berperan meredam atau paling sedikit mengantisifasi datangnya konflik. Jadi, jika ada konflik sosial apabila diserta dengan tindak kekerasan adalah bukti bahwa ada kemacetan komunikasi antar berbagai golongan dalam masyarakat yang majemuk.
Meskipun ada konflik diantara berbagai kelompok yang berkepentingan, namun selama masih terbuka saluran komnunikasi, masih ada kesempatan untuk mencapai saling mengerti, akomodasi, kesepakatan kerjasama dan perdamaian. Oleh karena itu dialog, musyawarah perlu dibudayakan.
Komunikasi bukan propaganda, penyebaran ta seimbang dari pendapat atau kemauan yang kuat kepada yang lemah. Kamunikasi bukan sekedar rekayasa media. Kamunikasi yang wajar dalam pergaulan masyarakat yang demokratis dan beradab adalah proses penciptaan kebersamaan dalam makna. Intinya adalah mencari titik temu, modalnya adalah masyarakat, dialog, negosiasi dan tujuannya adalah mencapai kesepakatan.
Musyawarah bukan teknik atau taktik pengambilan keputusan melainkan semangat (spirit) memahami dan menghormati pendapat orang lain, yang menjiwai proses pengambilan keputusan. Musyawarah tidak berkonotasi “kuno” atau “modern” sebab dalam masyarakat modern pun perlu dialog, take and give, accomodation. Tujuannya adalah kesepakatan bersama untuk menghindari konflik.
Inilah salah satu esensi demokrasi, yaitu memecahkan masalah perbedaan, menghindari kebuntuan secara damai (democracy is to resolve confflicting differences by peacefull means). Ini bisa terwujud bila pihak yang berkepentingan mempunyai komitmen yang kuat terhadap tujuan dan cita-cita yang lebih tinggi, yaitu keselamatan sari perdamaian bangsa dan negara.
Tujuan dan cita-cita yang lebih tinggi ini adalah visi dan misi nasional yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dan visi, misi nasional inilah yang harus menjadi inti, isi dan tujuan komunikasi untuk mengantisipasi bahkan mencegah konflik dalam masyarakat. Untuk mencapai tujuan itu seluruh kekuatan komunikasi perlu dikerahkan untuk membantu semua institusi yang terkait dengan ketertiban, ketentraman masyarakat dan keadilan, dengan demikian komunikasi harus menjadi komunikasi pendulang bagi semua bangsa dalam membangun dirinya dengan memprioritaskan dukungan pembangunan masyarakat di akar bawah.
Penutup
Komunikasi harus dirancang secara konvergen dan sirkular, sehingga sumber dan arus komunikasi tidak bergantung pada komunikator tunggal tetapi siapa saja harus diberi kesempatan untuk menjadi subjek dan objek komunikasi.
Komunikator tidak perlu di monopoli para birokrat, profesional dan penguasa. Siapa saja yang peduli dan kompeten yang dedikasi dan kredibel perlu diberikan akses komunikasi dan kesempatan menjadi komunikator. Maksudnya agar timbul gagasan yang bermuatan nilai-nilai (moralis) dan kreatif dari arus bawah, arus atas, poros tengah, yang jelas harus beritikat baik dengan cara santun, damai dn beradab. Dengan keterbukaan, kesopanan tumbuh budaya komunikasi musyawarah dan dialogis yang akhirnya dapat menekan munculnya konflik sosial.
Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899XX
30
Daftar Pustaka
Coakley, Jay. 1986. Sport and Society Issues and Controversies. St. Louis: Times Mirror.
Dahrendorf, Ralp, 1959. Class and Class Conflict in Industrial Society. California: Stanford.
Parsons, Talcott & Edward A. Shills. 1951. Toward A General Theory Of Action. New York: Harper & Row.
Suparlan, Parsudi, 1999. Masyarakat Majemuk dan Hubungan Antar Suku Bangsa. Dalam I. Wibowo. Ed. Rehospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hikam, Muhammad AS, 1999. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar