Jumat, 11 Mei 2012

Reformasi Birokrasi : Telaah Terhadap Sektor Pelayanan Publik Pasca Pemekaran Daerah

 Oleh : Marratu Fahri
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X

Reformasi Birokrasi : Telaah Terhadap Sektor Pelayanan Publik Pasca Pemekaran Daerah 
Oleh : Marratu Fahri*) 

Abstract 

Since Suharto’s power fell and reformation began, politics life in our country has changed. Authoritarian new order political structure is changed to democratic political structure. Those things, for example is marked by the change in district bureaucracy which was very central before. District autonomy which is only appearance and symbolic without meaning that referred to UU No. 5/1974 is changed to UU No. 22/1999 and UU No. 32/2004 which gives real district autonomy. District counterpart referred to UU No 32/1956 is changed to UU No 25/1999 and also government regulation no. 78/2007 about establishment, elimination and fusion order of new district and government regulation No. 6/2008 about evaluation of local government implementation, which are the results of reformation developing public service. Instead of making public service, the process of making new district hasn’t changed the bureaucracy service significantly. 

Key words; Reformation, bureaucracy, public service 


Pendahuluan 

Pada era Soeharto, posisi dan peran birokrasi sangat kuat. Birokrasi menjadi alat dan pendukung kekuasaan yang efektif. Kekuatan birokrasi yang didukung sepenuhnya oleh militer memungkinkan Jenderal Soeharto melakukan pembangunan melakukan “pembangunan” demi mempertahankan stabilitas politik dan keamanan. Birokrasi menjadi kekuatan yang untouchable, uncontrollable, exclusive dan “angker”. Sistem inilah yang akhirnya melahirkan pemerintahan yang korup dan otoriter. Kekuatan birokrasi mulai melemah ketika Soeharto jatuh. Gerakan reformasi yang dipelopori Amien Rais kala itu berhasil memaksa Soeharto turun tahta dan membangkitkan semangat membangun Indonesia Baru. Semangat reformasi membawa beberapa perubahan politik dan kultural yang kuat. Reformasi membawa angin keterbukaan yang hampir tak terbatas. Di samping itu, reformasi juga berdampak pada tumbuhnya kekuatan rakyat dalam bentuk people power dan civil society yang menginginkan kehidupan yang lebih demokratis, egalitarian dan toleran. Reformasi ini, beberapa di antaranya, telah menggeser struktur politik orde baru yang otoriter dan digantikan dengan struktur yang lebih demokratis. UUD 1945 yang selama pemerintahan orde baru disakralkan untuk tujuan pelanggengan kekuasaan yang korup tetapi pada masa reformasi telah dilakukan amandemen. Pemilu yang selama orba hanya menjadi “ritual “ demokrasi tanpa makna kini telah menjadi bagian penting demokrasi. Begitu juga dengan reformasi birokrasi yang pada masa rezim Soeharto kita menyaksikan suatu birokrasi yang telah mengalami tingkat politisasi yang sangat tinggi (higly politized bureaucracy). Birokrasi menjadi alat kekuasaan rezim yang efektif yang kemudian menempatkan pula Golkar sebagai partai hegemonik dalam pentas politik nasional. *) Staf Pengajar FISIP Universitas Baturaja 17
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
Memihaknya birokrasi pemerintah pada kekuatan politik atau golongan yang dominan membuat birokrasi tidak steril. Banyak virus yang menjangkitinya, antara lain pelayanan yang memihak, tidak obyektif, birokratis dan tidak mau dikontrol. Selama masa orba, penyelenggaraan pemerintahan daerah diwarnai oleh kuatnya peran pusat dalam menentukan pembangunan di daerah, sentralisme ini telah mendorong terjadinya keseragaman dalam perencanaan pembangunan daerah. Sementara itu, organ-organ suprastruktur politik lokal diatur secara terpusat dan seragam tanpa mengindahkan heterogenitas “sistem politik” lokal yang telah eksis jauh sebelum terbentuknya konsep kebangsaan Indonesia. Pada era reformasi, kelemahan-kelemahan tersebut mulai dibenahi dengan ditetapkanya beberapa kebijakan tentang pemerintahan daerah, pemekaran daerah dan perimbangan keuangan daerah yang diharapkan dapat memacu pembangunan daerah sesuai aspirasi dan potensi yang ada, sehingga birokrasi daerah betul-betul dapat melayani kepentingan publik dalam arti yang sesungguhnya. Persoalannya, sampai sejauhmanakah implementasi kebijakan tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan publik di daerah pasca pemekaran daerah? Reformasi Birokrasi Daerah Secara harfiah, reformasi pada dasarnya berasal dari bahasa latin (re) kembali dan formare yang berarti membentuk. Dalam hal ini, reformasi didefinisikan sebagai “usaha untuk membentuk kembali”. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Paus Gregorius VII yang mencita-citakan terjadinya reformation otius orbis (reformasi atas seluruh tatanan dunia). Yang salah satunya adalah pengakuan atas kekuasaan para baron di hadapan otoritas para uskup. Penggunaan istilah reformasi kembali menjadi popular pada masa Marthin Luther King. Ia menyerukan pentingnya segera dilakukan rekonstitusi dalam kehidupan dan ajaran kristiani. Selanjutnya dari dua peristiwa historis penggunaan istilah reformasi ini, Soetandyo Wignjosoebroto menyimpulkan bahwa istilah reformasi mengimplentasikan unsur dan makna “koreksi kritis” didalamnya. Dengan demikian, reformasi tidak hanya dimaknai sebagai “usaha untuk membentuk ulang dan membangun ulang” suatu struktur, melainkan sebagai “usaha melaksanakan perbaikan tatanan di dalam struktur” (dalam Winarno, 2007 : 44-45). Bagaimanapun sebuah usaha reformasi akan senantiasa dilatari “ketidaksesuaian” tatanan atau aturan nilai lama untuk diterapkan pada situasi baru yang menuntut adanya perubahan. Dalam kerangka inilah kita menyikapi pelaksanaan reformasi birokrasi di negara kita. Seperti diketahui, birokrasi pada masa Orde Baru peranannya sangat dominan. Winarno (2007), mengutip Karl D. Jackson, misalnya, menyebut Orde Baru sebagai masyarakat politik birokrasi, menggambarkan bagaimana arena politik sangat didominasi birokrasi negara. Menurutnya, dalam suatu masyarakat politik birokrasi sebagaimana dicirikan birokrasi Orde Baru, keputusan-keputusan penting diformulasikan ke dalam birokrasi, korps militer dan administrasi sipil. Kelompok-kelompok di luar birokrasi, seperti pemimpin kharismatik, parpol, kelompok-kelompok kepentingan dan gerakan masa tidak mempunyai pengaruh dalam proses pengambilan keputusan di tingkat nasional. Dalam hal ini, kebijakan 18
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
nasional dibuat dalam lingkaran kecil elit yang berpengaruh dan biasanya kebijakan tersebut ditujukan untuk merespon nilai-nilai dan kepentingan pemimpin militer dan birokrat tingkat tinggi. Kenyataan inilah yang menyebabkan masyarakat, menurut A.H. Nasution, mengalami “lesu politik”, karena sistem yang ada lebih “membirokratisasikan politik”. Sedangkan Loekman Soetrisno dan Hotman Siahaan berpendapat, kelesuan politik ini disebabkan oleh hegemoni politik negara (dalam Fahri, 1997). Dari pendapat di atas, pokok permasalahannya adalah soal menguatnya posisi negara karena proses birokratisasi politik. Sementara di sisi lain, masyarakat secara politis lemah. Rezim Orde Baru oleh Mochtar Mas’ud – meminjam istilah O’Donnel; setelah dilakukan modifikasi tertentu, disebut otoritarianisme birokratis, dengan ciri-ciri : 1) dikuasai militer bekerjasama dengan para teknokrat sipil 2) perekonomian didominasi beberapa pengusaha besar yang memiliki hubungan khusus dengan negara kapitalis uninternasional 3) pembuatan kebijaksanaan secara teknokratis–birokratis dengan beberapa syarat tertentu 4) massa didemobilisasikan 5) menggunakan tindakan represif untuk mengawasi oposisi 6) kantor kepresidenan memiliki otonomi (dalam Fahri, 1997: 68). R. William Liddle (seperti dikutip Fahri, 1997: 69) menyebut ciri piramida Orde Baru itu ditandai: 1) Satu lembaga kepresidenan yang dominan 2) ABRI aktif dalam politik 3) pengambilan keputusan politik terpusat pada birokrasi 4) pola hubungan masyarakat- negara kombinasi dari kooptasi dan responsivitas yang represif. Sedangkan menurut Affan Gaffar (1994), pada masa Orba telah terjadi depolitisasi yang sangat efektif terhadap institusi politik yang ada dengan cara : 1) mewujudkan konsep floating mass 2) mewujudkan prinsip monoloyalitas bagi PNS atau siapa saja yang bekerja pada instansi pemerintah 3) emaskulasi partai-partai politik yang ada dengan cara penyederhanaan jumlah partai dan mengontrol rekruitmen pimpinan utama partai. Pasca jatuhnya kekuasaan Soeharto, ada beberapa prestasi besar yang dicapai oleh gerakan reformasi Indonesia terutama dibidang politik dan ketatanegaraan. Salah satu di antara reformasi politik yang telah dilakukan misalnya digulirkanya kebijakan pemekaran daerah yang dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan publik pada rakyat. Pembangunan yang terkonsentrasi di pulau Jawa selama Orba menyulut semangat pemerataan pembangunan di luar Jawa. Perimbangan keuangan daerah yang didasarkan UU No. 32/1956 telah memberi peluang bagi terjadinya pembagian keuangan yang tidak adil antara pusat dan daerah. Bagi kabupaten/kota, oleh karena daerah hanya diberi peluang untuk mendapatkan pendapatan dari pajak daerah yang kurus sementara pajak daerah yang gemuk dikuasai oleh pusat, merasa dicurangi. Akibatnya, daerah-daerah yang kaya sumber daya alam merasa dieksploitasi oleh pemerintah pusat. Dalam pada itu, UU No. 5/1974 menetapkan bahwa otonomi daerah dilaksanakan dengan menitikberatkan pada Daerah Tingkat II, tetapi pada kenyataannya hal ini tidak berlangsung efektif, pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah Tingkat I tetap memegang peran penting dalam proses pembangunan daerah. Kelemahan tersebut mulai dibenahi dengan ditetapkannya UU No.2/1999 dan 19
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. PP No. 78/2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah Pemekaran. PP No. 6/2008 tentang Penilaian Terhadap Daerah Pemekaran. Adanya kebijakan tersebut diharapkan dapat memacu pembangunan daerah sesuai aspirasi dan potensi yang ada demi meningkatkan pelayanan publik di daerah. Pelayanan Publik Daerah Pemekaran Semua pelayanan publik dimasyarakat modern biasanya diorganisir dan disediakan oleh birokrasi pemerintah. Birokratisasi pelayaan publik ini amat mempengaruhi akses terhadap pelayanan-pelayanan tersebut. Sejak Max Weber mencanangkan konsep birokrasinya sampai sekarang para ahli organisasi dan ahli administrasi menganggap bahwa birokrasi adalah bentuk organisasi yang sangat diperlukan dalam proses modernisasi. Menurut Sofian Effendi (1990), studi-studi teoritis dan empiris yang telah dilakukan oleh Blau (1955), Gouldner (1954), Etzioni (1961), Udy (1959), Crozier (1971), Mouzelis (1972), Katz (1971), Montgomery (1966), Riggs (1971), Eisenstadt (1959) dan Esman (1984), sudah sangat memperluas horizon pemahaman kita tentang organisasi birokrasi, proses birokrasi, serta peranan birokrasi dalam pembangunan dan modernisasi. Semua studi tersebut memperlihatkan bahwa birokrasi modern yang sangat menekankan rasionalitas dan efisiensi adah sarana yang paling berguna untuk organisasi dan administrasi di masyarakat modern (dalam Abar, 1990: 230). Dalam teori maupun praktek selalu diasumsikan bahwa proses alokasi sumber-sumber dan pelayanan publik dapat diberikan secara lebih baik bila diadakan modernisasi dalam organisasi birokrasi pemerintah. Di negara berkembang seperti di Indonesia kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kemampuan mereka untuk mendapatkan akses dan kemampuan untuk dapat menggunakan pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, listrik, air minum, jalan, fasilitas umum dan sebagainya. Karena itu, akses terhadap proses pembuatan keputusan yang menentukan alokasi pelayanan publik serta akses terhadap birokrasi yang menentukan pandistribusian pelayanan tersebut merupakan factor penting yang perlu di pertimbangkan dalam perumusan kebijaksanaan pemerataan pelayanan publik tadi. “akses” dapat menjadi kerangka konseptual untuk mengukur kemampuan organisasi pemerintah dalam mencapai tujuan-tujuan pembangunan, termasuk pemerataan untuk mengurangi ketimpangan sosial yang terdapat dalam masyarakat. Tulisan ini dimaksudkan untuk menelaah aspek pelayanan publik pasca pemekaran daerah. Sejak digulirkannya kebijakan pemekaran daerah tahun 1999 hingga sekarang, tercatat 179 daerah baru terbentuk, terdiri dari 7 Provinsi, 31 Kota, dan 141 Kabupaten. Sebaran daerah otonom baru paling banyak di Pulau Sumatera, yakni sebanyak 26 % dari total daerah otonom baru, disusul Sulawesi (17%), Papua (15%), dan Kalimantan (14%). Selebihnya tersebar di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (5%) serta Maluku (7,3%). Proses pemekaran daerah selama ini tidak memiliki rancangan besar sebagai pijakan ideal. Akibatnya, alih-alih men- 20
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
dekatkan pelayanan publik pada rakyat, pemekaran lebih banyak menjadi arena perebutan kekuasaan elit lokal. Kecurigaan itu setidaknya disuarakan mayoritas responden yang terjaring dalam jajak pendapat yang dilakukan Harian Kompas 5-6 Pebruari 2008 terhadap 1.034 pengguna telepon. Sebanyak 60,5% responden menilai pemekaran daerah selama ini lebih banyak di jadikan komoditas politik yang menguntungkan kelompok politik tertentu. Dengan kata lain, pemekaran lebih merepresentasikan keinginan elit politik ketimbang aspirasi masyarakat. Pemekaran daerah yang berlangsung selama ini, meskipun menumbuhkan keyakinan dan harapan baru akan perbaikan, belum banyak mengubah wajah pelayanan birokrasi di lapisan bawah. Padahal salah satu substansi pemekaran adalah memperpendek jarak birokrasi dengan rakyat. Pendapat publik di daerah pemekaran seolah terabaikan. Pemekaran daerah belum mampu meningkatkan pelayanan birokrasi di daerah mereka. Publik tampak gamang. Di satu sisi, ada keyakinan yang cukup kuat pemekaran akan mengubah pelayanan pemerintah pada masyarakat menjadi lebih baik, tetapi di sisi lain mereka terbentur pada kenyataan masih minimnya perbaikan yang dirasakan. Di Sumsel, Kabupaten OKU Selatan dalam hal ini dapat dijadikan contoh. Arah pembangunan Kabupaten OKU Selatan dinilai belum jelas. Ketua DPRD OKU Selatan, H. Wahab Nawawi, sebagaimana dikutip Harian Seputar Indonesia (18/02/2008) menyatakan, “sudah 3 tahun Kabupaten OKUS berdiri. Namun, potensi alam yang bisa diberdayakan untuk pembangunan di daerah belum dieksplorasi dengan maksimal”. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Pemkab OKU Selatan belum dapat menggali potensi alam secara maksimal demi pelayanan publik. Problem pemekaran daerah sebagaimana tersebut di atas telah direspon pemerintah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 78/2007 Tentang Tata Cara Pembentukkan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Kemudian PP No. 6/2008 disebutkan bahwa ada 3 kriteria penilaian terhadap daerah pemekaran yakni, kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik dan daya saing daerah. Bila kabupaten pemekaran selama 3 tahun berturut-turut tidak bisa memenuhi kriteria tersebut, maka akan digabungkan kembali dengan kabupaten induk. Sekalipun ada banyak kabupaten/kota pasca pemekaran daerah yang belum maksimal dalam memberikan pelayanan publik. Namun bukan berarti menafikan beberapa kabupaten/kota yang justru setelah pemekaran daerah mengalami perbaikkan yang signifikan dalam hal pelayanan publik di daerahnya.

Penutup 

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa adanya gerakan reformasi yang dipelopori Amien Rais tahun 1998 yang lalu telah membawa beberapa perubahan politik dan cultur politik. Hal ini ditandai dengan ditetapkannya beberapa kebijakan tentang otonomi daerah, pemekaran daerah, dan perimbangan keuangan daerah yang diharapkan dapat mamacu pembangunan di daerah sesuai aspirasi dan potensi yang ada sehingga dapat meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat di daerah. Pasca pemekaran daerah di Indonesia ada banyak daerah yang justru belum dapat menggali potensi daerahnya yang menyebabkan kesejahteraan rakyat dan pelayanan publik tidak mengalami perubah- 21
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
an signifikan dibandingkan sebelum pemekaran. Adanya PP No. 6/2008 kiranya dapat memacu daerah pemekaran untuk memiliki daya saing dan menggali potensi yang ada secara maksimal demi peningkatan kesejahteraan rakyat dan pelayanan publik dalam arti yang sesungguhnya. 

Daftar Pustaka 

Effendi, Sofian. 1990. Kebijaksanan Publik Berwawasan Pemeratan, dalam Ahmad Zaini Abar (ed), Beberapa Aspek Pembangunan Orde Baru: Esei-esei dari Fisipol Bulaksumur. Solo: Ramadhani. Fahri, Marratu. 1997. Pengaruh Pendidikan Terhadap Peningkatan Kesadaran Politik Pemuda (Study Kasus Organisasi Kepemudaan GP Ansor Anak Cabang Peterongan Kabupaten Jombang Jawa Timur). Jombang: Skripsi Ilmu Pemerintahan Fisip Undar Jombang, tidak dipublikasikan. Gaffar, Affan. 1994. Lembaga Kepresidenan dan Demokrasi Indonesia. Yogyakarta: Ilmu Pemerintahan FISIP UGM. Mu’ti, Abdul. 2002. Muhammadiyah dan Birokrasi: dari Gerakan Dakwah Sturuktural-Birokratis Menuju Kultural-Populis. Dalam Jurnal Profetik Vol. VI No. 1 tahun 2002. Winarno, Budi. 2007. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi.Yogjakarta: MedPress. Suratkabar : Kompas, Senin, 11 Februari 2008 Seputar Indonesia, Senin, 18 Februari 2008 22

Tidak ada komentar:

Posting Komentar