Jumat, 11 Mei 2012

Telaah Kritis Penguatan Kapasitas Peran Parpol Sebagai Pilar Utama Demokrasi

Oleh: Hendra Alfani 

Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X

Telaah Kritis Penguatan Kapasitas Peran Parpol Sebagai Pilar Utama Demokrasi 
Oleh: Hendra Alfani *) 

Abstract 

This theoretical-critical analysis try to picture the strenghtening dinamics and political change climate in consolidation context of local democracy in transition period and also the birth of new potential political strenght in Indonesian society for the last three years. Next in that context, this idea submit some significant action agendas which are proper to call attention of political party in strengthening the capacity as main democration, both in district head general election (pemilihan umum kepala daerah/pemilukada), and toward 2009 general election (pemilihan umum /pemilu).

 Key words; Local democracy, pemilukada, political party, political pluralism 


Pendahuluan 

Dalam pengantar tulisannya berjudul Prinsip-Prinsip Dasar Demokrasi dalam Jurnal Demokrasi yang diterbitkan oleh America Commerce Freedom, Melvin I. Urofsky (2004), mengutip pidato Presiden Abraham Lincoln (Presiden Amerika ke-16), dalam acara peresmian makan nasional Gettysburg pada tahun 1863, di tengah kecamuk perang saudara besar-besaran demi mempertahankan keutuhan Amerika Serikat sebagai sebuah negara. Presiden Lincoln dalam pidatonya memberikan kesimpulan yang bergema kuat tentang definisi terbaik demokrasi dalam sejarah Amerika, bahkan dunia. Dengan menyatakan; “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat,”. Lincoln telah menjabarkan unsur paling hakiki dari pemerintahan demokratis yang bisa diterapkan untuk semua bangsa yang mengharapkan kehidupan yang demokratis. Dari kutipan pidato Presiden Lincoln tersebut, Urofsky hendak menegaskan, bahwa demokrasi adalah sesuatu yang berat, bahkan mungkin sulit. Banyak ketegangan dan pertentangan, dan mensyaratkan ketekunan para penyelenggaranya agar bisa berhasil. Demokrasi tidak dirancang demi efisiensi, tapi demi pertanggungjawaban; sebuah pemerintahan demokratis mungkin tidak bisa bertindak secepat pemerintahan diktator, namum sekali mengambil tindakan, bisa dipastikan adanya dukungan publik untuk langkah ini. Dalam proses politik dukungan ini menjadi sebuah keniscayaan. Demokrasi, terutama dalam tatanan Amerika, dan dipojok dunia manapun, bukanlah produk yang telah selesai, melainkan sesuatu yang terus bertumbuh-kembang. Penegasan Urofsky itu, barangkali bukan hendak mengatakan bahwa demokrasi ala Amerika, yang telah sukses dipakai oleh Amerika Serikat, adalah model panutan untuk semua demokrasi. Setiap bangsa harus menata pemerintahan yang berpijak pada sejarah dan kebudayaannya sendiri. Sejalan dengan pemaknaan itu, dalam konteks menyikapi munculnya kecenderungan terus menguatnya perubahan iklim politik dalam konteks konsolidasi demokrasi lokal di Indonesia pada masa transisi demokrasi sekarang ini, serta lahirnya potensi-potensi kekuatan politik baru dalam masyarakat, secara signifikan, telah menempatkan partai politik *) Staf Pengajar dan Ketua Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Baturaja 11
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
(Parpol) sebagai aktor sekaligus sebagai saluran penampung utama dari kian derasnya arus aspirasi, agregasi kepentingan dan partisipasi politik masyarakat di era reformasi, transisi demokrasi dan otonomi daerah. Deskripsi terhadap realitas kontemporer tersebut, dapat dicermati dengan maraknya pendirian partai baru, baik yang bangkit dari partai-partai yang terkubur semasa orde baru berkuasa (baik ideologi maupun nakhoda partainya), maupun partai yang lahir akibat konflik internal dari partai-partai yang telah mapan secara sosio-ekonomi politik. Kondisi itu sejalan dengan dugaan banyak pengamat politik selama ini, bahwa “partisipasi politik” masyarakat akan meluap-luap dengan kegairahan yang luar biasa bila kondisi politik obyektif memungkinkannya. Hanya dalam hitungan bulan menjelang pemilu, dengan tiba-tiba akan bermunculan deklarasi pendirian puluhan parpol. Eksistensi Parpol di Era Pluralisme Politik Dilihat dari sudut upaya demokratisasi dan konsistensi terhadap konstitusi yang menjamin kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat (Pasal 28 UUD 1945, lihat amandemen ke 4), maka munculnya parpol baru jelas membawa harapan-harapan ideal tentang sebuah orde yang lebih demokratis secara substantif. Era pluralisme politik itu menjanjikan perluasan partisipasi dan alternatif pilihan politik, sejalan dengan keragaman aspirasi dan kepentingan masyarakat yang terus berubah dewasa ini. Dalam model ini, jelas harapannya supaya sebagian besar output sistemik (kebijakan-kebijakan pemerintah dan lembaga-lembaga politik formal lainnya) relatif lebih memihak dan memenuhi ke- butuhan riil masyarakat. Namun, jika dipandang dari sisi interplay antara partai-partai politik dengan lembaga-lembaga politik formal, serta kekuatan-kekuatan politik non partisan lainnya, maka efektivitas eksistensi parpol dalam operasi kekuasaan politik nantinya masih menimbulkan tanda tanya besar. Mengingat republik ini tidak memiliki tradisi yang kuat akan pemerintahan oleh partai-partai, juga tidak adanya kejelasan posisi partai dalam konstitusi yang berlaku, akhirnya menjadikan eksistensi mereka selalu problematis dan paradoks sifatnya. Kekhawatiran bahwa partai-partai itu akan gagal menjalankan fungsi-fungsi substantifnya dan hanya eksis sebagai ornamen demokrasi yaitu lebih sebagai alat memobilisasi legitimasi kekuasaan kelompok –yang akan, ingin, dan sedang– berkuasa dan gagal menjadi institusi kekuasaan publik yang terbuka, jelas sangat reasonable. Masih pula sangat diragukan apakah keberadaan parpol dalam jumlah besar itu nantinya bisa menjadi mekanisme integratif (manajemen konflik) dalam masyarakat, atau justru menjadi faktor suburnya konflik-konflik horisontal yang berlarut-larut. Kekhawatiran ini sangat beralasan mengingat dimensi komunalisme nampak sangat mewarnai era kebangkitan politik partisan tersebut. Terjadinya ledakan partisipasi politik dalam kondisi psikopolitik yang tertindas dalam jangka sekian waktu lamanya, bisa saja menjadi kontraproduktif dengan semangat membangun masyarakat madani apabila kultur politik yang demokratis masih minim serta jaring pengaman kelembagaan tidak cukup mewadahinya. Keraguan dan kekhawatiran itu cukup beralasan, sebab parpol adalah tulang 12
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
punggung dalam sistem demokrasi modern. Namun data empirik menunjukkan bahwa partai politik dihadapkan pada kondisi kritis yang ditandai dengan rapuhnya organisasi dan manajemen, rendahnya kapasitas kader, dan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat. Kondisi semacam ini tentu saja tidak dapat terus dibiarkan. Pelaksanaan pemilu sebagai proses pendalaman demokrasi dan penguatan kepemerintahan yang efektif, secara otomatis, harus diikuti dengan upaya penguatan kapasitas partai politik. Terkait dengan upaya penguatan kapasitas peran parpol, Fadillah Putra (2003:15-17), menawarkan empat konsep yang berangkat dari kritik keberadaan parpol yang selama ini ada di Indonesia, utamanya sejak pemilu tahun 1999. Keempat konsep tersebut adalah sebagai berikut: (1). Parpol dapat dikontrol oleh rakyat, artinya parpol berbasis pada gerakan rakyat dan untuk kepentingan bersama; (2). Sistem kepartaian pluralis, artinya parpol harus peka dengan kemajemukan masyarakat; (3). Visi demokrasi pimpinan parpol, artinya parpol hendaknya dikelola oleh para pemimpin dan aktivis yang memahami demokrasi; dan (4). Parpol yang tidak memonopoli, artinya parpol tidak egois tapi bersedia terbuka dan berdialog dengan siapa saja untuk merumuskan kepentingan bersama. Ranah Penting Penguatan Kapasitas Agenda penguatan kapasitas parpol dilakukan terhadap tiga ranah penting sekaligus, yaitu organisasi dan manajemen kepartaian, manajemen pemilu dan perilaku pemilih, dan manajemen fungsi partai di lembaga legislatif maupun eksekutif. Mengapa? Sebab dari dulu hingga kini basis akar rumput (grassroots) dari gerakan-gerakan prodemokrasi masih lemah, dan bahkan ada indikasi terjadinya proses anti-klimaks gerakan reformasi. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi parpol. Jaringan potensi-potensi demokrasi yang sangat bervariasi dalam masyarakat harus terus dipupuk dan ditumbuhkembangkan, agar dapat menggalang dukungan dari masyarakat umumnya dan menebarkan harapan yang optimistik akan terwujudnya reformasi politik total. Peran parpol sebagai garda depan konsolidasi demokrasi dan pendidikan politik bagi rakyat diharapkan tidak hanya terpusat hanya di daerah-daerah perkotaan, namun juga menyentuh dan mengakar di daerah-daerah pelosok atau pinggiran di mana mayoritas yang berdiam di situ adalah masyarakat yang il-informed dan telah sekian puluh tahun lamanya hanya menikmati wacana politik (informasi-informasi) yang terdistorsi begitu hebatnya. Parpol harus mampu membentuk dan menumbuhkan padangan baru masyarakat tersebut untuk menjadi komunitas yang well-informed, suatu kondisi di mana masyarakat lebih mempunyai daya kritis untuk mengembangkan counter discourse dalam menghadapi ancaman hegemoni dan dominasi kekuatan-kekuatan politik yang cenderung anti-demokrasi atau pro status quo. Sehingga masyarakat terhindar untuk menjadi komunitas yang il-informed, yaitu suatu kondisi di mana masyarakat akan sangat rentan oleh manipulasi wacana politik. Komunitas yang il-informed ditenggarai akan yang menyebabkan gerakan yang mendesakkan reformasi politik total yang dipelopori parpol akan 13
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
menjadi pincang, antara didukung sekaligus dinistakan. Sebagai catatan, saat ini kecenderungan parpol yang terlalu fokus pada upaya meraih kekuasaan (power oriented), penampakan gejala surutnya energi dan melemahnya kohesivitas gerakan mendesakkan reformasi total melalui parpol bersama kelompok pro demokrasi, akan semakin memperlemah konsistensi gerakan reformasi politik secara terorganisir, padu dan massif dengan sebuah platform politik yang tegas. Menurut Wirodono (1994 : 110), melemahnya kohesivitas adalah salah satu masalah yang sering muncul dalam tubuh sebuah parpol. Padahal, kohesivitas menyangkut kesatuan persepsi dan homogenitas sikap sebagian besar unsur parpol, terutama para elitnya terhadap berbagai persoalan yang dihadapi. Khususnya dalam hal ini yang terkait dengan kepentingan rakyat. Begitu pula mengenai kepemimpinan dan distribusi akses untuk masuk ke ruang elite, seperti pembagian jatah pencalonan dalam pemilu. Lebih jauh Wirodono menegaskan (1994:111), bahwa persoalan kohesivitas berkait dengan dinamika internal dalam satu parpol dan kepentingan eksternal untuk menjaga posisi status quo. Persoalan mendasar yang dihadapi parpol kita, adalah bagaimana mencari, memanfaatkan dan mengaktualisasikan peranan yang terbatas itu dalam praktek politik, agar di satu sisi, misi sebagai penyalur aspirasi dan kepentingan masyarakat dapat terlaksana secara lebih kongkret. Oleh karena semua itu, parpol bersama rakyat dan kekuatan-kekuatan prodemokrasi harus mengukuhkan kapasitasnya ke dalam satu common platform untuk mendesakkan agenda perubahan politik dan pemberdayaan rakyat agar tidak tercerai-berai dan kehabisan energi dalam memperjuangkan demokrasi. Parpol dan Pelembagaan Demokrasi Bagaimanapun juga rangkaian problem kontekstual dan transisional di atas harus diselesaikan parpol bersama dengan rakyat dan kekuatan-kekuatan yang prodemokrasi. Proses penataan kelembagaan dan penguatan kapasitas parpol serta peran sosial-politiknya harus dilakukan secara intensif bersamaan dengan upaya pemulihan dan pembenahan kehidupan ekonomi yang masih diselimuti oleh berbagai persoalan. Yang tidak kalah penting dari proses penataan kelembagaan dan penguatan kapasitas parpol serta peran sosial-politiknya itu adalah agenda penguatan masyarakat madani melalui pendidikan politik pada semua lapisan masyarakat. Harus diakui bahwa reformasi dan transisi demokratis pasca-Soeharto saat ini adalah buah dari kebangkitan masyarakat madani. Sehingga, rakyat tidak antipati dengan keberadaan parpol yang selama ini hanya identik dengan upaya untuk meraih kekuasaan semata. Oleh karena itu, upaya menegakkan masyarakat madani (civil society), menurut Nurcholis Madjid, adalah agenda reformasi yang paling mendesak dalam membangun kehidupan demokrasi. Ciri masyarakat madani adalah keadaban, keadilan, persamaan manusia, keterbukaan atau transparansi, dan partisipasi universal. Namun untuk membangunnya dibutuhkan proses yang cukup panjang. Hanya saja, apabila dalam menyelesaikan segala persoalan bangsa dengan kekerasan maka eksistensi masyarakat madani dalam format kehidupan demokrasi akan sulit ditegakkan, karena tindakan tersebut ciri dari ketiadaan 14
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899
keadaban. Demokrasi mensyaratkan kesediaan tulus melakukan kompromi dan pencarian pertemuan kebaikan (dalam Gautama dan Budiono, 1999 : 97), Kalau reformasi dan transisi demokrasi merupakan buah perjuangan elemen-elemen masyarakat madani yang bangkit, maka pelembagaan dan konsolidasi demokrasi yang lebih substantif dalam jangka panjang harus juga dinisbatkan kembali pada masyarakat madani, di mana parpol diharapkan menjadi motivator utama yang memfasilitasi gerakan tersebut secara terorganisir, padu dan berkelanjutan. Harapan itu didukung oleh kondisi yang ada sekarang ini, di mana masyarakat tidak lagi menghadapi pemerintahan otoriter dan represif seperti di era Soekarno atau Soeharto, tetapi pemerintahan yang demokratis juga belum terbentuk. Mobilisasi massa mungkin tidak seefektif dulu sewaktu menjatuhkan Soeharto, karena tidak ada struktur kesempatan yang kondusif. Maka yang harus dilakukan parpol adalah mengembangkan dan menguatkan masyarakat madani melalui pendidikan politik sampai pada tingkar akar-rumput (grassroots). Hasil Akhir Pendidikan Politik Parpol Proses pendidikan politik yang seimbang antara input dan output, mesti merujuk pada konsep yang menyentuh kesemua lini dan lapisan sosial dalam masyarakat. Di mana pencerdasan, pemberdayaan dan terbangun- nya kesadaran serta kemandirian sikap dan pilihan politik masyarakat menjadi tujuan akhir dari kurikulum pendidikan politik yang dilakukan parpol. Dengan tujuan pendidikan politik seperti itu, sekali lagi, antara lain akan bisa mengikis nostalgia yang kuat pada Orde Baru, memulihkan kembali solidaritas di tengah pluralitas, menciptakan masyarakat yang well-informed, menumbuhkan sikap yang antidiskriminatif, mengembangkan wacana-wacana alternatif yang lebih plural, menumbuhkan budaya demokratis, menyadarkan hak-hak politik rakyat, memperkuat basis akar-rumput dan sebagainya. Semua itu tentu menjadi prasyarat bagi pelembagaan dan konsolidasi demokrasi yang lebih substantif, di mana parpol harus didaulat untuk mampu menjadi ujung tombak. Parpol diharapkan tidak lagi hanya memikirkan orientasi politik dalam jangka pendek semata, dalam pengertian hanya berorientasi kepada bagaimana cara memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Atau hanya terfokus melakukan konsolidasi kader serta baru me-raja-kan rakyat ketika musim pemilu tiba. Tetapi, lebih dari itu, parpol juga diharapkan mampu memainkan banyak peran dalam menjalankan fungsinya sebagai saluran aspirasi politik rakyat. Sebab, sebagai pilar utama penegakkan demokrasi, parpol diharuskan berbuat setiap saat, tidak hanya berbuat untuk kepentingannya tetapi juga untuk kepentingan rakyat secara keseluruhan dan berkelanjutan. 

Penutup 

Untuk menutup telaah kritis dalam tulisan singkat ini, dalam konteks mempertegas posisi parpol sebagai salah satu pilar utama dalam menegakkan dan melembagakan demokrasi, penulis mengutip pemikiran Cornelis Lay (2004) dalam bukunya Antara Anarki dan Demokrasi sebagai berikut: 15
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899
“Salah satu keunggulan demokrasi yang selalu diacungi jempol adalah terletak pada kemampuannya menyediakan mekanisme pengelolaan dan penyelesaian konflik tanpa melibatkan “darah” dan “nyawa” sebagai simbol-simbol kemanusiaan utama. Ketika demokrasi menawarkan “pemilu”, maka di dalamnya terkandung makna sebagai penyediaan “arena perang”. Tetapi sangat berbeda dengan perang yang dikenal, ia bisa memunculkan pemenang dan pecundang tanpa perlu melibatkan kekerasan, kematian, air mata, dan seterusnya.” (2004 : 31). Apa yang dikemukakan Lay, barangkali dapat dijadikan cermin jernih bagi parpol, bahwa tugas utamanya sebagai saluran aspirasi dan agregasi kepentingan politik rakyat, mestilah diarahkan pada prinsip-prinsip kesetaraan (egalitarianisme), damai, terbuka, memberdayakan menuju kemandirian bersama. 

Daftar Pustaka 

Gautama, Sidarta dan Aries Budiono. 1999. Moralitas Politik dan Pemerintahan Yang Bersih. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Lay, Cornelis. 2004. Antara Anarki dan Demokrasi. Jakarta: Pensil-324. Putra, Fadillah. 2003. Partai Politik dan Kebijakan Publik; Analisis Terhadap Kongruensi Janji Politik Partai Dengan Realisasi Produk Kebijakan Publik di Indonesia 1999-2003. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Averroes Press Malang. Urofsky, Melvin I. 2004. Prinsip-Prinsip Dasar Demokrasi, dalam Jurnal Demokrasi America Comerce Freedom. New York: America Comerce Freedom. Wirodono, Sunardian. 1995. Gerakan Politik Indonesia: Catatan 1994. Jakarta: Puspa Swara. 16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar