Oleh: Dwi Wahyu Handayani
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
Potensi Konflik Pemilukada Sumsel dan Masa Depan Demokrasi Lokal
Oleh: Dwi Wahyu Handayani *)
Abstract
Key words; Conflict, local democracy, paternalistic, fanatisicm, primordialism, autonomy
Pendahuluan
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, membawa optimisme bagi cakrawala politik Indonesia. Hal tersebut terkait erat dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung (pemilukada) yang dimulai sejak tahun 2005. Selanjutnya dibuat Peraturan Pemerintah (PP) untuk mengimplementasikannya, yaitu PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta PP Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Provinsi dan Kabupaten/Kota, yang diberikan kewenangan khusus. Dalam konteks ini, KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota dipisahkan dari KPU Pusat. Hal tersebut dimaksudkan agar stigma masa lalu tentang pemahaman bahwa rezim pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah berada di bawah bayang-bayang pusat yang sangat sentralistik. Kondisi inilah yang memaksa KPUD melepaskan diri dari KPU dalam penyelenggaraan pemilukada. Penyelenggaraan pemilukada adalah sebuah konsekuensi dari proses demokratisasi. Pemilukada merupakan sarana partisipasi masyarakat secara langsung dalam pembuatan kebijakan. Pemilukada juga bertujuan mencari pemimpin pemerintahan pada sebuah wilayah, yang mendukung kepentingan masyarakat setempat. David Held (1995:5), mengatakan dalam sebuah demokrasi, harus memenuhi syarat sebagai berikut: First, there is direct or participatory democracy, a system of decision-making about public affairs in which citizens are directly involved. Secondly, there is liberal or representative democracy, a system of rule embracing elected ‘officers’ who undertake to ‘represent’ the interests or views of citizens within delimited territories while upholding the ‘rule of law’. Thirdly, there is a variant of democracy based on a one-party model (although some may doubt whether this is a form of democracy at all). *) Staf Pengajar FISIP Universitas Baturaja 55
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
Proses demokratisasi di tanah air, tak semudah membalikkan telapak tangan. Demokrasi baru sekedar simbol. Demokrasi perwakilan sebagaimana yang diharapkan Held, di tataran praktis baru sebatas bertujuan mencari kekuasaan untuk memenangkan kepentingan, belum pada tataran partisipasi rakyat sesuai aturan main yang benar. Kultur paternalistik yang masih rekat di masyarakat, satu hal yang tak terbantah, menyebabkan eskalasi konflik dan gejolak lokal cenderung meningkat. Isu pemilukada lebih dekat dengan keseharian masyarakat lokal. Dalam pemilukada langsung jarak emosi antara figur calon dan massa pemilihnya sangat dekat. Hal ini akan memicu lahirnya fanatisme yang sangat kuat terhadap masing-masing calon. Selain itu, masyarakat juga merasakan memiliki kepentingannya secara riil pada aras lokal. Akibatnya kadar dan rasa kepemilikan (sense of belonging) serta keterlibatannya terhadap agenda-agenda masing-masing calon sangat tinggi. Hal ini dikhawatirkan dapat menjadi pemicu terjadinya konflik horizontal, karena tingkat fanatisme yang berlebihan terhadap salah satu calon sangat kuat, mengingat kultur paternalisme masih dominan dalam masyarakat. Kultur politik yang bersifat paternalistik, maka proses pemilukada tidak dapat menjadi jaminan bagi perubahan kualitas demokrasi. Masa depan demokrasi di tingkat lokal, bisa jadi tidak akan mengalami perubahan. Potensi konflik pemilukada berpusar pada hal-hal berikut: pendaftaran pemilih, pencalonan, kampanye dan pemungutan suara. Potensi ini pada urutannya bermuara kepada penolakan terhadap hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. bakal menggelar pemilihan gubernur dan 10 bupati/walikota. Tentunya, merupakan tantangan, karena akan menjadi barometer penyelenggaraan pemilukada selanjutnya. Kajian Teoritis Konflik Pemicu konflik pilkada secara teoritis dapat dipahami dengan teori konflik dialektis. Jonathan H. Turner dalam Soerjono Soekanto (1988:66-67) menjelaskan poin teori konflik tersebut adalah: Pertama, kepincangan pada distribusi sumber daya akan memengaruhi keleluasaan bagian-bagian suatu sistem untuk mengungkapkan konflik kepentingan. Kedua, kesadaran bahwa keabsahan sistem yang ada tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka. Adanya rasa rugi pada suatu golongan dan golongan yang lebih rendah menyadari bahwa ada konflik kepentingan dengan para pihak yang menguasai sebagian besar sumber daya. Ketiga, kelompok subordinat dalam sebuah sistem menyadari tentang kepentingan kolektif dan upaya menjamin keabsahan pada distribusi sumber daya yang terbatas, maka mereka bergabung. Selanjutnya perkembangan konflik menjadi gerakan protes, dijelaskan dengan deprivasi-relatif. Ted Robert Gurr (1970:53) menjelaskan deprivasi relatif terjadi ketika terdapat kesenjangan antara nilai yang diharapkan bisa diperoleh (value expectation) seseorang atau sekelompok orang dengan nilai yang senyatanya bisa mereka memperoleh (value capability). Sedangkan, John Lofland (2003:2) memaparkan protes adalah, 1) penolakan atau keberatan; 2) atas sesuatu yang ber- 56
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
seberangan; 3) yang sudah tidak dapat ditoleransi; 4) yang ditujukan kepada pribadi atau lembaga yang berkuasa; 5) secara beramai-ramai dan resmi; 6) yang dilakukan secara terbuka; 7) dan didasari oleh perasaan ketidakadilan. Potensi Konflik Pemilukada Sumsel Gubernur Lemhanas Prof. Dr. Ermaya Suradinata (dalam www.kapanlagi.com: 2005). mengungkapkan, pihaknya melihat adanya lima sumber konflik yang potensial, sehingga harus diwaspadai selama berlangsungnya pemilukada. Pertama, konflik etnik dan agama menurut Ermaya, dapat muncul di wilayah yang sebelumnya telah terjadi ketegangan etnis atau agama, seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku serta daerah-daerah lain, yang proporsi penduduknya secara etnik atau agama berimbang. Kedua, mobilisasi politik atas nama daerah (putra daerah asli atau pendatang), menurut Ermaya, berpotensi hampir di semua wilayah. Ketiga, sumber konflik berikutnya adalah premanisme politik dan pemaksaan kehendak di mana gejala tersebut sudah muncul di beberapa daerah. Adanya konflik bersumber dari kampanye negatif antar calon kepala daerah. Keempat, konflik yang bersumber dari manipulasi penghitungan suara dan terakhir adalah konflik yang bersumber dari perbedaan penafsiran terhadap aturan main penyelenggaraan pemilukada, yakni UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, PP No. 6/2005 tentang pemilihan pengesahan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakilnya. Sumatera Selatan tahun ini, akan menggelar pemilihan gubernur dan 10 bupati /walikota. Jadwal pemilukada Sumsel, yaitu Kota Lubuk Linggau (24 Januari 2008), Kota Pagaralam (5 Februari 2008), Kota Prabumulih (13 April 2008), Kabupaten Muara Enim (20 Mei 2008), Kota Palembang (20 Juni 2008), Kabupaten Banyuasin (14 Juli 2008), Provinsi Sumsel (7 Oktober 2008, Kabupaten Lahat (9 November 2008), Kabupaten OKI (15 Desember 2008) dan Kabupaten Empat Lawang (22 Maret 2008). Keragaman etnis di Sumatera Selatan, berpeluang memunculkan konflik. Dalam pemilukada tersebut, masing-masing etnisitas, memastikan kelompoknya untuk mendukung calon kepala daerah, yang dikehendakinya. Itu berpotensi menimbulkan konflik horizontal. Berbagai etnisitas ada di Sumsel, yaitu Palembang, Komering, Besemah/Pasemah, Kikim, Ogan, Rawas, Kisam dan sebagainya. Organisasi berbasis etnisitas yaitu Forum Kerukunan Keluarga Komering (Fokku), Putra Jawa Kelahiran Sumatera (Pujakusuma), Ikatan Keluarga Lekipali (Lematang, Kikim, Pasemah, Lintang), Ikatan Keluarga Minang (IKM), dan Kerukunan Keluarga Palembang (KKP). Dukungan kelompok masyarakat yang mengatasnamakan etnis tertentu, misalnya Pusat Studi dan Kajian Strategi Kesultanan Palembang Darussalam (Pushas-KPD) memberi dukungan pasangan Alex Noerdin-Eddy sebagai cagub 2008-2013. Syahrial Oesman juga dapat dukungan orang Forum Kerukunan Keluarga Komering (Fokku) berbasis etnis Komering, juga berbasis etnis Jawa atau Besemah (Detik.com, 2007). Selain, faktor penyebab munculnya konflik tersebut, sikap antar calon terhadap calon lainnya juga sangat menentukan. 57
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899X
Sikap merasa paling baik, sehingga cenderung mencari kelemahan lawan politiknya, menjadi salah satu cara menjatuhkan lawan politik itu. Itu dapat dicontohkan, pemilukada kota Pagaralam (Sumsel News Online, 5 Februari 2008), satu hari sebelum hari H, kubu Budiarto masih melakukan demo di Mapolres Kota Pagaralam yang menuntut agar kepolisian menindaklanjuti adanya kecurangan indikasi politik uang yang dilakukan kubu Djazuli Kuris. Esensi Konflik Pemilukada dalam Proses Demokratisasi Sistem politik demokrasi memungkinkan adanya perbedaan pendapat, persaingan, pertentangan di antara individu atau kelompok dan atau pemerintah bahkan antar lembaga-lembaga pemerintah. Momentum pemilukada langsung adalah proses pembelajaran politik masyarakat. Ada beberapa hal yang bisa dilihat dalam konteks pembelajaran politik, yaitu, Pertama, pemilukada secara langsung menuntut kesiapan masyarakat untuk bisa mengartikulasikan kepentingan-kepentingannya, sehingga bentuk sikap politiknya merupakan cerminan dari kebutuhan yang ingin diwujudkannya, sehingga kedaulatan masyarakat lokal terwujud. Kedua, masyarakat mempunyai kedaulatan penuh untuk mendefinisikan pilihan politiknya terhadap figur calon dalam pemilukada yang ada, sesuai hati nurani sehingga kualitas partisipasinya dapat dipertanggungjawabkan. Kemandirian ini dengan sendirinya juga mengeliminasi adanya potensi-potensi mobilisasi yang dilakukan oleh partai-partai politik. Ketiga, masyarakat juga dituntut sikap kedewasaan politik nya. Mereka harus siap secara mental untuk menerima perbedaan pilihan politik di antara mereka sendiri. Robert Dahl (1993) menyebutkan bahwa demokrasi adalah sikap tanggap pemerintah secara terus menerus terhadap preferensi atau keinginan warga negaranya. Tatanan politik seperti itu dapat digambarkan dengan dua dimensi politik yaitu: seberapa tinggi kontestasi, kompetisi atau oposisi yang dimungkinkan, dan seberapa banyak warga negara yang memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam kompetisi politik itu. Demokrasi, bukan hanya menghitung partisipasi masyarakat. Tetapi, secara substansial, yang penting adalah kualitas partisipasi dalam menentukan pejabat pemerintah di tingkat lokal. Semakin besar dan baik kualitas partisipasi masyarakat, maka kelangsungan demokrasi akan semakin baik pula. Demikian juga sebaliknya, semakin kecil dan rendahnya kualitas partisipasi masyarakat dengan sendirinya kadar kualitas demokrasinya akan rendah pula. Oleh sebab itu, partisipasi politik masyarakat hadir, bukan karena pengaruh mobilisasi partai politik dan primordialisme. Perlu adanya otonomi sikap, yaitu rasionalitas dalam memilih. Dengan demikian, berpengaruh positif bagi perkembangan dan format demokrasi ke depan. Tetapi jika pilihan politik mereka karena pengaruh mobilisasi semata, paternalistik dan primordiaslime, maka masa depan demokrasi patut dipertanyakan. Cara demikian, justru rawan konflik, karena mobilisasi massa sekedar untuk memeroleh kekuasaan, bukan murni menggolkan kepentingan masyarakat, mewujudkan 58
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899
sistem politik yang baik dan membangun kesejahteraan masyarakat. Pemerintahan yang demokratis menunjukkan kualitas partisipasi masyarakat semakin tinggi, baik dalam memilih pejabat publik, mengawasi perilakunya, maupun dalam menentukan arah kebijakan publik. Masyarakat mempunyai akses untuk menentukan siapa yang sepatutnya memerintah mereka, apa yang dilakukan serta menilai keberhasilannya dan kegagalannya. Kualitas partisipasi yang baik pada pemilukada, akan melahirkan pemerintahan demokratis yang dirasakan manfaatnya oleh seluruh warga. Pemerintahan yang demokratis dalam mengambil keputusan dan tindakan, pasti mendapat dukungan publik akibat partisipasi politik masyarakat yang tinggi dalam pengambilan keputusan publik.
Penutup
Penyelenggaraan demokratisasi di tingkat lokal, membutuhkan budaya politik yang sehat dan bermartabat, dengan menggali kearifan lokal bervisi kemanusiaan. Hal itu, mengingat keanekaragaman latar belakang masyarakat lokal, etnisitas, agama, pendidikan, dan sebagainya. As a consequence, politics in heterogeneous communities are usually more competitive and interesting, with more participation by individual voters and organized groups than in homogeneous place. Power tends to be more broadly distributed, too. This could, and often does, mean more conflict, which can become nasty or result in gridlock. But conflict at least menas different interest are being expressed and people have some choice. For all the problems that accompany diversity it also brings excitement, vitality, stimulation, and greater participation to community life and politics (Terry Christensen: 1995-24). Penggalian kearifan lokal menjadi penting untuk mengawal pemilukada karena, seperti dikatakan Philip R. Haris dan Robert T. Moran (1982), pada dasarnya manusia menciptakan budaya dan lingkungan sosial mereka sebagai adaptasi terhadap lingkungan fisik dan biologisnya. Kebiasaan-kebiasaan, praktik, dan tradisi diwariskan dari generasi ke generasi. Pada gilirannya kelompok atau ras tersebut tidak menyadari dari mana asal warisan kebijaksanaan tersebut. Generasi berikutnya terkondisikan menerima “kebenaran” itu tentang nilai, pantangan, kehidupan, dan standar perilaku. Individu-individu cenderung menerima dan percaya apa yang dikatakan budaya mereka. Kita dipengaruhi oleh adat dan pengetahuan masyarakat di mana kita dibesarkan dan tinggal. Kita cenderung mengabaikan atau menolak apa yang bertentangan dengan kepercayaan-kepercayaan kita. Setiap daerah, memiliki budaya lokal yang sarat dengan nilai-nilai universal, yang mengarusutamakan kemanusiaan, toleransi, saling menghargai, menerima keputusan atas kesepakatan bersama dan sebagainya. Pemerintahan lokal, KPUD secara bersama perlu merumuskan konsensus bersama, yang mengatur tentang tata laksana pemilukada, sehingga tidak sekedar mobilisasi massa dengan social cost tinggi, tetapi berusaha menciptakan aturan yang meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat secara kuantitatif dan kualitatif, demi masa depan demokrasi di aras lokal. 59
Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 1 No. 1 Juni 2008 ISSN 1979 – 0899
Daftar Pustaka
Christensen, Terry. 1995. Local Politics: Governing at The Grassroots. Belmont, California: Wadsworth Publishing Company A Division of Wadsworth, Inc. Dahl, Robert A. 1993. Demokrasi dan Para Pengritiknya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Gurr, Ted Robert. 1970. Why Men Rebel ?. New Jersey: Princeton University Press. Harris, Philip R. & Robert T. Moran.1982, dalam Intercultural Communication: A Reader, www.kpk.go.id. Held, David. 1995. Democracy and the Global Order: From the Modern State to Cosmopolitan Governance. Polity Press. Lofland, John. 2003. Protes: Studi Tentang Perilaku Kolektif dan Gerakan Sosial. Yogyakarta: Insist Press Printing. Supriadi. 2008. Pemilukada Kota Pagaralam Sangat Berpotensi Timbulkan Konflik. Sumsel News Online. Wijaya, Taufik. 2007. Etnisitas Dalam Pemilukada Sumsel Bisa Picu Konflik Horizontal, detikcom. --------------.2005. Lemhanas: Konflik Pemilukada Bersumber pada 'SARA', www.kapanlagi.com. 60
Tidak ada komentar:
Posting Komentar