Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899XX
Korupsi dalam Pembaharuan Penegakkan Hukum
Oleh: Santi Indriani
Korupsi dalam Pembaharuan Penegakkan Hukum
Oleh: Santi Indriani
Abstract
Institution corrupt is law enforcement perspective arrow. Institutions corrupt havened in Indonesia right now if we can say that chronic disease which difficult to recovery and dangerous so it’s must be used great medicine and effective. Reform of law enforcement institution its not true perspective if we said that must eliminate like legal institution or police department. Reform of law enforcement are not causes disintegrated between law enforcement institution, but how we can optimal law enforcement institution be better, clean, and indiscriminative.
Key words: Corruption, law enforcement institution, reform
Pendahuluan
Salah satu dari sekian banyak tantangan besar yang kita hadapi di zaman ini adalah korupsi, tidak ada jalan pintas dan tidak ada jawaban mudah untuk memberantas korupsi. Korupsi sampai tingkat tertentu akan selalu bersama kita mengancam lingkungan, mengerogoti HAM, lembaga-lembaga negara, hak-hak dasar kemerdekaan tetapi juga menghambat pembangunan dan memperparah kemiskinan di seluruh Negara Negara di dunia.
Korupsi menjadi bagian sejarah orde baru yang mengalami paradigma berbeda dengan era reformasi yang penuh dengan langkah pembahruan. Oleh sebab itu upaya mereformasi penegakan hukum terhadap korupsi menjadi amat responsif bagi masyarakat luas terlebih lagi track record penegak hukum saat ini menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap kinerja penegak hukum. Meskipun demikian menjamurnya korupsi tidak berarti sebagai bentuk legitimasi lembaga terhadap perbuatan koruptif, tetapi lebih kepada penyimpangan tindakan “oknum” atau kolektif terhadap kebijakan yang dapat menimbulkan kerugian terhadap perekonomian negara.
Kasus korupsi saat ini sepertinya menjadi trend tersendiri di Indonesia, manakala jika diamati dimulai dari momentum kasus Antasari Azhar yang mencuat yang digunakan para koruptor untuk melancarkan serangan balik (fight back) yang selanjutnya merembet pada kasus cicak dan buaya, sampai akhirnya indikasi korupsi dalam perkara Bank Century yang sampai detik ini belum ada titik terang atas penyelesaian permasalahan tersebut.
Berdasarkan catatan pelaporan korupsi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2004 s.d 2008 , tercatat lebih dari 31.000 (tiga puluh satu ribu) laporan, Pada 2008 tercatat lebih dari 8000 laporan. Berarti dalam sebulan tidak kurang dari 660 laporan dan seminggunya tidak kurang dari 185 laporan. Dalam sehari tidak kurang dari 37 laporan. (Bibit S. Rianto, 2009:9).
Selanjutnya Bibit S. Rianto mengibaratkan korupsi pada hakekatnya berupa gunug es. Tindak pidana korupsi berada di atas permukaan air laut, sedangkan akar masalahnya berada di bawah permukaan air laut. Inilah kerawanan korupsi (corruption hazard) dan potensi masalah penyebab korupsi. Setiap jenis korupsi pada setiap lokasi korupsi memiliki karakteristik tersendiri yang disebut dengan anatomi korupsi. (2009:14).
Dosen Tetap Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP UNBARA
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899XX
76 Santi Indriani, 73 – 80
Begitu polemiknya permasalahan korupsi di Indonesia, sehingga tindakan korupsi sudah menyebar dari institusi pemerintahan, kenegaraan dan swasta, sehingga korupsi seolah-olah sudah menjadi hal yang tidak asing lagi manakala korupsi dilakukan dan hidup didalam masyarakat. Ada beberapa hal yang perlu untuk dicermati dalam proses mengatasi korupsi. Upaya-upaya pembahruan dan reformasi penegakan hukum termasuk sebagai cara yang koersif yang diyakini dapat memberi efek jera bagi pelaku korupsi.
Pengertian, Bentuk dan Penyebab Korupsi
Korupsi adalah sebagai kejahatan, pelakunya adalah penyelenggara negara dan atau pegawai negeri. Intinya adalah perbuatan yang melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan publik yang merugikan negara atau masyarakat. Di beberapa negara ketentuan korupsi bisa dikenakan juga kepada perseorangan atau golongan swasta (private).
Bentuk-bentuk Korupsi yang paling umum dikenal antara lain:
1) Berkhianat,subversi,transaksi luar negeri ilegal,penyelundupan;
2) Menggelapkan barang milik lembaga,swastanisasi anggaran pemerintah, menipu dan mencuri;
3) Menggunakan uang tidak tepat, memalsu dokumen, dan menggelapkan uang, mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak dan menyalahgunakan dana;
4) Menyalahgunakan wewenang dan, intimidasi,menyiksa, penganiayaan, memberi ampun dan grasi tidak pada tempatnya;
5) Menipu, mengecoh memberi kesan yang salah, mencurangi, memperdaya,memeras
6) Mengabaikan keadilan, melanggar hukum, memberikan kesaksian palsu,menahan secara tidak sah, menjebak;
7) Tidak menjalankan tugas , desersi, hidup menempel pada orang lain seperti benalu;
8) Penyuapan dan penyogokan,memeras, mengutip pungutan, meminta komisi;
9) Menjegal Pemilihan Umum, memalsu kertas suara, membagi-bagi wilayah PEMILU agar bisa unggul;
10) Menggunakan informasi internal dan informasi rahasiah untuk kepentingan pribadi , membuat laporan palsu;
11) Menjual tanpa izin Jabatan pemerintah,barang milik pemerintah, dan surat izin pemerintah;
12) Manipulasi peraturan,pembelian barang-barang persediaan, kontrak dan pinjaman uang;
13) Menghindari pajak meraih laba berlebih-lebihan;
14) Menjual pengaruh, menawarkan jasa perantara, konflik kepentingan;
15) Menerima hadiah, uang jasa, uang pelicin dan hiburan,perjalanan yang tidak pada tempatnya;
16) Berhubungan dengan organisasi kejahatan,operasi pasar gelap;
17) Perkoncoan menutupi kejahatan;
18) Memata-matai secara tidak sah, menyalahgunakan telekomunikasi dan pos, dan;
19) Menyalahgunakan stempel dan kertyas surat kantor, rumah jabatan dan hak istimewa jabatan (Gerald Ecaiden,”Toward a General Theory of Official Corruption”, Asian Journal of Public Administration, Vol 10, No.1. 1998).
Dalam ketentuan UU Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dan diperbahrui dengan UU no 20 Tahun 2001, Tindak pidana korupsi digolongkan dalam tujuh kelompok atau golongan yang terdiri dari 30 Jenis tindak Pidana korupsi :
1. Korupsi yang terkait dengan merugikan keuangan negara, terdiri dari dua jenis;
a. Melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan;
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899XX
77 Santi Indriani, 73 – 80
b. Menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara.
2. Korupsi yang terkait dengan suap menyuap, terdiri dari 12 jenis yaitu;
a. Menyuap Pegawai Negeri dengan maksud untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu sehingga bertentangan dengan kewajibanbya;
b. Menyuap Pegawai Negeri karena bertentangan dengan sesuatu atau kewajibannya dalam jabatannya;
c. Memberi Hadiah Kepada Pegawai Negeri karena jabatannya;
d. Pegawai Negeri Menerima Suap Jenis I;
e. Pegawai negeri menerima suap Jenis II;
f. Pegawai Negeri Menerima Suap Jenis III;
g. Pegawai Negeri Menerima Hadiah yang berhubungan dengan jabatannya;
h. Menyuap hakim;
i. Menyuap advokat/pengacara;
j. Hakim dan advokat menerima suap;
k. Hakim menerima suap Jenis I;
l. Hakim menerima suap Jenis II, dan;
m. Advokat Menerima Suap Jenis II;
3. Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatannya;
4. Korupsi yang terkait dengan Perbuatan Pemerasan;
5. Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang;
6. Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan, dan;
7. Korupsi yang terkait dengan gratifikasi.
Menurut Jeremmy pope ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya Korupsi
1) Kemiskinan sebagian orang mengatakan bahwa kemiskinan sebagai penyebab seseorang meakukan korupsi, namun hal ini banyak yang menentang karena jika kemiskinan sebagai penyebab korupsi mengapa malah korupsi dilakukan oleh orang-orang yang memiliki uang dan jabatan, jadi bukan kemiskinan yang menyebabkan korupsi tetapi korupsilah yang menyebabkan rakyat miskin;
2) Mitos Kebudayaan salah satu cara untuk membenarkan suap adalah menggunakan ”relativisme budaya”. Di negara-negara maju sering dikatakan bahwa dibanyak negara sedang berkembang korupsi adalah sebagaian dari kebudayaan, namun jika korupsi adalah kebudayaan mengapa rakyat berdemonstrasi untuk mengusut tuntas kasus-kasus korupsi yang banyak terjadi saat ini. Dengan demikian pemikiran bahwa Korupsi adalah Kebudayaan adalah tidak sejalan dengan apa yang terjadi;
3) Mitos gaji kecil adalah masalah orang melakukan korupsi; gaji rendah di bawah tingkat inilah inti terjadinya korupsi, naikan gaji maka masalah akan lenyap. Demikian pandangan konvensional selama ini. Sebuah riset yang mendalam pada suatu negara tidak mendukung pendapat bahwa menaikan gaji pegawai yang bekerja di lembaga-lembaga korup akan dapat mencegah korupsi, kenyataannya adalah bahwa yang melakukan korupsi akbar adalah memiliki kekayaan yang lebih jauh melebihi kebutuhannya;
4) Mitos tata kelola pemerintahan yang baik hanya untuk negara maju, dan;
5) Ketka negara tidak membayar lembaga-lembaganya (Jeremmy Pope:2003;22).
Menurut Bibit S, Rianto (2009:34), korupsi ini haruslah memenuhi empat unsur. Empat unsur ini adalah; 1) niat melakukan korupsi (desire to act); 2) kemampuan untuk berbuat korupsi (ability to act); 3) peluang atau kesempatan untuk melakukan korupsi (opportunity to do corruption); 4) target atau adanya sasaran untuk melakukan korupsi (suitable target).
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899XX
78 Santi Indriani, 73 – 80
Begitu kompleksnya permasalahan korupsi ini, maka perlu dilakukan telaah yang kritis terhadap pembahruanhukum, akuntabilitas aparat penehak hukum dan yang paling penting adalah moral dan mentalitas yang melekat pada personnya.
Pembaharuan Penegakan Hukum
Transparansi Internasional menilai Indonesia memiliki IPK 2,6 untuk kasus korupsi yang terjadi Pada tahun 2008, hal ini menunjukan kondisi yang harus segera diatasi, sebab jika dibiarkan berlarut-larut maka akan menjadi presedent buruk yang pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku masyarakat, sehingga masyarakat tidak dapat lagi membedakan mana yang korupsi mana yang bukan korupsi.
Untuk memberantas korupsi perlu mengetahui akar dari korupsi, analoginya adalah benalu jika hanya dipotong pada bagian daun dan batang, maka benalu tersebut tentuanya masih dapat hidup menumpang, merugikan pada tubuh pohon yang ditumpanginya, artinya untuk membunuh benalu tersebut perlu dipotong sampai pada akar-akarnya. Dengan kata lain koruptor telah banyak ditangkap yang berasal dari segala lapisan dan jabatan. Korupsi tidak hanya cukup ditangkap pelakunya, tapi akar masalahnya juga harus dibongkar. Selama hanya pelakunya saja yang ditangkap,maka korupsi akan tetap terjadi sepanjang akar masalah korupsi belum tuntas terbasmi.
Diperlukan Upaya dan sistem yang komprehensip serta perlunya keterlibatan publik dalam konteks permasalahan korupsi ini. Banyak aspek yang perlu dicermati dan ditelaah sehingga pembaruan diberbagai bidang diharapkan dapat menciptakan suatu sistem integritas nasional yang pada akhirnya ketika sistem tersebut berjalan dengan baik maka hambatan-hambatan dalam pemberantasan korupsi dapat diatasi.
Sejak kelahiran KPK menjadi trigger mechanism institusi independen yang dapat memberdayakan atas skeptisme publik terhadap lemahnya penegakan hukum. KPK memiliki sarana dan prasarana hukum dengan tingkat kewenangan yang luar biasa (extra ordinary power) yang tidak dimiliki institusi lain. Dengan extra ordinary power yang dimiliki KPK, diharapkan segala bentuk cara, dan aplikasi korupsi dapat dijadikan sebagai bagian dari tatanan pemberantasan korupsi. (Indriyanto Seno Adji, 2009:4).
Lebih lanjut Indriyanto Seno Adji menyebutkan (2009:100), bahwa KPK sebagai lembaga independen memiliki hubungan esensial dengan penegak hukum lain dari sistem peradilan pidana. Ada beberapa hal yang perlu dianalisis dalam proses pembaruan dan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi ini antara lain: Pertama, melakukan tindakan terintegrasi lembaga penegak hukum melalui (integrated criminal justice system) artinya diantara penegak hukum harus memiliki suatu balanced and equal power, yaitu suatu kewenangan berimbang dan sama diantara penegak hukum. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kewenangan diskriminatif yang justru akan melemahkan penegakan hukum. Dalam sistem peradilan pidana tingkat keberhasilan pencegahan dan pemberantasan korupsi harus dilandasi integrated criminal system bukan menciptakan sistem diskriminasi kewenangan. Kedua, independensi semu; independensi proses penegakan hukum merupakan wacana yang bersifat imperatif. Akan menjadi sulit bagi Polri dan Kejaksaaan Agung untuk memaksimalkan pemberantasan korupsi, selama independensi dalam konteks limitatif masih dalam status subordinasi kekuasaan eksekutif tertinggi. Ketiga, dalam rangka Penegakan hukum hendaknya law enforcment officer benar-benar melaksanakan tugas dan kewajiban serta memiliki integritas yang tinggi terhadap profesinya dengan demikian penegakan hukum dapat berjalan dengan semestinya.
Reformasi hukum yang bersifat komprehensip tentunya tidak hanya terbatas pada pembahruan, tetapi meliputi perbaikan dari segala sisi hukum, yaitu melakukan perbaikan dari segi legalitas.Pemecahan masalah korupsi tidak hanya sekedar mengupayakan bentuk
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899XX
79 Santi Indriani, 73 – 80
alternatif dari suatu instansi tetapi bergantung pula pada pelaksananya sebagaimana desakan Baharuddin Lopa (Indriyanto Seno Adji:2009:100).
Dalam pandangan Andi Hamzah sebagaimana dikutip oleh Indriyanto Seno Aji (2000:101), bahwa perangkat hukum bagi pemberantasan korupsi sudah terlalu keras, hanya saja kesulitan memberantas korupsi adalah persoalan sisi manusianya yang buruk, adapun yang seharusnya terjadi pada reformasi hukum dengan prioritas sebagai berikut: Pertama, dibutuhkan petugas penegak hukum yang berdedikasi, penuh kapabilitas, dan dengan tingkat integritas yang imperatif sifatnya. Dalam konteks ini pemberantasan korupsi terletak pada integritas (kejujuran) law enforcement officer sebagai eksekutornya. Sarana yuridis pemberantasan korupsi menjadi hilang nilainya apabila eksekutornya tidak jujur. Kedua, reformasi atas mekanisme pemberantasan korupsi yang meliputi implementasi yang masih diskriminatif artinya, bila usaha penegakan hukum telah menyentuh upper power level (pejabat tinggi) maupun upper economic level (konglomerat) pada saat itulah muncul sikap diskriminatif dari petugas penegak hukum. Selain itu metode pemberantasan korupsi masih menggunakan konsep bottom up yang tidak akan pernah mencapai sasaran yang optimal. Artinya selama level khusus tidak tersentuh selama itu pula hasil pemberantasan korupsi menjadi semu. Ketiga, melakukan optimalisasi terhadap sarana yuridis yang ada tanpa mengubah sistem yang ada. Asas materiele wederrechtelijke melalui fungsi positif (pasal 1 ayat 1 huruf a UU No. 3 Tahun 1971 Tentang Tindak Pidana Korupsi) dapat diterapkan terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak terjangkau hukum , namun merugikan negara dan masyarakat dalam skala besar (offences beyond the reach of the law), maupun perbuatan dari perilaku dengan profesionalitas tinggi dan sulit pembuktiannya (invisible crime).
Upaya-Upaya Pemberantasan Korupsi
Penegakan hukum merupakan suatu hal yang sangat urgent dan significan bagi keberhasilan suatu negara, bahkan menjadi barometer eksistensi keberhasilan pemerintahan. Bagi negara berkembang seperti Indonesia saat ini penegakan hukum terhadap tindakan korupsi seharusnya terletak pada kemampuan pengusa membela persoalan korupsi, yang memiliki relevansi antara hukum, politik dan kekuasaan. Masyarakat sebenarnya sudah merasa jemu dan lelah terhadap kinerja Kejaksaan dan dan kepolisian yang dinilai tidak fair, tidak distributif dan bahkan munculnya istilah ”mafia pengadilan” menimbulkan kesan krisis kepercayaan terhadap aparat penegak hukum dalam penyelesaian kasus tindak pidana korupsi di negara kita.
KPK memberikan harapan yang besar bagi masyarakat untuk kembali merepresentatifkan keinginan rakyat sehingga penegakan hukum yang objektif, yang jujur, dan tidak memihak sebagaimana amanat rule of law dapat tercipta. Namun yang paling penting adalah perekrutan terhadap personalitas KPK ini wajib memiliki integritas dan moralitas tinggi dalam upaya penegakan hukum, sehingga KPK tidak diartikan sebagai uniform baru dari institusi formal penegakan hukum yang lama saja (Indriyanto Seno Adji, 2009:120).
Bibit S. Rianto menegaskan bahwa upaya penanganan korupsi dapat dilakukan dengan dua jalan yaitu :
1. Melalui Upaya penindakan represif yaitu dengan cara menangkap dan mengadili pelakunya;
2. Preventif terhadap kawanan korupsi dengan jalan menangani permasalahan hulu korupsi. Adapun upaya-upaya pencegahan yaitu dapat dilakukan dengan:
a. Pengaturan yaitu melakukan pengkajian aturan-aturan yang bersifat koruptif atau hal-hal yang belum ada aturannya untuk dibuat aturan yang tidak
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899XX
80 Santi Indriani, 73 – 80
koruptif.seyogyanya aturan ini dapat dibuat oleh lembaga yang tidak dipengaruhi oleh kepentingan penguasa semata
b. Pengawasan dilakukan terhadap setiap kegiatan secara berkesinambungan dan konsisten sehingga tidak memberi peluang terjadinya penyimpangan.
c. Penertiban yaitu dengan jalan melakukan inspeksi mendadak untuk memberikan keyakinan bahwa aturan berjalan dengan baik dan menindak tegas pelaku penyimpangan.
d. Penjagaan dilakukan pada hal-hal yang memiliki tingkat kerawanan korupsi tinggi.
e. Memilih dan menempatkan petugas yang memiliki integritas moral yang tinggi , baik melalui proses rekruitmen maupun proses pemilihan pejabat-pejabat publik (2009:57-59)
Penutup
Korupsi sama halnya dengan kanker penyakit berbahaya yang mengrogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk memberantas korupsi maka perlu menggunakan formula yang ampuh untuk, seperti dengan melibatkan seluruh elemen kekuatan anak bangsa.
Menyoroti upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, maka reformasi dari sisi hukum dan penegak hukum merupakan salah satu hal yang juga harus dibenahi. Hukum yang dibuat dengan baik tidak akan pernah berjalan dengan baik apabila penegak hukumnya tidak memiliki komitmen, apalagi memiliki perilaku korup dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum dalam menyelesaikan kasus-kasus tindak pidana korupsi.
Hukum harus menjadi panglima dan hukum sebagai puctum remidium (senjata pamungkas), tidak hanya tajam di bawah namun tumpul di atas, hukum dan penegak hukum merupakan dua mata pisau yang tajam baik ke atas maupun ke bawah sehingga reformasi hukum dapat berjalan dengan maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Adji Seno Indriyanto. 2009. Humanisme Dan Pembaruan Penegakan Hukum. Jakarta: Kompas Penerbit Buku.
Pope, Jerremy. 2003. Strategi Memberantas Korupsi elemen sistem integitas Nasional. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Rianto, Bibit Samad. 2009. Koruptor Go To Hell. Jakarta: Hikmah Zaman Baru
UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi
Suratkabar:
Reformasi Ekonomi: ”Kolusi dan Korupsi”. Berita Harian Kompas, Senin 9 Maret 1998.
Institution corrupt is law enforcement perspective arrow. Institutions corrupt havened in Indonesia right now if we can say that chronic disease which difficult to recovery and dangerous so it’s must be used great medicine and effective. Reform of law enforcement institution its not true perspective if we said that must eliminate like legal institution or police department. Reform of law enforcement are not causes disintegrated between law enforcement institution, but how we can optimal law enforcement institution be better, clean, and indiscriminative.
Key words: Corruption, law enforcement institution, reform
Pendahuluan
Salah satu dari sekian banyak tantangan besar yang kita hadapi di zaman ini adalah korupsi, tidak ada jalan pintas dan tidak ada jawaban mudah untuk memberantas korupsi. Korupsi sampai tingkat tertentu akan selalu bersama kita mengancam lingkungan, mengerogoti HAM, lembaga-lembaga negara, hak-hak dasar kemerdekaan tetapi juga menghambat pembangunan dan memperparah kemiskinan di seluruh Negara Negara di dunia.
Korupsi menjadi bagian sejarah orde baru yang mengalami paradigma berbeda dengan era reformasi yang penuh dengan langkah pembahruan. Oleh sebab itu upaya mereformasi penegakan hukum terhadap korupsi menjadi amat responsif bagi masyarakat luas terlebih lagi track record penegak hukum saat ini menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap kinerja penegak hukum. Meskipun demikian menjamurnya korupsi tidak berarti sebagai bentuk legitimasi lembaga terhadap perbuatan koruptif, tetapi lebih kepada penyimpangan tindakan “oknum” atau kolektif terhadap kebijakan yang dapat menimbulkan kerugian terhadap perekonomian negara.
Kasus korupsi saat ini sepertinya menjadi trend tersendiri di Indonesia, manakala jika diamati dimulai dari momentum kasus Antasari Azhar yang mencuat yang digunakan para koruptor untuk melancarkan serangan balik (fight back) yang selanjutnya merembet pada kasus cicak dan buaya, sampai akhirnya indikasi korupsi dalam perkara Bank Century yang sampai detik ini belum ada titik terang atas penyelesaian permasalahan tersebut.
Berdasarkan catatan pelaporan korupsi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2004 s.d 2008 , tercatat lebih dari 31.000 (tiga puluh satu ribu) laporan, Pada 2008 tercatat lebih dari 8000 laporan. Berarti dalam sebulan tidak kurang dari 660 laporan dan seminggunya tidak kurang dari 185 laporan. Dalam sehari tidak kurang dari 37 laporan. (Bibit S. Rianto, 2009:9).
Selanjutnya Bibit S. Rianto mengibaratkan korupsi pada hakekatnya berupa gunug es. Tindak pidana korupsi berada di atas permukaan air laut, sedangkan akar masalahnya berada di bawah permukaan air laut. Inilah kerawanan korupsi (corruption hazard) dan potensi masalah penyebab korupsi. Setiap jenis korupsi pada setiap lokasi korupsi memiliki karakteristik tersendiri yang disebut dengan anatomi korupsi. (2009:14).
Dosen Tetap Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP UNBARA
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899XX
76 Santi Indriani, 73 – 80
Begitu polemiknya permasalahan korupsi di Indonesia, sehingga tindakan korupsi sudah menyebar dari institusi pemerintahan, kenegaraan dan swasta, sehingga korupsi seolah-olah sudah menjadi hal yang tidak asing lagi manakala korupsi dilakukan dan hidup didalam masyarakat. Ada beberapa hal yang perlu untuk dicermati dalam proses mengatasi korupsi. Upaya-upaya pembahruan dan reformasi penegakan hukum termasuk sebagai cara yang koersif yang diyakini dapat memberi efek jera bagi pelaku korupsi.
Pengertian, Bentuk dan Penyebab Korupsi
Korupsi adalah sebagai kejahatan, pelakunya adalah penyelenggara negara dan atau pegawai negeri. Intinya adalah perbuatan yang melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan publik yang merugikan negara atau masyarakat. Di beberapa negara ketentuan korupsi bisa dikenakan juga kepada perseorangan atau golongan swasta (private).
Bentuk-bentuk Korupsi yang paling umum dikenal antara lain:
1) Berkhianat,subversi,transaksi luar negeri ilegal,penyelundupan;
2) Menggelapkan barang milik lembaga,swastanisasi anggaran pemerintah, menipu dan mencuri;
3) Menggunakan uang tidak tepat, memalsu dokumen, dan menggelapkan uang, mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak dan menyalahgunakan dana;
4) Menyalahgunakan wewenang dan, intimidasi,menyiksa, penganiayaan, memberi ampun dan grasi tidak pada tempatnya;
5) Menipu, mengecoh memberi kesan yang salah, mencurangi, memperdaya,memeras
6) Mengabaikan keadilan, melanggar hukum, memberikan kesaksian palsu,menahan secara tidak sah, menjebak;
7) Tidak menjalankan tugas , desersi, hidup menempel pada orang lain seperti benalu;
8) Penyuapan dan penyogokan,memeras, mengutip pungutan, meminta komisi;
9) Menjegal Pemilihan Umum, memalsu kertas suara, membagi-bagi wilayah PEMILU agar bisa unggul;
10) Menggunakan informasi internal dan informasi rahasiah untuk kepentingan pribadi , membuat laporan palsu;
11) Menjual tanpa izin Jabatan pemerintah,barang milik pemerintah, dan surat izin pemerintah;
12) Manipulasi peraturan,pembelian barang-barang persediaan, kontrak dan pinjaman uang;
13) Menghindari pajak meraih laba berlebih-lebihan;
14) Menjual pengaruh, menawarkan jasa perantara, konflik kepentingan;
15) Menerima hadiah, uang jasa, uang pelicin dan hiburan,perjalanan yang tidak pada tempatnya;
16) Berhubungan dengan organisasi kejahatan,operasi pasar gelap;
17) Perkoncoan menutupi kejahatan;
18) Memata-matai secara tidak sah, menyalahgunakan telekomunikasi dan pos, dan;
19) Menyalahgunakan stempel dan kertyas surat kantor, rumah jabatan dan hak istimewa jabatan (Gerald Ecaiden,”Toward a General Theory of Official Corruption”, Asian Journal of Public Administration, Vol 10, No.1. 1998).
Dalam ketentuan UU Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dan diperbahrui dengan UU no 20 Tahun 2001, Tindak pidana korupsi digolongkan dalam tujuh kelompok atau golongan yang terdiri dari 30 Jenis tindak Pidana korupsi :
1. Korupsi yang terkait dengan merugikan keuangan negara, terdiri dari dua jenis;
a. Melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan;
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899XX
77 Santi Indriani, 73 – 80
b. Menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara.
2. Korupsi yang terkait dengan suap menyuap, terdiri dari 12 jenis yaitu;
a. Menyuap Pegawai Negeri dengan maksud untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu sehingga bertentangan dengan kewajibanbya;
b. Menyuap Pegawai Negeri karena bertentangan dengan sesuatu atau kewajibannya dalam jabatannya;
c. Memberi Hadiah Kepada Pegawai Negeri karena jabatannya;
d. Pegawai Negeri Menerima Suap Jenis I;
e. Pegawai negeri menerima suap Jenis II;
f. Pegawai Negeri Menerima Suap Jenis III;
g. Pegawai Negeri Menerima Hadiah yang berhubungan dengan jabatannya;
h. Menyuap hakim;
i. Menyuap advokat/pengacara;
j. Hakim dan advokat menerima suap;
k. Hakim menerima suap Jenis I;
l. Hakim menerima suap Jenis II, dan;
m. Advokat Menerima Suap Jenis II;
3. Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatannya;
4. Korupsi yang terkait dengan Perbuatan Pemerasan;
5. Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang;
6. Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan, dan;
7. Korupsi yang terkait dengan gratifikasi.
Menurut Jeremmy pope ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya Korupsi
1) Kemiskinan sebagian orang mengatakan bahwa kemiskinan sebagai penyebab seseorang meakukan korupsi, namun hal ini banyak yang menentang karena jika kemiskinan sebagai penyebab korupsi mengapa malah korupsi dilakukan oleh orang-orang yang memiliki uang dan jabatan, jadi bukan kemiskinan yang menyebabkan korupsi tetapi korupsilah yang menyebabkan rakyat miskin;
2) Mitos Kebudayaan salah satu cara untuk membenarkan suap adalah menggunakan ”relativisme budaya”. Di negara-negara maju sering dikatakan bahwa dibanyak negara sedang berkembang korupsi adalah sebagaian dari kebudayaan, namun jika korupsi adalah kebudayaan mengapa rakyat berdemonstrasi untuk mengusut tuntas kasus-kasus korupsi yang banyak terjadi saat ini. Dengan demikian pemikiran bahwa Korupsi adalah Kebudayaan adalah tidak sejalan dengan apa yang terjadi;
3) Mitos gaji kecil adalah masalah orang melakukan korupsi; gaji rendah di bawah tingkat inilah inti terjadinya korupsi, naikan gaji maka masalah akan lenyap. Demikian pandangan konvensional selama ini. Sebuah riset yang mendalam pada suatu negara tidak mendukung pendapat bahwa menaikan gaji pegawai yang bekerja di lembaga-lembaga korup akan dapat mencegah korupsi, kenyataannya adalah bahwa yang melakukan korupsi akbar adalah memiliki kekayaan yang lebih jauh melebihi kebutuhannya;
4) Mitos tata kelola pemerintahan yang baik hanya untuk negara maju, dan;
5) Ketka negara tidak membayar lembaga-lembaganya (Jeremmy Pope:2003;22).
Menurut Bibit S, Rianto (2009:34), korupsi ini haruslah memenuhi empat unsur. Empat unsur ini adalah; 1) niat melakukan korupsi (desire to act); 2) kemampuan untuk berbuat korupsi (ability to act); 3) peluang atau kesempatan untuk melakukan korupsi (opportunity to do corruption); 4) target atau adanya sasaran untuk melakukan korupsi (suitable target).
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899XX
78 Santi Indriani, 73 – 80
Begitu kompleksnya permasalahan korupsi ini, maka perlu dilakukan telaah yang kritis terhadap pembahruanhukum, akuntabilitas aparat penehak hukum dan yang paling penting adalah moral dan mentalitas yang melekat pada personnya.
Pembaharuan Penegakan Hukum
Transparansi Internasional menilai Indonesia memiliki IPK 2,6 untuk kasus korupsi yang terjadi Pada tahun 2008, hal ini menunjukan kondisi yang harus segera diatasi, sebab jika dibiarkan berlarut-larut maka akan menjadi presedent buruk yang pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku masyarakat, sehingga masyarakat tidak dapat lagi membedakan mana yang korupsi mana yang bukan korupsi.
Untuk memberantas korupsi perlu mengetahui akar dari korupsi, analoginya adalah benalu jika hanya dipotong pada bagian daun dan batang, maka benalu tersebut tentuanya masih dapat hidup menumpang, merugikan pada tubuh pohon yang ditumpanginya, artinya untuk membunuh benalu tersebut perlu dipotong sampai pada akar-akarnya. Dengan kata lain koruptor telah banyak ditangkap yang berasal dari segala lapisan dan jabatan. Korupsi tidak hanya cukup ditangkap pelakunya, tapi akar masalahnya juga harus dibongkar. Selama hanya pelakunya saja yang ditangkap,maka korupsi akan tetap terjadi sepanjang akar masalah korupsi belum tuntas terbasmi.
Diperlukan Upaya dan sistem yang komprehensip serta perlunya keterlibatan publik dalam konteks permasalahan korupsi ini. Banyak aspek yang perlu dicermati dan ditelaah sehingga pembaruan diberbagai bidang diharapkan dapat menciptakan suatu sistem integritas nasional yang pada akhirnya ketika sistem tersebut berjalan dengan baik maka hambatan-hambatan dalam pemberantasan korupsi dapat diatasi.
Sejak kelahiran KPK menjadi trigger mechanism institusi independen yang dapat memberdayakan atas skeptisme publik terhadap lemahnya penegakan hukum. KPK memiliki sarana dan prasarana hukum dengan tingkat kewenangan yang luar biasa (extra ordinary power) yang tidak dimiliki institusi lain. Dengan extra ordinary power yang dimiliki KPK, diharapkan segala bentuk cara, dan aplikasi korupsi dapat dijadikan sebagai bagian dari tatanan pemberantasan korupsi. (Indriyanto Seno Adji, 2009:4).
Lebih lanjut Indriyanto Seno Adji menyebutkan (2009:100), bahwa KPK sebagai lembaga independen memiliki hubungan esensial dengan penegak hukum lain dari sistem peradilan pidana. Ada beberapa hal yang perlu dianalisis dalam proses pembaruan dan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi ini antara lain: Pertama, melakukan tindakan terintegrasi lembaga penegak hukum melalui (integrated criminal justice system) artinya diantara penegak hukum harus memiliki suatu balanced and equal power, yaitu suatu kewenangan berimbang dan sama diantara penegak hukum. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kewenangan diskriminatif yang justru akan melemahkan penegakan hukum. Dalam sistem peradilan pidana tingkat keberhasilan pencegahan dan pemberantasan korupsi harus dilandasi integrated criminal system bukan menciptakan sistem diskriminasi kewenangan. Kedua, independensi semu; independensi proses penegakan hukum merupakan wacana yang bersifat imperatif. Akan menjadi sulit bagi Polri dan Kejaksaaan Agung untuk memaksimalkan pemberantasan korupsi, selama independensi dalam konteks limitatif masih dalam status subordinasi kekuasaan eksekutif tertinggi. Ketiga, dalam rangka Penegakan hukum hendaknya law enforcment officer benar-benar melaksanakan tugas dan kewajiban serta memiliki integritas yang tinggi terhadap profesinya dengan demikian penegakan hukum dapat berjalan dengan semestinya.
Reformasi hukum yang bersifat komprehensip tentunya tidak hanya terbatas pada pembahruan, tetapi meliputi perbaikan dari segala sisi hukum, yaitu melakukan perbaikan dari segi legalitas.Pemecahan masalah korupsi tidak hanya sekedar mengupayakan bentuk
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899XX
79 Santi Indriani, 73 – 80
alternatif dari suatu instansi tetapi bergantung pula pada pelaksananya sebagaimana desakan Baharuddin Lopa (Indriyanto Seno Adji:2009:100).
Dalam pandangan Andi Hamzah sebagaimana dikutip oleh Indriyanto Seno Aji (2000:101), bahwa perangkat hukum bagi pemberantasan korupsi sudah terlalu keras, hanya saja kesulitan memberantas korupsi adalah persoalan sisi manusianya yang buruk, adapun yang seharusnya terjadi pada reformasi hukum dengan prioritas sebagai berikut: Pertama, dibutuhkan petugas penegak hukum yang berdedikasi, penuh kapabilitas, dan dengan tingkat integritas yang imperatif sifatnya. Dalam konteks ini pemberantasan korupsi terletak pada integritas (kejujuran) law enforcement officer sebagai eksekutornya. Sarana yuridis pemberantasan korupsi menjadi hilang nilainya apabila eksekutornya tidak jujur. Kedua, reformasi atas mekanisme pemberantasan korupsi yang meliputi implementasi yang masih diskriminatif artinya, bila usaha penegakan hukum telah menyentuh upper power level (pejabat tinggi) maupun upper economic level (konglomerat) pada saat itulah muncul sikap diskriminatif dari petugas penegak hukum. Selain itu metode pemberantasan korupsi masih menggunakan konsep bottom up yang tidak akan pernah mencapai sasaran yang optimal. Artinya selama level khusus tidak tersentuh selama itu pula hasil pemberantasan korupsi menjadi semu. Ketiga, melakukan optimalisasi terhadap sarana yuridis yang ada tanpa mengubah sistem yang ada. Asas materiele wederrechtelijke melalui fungsi positif (pasal 1 ayat 1 huruf a UU No. 3 Tahun 1971 Tentang Tindak Pidana Korupsi) dapat diterapkan terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak terjangkau hukum , namun merugikan negara dan masyarakat dalam skala besar (offences beyond the reach of the law), maupun perbuatan dari perilaku dengan profesionalitas tinggi dan sulit pembuktiannya (invisible crime).
Upaya-Upaya Pemberantasan Korupsi
Penegakan hukum merupakan suatu hal yang sangat urgent dan significan bagi keberhasilan suatu negara, bahkan menjadi barometer eksistensi keberhasilan pemerintahan. Bagi negara berkembang seperti Indonesia saat ini penegakan hukum terhadap tindakan korupsi seharusnya terletak pada kemampuan pengusa membela persoalan korupsi, yang memiliki relevansi antara hukum, politik dan kekuasaan. Masyarakat sebenarnya sudah merasa jemu dan lelah terhadap kinerja Kejaksaan dan dan kepolisian yang dinilai tidak fair, tidak distributif dan bahkan munculnya istilah ”mafia pengadilan” menimbulkan kesan krisis kepercayaan terhadap aparat penegak hukum dalam penyelesaian kasus tindak pidana korupsi di negara kita.
KPK memberikan harapan yang besar bagi masyarakat untuk kembali merepresentatifkan keinginan rakyat sehingga penegakan hukum yang objektif, yang jujur, dan tidak memihak sebagaimana amanat rule of law dapat tercipta. Namun yang paling penting adalah perekrutan terhadap personalitas KPK ini wajib memiliki integritas dan moralitas tinggi dalam upaya penegakan hukum, sehingga KPK tidak diartikan sebagai uniform baru dari institusi formal penegakan hukum yang lama saja (Indriyanto Seno Adji, 2009:120).
Bibit S. Rianto menegaskan bahwa upaya penanganan korupsi dapat dilakukan dengan dua jalan yaitu :
1. Melalui Upaya penindakan represif yaitu dengan cara menangkap dan mengadili pelakunya;
2. Preventif terhadap kawanan korupsi dengan jalan menangani permasalahan hulu korupsi. Adapun upaya-upaya pencegahan yaitu dapat dilakukan dengan:
a. Pengaturan yaitu melakukan pengkajian aturan-aturan yang bersifat koruptif atau hal-hal yang belum ada aturannya untuk dibuat aturan yang tidak
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899XX
80 Santi Indriani, 73 – 80
koruptif.seyogyanya aturan ini dapat dibuat oleh lembaga yang tidak dipengaruhi oleh kepentingan penguasa semata
b. Pengawasan dilakukan terhadap setiap kegiatan secara berkesinambungan dan konsisten sehingga tidak memberi peluang terjadinya penyimpangan.
c. Penertiban yaitu dengan jalan melakukan inspeksi mendadak untuk memberikan keyakinan bahwa aturan berjalan dengan baik dan menindak tegas pelaku penyimpangan.
d. Penjagaan dilakukan pada hal-hal yang memiliki tingkat kerawanan korupsi tinggi.
e. Memilih dan menempatkan petugas yang memiliki integritas moral yang tinggi , baik melalui proses rekruitmen maupun proses pemilihan pejabat-pejabat publik (2009:57-59)
Penutup
Korupsi sama halnya dengan kanker penyakit berbahaya yang mengrogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk memberantas korupsi maka perlu menggunakan formula yang ampuh untuk, seperti dengan melibatkan seluruh elemen kekuatan anak bangsa.
Menyoroti upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, maka reformasi dari sisi hukum dan penegak hukum merupakan salah satu hal yang juga harus dibenahi. Hukum yang dibuat dengan baik tidak akan pernah berjalan dengan baik apabila penegak hukumnya tidak memiliki komitmen, apalagi memiliki perilaku korup dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum dalam menyelesaikan kasus-kasus tindak pidana korupsi.
Hukum harus menjadi panglima dan hukum sebagai puctum remidium (senjata pamungkas), tidak hanya tajam di bawah namun tumpul di atas, hukum dan penegak hukum merupakan dua mata pisau yang tajam baik ke atas maupun ke bawah sehingga reformasi hukum dapat berjalan dengan maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Adji Seno Indriyanto. 2009. Humanisme Dan Pembaruan Penegakan Hukum. Jakarta: Kompas Penerbit Buku.
Pope, Jerremy. 2003. Strategi Memberantas Korupsi elemen sistem integitas Nasional. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Rianto, Bibit Samad. 2009. Koruptor Go To Hell. Jakarta: Hikmah Zaman Baru
UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi
Suratkabar:
Reformasi Ekonomi: ”Kolusi dan Korupsi”. Berita Harian Kompas, Senin 9 Maret 1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar