Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Perspektif Politik Konsep Pembangunan Ekonomi Indonesia
(Perbandingan Sistem Ekonomi Kerakyatan dan Sistem Ekonomi Neoliberal)
Oleh: Yunizir Djakfar
(Perbandingan Sistem Ekonomi Kerakyatan dan Sistem Ekonomi Neoliberal)
Oleh: Yunizir Djakfar
Abstract
Dalam perspektif politik, kebijakan ekonomi sering bersinggungan dengan kepentingan kekuasaan rezim. Oleh karena, itu konsep kebijakan pembangunan ekonomi senantiasa disesuaikan dengan selera dan kepentingan rezim yang sedang berkuasa. Khususnya dalam upaya memperkuat kekuasaan pemerintah di mana – biasanya – pertumbuhan ekonomi dan investasi modal menjadi faktor penting yang menopang kebijakan politik yang dijalankan oleh pemerintah untuk memperoleh dukungan rakyat. Tulisan singkat ini hendak menganalisis faktor-faktor politik mempengaruhi konsep kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia yang selama ini dilingkupi semangat (sistem) ekonomi kerakyatan dan membandingkannya dengan sistem ekonomi neoliberal.
Key words: Kebijakan, pembangunan, ekonomi kerakyatan, ekonomi neoliberal
Pendahuluan
Faktor politik tampaknya merupakan sebab mengapa IMF sering dikambing-hitamkan. Tidak dapat disangkal bahwa dalam beberapa hal IMF telah memberikan obat yang keliru dan yang termasuk fatal karena pola kapitalistik dan konsep ekonomi liberalisasi yang mereka hawa, seperti likuidasi 16 bank pada tanggal 1 Nopember 1997, tanpa memperhitungkan kemungkinan dampaknya yang ternyata begitu luas dan merugikan. Alhasil, kita cenderung untuk begitu saja mengambil alih suatu kerangka kebijakan ekonorni yang jelas kapitalis yang berasal dari luar tanpa kita sendiri sempat untuk mengembangkannya dan menyesuaikannya dengan kondisi kita.
Pemerintah sekarang tampaknya sulit menjalankan program rakyat yang sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini, bahkan sangat mungkin tim ekonomi dalam pemerintah sekarang tidak mendukung paradigma ekonomi kerakyatan yang mendasari ekonomi yang berpihak untuk rakyat.
Kebijakan ekonomi yang dijelaskan di atas adalah potret betapa kebijakan ekonomi politik saat lalu dari pada saat ini begitu dekat dengan pola ekonomi yang jelas-jelas sangat kapitialistik dan liberal yang justru semakin menjauhi prinsip keadilan. Pemerintah terjebak dalam kebijakan populis yang salah kaprah ini akan menghadapi banyak kesulitan dalam proses memulihkan ekonomi.
Ekonomi Kerakyatan dan Ekonomi Neoliberalisme
Ekonomi kerakyatan sangat berbeda dan neoliberalisme. Neoliberalisme, sebagaimana dikemas oleh ordoliberalisme, adalah sebuah sistem perekonornian yang dibangun di atas tiga prinsip sebagai berikut: pertama, tujuan utama ekonomi neoliberal adalan pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas-sempurna di pasar. Kedua, kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui, dan ketiga, pembentukan harga pasar bukanah
Dekan FISIP UNBARA Sedang Studi di MIP FISIP UNILA
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Yunizir Djakfar; 57 - 62
58
sesuatu yang alami, melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang-undang (Giersch, 1961).
Berdasarkan ketiga prinsip tersebut maka peranan negara dalarn neoliberalisme dibatasi hanya sebagai pengatur dan penjaga bekerjanya mekanisme pasar. Dalam perkembangannya, sebagaimana dikemas dalam paket Konsensus Washington, peran negara dalam neoliberalisme ditekankan untuk melakukan empat hal sebagai berikut: 1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi; 2) liberalisasi sektor keuangan; 3) liberalisasi perdagangan, dan; 4) pelaksanaan privatisasi BUMN (Stiglitz, 2002).
Sedangkan ekonomi kerakyatan, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 33 UUD 1945, adalah sebuah sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Tiga prinsip dasar ekonomi kerakyatan adalah sebagai berikut: 1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; 2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleb negara, dan; 3) bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Berdasarkan ketiga prinsip tersebut dapat disaksikan betapa sangat besarnya peran negara dalam sistern ekonomi kerakyatan. Sebagaimana dilengkapi oleh Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34, peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan antara lain meliputi lima hal sebagai berikut: 1) mengembangkan koperasi; 2) mengembangkan BUMN; 3) memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat; 4) memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, dan; 5) memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
Mencermati perbedaan mencolok antara ekonomi kerakyatan dengan neoliberalisme tersebut, tidak terlalu berlebihan bila disimpulkan bahwa ekonomi kerakyatan pada dasarnya adalah antitesis dan neoliberalisme. Sebab itu, sebagai saudara kandung neoliberalisme, ekonomi negara kesejahteraan (keynesianisme), juga tidak dapat disamakan dengan ekonomi kerakyatan. Keynesianisme mernang menaruh perhatian yang sangat besar terhadap penciptaan kesempatan kerja penuh, namun demikian ia tetap dibangun berdasarkan prinsip persaingan bebas dan pemilikan alat-alat produksi secara pribadi (selengkapnya lihat tabel). Perlu ditambahkan, ekonomi kerakyatan tidak dapat pula disamakan dengan ekonomi pasar sosial. Sebagaimana dikemukakan Giersch (1961), ekonomi pasar sosial adalah salah satu varian awal dan neoliberalisme yang digagas oleh Alfred Muller-Armack.
Peran Negara dalam Ekonomi
Peran negara dalam ekonomi pada sistem ekonomi kerakyatan, antara lain adalah sebagai berikut:
1) Menyusun perekonomian sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; mengembangkan koperasi (Pasal 33 ayat 1);
2) Menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak; mengembangkan BUMN (Pasal 33 ayat 2);
3) Menguasai dan memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (Pasal 33 ayat 3);
4) Mengelola anggaran negara untuk kesejahteraan rakyat; memberlakukan pajak progresif dan memberikan subsidi;
5) Menjaga stabilitas moneter;
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Yunizir Djakfar; 57 - 62
59
6) Memastikan setiap warga negara memperoleh haknya untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kernanusiaan (Pasal 27 ayat 2), dan;
7) Memelihara fakir miskin dan anak terlantar (Pasal 34).
Kemudian peran negara dalam ekonomi pada si stem ekonomi keynesianirme, antara lain adalah sebagai berikut:
1) Mengintervensi pasar untuk menciptanya kondisi kesempatan kerja penuh;
2) Menyelenggarakan BUMN pada cabang-cabang produksi yang tidak dapat diselenggarakan oleh perusahaan swasta;
3) Menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan pembangunan;
4) Mengelola anggaran negara untuk kesejahteraan rakyat; memberlakukan pajak progresif dan memberikan subsidi;
5) Menjaga stabilitas moneter;
6) Memastikan setiap warga negara memperoleh haknya untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, dan;
7) Memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
Sedangkan peran negara dalam sistem ekonomi neoliberalisme, antara lain adalah sebagai berikut:
1) Mengatur dan rnenjaga bekerjanya mekanisme pasar; mencegah monopoli;
2) Mengembangkan sektor swasta dan melakukan privatisasi BUMN;
3) Memacu laju pertumbuhan ekonomi, termasuk dengan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi masuknya investasi asing;
4) Melaksanakan kebijakan anggaran ketat, termasuk menghapuskan subsidi;
5) Menjaga stabilitas moneter, dan;
6) Melindungi pekerja perempuan, pekerja anak, dan bila perlu rnenetapkan upah minimum. (Revrisond Baswir, 2009).
Subversi Neokolonialisme
Pertanyaannya, bagaimanakah situasi perekonomian Indonesia saat ini? Artinya, sebagai amanat konstitusi, sejauh manakah ekonomi kerakyatan telah dilaksanakan di Indonesia. Sebaliknya, benarkah perekonomian Indonesia lebih didominasi oleh pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal sebagaimana banyak diperbincangkan belakangan ini?
Dua hal berikut perlu mendapat perhatian dalam inenjawab pertanyaan tersebut. Pertama, sebagai sebuah negara yang mengalami penjajahan selama 3,5 abad, perekonomian Indonesia tidak dapat mengingkari kenyataan terbangunnya struktur perekonomian yang bercorak kolonial di Indonesia. Sebab itu, ekonomi kerakyatan pertama-tama harus dipahami sebagai upaya sistematis untuk mengoreksi struktur perekonomian yang bercorak kolonial tersebut. Kedua, liberalisasi bukan hal baru bagi Indonesia, tetapi telah berlangsung sejak era kolonial.
Berangkat dari kedua catatan tersebut, secara singkat dapat dikemukakan bahwa perjuangan bangsa Indonesia untuk melaksanakan ekonomi kerakyatan bukanlah perjuangan yang mudah, Kendala terbesar justru datang dan pihak kolonial. Sejak bangsa Indonesia memprokiamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, piihak kolonial hampir terus menerus mensubversi upaya bangsa Indonesia untuk melaksanakan ekonomi kerakyatan.
Secara ringkas, subversi-subversi yang dilakukan oleh pihak kolonial untuk mencegah terselenggaranya ekonomi kerakyatan itu adalah sebagai benikut. Pertama, teijadinya agresi I dan II pada 1947 dan 1948. Tujuan utamanya adalah untuk mencegah berdirinya NKRI yang
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Yunizir Djakfar; 57 - 62
60
berdaulat, mandiri, dan berkepribadian. Kedua, dipaksanya bangsa Indonesia untuk memenuhi tiga syarat ekonomi guna memperoleh pengakuan kedaulatan dalam forum Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949. Ketiga syarat ekonomi itu adalah: 1) bersedia menerima warisan utang Hindia Belanda sebesar 4,3 milliar gulden; 2) bersedia mematuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan olch Dana Moneter Internasional (IMF), dan; 3) bersedia mempertahankan keberadaan perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia.
Ketiga, dilakukannya berbagai tindakan adu domba menyusul dilakukannya tindakan pembatalan KMB secara sepihak oleh pemerintah Indonesia 1)ada 1956. Tindakan-tindakan itu antara lain erungkap pada meletusnya peristiwa PRRI/Permesta pada 1958. Keempat, diselundupkannya sejumlah sarjana dan mahasiswa ekonomi Indonesia ke AS untuk mempelajari ilmu ekonomi yang bercorak liberal-kapitalistis sejak 1957. Para ekonomi yang kemudian dikenal sebagai Mafia Berkeley ini sengaja dipersiapkan untuk mengambil alih kenda1i pengelolaan perekonomian Indonesia pasca penggulingan Soekarno pada 1966.
Kelima, dilakukannya sandiwara politik yang dikenal sebagai proses kudeta merangkak terhadap Soekarno pada 30 September 1965, yaitu pasca terbitnya UU No. 16/1965 pada Agustus 1965, yang menolak segala bentuk keterlibatan modal asing di Indonesia. Keenam, dipaksanya Soekarno untuk menandatangani empat UU sebelum ia secara resmi dilengserkan dari kekuasaanya. Keempat UU itu adalah: (1) UU No. 7/1966 tentang penyelesaian masalah utang-piutang antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda; (2) UU No. 8/1966 tentang pendaftaran Indonesa sebagai anggota ADB; (3) UU No. 9/1966 tentang pendaftaran kembali Indonesia sebagai anggota IMF dan Bank Dunia; dan (4) UU No. 1/196/ tentang Penanaman Modal Asing (PMA).
Ketujuh, dibangunnya sebuah pemerintahan kontra-revolusioner di Indonesia sejak 1967. Melalui pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto ini, para ekonomi “Mafia Beke1ey” yang sejak jauh-jauh hari telah dipersiapkan oleh AS, secara sistematis berusaha membelokkan orientasi penyelenggaraan perekonomian Indonesia dan ekonomi kerakyatan menuju ekonomi pasar neoliberal. Tindakan pembelokan orientasi tersebut didukung sepenuhnya oleh IMF, Bank Dunia, USAID, dan ADB dengan cara mengucurkan utang luar negeri. Kedelapan, dilakukannya proses liberalisasi besar-besaran sejak 1983, yaitu melalui serangkaian kebijakan yang dikemas dalam paket deregulasi dan debirokratisasi.
Kesembilan, dipaksannya Soeharto untuk menandatangani pelaksanaan agenda- agenda ekonomi neoliberal secara terinci melalui penandatanganan nota kesepahaman dengan IMF pada 1998, yaitu sebelum Ia secara resmi dipaksa untuk mengakhiri kekuasannya melalui sebuah gerakan pcAitik yang dikenal sebagai gerakan reformasi. Perlu diketahui, dalam sejarah perekonomian lnggris, gerakan reformasi serupa dimotori antara lain oleh David Hume, Adam Smith, David Ricardo, Thomas R. Mahhus, dan John S. Mill (Giersch,1961).
Kesepuluh, dilakukannya amandemen terhadap Pasal 33 UUI) 1945 yang merupakan landasan konstitusional sistem ekonomi kerakyatan pada 2002. Melalui perdebatan yang cukup sengit, ayat 1, 2, dan 3, berhasil dipcrtahankan. Tetapi kalimat penting yang terdapat dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945, yang berbunyi, “Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi,” turut menguap bersama hilangnya penjelasan pasal tersebut.
Menyimak kesepuluh tindakan subversi itu, mudali dipaharni bila dalam 64 tahun setelah proklamasi, sistem ekonomi kerakyatan tidak pernah berhasil diselenggaran di Indonesia. Perjalanan perekonornian Indonesia selama 64 tahun ini justru lebih tepat disebut sebagai sebuah proses transisi dan kolonialisme menuju neokolonialisme. Proses transisi itulah antara lain yang menjelaskan semakin terperosok perekonomian Indonesia ke dalam penyelenggaraan agenda- agenda ekonomi neoliberal dalam beberapa waktu belakangan ini.
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Yunizir Djakfar; 57 - 62
61
Bahkan, utang dalam dan luar negeri pemerintah yang pada akhir pemerintahan Soeharto berjumlah US$54 milyar, belakangan membengkak menjadi US$165 milyar.
Perlu diketahui, penyelenggaraan agenda-agenda ekonomi neoliberal itu antara lain tertangkap tangan melalui pembatalan seluruh atau beberapa pasal yang terdapat dalam tiga produk perundang-undangan, yang terbukti melanggar konstitusi, sebagai berikut: (1) UU No. 20/2002 tentang Kelistrikan; (2) UU No. 22/200l tentang Minyak Bumi dan Gas Alam (Migas), dan; (3) UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal.
Apa yang Harus Dilakukan?
Menyimak berbagai kenyataan tersebut, dapat disaksikan betapa sangat beratnya tantangan yang dihadapi bangsa Indonesa dalam melaksanakan amanat konstitusi untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan di Indonesia. Bahkan, jika dibàndingkan dengan era kolonial, tantangan yang ada saat ini justlu jauh lebih berat.
Pertama, pihak kolonial sebagai musuh utama ekonomi kerakyatan tidak hadir secara kasat mata. Kedua, berlangsungnya praktik pembodohan publik secara masif melalui praktik penggelapan sejarah sejak 1966/1.967. Ketiga, terlembaganya sistem “cuci otak” yang bercorak neoliberal dan anti ekonomi kerakyatan pada hampir semua jenjang pendidikan di Indonesia. Keempat, setelah mengalami proses pembelokan orientasi pada 1966/1967, keberadaan struktur perekonomian yang bercorak kolonial di Indonesia cenderung semakin mapan. Kelima, setelah melaksanakan agenda ekonomi neoliberal secara masif dalam 10 tahun belakangan ini, cengkerarnan neokolonialisme terhadap perekonomian Indonesia cenderung semakin dalam.
Walaupun demikian, tidak berarti sama sekali tidak ada harapan. Harapan untuk kebangkitan kembali ekonomi kerakyatan tersebut setidak-tidaknya dapat disimak dalam lima hal sebagai berikut: 1) mencuatnya perlawanan terhadap hegemoni AS dan beberapa negara di Amerika Latin dan Asia dalam satu dekade belakangan ini. Yang menonjol diantararya adalah Venezuela dan Bolivia di Amerika Latin, serta Iran di Asia; 2) mulai terlihatnya gejala pergeseran dalam peta geopolotik dunia, yaitu dari yang bercorak unipolar menuju tripolar, sejak munculnya Uni Eropa dan kebangkitan ekonomi Cina; 3) berlangsungnya krisis kapitalisme inteniasional yang dipicu oleh krisis kapitalisme AS sejak 2007 lalu; 4) meningkatnya kerusakan ekologi di Indonesia pasca dilakukannya eksploitasi ugal-ugalan dalam rangka neokolonialisme dan neoliberalisme dalam 40 tahun belakangan ini, dan; 5) meningkatnya kesenjangan sosial dan ekonomi dalam perekonomian Indonesia.
Pertanyaannya adalah, tindakan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang apa sajakah yang perlu dilakukan unuk memastikan berlangsunya suatu proses kebangkitan kembali ekonomi kerakyatan dimasa datang?
Untuk memperoleh jawaban yang akurat, terutama untuk jangka menengah dan jangka panjang, tentu diperlukan suatu pengkalian dan diskusi yang cukup luas. Tetapi untuk jangka pendek, mungkin bisa dirumuskan secara lebih sederhana. Dengan mengatakan hal itu tidak berarti bahwa perjuangan untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan sangat tergantung pada siklus lima tahun pergantian kepemimpinan nasional.
Ada atau tidak ada pergantian kepemimpinan nasional, perjuangan untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan harus tetap berlanjut. Namun demikian, siklus pergantian kepemimpinan nasional harus dimanfaatkan secara optimal sebagai momentum strategis untuk mempercepat proses kebangkitan kembali tersebut. Singkat kata, dalam rangka mempercepat kebangkitan kembali ekonorni kerakyatan, adalah kewajiban setiap patriot ekonomi kerakyatan untuk memastikan bahwa pemimpin Negara bukanlah pemimpin yang secara jelas mengimani dan mengamalkan neoliberalisme. Dukungan yang lebih besar harus diberikan kepada pemimpin
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Yunizir Djakfar; 57 - 62
62
yang secara jelas dan tegas mengungkapkan komitmen mereka untuk menyelenggarakan sistem ekonomi kerakyatan di Indonesia.
Penutup
Peranan negara dalam neoliberalisme dibatasi hanya sebagai pengatur dan penjaga bekerjanya mekanisme pasar. Dalam perkembangannya, sebagaimana dikemas dalam paket Konsensus Washington, peran negara dalam neoliberalisme ditekankan untuk melakukan empat hal sebagai berikut: 1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi; 2) liberalisasi sektor keuangan; 3) liberalisasi perdagangan, dan; 4) Pelaksanaan privatisasi BUMN (Stiglitz, 2002).
Sedangkan ekonomi kerakyatan, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal33 UUD 1945, adalah sebuah sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Tiga prinsip dasar ekonomi kerakyatan adalah sebagai berikut: 1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; 2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara Jan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, dan; 3) bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasa oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Berdasarkan ketiga prinsip tersebut dapat disaksikan betapa sangat besarnya peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan. Dalam rangka mempercepat kebangkitan kembali ekonomi kerakyatan, adaah kewajiban setiap patriot ekonomi kerakyatan untuk memastikan bahwa pernimpin Negara bukanlah pemimpin yang secara jelas mengimani dan mengarnalkan neoliberalisme. Dukungan yang lebih besar sekaligus kritik dan kontrol harus diberikan kepada pemimpin yang secara jelas dan tegas mengungkapkan komitmen mereka untuk rnenyelenggarakan sistern ekonomi kerakyatan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Baswir, Revrisond, 2005. Neoliberalisme Malu-Malu. Dalam Harian Bisnis Indonesia, 6 Februari 2005.
Baswir, Revrisond, 2008. Ekonomi Kerakyatan: Amanat Konstitusi Untuk Mewujudkan Demokrasi Ekonomi di Indonesia, dalam Sarjadi dan Sugema (eds.) Ekonomi Konstitusi. Jakarta: Sugeng Sarjadi Syndicate.
Goerge, Susan, 1999. A Short History of Neoliberalism: Twenty Years of Elite Economics and Emerging Opportunities For Structural Change, http://www.milleniumround.org.
Hatta, Mohammad, 1985. Membangun Ekonomi Indonesia. Jakarta: Inti Idayu Press.
Smit, C. 1976. Dekolonisasi Indonesia: Fakta dan Ulasan. Jakarta: Pustaka Azet.
Stiglitz, Joseph E. 2002. Globalisation and its Discontent. New York: WW Norton and Company.
Dalam perspektif politik, kebijakan ekonomi sering bersinggungan dengan kepentingan kekuasaan rezim. Oleh karena, itu konsep kebijakan pembangunan ekonomi senantiasa disesuaikan dengan selera dan kepentingan rezim yang sedang berkuasa. Khususnya dalam upaya memperkuat kekuasaan pemerintah di mana – biasanya – pertumbuhan ekonomi dan investasi modal menjadi faktor penting yang menopang kebijakan politik yang dijalankan oleh pemerintah untuk memperoleh dukungan rakyat. Tulisan singkat ini hendak menganalisis faktor-faktor politik mempengaruhi konsep kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia yang selama ini dilingkupi semangat (sistem) ekonomi kerakyatan dan membandingkannya dengan sistem ekonomi neoliberal.
Key words: Kebijakan, pembangunan, ekonomi kerakyatan, ekonomi neoliberal
Pendahuluan
Faktor politik tampaknya merupakan sebab mengapa IMF sering dikambing-hitamkan. Tidak dapat disangkal bahwa dalam beberapa hal IMF telah memberikan obat yang keliru dan yang termasuk fatal karena pola kapitalistik dan konsep ekonomi liberalisasi yang mereka hawa, seperti likuidasi 16 bank pada tanggal 1 Nopember 1997, tanpa memperhitungkan kemungkinan dampaknya yang ternyata begitu luas dan merugikan. Alhasil, kita cenderung untuk begitu saja mengambil alih suatu kerangka kebijakan ekonorni yang jelas kapitalis yang berasal dari luar tanpa kita sendiri sempat untuk mengembangkannya dan menyesuaikannya dengan kondisi kita.
Pemerintah sekarang tampaknya sulit menjalankan program rakyat yang sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini, bahkan sangat mungkin tim ekonomi dalam pemerintah sekarang tidak mendukung paradigma ekonomi kerakyatan yang mendasari ekonomi yang berpihak untuk rakyat.
Kebijakan ekonomi yang dijelaskan di atas adalah potret betapa kebijakan ekonomi politik saat lalu dari pada saat ini begitu dekat dengan pola ekonomi yang jelas-jelas sangat kapitialistik dan liberal yang justru semakin menjauhi prinsip keadilan. Pemerintah terjebak dalam kebijakan populis yang salah kaprah ini akan menghadapi banyak kesulitan dalam proses memulihkan ekonomi.
Ekonomi Kerakyatan dan Ekonomi Neoliberalisme
Ekonomi kerakyatan sangat berbeda dan neoliberalisme. Neoliberalisme, sebagaimana dikemas oleh ordoliberalisme, adalah sebuah sistem perekonornian yang dibangun di atas tiga prinsip sebagai berikut: pertama, tujuan utama ekonomi neoliberal adalan pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas-sempurna di pasar. Kedua, kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui, dan ketiga, pembentukan harga pasar bukanah
Dekan FISIP UNBARA Sedang Studi di MIP FISIP UNILA
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Yunizir Djakfar; 57 - 62
58
sesuatu yang alami, melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang-undang (Giersch, 1961).
Berdasarkan ketiga prinsip tersebut maka peranan negara dalarn neoliberalisme dibatasi hanya sebagai pengatur dan penjaga bekerjanya mekanisme pasar. Dalam perkembangannya, sebagaimana dikemas dalam paket Konsensus Washington, peran negara dalam neoliberalisme ditekankan untuk melakukan empat hal sebagai berikut: 1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi; 2) liberalisasi sektor keuangan; 3) liberalisasi perdagangan, dan; 4) pelaksanaan privatisasi BUMN (Stiglitz, 2002).
Sedangkan ekonomi kerakyatan, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 33 UUD 1945, adalah sebuah sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Tiga prinsip dasar ekonomi kerakyatan adalah sebagai berikut: 1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; 2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleb negara, dan; 3) bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Berdasarkan ketiga prinsip tersebut dapat disaksikan betapa sangat besarnya peran negara dalam sistern ekonomi kerakyatan. Sebagaimana dilengkapi oleh Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34, peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan antara lain meliputi lima hal sebagai berikut: 1) mengembangkan koperasi; 2) mengembangkan BUMN; 3) memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat; 4) memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, dan; 5) memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
Mencermati perbedaan mencolok antara ekonomi kerakyatan dengan neoliberalisme tersebut, tidak terlalu berlebihan bila disimpulkan bahwa ekonomi kerakyatan pada dasarnya adalah antitesis dan neoliberalisme. Sebab itu, sebagai saudara kandung neoliberalisme, ekonomi negara kesejahteraan (keynesianisme), juga tidak dapat disamakan dengan ekonomi kerakyatan. Keynesianisme mernang menaruh perhatian yang sangat besar terhadap penciptaan kesempatan kerja penuh, namun demikian ia tetap dibangun berdasarkan prinsip persaingan bebas dan pemilikan alat-alat produksi secara pribadi (selengkapnya lihat tabel). Perlu ditambahkan, ekonomi kerakyatan tidak dapat pula disamakan dengan ekonomi pasar sosial. Sebagaimana dikemukakan Giersch (1961), ekonomi pasar sosial adalah salah satu varian awal dan neoliberalisme yang digagas oleh Alfred Muller-Armack.
Peran Negara dalam Ekonomi
Peran negara dalam ekonomi pada sistem ekonomi kerakyatan, antara lain adalah sebagai berikut:
1) Menyusun perekonomian sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; mengembangkan koperasi (Pasal 33 ayat 1);
2) Menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak; mengembangkan BUMN (Pasal 33 ayat 2);
3) Menguasai dan memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (Pasal 33 ayat 3);
4) Mengelola anggaran negara untuk kesejahteraan rakyat; memberlakukan pajak progresif dan memberikan subsidi;
5) Menjaga stabilitas moneter;
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Yunizir Djakfar; 57 - 62
59
6) Memastikan setiap warga negara memperoleh haknya untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kernanusiaan (Pasal 27 ayat 2), dan;
7) Memelihara fakir miskin dan anak terlantar (Pasal 34).
Kemudian peran negara dalam ekonomi pada si stem ekonomi keynesianirme, antara lain adalah sebagai berikut:
1) Mengintervensi pasar untuk menciptanya kondisi kesempatan kerja penuh;
2) Menyelenggarakan BUMN pada cabang-cabang produksi yang tidak dapat diselenggarakan oleh perusahaan swasta;
3) Menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan pembangunan;
4) Mengelola anggaran negara untuk kesejahteraan rakyat; memberlakukan pajak progresif dan memberikan subsidi;
5) Menjaga stabilitas moneter;
6) Memastikan setiap warga negara memperoleh haknya untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, dan;
7) Memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
Sedangkan peran negara dalam sistem ekonomi neoliberalisme, antara lain adalah sebagai berikut:
1) Mengatur dan rnenjaga bekerjanya mekanisme pasar; mencegah monopoli;
2) Mengembangkan sektor swasta dan melakukan privatisasi BUMN;
3) Memacu laju pertumbuhan ekonomi, termasuk dengan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi masuknya investasi asing;
4) Melaksanakan kebijakan anggaran ketat, termasuk menghapuskan subsidi;
5) Menjaga stabilitas moneter, dan;
6) Melindungi pekerja perempuan, pekerja anak, dan bila perlu rnenetapkan upah minimum. (Revrisond Baswir, 2009).
Subversi Neokolonialisme
Pertanyaannya, bagaimanakah situasi perekonomian Indonesia saat ini? Artinya, sebagai amanat konstitusi, sejauh manakah ekonomi kerakyatan telah dilaksanakan di Indonesia. Sebaliknya, benarkah perekonomian Indonesia lebih didominasi oleh pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal sebagaimana banyak diperbincangkan belakangan ini?
Dua hal berikut perlu mendapat perhatian dalam inenjawab pertanyaan tersebut. Pertama, sebagai sebuah negara yang mengalami penjajahan selama 3,5 abad, perekonomian Indonesia tidak dapat mengingkari kenyataan terbangunnya struktur perekonomian yang bercorak kolonial di Indonesia. Sebab itu, ekonomi kerakyatan pertama-tama harus dipahami sebagai upaya sistematis untuk mengoreksi struktur perekonomian yang bercorak kolonial tersebut. Kedua, liberalisasi bukan hal baru bagi Indonesia, tetapi telah berlangsung sejak era kolonial.
Berangkat dari kedua catatan tersebut, secara singkat dapat dikemukakan bahwa perjuangan bangsa Indonesia untuk melaksanakan ekonomi kerakyatan bukanlah perjuangan yang mudah, Kendala terbesar justru datang dan pihak kolonial. Sejak bangsa Indonesia memprokiamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, piihak kolonial hampir terus menerus mensubversi upaya bangsa Indonesia untuk melaksanakan ekonomi kerakyatan.
Secara ringkas, subversi-subversi yang dilakukan oleh pihak kolonial untuk mencegah terselenggaranya ekonomi kerakyatan itu adalah sebagai benikut. Pertama, teijadinya agresi I dan II pada 1947 dan 1948. Tujuan utamanya adalah untuk mencegah berdirinya NKRI yang
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Yunizir Djakfar; 57 - 62
60
berdaulat, mandiri, dan berkepribadian. Kedua, dipaksanya bangsa Indonesia untuk memenuhi tiga syarat ekonomi guna memperoleh pengakuan kedaulatan dalam forum Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949. Ketiga syarat ekonomi itu adalah: 1) bersedia menerima warisan utang Hindia Belanda sebesar 4,3 milliar gulden; 2) bersedia mematuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan olch Dana Moneter Internasional (IMF), dan; 3) bersedia mempertahankan keberadaan perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia.
Ketiga, dilakukannya berbagai tindakan adu domba menyusul dilakukannya tindakan pembatalan KMB secara sepihak oleh pemerintah Indonesia 1)ada 1956. Tindakan-tindakan itu antara lain erungkap pada meletusnya peristiwa PRRI/Permesta pada 1958. Keempat, diselundupkannya sejumlah sarjana dan mahasiswa ekonomi Indonesia ke AS untuk mempelajari ilmu ekonomi yang bercorak liberal-kapitalistis sejak 1957. Para ekonomi yang kemudian dikenal sebagai Mafia Berkeley ini sengaja dipersiapkan untuk mengambil alih kenda1i pengelolaan perekonomian Indonesia pasca penggulingan Soekarno pada 1966.
Kelima, dilakukannya sandiwara politik yang dikenal sebagai proses kudeta merangkak terhadap Soekarno pada 30 September 1965, yaitu pasca terbitnya UU No. 16/1965 pada Agustus 1965, yang menolak segala bentuk keterlibatan modal asing di Indonesia. Keenam, dipaksanya Soekarno untuk menandatangani empat UU sebelum ia secara resmi dilengserkan dari kekuasaanya. Keempat UU itu adalah: (1) UU No. 7/1966 tentang penyelesaian masalah utang-piutang antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda; (2) UU No. 8/1966 tentang pendaftaran Indonesa sebagai anggota ADB; (3) UU No. 9/1966 tentang pendaftaran kembali Indonesia sebagai anggota IMF dan Bank Dunia; dan (4) UU No. 1/196/ tentang Penanaman Modal Asing (PMA).
Ketujuh, dibangunnya sebuah pemerintahan kontra-revolusioner di Indonesia sejak 1967. Melalui pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto ini, para ekonomi “Mafia Beke1ey” yang sejak jauh-jauh hari telah dipersiapkan oleh AS, secara sistematis berusaha membelokkan orientasi penyelenggaraan perekonomian Indonesia dan ekonomi kerakyatan menuju ekonomi pasar neoliberal. Tindakan pembelokan orientasi tersebut didukung sepenuhnya oleh IMF, Bank Dunia, USAID, dan ADB dengan cara mengucurkan utang luar negeri. Kedelapan, dilakukannya proses liberalisasi besar-besaran sejak 1983, yaitu melalui serangkaian kebijakan yang dikemas dalam paket deregulasi dan debirokratisasi.
Kesembilan, dipaksannya Soeharto untuk menandatangani pelaksanaan agenda- agenda ekonomi neoliberal secara terinci melalui penandatanganan nota kesepahaman dengan IMF pada 1998, yaitu sebelum Ia secara resmi dipaksa untuk mengakhiri kekuasannya melalui sebuah gerakan pcAitik yang dikenal sebagai gerakan reformasi. Perlu diketahui, dalam sejarah perekonomian lnggris, gerakan reformasi serupa dimotori antara lain oleh David Hume, Adam Smith, David Ricardo, Thomas R. Mahhus, dan John S. Mill (Giersch,1961).
Kesepuluh, dilakukannya amandemen terhadap Pasal 33 UUI) 1945 yang merupakan landasan konstitusional sistem ekonomi kerakyatan pada 2002. Melalui perdebatan yang cukup sengit, ayat 1, 2, dan 3, berhasil dipcrtahankan. Tetapi kalimat penting yang terdapat dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945, yang berbunyi, “Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi,” turut menguap bersama hilangnya penjelasan pasal tersebut.
Menyimak kesepuluh tindakan subversi itu, mudali dipaharni bila dalam 64 tahun setelah proklamasi, sistem ekonomi kerakyatan tidak pernah berhasil diselenggaran di Indonesia. Perjalanan perekonornian Indonesia selama 64 tahun ini justru lebih tepat disebut sebagai sebuah proses transisi dan kolonialisme menuju neokolonialisme. Proses transisi itulah antara lain yang menjelaskan semakin terperosok perekonomian Indonesia ke dalam penyelenggaraan agenda- agenda ekonomi neoliberal dalam beberapa waktu belakangan ini.
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Yunizir Djakfar; 57 - 62
61
Bahkan, utang dalam dan luar negeri pemerintah yang pada akhir pemerintahan Soeharto berjumlah US$54 milyar, belakangan membengkak menjadi US$165 milyar.
Perlu diketahui, penyelenggaraan agenda-agenda ekonomi neoliberal itu antara lain tertangkap tangan melalui pembatalan seluruh atau beberapa pasal yang terdapat dalam tiga produk perundang-undangan, yang terbukti melanggar konstitusi, sebagai berikut: (1) UU No. 20/2002 tentang Kelistrikan; (2) UU No. 22/200l tentang Minyak Bumi dan Gas Alam (Migas), dan; (3) UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal.
Apa yang Harus Dilakukan?
Menyimak berbagai kenyataan tersebut, dapat disaksikan betapa sangat beratnya tantangan yang dihadapi bangsa Indonesa dalam melaksanakan amanat konstitusi untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan di Indonesia. Bahkan, jika dibàndingkan dengan era kolonial, tantangan yang ada saat ini justlu jauh lebih berat.
Pertama, pihak kolonial sebagai musuh utama ekonomi kerakyatan tidak hadir secara kasat mata. Kedua, berlangsungnya praktik pembodohan publik secara masif melalui praktik penggelapan sejarah sejak 1966/1.967. Ketiga, terlembaganya sistem “cuci otak” yang bercorak neoliberal dan anti ekonomi kerakyatan pada hampir semua jenjang pendidikan di Indonesia. Keempat, setelah mengalami proses pembelokan orientasi pada 1966/1967, keberadaan struktur perekonomian yang bercorak kolonial di Indonesia cenderung semakin mapan. Kelima, setelah melaksanakan agenda ekonomi neoliberal secara masif dalam 10 tahun belakangan ini, cengkerarnan neokolonialisme terhadap perekonomian Indonesia cenderung semakin dalam.
Walaupun demikian, tidak berarti sama sekali tidak ada harapan. Harapan untuk kebangkitan kembali ekonomi kerakyatan tersebut setidak-tidaknya dapat disimak dalam lima hal sebagai berikut: 1) mencuatnya perlawanan terhadap hegemoni AS dan beberapa negara di Amerika Latin dan Asia dalam satu dekade belakangan ini. Yang menonjol diantararya adalah Venezuela dan Bolivia di Amerika Latin, serta Iran di Asia; 2) mulai terlihatnya gejala pergeseran dalam peta geopolotik dunia, yaitu dari yang bercorak unipolar menuju tripolar, sejak munculnya Uni Eropa dan kebangkitan ekonomi Cina; 3) berlangsungnya krisis kapitalisme inteniasional yang dipicu oleh krisis kapitalisme AS sejak 2007 lalu; 4) meningkatnya kerusakan ekologi di Indonesia pasca dilakukannya eksploitasi ugal-ugalan dalam rangka neokolonialisme dan neoliberalisme dalam 40 tahun belakangan ini, dan; 5) meningkatnya kesenjangan sosial dan ekonomi dalam perekonomian Indonesia.
Pertanyaannya adalah, tindakan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang apa sajakah yang perlu dilakukan unuk memastikan berlangsunya suatu proses kebangkitan kembali ekonomi kerakyatan dimasa datang?
Untuk memperoleh jawaban yang akurat, terutama untuk jangka menengah dan jangka panjang, tentu diperlukan suatu pengkalian dan diskusi yang cukup luas. Tetapi untuk jangka pendek, mungkin bisa dirumuskan secara lebih sederhana. Dengan mengatakan hal itu tidak berarti bahwa perjuangan untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan sangat tergantung pada siklus lima tahun pergantian kepemimpinan nasional.
Ada atau tidak ada pergantian kepemimpinan nasional, perjuangan untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan harus tetap berlanjut. Namun demikian, siklus pergantian kepemimpinan nasional harus dimanfaatkan secara optimal sebagai momentum strategis untuk mempercepat proses kebangkitan kembali tersebut. Singkat kata, dalam rangka mempercepat kebangkitan kembali ekonorni kerakyatan, adalah kewajiban setiap patriot ekonomi kerakyatan untuk memastikan bahwa pemimpin Negara bukanlah pemimpin yang secara jelas mengimani dan mengamalkan neoliberalisme. Dukungan yang lebih besar harus diberikan kepada pemimpin
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979–0899X
Yunizir Djakfar; 57 - 62
62
yang secara jelas dan tegas mengungkapkan komitmen mereka untuk menyelenggarakan sistem ekonomi kerakyatan di Indonesia.
Penutup
Peranan negara dalam neoliberalisme dibatasi hanya sebagai pengatur dan penjaga bekerjanya mekanisme pasar. Dalam perkembangannya, sebagaimana dikemas dalam paket Konsensus Washington, peran negara dalam neoliberalisme ditekankan untuk melakukan empat hal sebagai berikut: 1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi; 2) liberalisasi sektor keuangan; 3) liberalisasi perdagangan, dan; 4) Pelaksanaan privatisasi BUMN (Stiglitz, 2002).
Sedangkan ekonomi kerakyatan, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal33 UUD 1945, adalah sebuah sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Tiga prinsip dasar ekonomi kerakyatan adalah sebagai berikut: 1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; 2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara Jan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, dan; 3) bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasa oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Berdasarkan ketiga prinsip tersebut dapat disaksikan betapa sangat besarnya peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan. Dalam rangka mempercepat kebangkitan kembali ekonomi kerakyatan, adaah kewajiban setiap patriot ekonomi kerakyatan untuk memastikan bahwa pernimpin Negara bukanlah pemimpin yang secara jelas mengimani dan mengarnalkan neoliberalisme. Dukungan yang lebih besar sekaligus kritik dan kontrol harus diberikan kepada pemimpin yang secara jelas dan tegas mengungkapkan komitmen mereka untuk rnenyelenggarakan sistern ekonomi kerakyatan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Baswir, Revrisond, 2005. Neoliberalisme Malu-Malu. Dalam Harian Bisnis Indonesia, 6 Februari 2005.
Baswir, Revrisond, 2008. Ekonomi Kerakyatan: Amanat Konstitusi Untuk Mewujudkan Demokrasi Ekonomi di Indonesia, dalam Sarjadi dan Sugema (eds.) Ekonomi Konstitusi. Jakarta: Sugeng Sarjadi Syndicate.
Goerge, Susan, 1999. A Short History of Neoliberalism: Twenty Years of Elite Economics and Emerging Opportunities For Structural Change, http://www.milleniumround.org.
Hatta, Mohammad, 1985. Membangun Ekonomi Indonesia. Jakarta: Inti Idayu Press.
Smit, C. 1976. Dekolonisasi Indonesia: Fakta dan Ulasan. Jakarta: Pustaka Azet.
Stiglitz, Joseph E. 2002. Globalisation and its Discontent. New York: WW Norton and Company.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar