Jumat, 01 Juni 2012

Pemahaman Aparatur Pemerintah Kota Bandar Lampung Terhadap Prinsip-Prinsip Utama Good Governance

Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X

Pemahaman Aparatur Pemerintah Kota Bandar Lampung
Terhadap Prinsip-Prinsip Utama Good Governance
Oleh: Yahnu Wiguno Sanyoto 
Abstract
Problem in this research is to know a comprehension government of Bandar Lampung City about good governance principes and than have a capacity reconstruction reinveinting government concept as a way or tool to goal to a welfare state in meaning abstract-conseptual or teknique-operational. Primary focus in this research is not about a how to manage a market and citizen, but how to manage a government interaction with market and citizen of aparature understanding about good governance principes. This research survey method approach is used interview, observation, documentation and quetioner has done to the respondent as government in Bandar Lampung City. The result of analysis a combain qualitative and quantitative methods to use in this research have a validity and reliabilities to compatible result. The result this research showed the aparature understanding about accountability principe is 23% understand, 38% not more understand, and 39% not understand. And than the understanding about participation principe is 30% understand, 60% not more understand, and 10% not understand. So finnaly, the understanding about transparency principe from this research showed 37% understand, 55% not more understand and 8% not understand. The generate of understanding in kognitif-conseptual, government of Bandar Lampung City about good governance principes very low like of result in this research are showed only have 23% aparature also understand, anything else 36% not more understand, and 41% not understand. The understanding of participation and transparency principe is better than a understanding about principe accountability.
Keywords: Good governance, reinveinting government, welfare state, public service, accountabiliy,
participation, transparency.
Pendahuluan
Konsep good governance (tata pemerintahan yang baik) terlahir sejak adanya konsolidasi pemerintahan demokratis (dari, oleh, dan untuk rakyat) pada era abad XX yang kemudian diikuti oleh kuatnya peranan pemerintah pasca Perang Dunia I. Negara berperan sebagai public service (pelayan publik) untuk menuju welfare state (negara kesejahteraan) seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Pada tahap berikutnya (1960-1970) konsep welfare state bergeser ke negara-negara dunia III (negara berkembang/negara-negara selatan) melalui pendalaman kapitalisme dengan alasan bahwa modernisasi dan pembangunan ekonomi akan mendorong birokrasi yang semakin rasional, partisipasi politik semakin meningkat dan demokrasi semakin tumbuh berkembang.
Seiring dengan terjadinya krisis ekonomi pada 1980-an, pemerintah dianggap sebagai akar masalah bukannya pemecah masalah, sehingga peran negara menjadi minimal dan memaksimalkan peran pasar dan swasta. Dalam perkembangan selanjutnya (1990-an), muncul pandangan yang baru terhadap pemerintahan yaitu bergesernya konsep government ke governance (pemerintah ke kepemerintahan).
 Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Baturaja, Sedang Studi di MIP FISIP UNILA
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
Yahnu Wiguno Sanyoto; 9 - 27
10
Penyelenggaraan good governance menjadi agenda utama di Indonesia dewasa ini. Penentuan agenda ini didahului oleh krisis moneter (ekonomi, sosial dan politik) pada tahun 1997 yang meluas menjadi krisis moral (budaya, identitas dan hukum). Krisis tersebut telah mendorong arus balik yang luas yang menuntut perbaikan ekonomi negara, penciptaan good corporate governance (mewira-swastakan pemerintahan) di sektor swasta, dan perbaikan pemerintahan negara.
Bangsa Indonesia memulai semua itu dengan mendesak suksesi kepemimpinan nasional dari Presiden Soeharto ke Presiden Habibie (1998). Tentu saja, suksesi tidak cukup sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat. Reformasi politik akhirnya melebar: berkembangnya sistem multi partai, penyelenggaraan pemilihan umum oleh lembaga yang independen (1999), pembentukan lembaga perwakilan yang lebih representatif dan lebih berdaya dalam mengawasi Pemerintah (eksekutif), pengurangan dan bahkan penghilangan intervensi militer dalam kehidupan politik dan pemerintahan di luar bidang mereka, peningkatan profesionalisme dan independensi lembaga peradilan, dan lain-lain.
Seperti kita ketahui bersama bahwa tujuan dari reformasi pada awalnya adalah: pertama, perubahan sistem politik ke arah sistem yang demokratis, partisipatif dan egaliter, kedua, reformasi kedudukan kelembagaan militer, ketiga yaitu reformasi administrasi negara yang diarahkan pada peningkatan profesionalisme aparatur dalam menjalankan tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik. Keempat, reformasi sistem penyelenggaraan pemerintahan dari yang sentralistik menjadi desentralistik, dan yang kelima, reformasi pemerintahan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih melalui pemberantasan KKN, disiplin pelaksanaan APBN/APBD serta peningkatan akuntabilitas publik para penyelenggara negara.
Wacana good governance dijawantahkan dengan pengimplementasian Otonomi Daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dengan Pemerintahan Daerah. Perubahan yang paling mendasar dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah berkurangnya secara signifikan campur tangan Pusat terhadap Daerah. Daerah mempunyai diskresi yang sangat tinggi, “bahkan dituding kebablasan” dalam berbagai aspek Pemerintahan daerah yaitu dalam aspek distribusi kewenangan, diskresi kelembagaan dan personil, serta pengelolaan keuangan daerah.
Semangat reformasi membawa bangsa Indonesia pada suasana yang penuh dengan “asa”, tidak terkecuali di lingkungan Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung sebagai ibukota Provinsi Lampung yang merupakan pintu gerbang Pulau Sumatera. Tujuan utama dari reformasi adalah terciptanya aparat pemerintah baik yang berada di Pusat maupun Daerah. Rakyat mengharapkan lahirnya good governance dan mereka paham jika pemerintahan yang baik itu antara lain dapat terwujud dengan adanya aparat pemerintahan yang profesional. Akan tetapi, di dalam perjalanannya kedua undang-undang ini sangat menyimpang dari cita-cita awal reformasi.
Realitasnya, pelaksanaan kedua UU Otonomi Daerah tersebut sudah melangkahi agenda reformasi yang salah satunya adalah memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme. Di Daerah justru muncul “raja-raja kecil” yang menggantikan posisi Pemerintah di Daerah, yang pada akhirnya direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Sebagai contoh saja, kasus korupsi yang dilakukan oleh anggota DPRD di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (dugaan penyelewengan dana APBD tahun 2002 senilai Rp.5.600.000.000,00), Jawa Tengah (dugaan korupsi bagi-bagi uang APBD 2001 senilai Rp.490.000.000 dan mark up dana APBD 2003), Jawa Barat (kasus dugaan
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
Yahnu Wiguno Sanyoto; 9 - 27
11
penggelapan dana anggaran tahun 2003 Rp.9.572.000.000,00 oleh DPRD Kota Bogor), Jawa Timur (kasus dugaan korupsi uang saku workshop/lokakarya sosialisasi pemilu anggota DPRD Banyuwangi sebanyak Rp.225.000.000,00 yang dianggarkan tahun 2004), termasuk Provinsi Lampung (penyalahgunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun 2002 senilai lebih dari Rp.3.700.000.000,00 di DPRD Bandar Lampung), dan masih banyak lagi penyimpangan yang lainnya.
Berdasarkan kondisi tersebut muncul kebutuhan yang sangat mendesak bagi sektor publik di Daerah. Like or dislake (suka tidak suka) melibatkan sektor swasta dan masyarakat menjadi kebutuhan yang sangat mendesak bagi Pemerintah Daerah untuk memenuhi pelayanan yang semakin meningkat dalam kondisi keuangan Daerah yang terpuruk. Hal ini seiring dengan argumen Osborne dan Gaebler yang menganjurkan pemerintah untuk lebih berperan dalam mengendalikan (steering) dibandingkan menangani langsung (rowing). Pemerintah harus mampu menjadi katalisator bagi keterlibatan pihak swasta dan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam menyediakan pelayanan publik.
Rumusan good governance merupakan control of life bagi aparatur negara, yang dapat diterjemahkan sebagai aturan main atau tata cara hidup berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat melalui upaya dan usaha kerja, yang di dalamnya juga sarat dengan nilai-nilai etika pemerintahan Walaupun secara empirik Pemerintah belum berubah, seiring dengan beberapa pengurangan peran negara seperti demokratisasi (pelibatan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan), desentralisasi (penyerahan sebagian kewenangan kepada Daerah), debirokratisasi (pemangkasan alur birokrasi), deregulasi (pembuatan peraturan perundang-undangan), reformasi birokrasi, privatisasi (penyerahan pengelolaan sektor publik dari pemerintah kepada non-pemerintah), reinveinting government (pengembalian peran pemerintah), dan lain-lain. Munculnya good governance tidak lantas menjadikan Pemerintah sebagai lembaga, melainkan juga pemerintahan sebagai suatu proses yang multi arah, yang melibatkan elemen-elemen pengambilan kebijakan di luar Pemerintah seperti masyarakat dan swasta. Melalui good governance akan terjadi proses co-guilding (membangun), co-steering (mengarahkan), dan co-managing (mengatur). Dengan adanya maksimalisasi peran dari ketiga elemen tersebut maka akan terwujud tata pemerintahan yang baik, yang berbasis pada rakyat.
Governance dari sudut penyelenggara negara diartikan sebagai pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi, dan administratif untuk mengelola urusan-urusan bangsa, mengelola mekanisme, proses, dan hubungan yang kompleks antarwarga negara dan kelompok-kelompok yang mengartikulasikan kepentingannya (yang menghendaki agar hak dan kewajibannya terlaksana) dan menengahi atau memfasilitasi perbedaan-perbedaan di antara mereka. Jadi, yang terpenting adalah bagaimana caranya dengan struktur yang ramping dapat melaksanakan fungsi-fungsinya secara efektif.
Terkait dengan hal itu semua, maka sudah sepatutnyalah setiap aparatur Pemerintah Daerah, termasuk Pemerintah Kota Bandar Lampung dalam hal ini harus memiliki pemahaman yang mencukupi tentang prinsip-prinsip good governance guna menindaklanjuti segala tindakannya yang tidak lain adalah melayani dan mengatur kehidupan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip good governance tersebut sesuai dengan visi Pemerintah Kota Bandar Lampung yang fokus dan searah dengan tujuan desentralisasi dan otonomi daerah, yaitu: “Terwujudnya peningkatan pelayanan masyarakat Kota Bandar Lampung melalui pembangunan yang bertumpu pada masyarakat dalam mencapai kesejahteraan yang berkeadilan melalui pelayanan prima, partisipasi publik, kesejahteraan yang berkeadilan”, sebagai derivasi Visi Indonesia 2020 yaitu: “Terwujudnya masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri, serta baik dan bersih dalam
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
Yahnu Wiguno Sanyoto; 9 - 27

Tidak ada komentar:

Posting Komentar