Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
Strategi Penguatan Good Governance
Dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Lokal di Era Otonomi Daerah
Oleh: Alamsyah
Strategi Penguatan Good Governance
Dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Lokal di Era Otonomi Daerah
Oleh: Alamsyah
Abstract
Good governance, decentralization, and economic growth are a global phenomenon. How do we understand interrelation this concept under decentralization policy in Indonesia? This paper seek to (a) explain the substantive meaning of good governance, economic growth, and decentralization; (b) exploring the inter-linkage between them; and (c) formulate several strategy deal with strengthening good governance to promoting economic growth under decentralization circumstance. This paper argues that good governance will drive citizen’s participation, triggering local economic growth, and promote local democratization.
Keywords: Good governance, economic growth, decentralization
Pendahuluan
Topik good governance (dalam bahasa Indonesia, istilah ini dipadankan dengan istilah tata kelola pemerintahan yang amanah), pertumbuhan ekonomi (economic growth), dan otonomi daerah (decentralization) bukan merupakan wacana lokal. Sebaliknya, ketiga konsep ini merupakan isu global. Good governance tidak hanya dipraktekkan di sektor publik, tetapi juga di sektor swasta. Banyak sekali perusahaan yang sudah mengadopsi good corporate governance.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi tidak hanya menjadi milik negara-negara maju. Sejak menguatnya ekonomi Keynesian pasca Perang Dunia II, krisis moneter di Asia Tenggara, dan krisis kredit perumahan di Amerika Serikat, pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu barometer keberhasilan pembangunan di banyak negara, termasuk negara-negara sosialis seperti Cina, Kuba, dan Libya. Karena setiap negara mengejar pertumbuhan ekonomi, maka ia sejujurnya merupakan komoditas global.
Fenomena desentralisasi tak ubahnya seperti good governance dan pertumbuhan ekonomi. Desentralisasi tidak hanya dipraktekkan di negara-negara berkembang. Hampir sebagian negara-negara di dunia mendorong pelaksanaan desentralisasi dengan beragam motivasi.
Makalah ini tidak berpretensi untuk menelaah relasi ketiga konsep ini secara mendetail dan holistik. Target makalah ini adalah (a) menjelaskan subtansi makna yang terkandung dalam konsep good governance, pertumbuhan ekonomi, dan desentralisasi; (b) menjelaskan benang merah antara good governance, pertumbuhan ekonomi, dan desentralisasi; (c) merumuskan beberapa strategi yang bisa ditempuh pemerintah daerah dalam rangka memperkuat good governance dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi di era desentralisasi.
Dosen Jurusan Administrasi Negara FISIP Universitas Sriwijaya Palembang dan
Koord. Divisi Riset dan Advokasi Kebijakan Publik Lingkar Prakarsa Institute (LPI)
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
Alamsyah; 1- 8
2
Spektrum Makna; Tata Kelola Pemerintahan (Good Governance)
Apakah good governance itu? Apakah pertumbuhan ekonomi itu? Apakah otonomi daerah itu? Sesi ini akan menguraikan pergulatan pemikiran dalam rangka merumuskan makna good governance, pertumbuhan ekonomi, dan otonomi daerah.
Istilah governance pertama kali dipergunakan pada abad ke-14 di Perancis. Pada waktu itu, istilah governance diartikan sebagai seat of government (kursi pemerintah). Governance menjadi populer tatkala World Bank mempublikasikan World Bank Report pada tahun 1989. World Bank mempergunakan istilah governance untuk memperkenalkan pendekatan baru dalam melaksanakan proses pembangunan. Inti pendekatan baru tersebut adalah: kesejahteraan ekonomi tidak akan pernah dicapai tanpa keberadaan hukum dan demokrasi meskipun pada level yang minimal.
Konsep governance yang dilontarkan World Bank sebetulnya tak bisa dilepaskan dari praxis pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga yang cenderung menafikan demokrasi. Sejak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di akhir Perang Dunia II (akhir tahun 1940-an) menyerukan agar seluruh negara-negara di dunia melaksanakan pembangunan yang dibingkai dengan konsep modernisasi dan ekonomi Keynesian, maka sejak saat itu hampir semua negara-bangsa (nation state) yang merdeka pasca Perang Dunia II menjadi sosok yang intervensionis.
Di Indonesia, sebagai contoh, sejak rezim Orde Baru mendeklarasikan Trilogi Pembangunan Nasional pada era tahun 60-an, maka sejak saat itu perkembangan demokrasi di Tanah Air menjadi mandeg dan mengalami stagnasi. Pers diberangus. Gerakan mahasiswa dibatasi. Tokoh-tokoh yang mengkritik kebijakan pemerintah ditangkapi. Tentara, polisi, dan pegawai negeri sipil dikerahkan untuk memenangkan salah satu kekuatan politik dengan cara-cara yang tidak etis dan demokratis. Singkat kata, demokrasi kita mati suri.
Di tengah situasi politik yang gelap gulita, rezim menggerakkan roda pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang dibiayai oleh hutang luar negeri selalu berada dalam kisaran 5-9 persen dari periode 1960-1994. Bonanza minyak yang terjadi pada tahun 70-an semakin memperkuat kapasitas rezim untuk melakukan pembangunan infrastruktur besar-besaran di seluruh negeri. Industri substitusi impor digalakkan. Stabilitas sembako dipelihara. Ketimpangan antar wilayah dan golongan masyarakat ditoleransi karena keyakinan akan multiplier-effect sebagaimana dianut ekonomi Keynesian.
Tetapi, sejarah mencatat bagaimana fondasi pembangunan ekonomi dan fondasi pembangunan politik yang dibangun rezim Orde Baru sangat rentan terhadap krisis ekonomi dan krisisi politik kepercayaan. Krisis moneter pada 1998 yang dipicu oleh krisis mata uang di Thailand memberikan ruang manuver yang sempit bagi rezim untuk merespon tuntutan-tuntutan kelompok reformasi (Robison dan Hadiz, 2004: 160).
Apa yang dipraktekkan rezim Orde Baru dalam menjalankan kekuasaan politiknya (the exercise of political power) termasuk dalam istilah government. Cirinya adalah dominasi aktor pemerintah, perbedaan yang tegas antara sektor publik dan sektor private, hierarkis, menggunakan pendekatan atas-bawah (top-down). Sedangkan, gaya mengelola pemerintahan yang baru disebut dengan governance. Cirinya adalah proses pemerintahan melibatkan banyak aktor dan tak ada aktor yang mendominasi, kekuasaan tidak bersifat hierarkis tetapi lebih bersifat jejaring, batas-batas antara sektor publik dan sektor private menjadi kabur (Kennett, dalam Kennett, 2008: 3-6)
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
Alamsyah; 1- 8
3
Pada tahun 1999, United Nations for Public Administration Network (UNPAN), salah satu lembaga internasional di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, menyelenggarakan konferensi dunia pertama tentang governance. Konferensi ini memproduksi istilah baru, yakni: good governance. Deklarasi Manila yang dihasilkan konferensi ini mendefenisikan good governance sebagai: a system that is transparent, accountable, just, fair, democratic, participatory, and responsive to people needs1. Sementara itu, Uni Eropa memaknai konsep good governance dengan karakter openness, participation, accountability, participation, dan coherence2.
Prinsip-prinsip good governance yang tertuang dalam Deklarasi Manila merupakan nilai-nilai demokrasi yang seharusnya melekat inherent dalam proses penyelenggaraan roda tata kelola pemerintahan sebagai the exercise of political power. Norma-norma demokrasi ini harus seiring sejalan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi. Jika norma-norma ini diabaikan, maka sejarah kelam rezim Orde Baru akan kembali terulang.
Pertumbuhan Ekonomi (Economic Growth)
Secara sederhana, pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai peningkatan kapasitas produksi barang dan jasa suatu negara/daerah. Biasanya, pertumbuhan ekonomi diukur dengan Produk Domestik Bruto (PDB), Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), atau ukuran-ukuran pendapatan agregat lainnya. PDB/PRDB ini bisa positif dan/atau negatif. Sifatnya yang negatif yang menunjukkan terjadinya resesi ekonomi, sedangkan jika positif menunjukkan terjadinya ekspansi perekonomian.
Pertumbuhan ekonomi bisa menimbulkan efek positif dan negatif. Positifnya, ia memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas kehidupan dan distribusi pendapatan. Negatifnya, pertumbuhan ekonomi menyebabkan munculnya konsumerisme, kerusakan lingkungan hidup, ketidakadilan ekonomi bagi sebagian besar masyarakat miskin.
Pertumbuhan ekonomi hanya terjadi jika masyarakat mampu mengelola sumberdaya, baik barang maupun jasa, menjadi sesuatu yang lebih bernilai (Romer, dalam Henderson, 2007). Pertanyaanya, bagaimana mencapai pertumbuhan ekonomi?
Menurut Adam Smith (1723-1790), pembagian kerja (division of labour), yang dimaknai sebagai spesialisasi produksi dan disertai dengan inovasi teknis dan penggunaan teknologi, memungkinkan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan produksi. Di samping itu, perekonomian harus diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar (hukum permintaan dan penawaran). Sebab, mekanisme invisible hand (tangan-tangan tak terlihat/hukum penawaran dan permintaan) yang digerakkan oleh prinsip spontanitas dalam rangka mencapai kepuasan pribadi (individual satisfaction) akan mendorong pencapaian tingkat manfaat yang optimal bagi keseluruhan masyarakat.
Sementara itu, bagi Jhon Maynard Keynes, kata kunci untuk mencapai pertumbuhan ekonomi adalah investasi nyata (real investment) yang akan melahirkan efek berantai (multiplier effect). Contoh investasi nyata yang melahirkan multiplier effect adalah proyek infrastruktur.
Menurut Keynes, perekonomian tak boleh diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Sebab, pasar bukanlah sosok yang sempurna. Pasar juga memiliki beragam kelemahan,
1 http://unpan1.un.org/intradoc/groups/document/un/unpan000209.pdf
2 http://europa.eu.int/comm/governance/index-en.html
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
Alamsyah; 1- 8
4
misalnya: pasar tidak bisa menyediakan barang dan jasa publik, pasar tidak bisa mengatasi eksternalitas negatif yang ditimbulkan oleh aktivitas ekonomi produktif manusia, pasar tidak bisa mengatasi ketidakadilan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, pemerintah berkewajiban mengintevensi sistem perekonomian, misalnya, melalui kebijakan moneter dan kebijakan fiskal.
Pasca Adam Smith dan Jhon Maynard Keynes, beberapa ekonom memberikan penjelasan baru terhadap pertumbuhan ekonomi. Ada yang mengatakan pertumbuhan ekonomi tidak hanya dipengaruhi modal fisik (physical capital), tetapi juga dipengaruhi modal manusia (human capital) dan modal sosial (social capital) (Sen, 1999). Ekonom yang lain mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dipengaruhi perkembangan teknologi suatu bangsa dan bukan hanya oleh akumulasi modal. Semakin canggih perkembangan teknologinya, semakin tinggi pertumbuhan ekonominya.
Saat ini, konsep pertumbuhan ekonomi hanyalah salah satu dari sekian banyak cara untuk mengukur kegagalan dan keberhasilan pembangunan ekonomi. Di luar pertumbuhan ekonomi, kita mengenal beragam alat ukur pembangunan ekonomi: misalnya Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang dikembangkan UNDP dan Millenium Development Goals (MDGs) yang dikembangkan United Nations. Lahirnya alat ukur baru ini menunjukkan munculnya aspirasi baru dalam memahami proses dan makna pembangunan.
Otonomi Daerah (Decentralization)
Defenisi klasik desentralisasi adalah transfer otoritas, sumberdaya, dan responsibilitas dari pemerintah pusat ke unit pemerintahan yang berada di bawahnya (misalnya, pemerintah daerah atau instansi vertikal yang ada di daerah). Pemahaman ini bertolak realitas politik yang terjadi dalam kurun waktu 1940-1970. Dalam kurun waktu ini, peran institusi pemerintah sangat kuat dan dominan sebagai aktor perubahan sosial.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, kuatnya peran pemerintah ini dijustifikasi seruan PPB kepada seluruh negara di dunia untuk melakukan proses pembangunan ekonomi pasca Perang Dunia II. Di samping itu, fakta objektif menunjukkan bahwa negara-negara baru membutuhkan pembangunan untuk mengejar beragam ketertinggalan dan perbaikan kualitas kehidupan masyarakatnya. Seruan ini kemudian diikuti negara-negara baru dengan memperkuat intervensi negara dalam proses pembangunan ekonomi melalui pelembagaan perencanaan pembangunan yang terpusat. Dalam situasi ini, desentralisasi merupakan proses yang dimaknai sebagai dekonsentrasi struktur birokrasi pemerintahan yang hirarkis demi pelayanan publik yang lebih efisien. Kondisi ini bertahan sampai periode 1980-an.
Pasca 1980-an, terjadi pergeseran paradigma pembangunan dari central economic planning dan trickle-down effect ke basic needs, growth with equity, participation, dan decentralization. Pergeseran paradigma ini terjadi karena proses globalisasi dan liberalisasi menyebabkan central economic planning tidak mampu bekerja maksimal. Dalam situasi ini, desentralisasi difokuskan kepada political power sharing, demokratisasi, dan liberalisasi pasar yang dijalankan melalui 3 (tiga) bentuk, yakni: dekonsentrasi, devolusi, dan delegasi. Pemahaman seperti ini bertahan sampai 1990.
Pasca 1990, tatkala globalisasi dan liberalisasi perdagangan internasional semakin tak terbendung; tatkala peran masyarakat sipil semakin signifikan dalam proses pembuatan kebijakan publik; tatkala institusi negara tak lagi menjadi aktor dominan dalam proses perubahan sosial; tatkala aspirasi masyarakat agar roda pemerintahan dijalankan berdasarkan
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
Alamsyah; 1- 8
5
prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan (good governance) semakin menguat, desentralisasi pun mengalami perubahan makna. Jika defenisi lama mengartikan desentralisasi merupakan transfer kewenangan, sumberdaya, dan responsibilitas antar instansi pemerintah, maka hari ini desentralisasi diartikan sebagai transfer otoritas, sumberdaya, dan responsibilitas antar lembaga-lembaga governance (pasar, pemerintah, dan masyarakat sipil).
Desentralisasi tidak hanya bisa dijalankan melalui dekonsentrasi, devolusi, dan delegasi. Sebaliknya, ia bisa diimplementasikan melalui desentralisasi politik, desentralisasi administrasi, desentralisasi fiskal, dan desentralisasi ekonomi (Cheema & Rondinelli, dalam Cheema & Rondinelli, (eds.), 2007: 6-7). Termasuk dalam desentralisasi administratif adalah dekonsentrasi struktur dan birokrasi pemerintah pusat, delegasi otoritas dan responsibilitas pemerintah pusat ke lembaga pemerintah yang semi-otonom, dan desentralisasi kerjasama lembaga-lembaga pemerintah yang menjalankan fungsi yang sama melalui pengaturan bersama.
Sedangkan desentralisasi politik meliputi penguatan prosedur dan organisasi untuk meningkatkan partisipasi warga negara dalam memilih wakil-wakil politik dan terlibat dalam proses pembuatan kebijakan publik, perubahan struktur pemerintah melalui devolusi ke unit pemerintahan yang lebih kecil, pelembagaan power-sharing melalui federalisme, constitutional federations, menciptakan wilayah-wilayah baru yang memiliki otonomi penuh, membangun institusi dan prosedur yang memungkinkan lahirnya kebebasan berasosiasi dan partisipasi organisasi masyarakat sipil dalam proses pembuatan kebijakan, penyediaan layanan sosial yang bermanfaat, dan mobilisasi sumberdaya finansial dan sosial untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan-kebijakan polik.
Desentralisasi fiskal meliputi pegembangan mekanisme kerjasama fiskal untuk sharing pendapatan publik di antara institusi pemerintahan di semua tingkatan, delegasi fiskal dalam rangka peningkatan pendapatan publik dan alokasi pengeluaran, dan otonomi fiskal bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta pemerintah lokal (pemerintahan desa). Sedangkan desentralisasi ekonomi meliputi proses liberalisasi pasar, deregulasi, privatisasi BUMN, dan kemitraan sektor publik dan sektor swasta.
Mengapa harus desentralisasi? Menurut Widmalm (2008: 47-48), dari sisi ekonomi, desentralisasi mendorong lahirnya pemerintahan yang efisien, efektif, anti-korupsi, dan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan dari sisi politik, desentralisasi mendorong proses demokratisasi. Desentralisasi, misalnya, akan melahirkan kebijakan publik yang lebih baik karena aparatur pemerintah daerah lebih memahami lokalitas daerahnya daripada pemerintah pusat. Desentralisasi akan melahirkan pemerintahan yang responsif, terbuka, transparan, mengurangi konflik antar etnis, dan mengembangkan nilai-nilai egalitarian.
Jika dijelaskan dari kacamatan analisis biaya dan manfaat, maka desentralisasi (fiskal dan politik) bermanfaat untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas program-program pemerintah, meningkatkan akuntabilitas pemerintah, dan menstimulasi mobilisasi sumber-sumber pendapatan baru. Sedangkan, biaya desentralisasi meliputi: mengurangi kemampuan Pusat untuk mengontrol pengeluaran pemerintah daerah yang akan berimbas kepada ekonomi makro, perbedaan prioritas pembangunan, khusus infrastruktur fisik, antara daerah dan pusat (Bahl, dalam Ichimura & Bahl, (eds.), 2009: 1-26).
Di Indonesia, gelombang besar desentralisasi pada 2001. Ketika itu, desentralisasi merupakan bagian dari tuntutan reformasi politik yang dimulai pada 1998. Pasca runtuhnya rezim Orde Baru, otonomi daerah dijalankan dengan UU No. 22/1999. Undang-undang ini kemudian direvisi karena memberikan kewenangan yang terlalu luas kepada pemerintah daerah dan memotong peran dan fungsi pemerintah provinsi sehingga pemerintah pusat tidak
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
Alamsyah; 1- 8
6
mampu mengontrol perilaku pemerintah daerah. Saat ini, otonomi daerah di Indonesia dijalankan berdasarkan UU No. 32/2004.
Di lihat dari kacamata desentralisasi politik, otonomi daerah melahirkan beragam persoalan: konsolidasi oligarkhi lokal yang diwarnai dengan „politik uang‟, menguatnya fragmentasi administrasi, meningkatnya primordialisme, kentalnya vested interest para politisi, birokrat, dan pengusaha, baik di Pusat maupun di Daerah, dalam proses implementasi otonomi daerah yang dimanifestasikan dalam perilaku rent-seeking (Bunte, dalam Bunte & Ufen, (eds.), 2009: 102-199)
Di lihat dari kacamata desentralisasi fiskal, otonomi daerah berhasil meningkatkan kualitas pelayanan publik, terutama di sektor pendidikan dan kesehatan. Pemerintah Pusat juga berhasil melakukan konsolidasi fiskal dan menjaga ketersediaan dana untuk daerah-daerah miskin. Meskipun begitu, otonomi daerah juga dihadapkan pada tantangan yang merentang dari persoalan akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas penggunaan dana publik, iklim investasi, dan profesionalisme aparatur pemerintah daerah (Fengler & Hofman, dalam Ichimura & Bahl, (eds.), 2009: 245-261).
Melacak Benang Merah
Institusi pemerintah, baik itu pemerintah pusat dan/ atau pemerintah daerah, mengemban amanah konstitusi untuk mewujudkan kesejahteraan warganya. Sejahtera seperti apa? Sejahtera menurut siapa? Tafsirnya bisa berbeda-beda. Di suatu waktu, ia bisa diartikan sebagai tingginya pertumbuhan ekonomi. Di waktu yang lain, ia bisa dimaknai sebagai pencapaian target-target Millenium Development Goals (MDGs).
Dalam perspektif good governance, apa dan bagaimana mencapai kesejahteraan masyarakat melalui proses pembangunan seharusnya tidak ditentukan sepihak oleh institusi pemerintah. Sebaliknya, institusi pasar dan institusi masyarakat sipil wajib hukumnya dilibatkan secara penuh. Kehadiran aktor-aktor non-pemerintah, baik para pelaku pasar maupun masyarakat sipil, akan mendorong proses-proses politik yang terjadi ditubuh institusi pemerintah semakin akuntabel, responsif, dan transparan.
Di era desentralisasi yang ditandai dengan fenomena: pendeknya jarak politik antara para elit politik dengan warga masyarakat, keterlibatan langsung warga masyarakat dalam memilih kepala daerah, dan proses pembuatan kebijakan yang semakin singkat, peluang lahirnya tata kelola pemerintahan yang amanah semakin besar.
Pendeknya jarak politik memberikan peluang lebih besar kepada masyarakat untuk memantau perilaku para elit, baik perilaku personal maupun kebijakan politik yang dihasilkannya. Pilkada memberikan peluang kepada masyarakat untuk menerapkan strategi reward and punishment. Kepala daerah yang berkinerja baik akan dipilih lagi dan yang berkinerja buruk akan ditinggalkan. Terakhir, proses pembuatan kebijakan yang semakin singkat akan melahirkan kebijakan yang resposif terhadap kebutuhan dasar dan pelayanan publik.
Ringkasnya, penerapan good governance di era desentralisasi akan semakin merangsang partisipasi masyarakat, memicu pertumbuhan ekonomi, dan mendorong demokratisasi di tingkat lokal. Tetapi, fakta menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat masih terjebak dengan formalitas, pertumbuhan ekonomi tumbuh karena faktor konsumsi (listrik, gas, dan air 6,27 persen), keunggulan komparatif (sektor angkutan dan komunikasi sebesar 6,67 persen), dan aktivitas investasi yang dilakukan institusi pemerintah (sektor bangunan 7,17 persen), (seperti dikutip dari; http://www.musi-rawas.go.id/musirawas/images/stories/pdf/mrda2006/bab9.pdf,
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
Alamsyah; 1- 8
7
diakses pada 6 Oktober 2010), dan demokrasi kita masih terjebak dalam demokrasi prosedural meskipun persoalan substansi mulai terlihat samar-samar.
Penutup; Implikasi dan Rekomendasi Kebijakan
Apa yang seharusnya dilakukan pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif) untuk memperkuat good governance dalam rangka akselerasi pertumbuhan ekonomi dan/atau pembangunan di era otonomi daerah?
1. Pemerintahan daerah, para pelaku pasar, dan masyarakat sipil harus memperkuat komitmen untuk mendorong proses penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Tanpa komitmen, semua payung hukum, format kelembagaan, sumberdaya, dan mimpi-mimpi yang ingin dicapai sulit untuk diwujudkan. Komitmen yang sungguh-sungguh harus disertai kreativitas dalam mengelola sumberdaya ekonomi, politik, dan sosial. Tanpa kreativitas, komitmen akan terpenjara menjadi pemanis bibir (lips service) belaka;
2. Good governance mensyaratkan partisipasi masyarakat dalam keseluruhan proses kebijakan publik (agenda setting, formulasi, implementasi, dan evaluasi kebijakan). Agar tidak terjebak dengan formalitas, maka institusi pemerintah perlu memperkuat kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi. Spirit pemberdayaan (empowering) harus terasa diseluruh program dan kebijakan Pemerintah Kabupaten Musi Rawas;
3. Sembari memberdayakan masyarakat, Pemerintah Kabupaten Musi Rawas juga harus berupaya memberdayakan diri sendiri (self-empowering). Jujur saja, birokrasi publik di Indonesia harus ini masih diselimuti virus-virus berbahaya, seperti korupsi, red-tape, lamban, kaku, budget-maximizer. Saya kira, jalur tercepat (fast track) untuk melakukan modernisasi institusi dan organisasi pemerintahan adalah dengan menerapkan standar manajemen yang dikeluarkan International Organization for Standardization (ISO) dengan beragam variannya;
4. Fakta menunjukkan bahwa PDRB Musi Rawas didominasi sektor pertanian dan pertambangan. Dua lapangan usaha ini memberikan sumbangan tersebar bagi PDRB Musi Rawas. Dalam konteks ini, political will Pemerintah Kabupaten Musi Rawas yang ingin menjadikan wilayahnya sebagai Bumi Agropolitan sudah on the track. Tetapi, saya belum melihat mainstreaming mimpi ini dalam seluruh kebijakan dan program Pemerintah Kabupaten Musi Rawas. Oleh karena itu, saya menyarankan agar Pemerintah Kabupaten Musi Rawas membuat dokumen kebijakan bertajuk Agropolitan Development Strategy Paper (ADSP). Dokumen ini yang akan mengatur siapa melakukan apa, kapan, dan dengan cara bagaimana dalam rangka memberikan kontribusi positif terhadap Bumi Agropolitan. Kehadiran dokumen ini diharapkan dapat meminimalkan pengaruh negatif fragmentasi birokrasi dan meningkatkan keselarasan program dan kebijakan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dalam rangka percepatan terwujudnya Bumi Agropolitan. Dokumen ini hendaknya disusun secara partisipatif dengan melibatkan para pelaku pasar dan masyarakat sipil yang ada di Kabupaten Musi Rawas, dan;
5. Saat ini kita sedang berada di era globalisasi dan liberalisasi. Globalisasi menyebabkan dunia menjadi semakin terasa kecil. Orang dengan bebas bisa membuat jejaring sosial yang menghubungkan orang antar negara, antar bangsa, antar agama, antar pandangan politik, dan sebagainya. Sedangkan, liberalisasi menyebabkan perdagangan barang dan jasa hanya dilakukan di satu tempat, yakni pasar bebas/pasar global (free market/global
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
Alamsyah; 1- 8
8
market). Di pasar bebas, setiap orang dan komoditas (barang dan jasa) bebas melintasi wilayah-wilayah negara tanpa mengalami hambatan dan rintangan. Ini artinya, karet produksi masyarakat Musi Rawas harus bersaing dengan karet produksi Malaysia dan Brazil; beras hasil produksi warga Merasi harus bersaing dengan beras yang berasal dari Thailand. Pertanyaannya, sudah siapkah kita menghadapi arus globalisasi dan liberalisasi perdagangan internasional? Jangan-jangan, kita hanya sibuk ber-Facebook, ber-Twitter, dan berselancar di internet dan tidak mengetahui dan/atau menyadari potensi gelombang ancaman yang berasal dari arus globalisasi dan liberalisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Bahl, Roy. 2009. “Promise and Reality of Fiscal Decentralization” dalam dalam Shinichi Ichimura & Roy Bahl (Eds.). 2009. Decentralization in Policies in Asian Development. Singapore: World Scientific Publishing, Co. Pte. Ltd
Bunte, Marco. 2009. “Indonesia‟s Protacted Decentralization: Contested Reforms and their Unintented Consequences”. Dalam Marco Bunte and Andreas Ufen, (Eds.). 2009. Democratization in Post-Suharto Indonesia. London: Routledge
Cheema, G. Shabbir & Dennis A. Rondinelli. 2007. “From Government Decentralization to Decentralized Governance”. Dalam Shabbir Cheema G. & Dennis A. Rondinelli (Eds.), 2007. Decentralizing Governance: Emerging Concepts and Practices. Washington DC: Ash Institute for Democratic Governance and Innovation Harvard University
Fengler, Wolfgang & Bert Hofman. 2009. “Managing Indonesia‟s Rapid Decentralization: Achievement and Challenge”. Dalam Shinichi Ichimura & Roy Bahl (Eds.). 2009. Decentralization in Policies in Asian Development. Singapore: World Scientific Publishing, Co. Pte. Ltd
Kennett, Patricia. 2008. “Introduction: Governance, The State and Public Policy in a Global Age”. Dalam Patricia Kennett (Eds.). 2008. Governance, Globalization, and Public Policy. Cheltenham: Edward Elgar
Robison, Richard dan Vedi R. Hadiz. 2004. Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London: Routledge Curzon
Romer, Paul M. 2007. “Economic Growth”. Dalam David R. Henderson (Eds.). 2007. The Concise Ecyclopedia of Economics. Stanford: Standford University Press
Sen, Amartya. 1999. Development as Freedom. New York: Anchor Books
Widmalm, Sten. 2008. Decentralization, Corruption and Social Capital: From India to the West. New Delhi: Sage Publication India, Pvt. Ltd.
Good governance, decentralization, and economic growth are a global phenomenon. How do we understand interrelation this concept under decentralization policy in Indonesia? This paper seek to (a) explain the substantive meaning of good governance, economic growth, and decentralization; (b) exploring the inter-linkage between them; and (c) formulate several strategy deal with strengthening good governance to promoting economic growth under decentralization circumstance. This paper argues that good governance will drive citizen’s participation, triggering local economic growth, and promote local democratization.
Keywords: Good governance, economic growth, decentralization
Pendahuluan
Topik good governance (dalam bahasa Indonesia, istilah ini dipadankan dengan istilah tata kelola pemerintahan yang amanah), pertumbuhan ekonomi (economic growth), dan otonomi daerah (decentralization) bukan merupakan wacana lokal. Sebaliknya, ketiga konsep ini merupakan isu global. Good governance tidak hanya dipraktekkan di sektor publik, tetapi juga di sektor swasta. Banyak sekali perusahaan yang sudah mengadopsi good corporate governance.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi tidak hanya menjadi milik negara-negara maju. Sejak menguatnya ekonomi Keynesian pasca Perang Dunia II, krisis moneter di Asia Tenggara, dan krisis kredit perumahan di Amerika Serikat, pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu barometer keberhasilan pembangunan di banyak negara, termasuk negara-negara sosialis seperti Cina, Kuba, dan Libya. Karena setiap negara mengejar pertumbuhan ekonomi, maka ia sejujurnya merupakan komoditas global.
Fenomena desentralisasi tak ubahnya seperti good governance dan pertumbuhan ekonomi. Desentralisasi tidak hanya dipraktekkan di negara-negara berkembang. Hampir sebagian negara-negara di dunia mendorong pelaksanaan desentralisasi dengan beragam motivasi.
Makalah ini tidak berpretensi untuk menelaah relasi ketiga konsep ini secara mendetail dan holistik. Target makalah ini adalah (a) menjelaskan subtansi makna yang terkandung dalam konsep good governance, pertumbuhan ekonomi, dan desentralisasi; (b) menjelaskan benang merah antara good governance, pertumbuhan ekonomi, dan desentralisasi; (c) merumuskan beberapa strategi yang bisa ditempuh pemerintah daerah dalam rangka memperkuat good governance dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi di era desentralisasi.
Dosen Jurusan Administrasi Negara FISIP Universitas Sriwijaya Palembang dan
Koord. Divisi Riset dan Advokasi Kebijakan Publik Lingkar Prakarsa Institute (LPI)
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
Alamsyah; 1- 8
2
Spektrum Makna; Tata Kelola Pemerintahan (Good Governance)
Apakah good governance itu? Apakah pertumbuhan ekonomi itu? Apakah otonomi daerah itu? Sesi ini akan menguraikan pergulatan pemikiran dalam rangka merumuskan makna good governance, pertumbuhan ekonomi, dan otonomi daerah.
Istilah governance pertama kali dipergunakan pada abad ke-14 di Perancis. Pada waktu itu, istilah governance diartikan sebagai seat of government (kursi pemerintah). Governance menjadi populer tatkala World Bank mempublikasikan World Bank Report pada tahun 1989. World Bank mempergunakan istilah governance untuk memperkenalkan pendekatan baru dalam melaksanakan proses pembangunan. Inti pendekatan baru tersebut adalah: kesejahteraan ekonomi tidak akan pernah dicapai tanpa keberadaan hukum dan demokrasi meskipun pada level yang minimal.
Konsep governance yang dilontarkan World Bank sebetulnya tak bisa dilepaskan dari praxis pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga yang cenderung menafikan demokrasi. Sejak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di akhir Perang Dunia II (akhir tahun 1940-an) menyerukan agar seluruh negara-negara di dunia melaksanakan pembangunan yang dibingkai dengan konsep modernisasi dan ekonomi Keynesian, maka sejak saat itu hampir semua negara-bangsa (nation state) yang merdeka pasca Perang Dunia II menjadi sosok yang intervensionis.
Di Indonesia, sebagai contoh, sejak rezim Orde Baru mendeklarasikan Trilogi Pembangunan Nasional pada era tahun 60-an, maka sejak saat itu perkembangan demokrasi di Tanah Air menjadi mandeg dan mengalami stagnasi. Pers diberangus. Gerakan mahasiswa dibatasi. Tokoh-tokoh yang mengkritik kebijakan pemerintah ditangkapi. Tentara, polisi, dan pegawai negeri sipil dikerahkan untuk memenangkan salah satu kekuatan politik dengan cara-cara yang tidak etis dan demokratis. Singkat kata, demokrasi kita mati suri.
Di tengah situasi politik yang gelap gulita, rezim menggerakkan roda pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang dibiayai oleh hutang luar negeri selalu berada dalam kisaran 5-9 persen dari periode 1960-1994. Bonanza minyak yang terjadi pada tahun 70-an semakin memperkuat kapasitas rezim untuk melakukan pembangunan infrastruktur besar-besaran di seluruh negeri. Industri substitusi impor digalakkan. Stabilitas sembako dipelihara. Ketimpangan antar wilayah dan golongan masyarakat ditoleransi karena keyakinan akan multiplier-effect sebagaimana dianut ekonomi Keynesian.
Tetapi, sejarah mencatat bagaimana fondasi pembangunan ekonomi dan fondasi pembangunan politik yang dibangun rezim Orde Baru sangat rentan terhadap krisis ekonomi dan krisisi politik kepercayaan. Krisis moneter pada 1998 yang dipicu oleh krisis mata uang di Thailand memberikan ruang manuver yang sempit bagi rezim untuk merespon tuntutan-tuntutan kelompok reformasi (Robison dan Hadiz, 2004: 160).
Apa yang dipraktekkan rezim Orde Baru dalam menjalankan kekuasaan politiknya (the exercise of political power) termasuk dalam istilah government. Cirinya adalah dominasi aktor pemerintah, perbedaan yang tegas antara sektor publik dan sektor private, hierarkis, menggunakan pendekatan atas-bawah (top-down). Sedangkan, gaya mengelola pemerintahan yang baru disebut dengan governance. Cirinya adalah proses pemerintahan melibatkan banyak aktor dan tak ada aktor yang mendominasi, kekuasaan tidak bersifat hierarkis tetapi lebih bersifat jejaring, batas-batas antara sektor publik dan sektor private menjadi kabur (Kennett, dalam Kennett, 2008: 3-6)
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
Alamsyah; 1- 8
3
Pada tahun 1999, United Nations for Public Administration Network (UNPAN), salah satu lembaga internasional di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, menyelenggarakan konferensi dunia pertama tentang governance. Konferensi ini memproduksi istilah baru, yakni: good governance. Deklarasi Manila yang dihasilkan konferensi ini mendefenisikan good governance sebagai: a system that is transparent, accountable, just, fair, democratic, participatory, and responsive to people needs1. Sementara itu, Uni Eropa memaknai konsep good governance dengan karakter openness, participation, accountability, participation, dan coherence2.
Prinsip-prinsip good governance yang tertuang dalam Deklarasi Manila merupakan nilai-nilai demokrasi yang seharusnya melekat inherent dalam proses penyelenggaraan roda tata kelola pemerintahan sebagai the exercise of political power. Norma-norma demokrasi ini harus seiring sejalan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi. Jika norma-norma ini diabaikan, maka sejarah kelam rezim Orde Baru akan kembali terulang.
Pertumbuhan Ekonomi (Economic Growth)
Secara sederhana, pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai peningkatan kapasitas produksi barang dan jasa suatu negara/daerah. Biasanya, pertumbuhan ekonomi diukur dengan Produk Domestik Bruto (PDB), Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), atau ukuran-ukuran pendapatan agregat lainnya. PDB/PRDB ini bisa positif dan/atau negatif. Sifatnya yang negatif yang menunjukkan terjadinya resesi ekonomi, sedangkan jika positif menunjukkan terjadinya ekspansi perekonomian.
Pertumbuhan ekonomi bisa menimbulkan efek positif dan negatif. Positifnya, ia memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas kehidupan dan distribusi pendapatan. Negatifnya, pertumbuhan ekonomi menyebabkan munculnya konsumerisme, kerusakan lingkungan hidup, ketidakadilan ekonomi bagi sebagian besar masyarakat miskin.
Pertumbuhan ekonomi hanya terjadi jika masyarakat mampu mengelola sumberdaya, baik barang maupun jasa, menjadi sesuatu yang lebih bernilai (Romer, dalam Henderson, 2007). Pertanyaanya, bagaimana mencapai pertumbuhan ekonomi?
Menurut Adam Smith (1723-1790), pembagian kerja (division of labour), yang dimaknai sebagai spesialisasi produksi dan disertai dengan inovasi teknis dan penggunaan teknologi, memungkinkan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan produksi. Di samping itu, perekonomian harus diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar (hukum permintaan dan penawaran). Sebab, mekanisme invisible hand (tangan-tangan tak terlihat/hukum penawaran dan permintaan) yang digerakkan oleh prinsip spontanitas dalam rangka mencapai kepuasan pribadi (individual satisfaction) akan mendorong pencapaian tingkat manfaat yang optimal bagi keseluruhan masyarakat.
Sementara itu, bagi Jhon Maynard Keynes, kata kunci untuk mencapai pertumbuhan ekonomi adalah investasi nyata (real investment) yang akan melahirkan efek berantai (multiplier effect). Contoh investasi nyata yang melahirkan multiplier effect adalah proyek infrastruktur.
Menurut Keynes, perekonomian tak boleh diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Sebab, pasar bukanlah sosok yang sempurna. Pasar juga memiliki beragam kelemahan,
1 http://unpan1.un.org/intradoc/groups/document/un/unpan000209.pdf
2 http://europa.eu.int/comm/governance/index-en.html
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
Alamsyah; 1- 8
4
misalnya: pasar tidak bisa menyediakan barang dan jasa publik, pasar tidak bisa mengatasi eksternalitas negatif yang ditimbulkan oleh aktivitas ekonomi produktif manusia, pasar tidak bisa mengatasi ketidakadilan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, pemerintah berkewajiban mengintevensi sistem perekonomian, misalnya, melalui kebijakan moneter dan kebijakan fiskal.
Pasca Adam Smith dan Jhon Maynard Keynes, beberapa ekonom memberikan penjelasan baru terhadap pertumbuhan ekonomi. Ada yang mengatakan pertumbuhan ekonomi tidak hanya dipengaruhi modal fisik (physical capital), tetapi juga dipengaruhi modal manusia (human capital) dan modal sosial (social capital) (Sen, 1999). Ekonom yang lain mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dipengaruhi perkembangan teknologi suatu bangsa dan bukan hanya oleh akumulasi modal. Semakin canggih perkembangan teknologinya, semakin tinggi pertumbuhan ekonominya.
Saat ini, konsep pertumbuhan ekonomi hanyalah salah satu dari sekian banyak cara untuk mengukur kegagalan dan keberhasilan pembangunan ekonomi. Di luar pertumbuhan ekonomi, kita mengenal beragam alat ukur pembangunan ekonomi: misalnya Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang dikembangkan UNDP dan Millenium Development Goals (MDGs) yang dikembangkan United Nations. Lahirnya alat ukur baru ini menunjukkan munculnya aspirasi baru dalam memahami proses dan makna pembangunan.
Otonomi Daerah (Decentralization)
Defenisi klasik desentralisasi adalah transfer otoritas, sumberdaya, dan responsibilitas dari pemerintah pusat ke unit pemerintahan yang berada di bawahnya (misalnya, pemerintah daerah atau instansi vertikal yang ada di daerah). Pemahaman ini bertolak realitas politik yang terjadi dalam kurun waktu 1940-1970. Dalam kurun waktu ini, peran institusi pemerintah sangat kuat dan dominan sebagai aktor perubahan sosial.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, kuatnya peran pemerintah ini dijustifikasi seruan PPB kepada seluruh negara di dunia untuk melakukan proses pembangunan ekonomi pasca Perang Dunia II. Di samping itu, fakta objektif menunjukkan bahwa negara-negara baru membutuhkan pembangunan untuk mengejar beragam ketertinggalan dan perbaikan kualitas kehidupan masyarakatnya. Seruan ini kemudian diikuti negara-negara baru dengan memperkuat intervensi negara dalam proses pembangunan ekonomi melalui pelembagaan perencanaan pembangunan yang terpusat. Dalam situasi ini, desentralisasi merupakan proses yang dimaknai sebagai dekonsentrasi struktur birokrasi pemerintahan yang hirarkis demi pelayanan publik yang lebih efisien. Kondisi ini bertahan sampai periode 1980-an.
Pasca 1980-an, terjadi pergeseran paradigma pembangunan dari central economic planning dan trickle-down effect ke basic needs, growth with equity, participation, dan decentralization. Pergeseran paradigma ini terjadi karena proses globalisasi dan liberalisasi menyebabkan central economic planning tidak mampu bekerja maksimal. Dalam situasi ini, desentralisasi difokuskan kepada political power sharing, demokratisasi, dan liberalisasi pasar yang dijalankan melalui 3 (tiga) bentuk, yakni: dekonsentrasi, devolusi, dan delegasi. Pemahaman seperti ini bertahan sampai 1990.
Pasca 1990, tatkala globalisasi dan liberalisasi perdagangan internasional semakin tak terbendung; tatkala peran masyarakat sipil semakin signifikan dalam proses pembuatan kebijakan publik; tatkala institusi negara tak lagi menjadi aktor dominan dalam proses perubahan sosial; tatkala aspirasi masyarakat agar roda pemerintahan dijalankan berdasarkan
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
Alamsyah; 1- 8
5
prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan (good governance) semakin menguat, desentralisasi pun mengalami perubahan makna. Jika defenisi lama mengartikan desentralisasi merupakan transfer kewenangan, sumberdaya, dan responsibilitas antar instansi pemerintah, maka hari ini desentralisasi diartikan sebagai transfer otoritas, sumberdaya, dan responsibilitas antar lembaga-lembaga governance (pasar, pemerintah, dan masyarakat sipil).
Desentralisasi tidak hanya bisa dijalankan melalui dekonsentrasi, devolusi, dan delegasi. Sebaliknya, ia bisa diimplementasikan melalui desentralisasi politik, desentralisasi administrasi, desentralisasi fiskal, dan desentralisasi ekonomi (Cheema & Rondinelli, dalam Cheema & Rondinelli, (eds.), 2007: 6-7). Termasuk dalam desentralisasi administratif adalah dekonsentrasi struktur dan birokrasi pemerintah pusat, delegasi otoritas dan responsibilitas pemerintah pusat ke lembaga pemerintah yang semi-otonom, dan desentralisasi kerjasama lembaga-lembaga pemerintah yang menjalankan fungsi yang sama melalui pengaturan bersama.
Sedangkan desentralisasi politik meliputi penguatan prosedur dan organisasi untuk meningkatkan partisipasi warga negara dalam memilih wakil-wakil politik dan terlibat dalam proses pembuatan kebijakan publik, perubahan struktur pemerintah melalui devolusi ke unit pemerintahan yang lebih kecil, pelembagaan power-sharing melalui federalisme, constitutional federations, menciptakan wilayah-wilayah baru yang memiliki otonomi penuh, membangun institusi dan prosedur yang memungkinkan lahirnya kebebasan berasosiasi dan partisipasi organisasi masyarakat sipil dalam proses pembuatan kebijakan, penyediaan layanan sosial yang bermanfaat, dan mobilisasi sumberdaya finansial dan sosial untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan-kebijakan polik.
Desentralisasi fiskal meliputi pegembangan mekanisme kerjasama fiskal untuk sharing pendapatan publik di antara institusi pemerintahan di semua tingkatan, delegasi fiskal dalam rangka peningkatan pendapatan publik dan alokasi pengeluaran, dan otonomi fiskal bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta pemerintah lokal (pemerintahan desa). Sedangkan desentralisasi ekonomi meliputi proses liberalisasi pasar, deregulasi, privatisasi BUMN, dan kemitraan sektor publik dan sektor swasta.
Mengapa harus desentralisasi? Menurut Widmalm (2008: 47-48), dari sisi ekonomi, desentralisasi mendorong lahirnya pemerintahan yang efisien, efektif, anti-korupsi, dan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan dari sisi politik, desentralisasi mendorong proses demokratisasi. Desentralisasi, misalnya, akan melahirkan kebijakan publik yang lebih baik karena aparatur pemerintah daerah lebih memahami lokalitas daerahnya daripada pemerintah pusat. Desentralisasi akan melahirkan pemerintahan yang responsif, terbuka, transparan, mengurangi konflik antar etnis, dan mengembangkan nilai-nilai egalitarian.
Jika dijelaskan dari kacamatan analisis biaya dan manfaat, maka desentralisasi (fiskal dan politik) bermanfaat untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas program-program pemerintah, meningkatkan akuntabilitas pemerintah, dan menstimulasi mobilisasi sumber-sumber pendapatan baru. Sedangkan, biaya desentralisasi meliputi: mengurangi kemampuan Pusat untuk mengontrol pengeluaran pemerintah daerah yang akan berimbas kepada ekonomi makro, perbedaan prioritas pembangunan, khusus infrastruktur fisik, antara daerah dan pusat (Bahl, dalam Ichimura & Bahl, (eds.), 2009: 1-26).
Di Indonesia, gelombang besar desentralisasi pada 2001. Ketika itu, desentralisasi merupakan bagian dari tuntutan reformasi politik yang dimulai pada 1998. Pasca runtuhnya rezim Orde Baru, otonomi daerah dijalankan dengan UU No. 22/1999. Undang-undang ini kemudian direvisi karena memberikan kewenangan yang terlalu luas kepada pemerintah daerah dan memotong peran dan fungsi pemerintah provinsi sehingga pemerintah pusat tidak
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
Alamsyah; 1- 8
6
mampu mengontrol perilaku pemerintah daerah. Saat ini, otonomi daerah di Indonesia dijalankan berdasarkan UU No. 32/2004.
Di lihat dari kacamata desentralisasi politik, otonomi daerah melahirkan beragam persoalan: konsolidasi oligarkhi lokal yang diwarnai dengan „politik uang‟, menguatnya fragmentasi administrasi, meningkatnya primordialisme, kentalnya vested interest para politisi, birokrat, dan pengusaha, baik di Pusat maupun di Daerah, dalam proses implementasi otonomi daerah yang dimanifestasikan dalam perilaku rent-seeking (Bunte, dalam Bunte & Ufen, (eds.), 2009: 102-199)
Di lihat dari kacamata desentralisasi fiskal, otonomi daerah berhasil meningkatkan kualitas pelayanan publik, terutama di sektor pendidikan dan kesehatan. Pemerintah Pusat juga berhasil melakukan konsolidasi fiskal dan menjaga ketersediaan dana untuk daerah-daerah miskin. Meskipun begitu, otonomi daerah juga dihadapkan pada tantangan yang merentang dari persoalan akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas penggunaan dana publik, iklim investasi, dan profesionalisme aparatur pemerintah daerah (Fengler & Hofman, dalam Ichimura & Bahl, (eds.), 2009: 245-261).
Melacak Benang Merah
Institusi pemerintah, baik itu pemerintah pusat dan/ atau pemerintah daerah, mengemban amanah konstitusi untuk mewujudkan kesejahteraan warganya. Sejahtera seperti apa? Sejahtera menurut siapa? Tafsirnya bisa berbeda-beda. Di suatu waktu, ia bisa diartikan sebagai tingginya pertumbuhan ekonomi. Di waktu yang lain, ia bisa dimaknai sebagai pencapaian target-target Millenium Development Goals (MDGs).
Dalam perspektif good governance, apa dan bagaimana mencapai kesejahteraan masyarakat melalui proses pembangunan seharusnya tidak ditentukan sepihak oleh institusi pemerintah. Sebaliknya, institusi pasar dan institusi masyarakat sipil wajib hukumnya dilibatkan secara penuh. Kehadiran aktor-aktor non-pemerintah, baik para pelaku pasar maupun masyarakat sipil, akan mendorong proses-proses politik yang terjadi ditubuh institusi pemerintah semakin akuntabel, responsif, dan transparan.
Di era desentralisasi yang ditandai dengan fenomena: pendeknya jarak politik antara para elit politik dengan warga masyarakat, keterlibatan langsung warga masyarakat dalam memilih kepala daerah, dan proses pembuatan kebijakan yang semakin singkat, peluang lahirnya tata kelola pemerintahan yang amanah semakin besar.
Pendeknya jarak politik memberikan peluang lebih besar kepada masyarakat untuk memantau perilaku para elit, baik perilaku personal maupun kebijakan politik yang dihasilkannya. Pilkada memberikan peluang kepada masyarakat untuk menerapkan strategi reward and punishment. Kepala daerah yang berkinerja baik akan dipilih lagi dan yang berkinerja buruk akan ditinggalkan. Terakhir, proses pembuatan kebijakan yang semakin singkat akan melahirkan kebijakan yang resposif terhadap kebutuhan dasar dan pelayanan publik.
Ringkasnya, penerapan good governance di era desentralisasi akan semakin merangsang partisipasi masyarakat, memicu pertumbuhan ekonomi, dan mendorong demokratisasi di tingkat lokal. Tetapi, fakta menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat masih terjebak dengan formalitas, pertumbuhan ekonomi tumbuh karena faktor konsumsi (listrik, gas, dan air 6,27 persen), keunggulan komparatif (sektor angkutan dan komunikasi sebesar 6,67 persen), dan aktivitas investasi yang dilakukan institusi pemerintah (sektor bangunan 7,17 persen), (seperti dikutip dari; http://www.musi-rawas.go.id/musirawas/images/stories/pdf/mrda2006/bab9.pdf,
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
Alamsyah; 1- 8
7
diakses pada 6 Oktober 2010), dan demokrasi kita masih terjebak dalam demokrasi prosedural meskipun persoalan substansi mulai terlihat samar-samar.
Penutup; Implikasi dan Rekomendasi Kebijakan
Apa yang seharusnya dilakukan pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif) untuk memperkuat good governance dalam rangka akselerasi pertumbuhan ekonomi dan/atau pembangunan di era otonomi daerah?
1. Pemerintahan daerah, para pelaku pasar, dan masyarakat sipil harus memperkuat komitmen untuk mendorong proses penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Tanpa komitmen, semua payung hukum, format kelembagaan, sumberdaya, dan mimpi-mimpi yang ingin dicapai sulit untuk diwujudkan. Komitmen yang sungguh-sungguh harus disertai kreativitas dalam mengelola sumberdaya ekonomi, politik, dan sosial. Tanpa kreativitas, komitmen akan terpenjara menjadi pemanis bibir (lips service) belaka;
2. Good governance mensyaratkan partisipasi masyarakat dalam keseluruhan proses kebijakan publik (agenda setting, formulasi, implementasi, dan evaluasi kebijakan). Agar tidak terjebak dengan formalitas, maka institusi pemerintah perlu memperkuat kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi. Spirit pemberdayaan (empowering) harus terasa diseluruh program dan kebijakan Pemerintah Kabupaten Musi Rawas;
3. Sembari memberdayakan masyarakat, Pemerintah Kabupaten Musi Rawas juga harus berupaya memberdayakan diri sendiri (self-empowering). Jujur saja, birokrasi publik di Indonesia harus ini masih diselimuti virus-virus berbahaya, seperti korupsi, red-tape, lamban, kaku, budget-maximizer. Saya kira, jalur tercepat (fast track) untuk melakukan modernisasi institusi dan organisasi pemerintahan adalah dengan menerapkan standar manajemen yang dikeluarkan International Organization for Standardization (ISO) dengan beragam variannya;
4. Fakta menunjukkan bahwa PDRB Musi Rawas didominasi sektor pertanian dan pertambangan. Dua lapangan usaha ini memberikan sumbangan tersebar bagi PDRB Musi Rawas. Dalam konteks ini, political will Pemerintah Kabupaten Musi Rawas yang ingin menjadikan wilayahnya sebagai Bumi Agropolitan sudah on the track. Tetapi, saya belum melihat mainstreaming mimpi ini dalam seluruh kebijakan dan program Pemerintah Kabupaten Musi Rawas. Oleh karena itu, saya menyarankan agar Pemerintah Kabupaten Musi Rawas membuat dokumen kebijakan bertajuk Agropolitan Development Strategy Paper (ADSP). Dokumen ini yang akan mengatur siapa melakukan apa, kapan, dan dengan cara bagaimana dalam rangka memberikan kontribusi positif terhadap Bumi Agropolitan. Kehadiran dokumen ini diharapkan dapat meminimalkan pengaruh negatif fragmentasi birokrasi dan meningkatkan keselarasan program dan kebijakan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dalam rangka percepatan terwujudnya Bumi Agropolitan. Dokumen ini hendaknya disusun secara partisipatif dengan melibatkan para pelaku pasar dan masyarakat sipil yang ada di Kabupaten Musi Rawas, dan;
5. Saat ini kita sedang berada di era globalisasi dan liberalisasi. Globalisasi menyebabkan dunia menjadi semakin terasa kecil. Orang dengan bebas bisa membuat jejaring sosial yang menghubungkan orang antar negara, antar bangsa, antar agama, antar pandangan politik, dan sebagainya. Sedangkan, liberalisasi menyebabkan perdagangan barang dan jasa hanya dilakukan di satu tempat, yakni pasar bebas/pasar global (free market/global
Volume 3, No. 6, Desember 2010 ISSN: 1979–0899X
Alamsyah; 1- 8
8
market). Di pasar bebas, setiap orang dan komoditas (barang dan jasa) bebas melintasi wilayah-wilayah negara tanpa mengalami hambatan dan rintangan. Ini artinya, karet produksi masyarakat Musi Rawas harus bersaing dengan karet produksi Malaysia dan Brazil; beras hasil produksi warga Merasi harus bersaing dengan beras yang berasal dari Thailand. Pertanyaannya, sudah siapkah kita menghadapi arus globalisasi dan liberalisasi perdagangan internasional? Jangan-jangan, kita hanya sibuk ber-Facebook, ber-Twitter, dan berselancar di internet dan tidak mengetahui dan/atau menyadari potensi gelombang ancaman yang berasal dari arus globalisasi dan liberalisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Bahl, Roy. 2009. “Promise and Reality of Fiscal Decentralization” dalam dalam Shinichi Ichimura & Roy Bahl (Eds.). 2009. Decentralization in Policies in Asian Development. Singapore: World Scientific Publishing, Co. Pte. Ltd
Bunte, Marco. 2009. “Indonesia‟s Protacted Decentralization: Contested Reforms and their Unintented Consequences”. Dalam Marco Bunte and Andreas Ufen, (Eds.). 2009. Democratization in Post-Suharto Indonesia. London: Routledge
Cheema, G. Shabbir & Dennis A. Rondinelli. 2007. “From Government Decentralization to Decentralized Governance”. Dalam Shabbir Cheema G. & Dennis A. Rondinelli (Eds.), 2007. Decentralizing Governance: Emerging Concepts and Practices. Washington DC: Ash Institute for Democratic Governance and Innovation Harvard University
Fengler, Wolfgang & Bert Hofman. 2009. “Managing Indonesia‟s Rapid Decentralization: Achievement and Challenge”. Dalam Shinichi Ichimura & Roy Bahl (Eds.). 2009. Decentralization in Policies in Asian Development. Singapore: World Scientific Publishing, Co. Pte. Ltd
Kennett, Patricia. 2008. “Introduction: Governance, The State and Public Policy in a Global Age”. Dalam Patricia Kennett (Eds.). 2008. Governance, Globalization, and Public Policy. Cheltenham: Edward Elgar
Robison, Richard dan Vedi R. Hadiz. 2004. Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London: Routledge Curzon
Romer, Paul M. 2007. “Economic Growth”. Dalam David R. Henderson (Eds.). 2007. The Concise Ecyclopedia of Economics. Stanford: Standford University Press
Sen, Amartya. 1999. Development as Freedom. New York: Anchor Books
Widmalm, Sten. 2008. Decentralization, Corruption and Social Capital: From India to the West. New Delhi: Sage Publication India, Pvt. Ltd.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar