Jumat, 01 Juni 2012

Komunikasi Politik Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) Tahun 2009 dalam Televisi

Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979– 0899X
 
Komunikasi Politik Calon Presiden (Capres) dan
Calon Wakil Presiden (Cawapres) Tahun 2009 dalam Televisi
Oleh: Isnawijayani 
Abstract
President and vice president election debate on television is the first experience for Indonesia, so it is natural when the debate was not like a real debate. Its is a progress in our democracy. On the campaign the candidates often appeared on television that nationally televised. They gave touching messages. The candidates played a role as actors in a short story segment about the candidates’ profile. Campaign on television helped the candidates to get closer to the populace, but it did not enough to persuade the voters. Political communication has important role in president and vice president election. Openness, popularity, and chance to give criticism directly were not choices for Indonesian people. They chose charismatic leader. Incumbent highly influenced them. Campaign on television can give good model such as congratulating the winner and carrying out government along with the winner.
Key words: President and vice president election, television, political communication
Pendahuluan
Pada program studi Ilmu Komunikasi, awalnya dipelajari bahwa proses komunikai terdiri dari empat komponen, yaitu komunikator, komunikan, pesan (komunike), dan media yang digunakan. Kemudian dalam perkembangannya diperkenalkan dengan HUB Model (Hiebert, Ungurait dan Bohn) dalam buku Media VI, yaitu An Introduction to Modern Communications (Longman, 1991), mengatakan bahwa proses komunikasi menjadi 12 komponen. Model ini menggambarkan bahwa komunikasi adalah proses yang interaktif, yang terdiri dari:
1) Contents : isi media, yaitu isi pesan komunikasi atau komunike;
2) Komunikator, adalah orang yang menyampaikan pesan atau sumber berita;
3) Codes, yaitu kode sebagai simbol suatu system yang unik dari masing – masing media;
4) Gatekeepeers, penjaga gerbang selaku cekpoin di dalam media untuk memulai, memodifikasi atau menghentikan pesan;
5) Media massa sebagai lembaga yang kompleks dari masyarakat;
6) Pembuat aturan sebagai external watchdog (pengawas) untuk memonitor dan mengubah bahkan mematikan media dalam penampilannya;
7) Filter selaku kerangka acuan bahwa khalayak menggunakan untuk mengerti atau menyaring pesan;
8) Khalayak selaku pribadi;
9) Effects, akibat yang ditimbulkan;
10) Noise, selalu interupsi dari proses komunikasi atau distorsi media;
11) Kekuasaan media untuk memfokuskan isu, dan;
12) Feedback, umpan balik.
 Doktor Ilmu Komunikasi; Dosen PNSD Kopertis Wilayah II DPK di Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNBARA
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979– 0899X
Isnawijayani; 44 - 56
45
Masing – masing komponen bersifat dinamis, tidak statis, saling ketergantungan, saling memberi dan menerima. Meskipun media massa merupakan himpunan, komponen di dalamnya cukup rumit. Proses produksinya tidak bisa berdiri sendiri, dan saling ketergantungan untuk menghasilkan produknya berupa berita, iklan, siaran, ataupun yang lainnya.
Tujuan komnikasi dari sajian media massa adalah perubahan yaitu perubahan perilaku. Perubahan yang paling ringan adalah perubahan informasi. Misalnya Amir, awalnya belum tahu apa-apa, setelah ada sajian media massa ia mendapatkan informasi. Atau bisa saja Amir punya informasi a, setelah diterpa media massa informasinya menjadi a + 1. Atau bisa terjadi perubahan pendapat, perubahan itu bisa terjadi setelah Amir memperoleh perubahan informasi. Setelah memperoleh informasi baru maka Amir berubah pendapat yang tadinya Amir mengagumi tokoh X, lalu pindah ke tokoh Y. Selanjutnya perubahan sikap. Sebelumnya karena Amir kagum pada tokoh X diapun ramah pada X. Setelah terjadi perubahan informasi dan pendapat, keramahannya berpindah pada Y.
Tujuan utama dalam komunikasi adalah perubahan perilaku atau tingkah laku. Setelah terjadi perubahan informasi, pendapat dan sikap, yang tadinya Amir akan masuk partai pimpinan X, pilihan kemudian masuk partai yang dipimpin Y. Begitu juga dalam menentukan siapa presidennya dalam pilpres. Maka perlu keakhlian khusus tim sukses pilpres untuk menata pesan yang disampaikan melalui media massa.
Artinya banyak hal sajian media massa dengan tujuan utama komunikasi. Tetapi jika yang dicapai tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka sajian melalui media massa tujuannya minimal untuk diketahui saja, walaupun demikian hal ini sudah sesuai dengan fungsi pers atau media massa itu. Dengan model dan contoh di atas, begitu besar peran media massa dalam kehidupan manusia. Coba kita perhatikan perilaku kita sehari-hari. Sebagian orang ketika bangun tidur langsung hidupkan televisi, pilih Hikmah Fajar lalu mendengarkan berita pagi, biasanya sambil melakukan kegiatan lain. Baca koran di rumah atau di kantor. Waktu istirahat kadang-kadang mendiskusikan berita hangat hari ini. Malam mau tidur masih baca koran, karena tidak sempat baca koran pagi. Atau menonton dunia dalam berita, sekarang info terkini. Banyak berita pilihan yang dapat dilihat pada 14 stasiun tv, apalagi saat ramai-ramainya pesta demokrasi, khususnya pilpres.
Perilaku lainnya kalau mau keren mengucapkan selamat duka dan suka melalui media massa. Kirim berita agar semua orang tahu. Atau membaca iklan sebagai hal yang iseng, atau memang perlu untuk membeli atau menjual barang tertentu. Mau nonton filmpun lihat jam pertunjukkan di Koran. Bahkan kalau ingin tambah ngetop nulis di koran atau undang televisi untuk suatu kegiatan.
Media massa khususnya suratkabar memberikan ruang advertorial bagi pembaca untuk menyampaikan informasi apa yang terjadi pada diri, kelompok atau komunitasnya. Siapapun boleh menggunakannya, asal bayar sesuai dengan tarif yang berlaku. Bagaimana dengan radio, radio adalah teman yang setia di kala koran dan televisi isinya tidak menarik. Sepanjang hari radio dapat dihidupkan. Terutama ibu-ibu yang mendengarkan radio sambil masak, atau mengasuh anak. Sambil mengendarai mobilpun lebih asyik dengan radio. Tidak berbeda jauh dengan suratkabar, semua orang dapat mengisi dan bersiaran dalam programnya. Tentu saja asalkan bayar durasi siarannya.
Karenanya, kedua media ini di samping dapat mempromosikan barang dan jasa dan pribadi-pribadi seseorang, juga dapat menjadi alat yang ampuh dalam mempromosikan atau mengkampanyekan capres dan cawapres dalam pilpres. Dua tahun terakhir 2008 dan 2009
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979– 0899X
Isnawijayani; 44 - 56
46
tiada media tanpa advertorial calon presiden. Secara tidak langsung apa yang disajikan media massa seakan-akan itu merupakan perintah agar orang mengikuti apa yang diinginkan. Lalu apakah kaitannya dengan media massa dalam pemilu?
Peristiwa Pemilu, termasuk pemilihan capres dan cawapres tidak lepas dengan peran dan fungsi komunikasi politik. Suatu jaringan (komunikasi) mampu memperbesar dan melipatgandakan ucapan-ucapan (pembicaraan) dan pilihan-pilihan individual sehingga dalam hal ini tidak akan ada suatu politik yang dapat merentangkan suatu bangsa (Anwar Arifin, 2003:3). Sementara Schrater menuliskan, komunikasi adalah mekanisme untuk melaksanakan kekuasaan sehingga komunikasi politik berisi pembicaraan mengenai politik (dalam Jalaluddin Rakhmat, 1990:10).
Komunikasi sebagai sebuah proses memaknai yang dilakukan oleh seseorang terhadap informasi, sikap, dan perilaku orang lain yang berbentuk pengetahuan, pembicaraan, gerak-gerik, atau sikap perilaku dan perasaan sehingga seseorang membuat reaksi terhadap informasi, sukap dan perilaku tersebut berdasarkan pada pengalaman yang pernah dia alami. fenomena komunikasi secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh media massa, oleh karena itu bukanlah suatu hal yang aneh ketika media massa mempengaruhi penafsiran khalayak terhadap substansi tayangan media. Tak terkecuali televisi sebagai media yang menampilkan suara sekaligus gambar bergerak (audiovisual).
Dalam pilpres yang ditunggu masyarakat adalah debat calon presiden (capres) dan calon wakil calon presiden (cawapres). Hal ini adalah pengalaman pertama bagi Indonesia dalam beremokrasi. Di sisi lain pemberitaan tentang keduanya juga menyemarakkan media massa khususnya televisi. Bagaimana debat itu dilaksanakan, kita simak arti debat berikut.
Arti Debat Capres Cawapres adalah pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberikan alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing. Tujuannya untuk mengefektifkan penyebarluasan visi, misi, dan program pasangan calon yang bersifat edukatif dan informatif. Aturan dalam UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, adalah :
1) Diselenggarakan oleh KPU dan disiarkan langsung secara nasional oleh media elektronik;
2) Moderator debat pasangan calon dipilih oleh KPU dari kalangan profesional dan akademisi yang mempunyai integritas tinggi, jujur, simpatik, dan tidak memihak kepada salah satu pasangan calon;
3) Format debat dan moderator yang dipilih KPU harus mendapat kesepakatan/persetujuan para pasangan calon peserta debat;
4) Selama dan sesudah berlangsung debat pasangan calon, moderator dilarang memberikan komentar, penilaian, dan simpulan apa pun terhadap penyampaian dan materi dari setiap pasangan calon, dan;
5) Materi debat adalah visi nasional sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:
a) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
b) Memajukan kesejahteraan umum;
c) Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan;
d) Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Di samping KPU mengatur tatacara debat, juga diberikan aturan pemberitaan dan siaran kampanye di radio dan televisi. Yang penting siaran pemberitaan, media harus seimbang, adil, tidak memihak salah satu calon, dan memberikan informasi yang layak tentang pilpres, dan memberikan pendidikan politik bagi masyarakat.
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979– 0899X
Isnawijayani; 44 - 56
47
Rogers dan Storey dalam Venus (2004), mengatakan kampanye adalah serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan untuk menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu. Sedangkan menurut Kirana (2001:21), berkampanye itu berkomunikasi dengan definisi kampanye advokasi adalah komunikasi antar manusia yang direncanakan dengan sangat teliti dan strategi untuk menumbuhkan kesadaran memberi informasi, memberi informasi, dan mengubah perilaku sasaran supaya mereka mendukung suatu perubahan kebijakan. Dalam kampanye itulah pesan komunikasi politik disalurkan melalui media yang tepat. Dalam hal ini media yang dilihat adalah televisi.
Dalam pandangan Miriam Budiardjo (2008:405), peranan komunikasi politik dapat menghasilkan partisipasi politik yaitu kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik. Antara lain dengan memilih pemimpin negara dalam pilpres Lalu bagaimanakah pelaksanaan komunikasi politik pilpres Indonesia 2009 di televisi? Dipilihnya televisi, karena apapun yang diberitakan di suratkabar dan radio ataupun media lain, biasanya disiarkan juga melalui televisi.
Terkait dengan uraian tersebut di atas, maka tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui, bagaimanakah pelaksanaan komunikasi politik pilpres Indonesia 2009 di televisi? Dengan cara mengamati pemberitaan kampanye dan debat capres cawapres pilpres di televisi.
Televisi sebagai Kekuatan Politik Pilpres
Televisi sebagai suatu lembaga yang memiliki kekuatan yang sangat besar mengubah tatanan kehidupan. Media ini jenis media massa yang ditampilkan kepada sejumlah khalayak yang tersebar dan heterogen sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dalam waktu yang relatif cepat. Setidaknya ada tiga fungsi utama televisi sebagai media massa, yaitu: pertama; televisi berfungsi sebagai pemberi informasi dan penyampai berita. Kedua; televisi melakukan seleksi, evaluasi, dan interpretasi mengenai apa yang perlu untuk disiarkan. Dengan kata lain televisi menjadi gatekeeper (meminjam istilah Kurt Lewin dari arus berita dan informasi) dan ketiga; televisi berfungsi sebagai sarana untuk menstransmisikan nilai dari kultur dari satu generasi ke generasi yang lain.
Karena itu, ada dua hal yang dipertimbangkan dalam memahami penggunaan televisi dalam komunikasi politik: pertama; televisi mampu menjadi instrumen efektif efisien untuk mendistribusikan serta menstransformasikan nilai. Proses hegemoni dalam acara yang menjadi pola yang sangat halus dan acapkali tanpa reserve dari khalayak. Dan, kedua; sensibilitas masyarakat tentang nilai dan bobot informasi yang diberikan televisi perlu lebih tajam lagi agar tidak mudah terjerembab pada pengaruh negatif televisi.
Perkembangan televisi sebagai media sumber informasi dalam komunikasi politik pilpres menciptakan efek yang melekat pada khalayak akibat perubahan psikologis. Ada tiga klasifikasi perubahan psikologis: pertama; efek kognitif yang berhubungan dengan pikiran dan penalaran. Khalayak yang tadinya tidak tahu menjadi tahu. Kedua; efek afektif yang berhubungan dengan perasaan, seperti senang, sedih, kecewa, dan marah. Ketiga; efek konatif, yang berhubungan dengan niat, tekat, upaya, dan usaha yang kesemuanya itu menjadi suatu kegiatan atau tindakan.
Pendekatan media dalam komunikasi politik pilpres, menurut Melvin L. DeFleur (dalam Onong U. Effendy, 2003: 316), memberikan beberapa teori sebagai berikut:
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979– 0899X
Isnawijayani; 44 - 56
48
Pertama; Individual Differences Theory, khalayak secara selektif memperhatikan suatu pesan komunikasi, khususnya jika berkaitan dengan kepentingannya: sesuai dengan sikapnya, kepercayaan, dan nilai-nilainya; tanggapan terhadap pesan komunikasi itu akan diubah oleh tatanan psikologisnya. Sasaran kampanye untuk teori ini, yaitu karyawan, pengusaha, akademisi, kaum cendekiawan, serta intelektual, yang memiliki kecenderungan melek politik. Berkaitan dengan teori ini masing-masing Capres dan Cawapres melakukan dialog interaktif di dalam ruangan dengan kelompok-kelompok di atas. Pada saat tayangan debat capres dan cawapres dapat meningkatkan informasi tentang calon dan pandangan atau prinsip-prinsip yang dianut khalayak dalam pilpres. Hal ini dikuatkan oleh Alexis S Tan (dalam Nurudin, 2003:63), bahwa ketika orang menonton debat kandidat dalam televisi, maka ini kesempatan bagi penonton mempelajari peluang, memahami lingkungan, menguji kenyataan dan meraih keputusan.
Kedua; Social Categories Theory. Meskipun masyarakat modern sifatnya heterogen, orang-orang memiliki sejumlah sifat sifatnya heterogen , orang-orang yang memiliki sejumlah sifat yang sama akan memiliki pola hidup tradisional yang sama. Sasaran kampanye untuk teori ini, biasanya para lembaga atau yayasan pendidikan, usaha kecil dan koperasi, organisasi massa dan paguyuban. Kesetiakawanan kekompakan komunitas inilah yang menjadi ssaran kampanye komunikasi politik.
Ketiga; Social Relationship Theory berdasarkan Two Step Flow of Communication. Pada mulanya, pesan komunikasi disiarkan melalui media massa termasuk televisi, kemudian pemuka pendapat meneruskan pesan tersebut dengan komunikasi antar pribadi. Walaupun saat ini media massa menyentuh semua khalayak, ada komunitas yang tidak tersentuh oleh media massa karena kurang berminat pada pemberitaan atau peliputan termasuk debat tentang pilpres. Teori ini sangat penting dilakukan tim sukses pilpres, terutama oleh capres atau cawapres sendiri. Dalam hal ini, pemuka pendapat bukan saja menyampikan (meneruskan) informasi, melainkan menginterpretasikan serta bisa memodifikasikan informasi sehingga ada pengaruh pribadi (personal influence) untuk bisa menubah pesan komunikasi kepada khalayak. Hal ini disesuaikan dengan keadaan, profesi, minat dan harapan dari khalayak. Dalam Pilpres 2009, capres dan cawapres tidak hanya berorasi di atas panggung tetapi berdialog dan turun ke pasar-pasar tradisionl, ke terminal menemui pedagang dan para sopir, atau menemui komunikasi petani, nelayan, dan lain sebagainya, dan;
Keempat; Cultural Norm Theory. Televisi sebagai media massa secara potensial mempengaruhi norma-norma dan batas-batas situasi perorangan, yaitu : (1) Pola komunikasi bisa memperkuat pola-pola yang sudah ada, dan mengarahkan orang-orang agar percaya bahwa suatu bentuk sosial dipelihara oleh masyarakat. Biasanya dalam pilpres, capres, cawapres, dan tim sukses menyuarakan dan membuat slogan-slogan yang menyentuh primodialisme atau kedaerahan dan keagamaan. Berkaitan dengan teori ini capres dan cawapres menemui dan mengunjungi kediaman alim ulama di kota-kota besar dan kecil; (2) Media massa bisa menciptakan keyakinan baru seperti memperkenalkan sebuah ide, topik, visi, misi dan program baru atau paradigma baru kepada khalayak disertai dengan fakta-fakta dan data-data yang mendukungnya, dan; (3) Media massa dapat merubah norma-norma yang sudah ada dari satu perilaku ke perilaku yang lain. Seperti melakukan dialog interaktif, khalayak ikut berpartisipasi mengekspresikan ide-idenya. Kegiatan debat pilpres dapat merubah perilaku pemilih agar memilih calon yang memiliki kredibilitas, integritas, kapabilitas, dan kualitas. Calon dapat melakukan kerja nyata yang menyentuh kebutuhan khalayak, seperti menanam pohon, naik sepeda sehat, memakai produk lokal, memberi bantuan.
Karena kuatnya pengaruh televisi, maka tidak heran calon mencuri start kampanye dengan tampil di televisi. Baik bercerita atau bernyanyi bersama kelompok-kelompok band populer atau dalam acara lainnya. Yang terjadi calon tampil intens di televisi yang disiarkan secara nasional dengan pesan-pesan yang menyentuh simpati tataran grassrooti (rakyat bawah). Dalam kampanye calon presiden menggunakan artis terkenal, atau tokoh masyarakat untuk menguatkan dan mendukung jargon-jargon politiknya. Misalnya pasangan Megawati-Prabowo dengan Pro Rakyat yang mengangkat kaum petani, buruh dan nelayan. Pasangan SBY-Boediono dengan Lanjutkan, dan Jusuf Kala-Wiranto dengan Lebih Cepat Lebih Baik. Calon berperan sebagai aktor dalam sebuah segmen cerita pendek mengenai profil bakal calon yang dapat menggugah simpati publik, seperti wacana cinta tanah air, pendekatan kemanusiaan, nasionalisme, keadilan, kemiskinan, kesehatan, lingkungan, pendidikan gratis,
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979– 0899X
Isnawijayani; 44 - 56
49
kesejahteraan, pertanian, dan lain-lain yang semuanya menarik untuk diperhatikan termasuk dunia pers dan penyiaran.
Semaraknya publikasi capres dan cawapres di media cetak dan elektronik sangat membantu mendekatkan diri dengan masyarakat. Di media cetak dan elektronik ada segmen khusus iklan politik calon. Publikasi dalam bentuk lain, berupa spanduk, pamflet, baliho, stiker, dan selebaran. Media internetpun digunakan, untuk mempublikasikan calon dan meyakinkan khalayak akan visi misinya, agar masyarakat tertarik untuk memilihnya. Sementara semua televisi dari Jakarta yang bersiaran untuk seluruh Indonesia berlomba-lomba menyiarkan berita, debat, talkshow, iklan tentang capres dan cawapres, dan pooling sms. Beberapa tv memberi nama tersendiri untuk pilpres. Metro TV dengan program the election channel dan TV One dengan program TV pemilu. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Oskamp dan Schultz (1988), yakni memusatkan perhatian pada kampanye dan isu seputar pilpres. Karenanya stasiun televisi berlomba-lomba menghadirkan informasi sebanyak dan seaktual mungkin, apapun yang menjadi pembicaraan politik.
Dalam Suwandi (2002) Pembicaraan politik meliputi: (1) Pembicaraan kekuasaan mempengaruhi orang lain dengan ancaman, janji, penyuapan, dan pemerasan.Sanksi lebih ditekankan; (2) Pembicaraan pengaruh, dilakukan dengan penuh nasehat, dorongan, permintaan, dan peringatan. Pembicaraan lebih menekankan pada prestise, reputasi, kredibilitas, dan kapabilitas, dan; (3) Pembicaraan otoritas, yaitu pemberian perintah oleh yang berkuasa sehingga penguasa yang sah, suatu otoritas dan memiliki hak untuk dipatuhi. Pembicaraan ini lebih menekankan pada daya tarik pribadi penguasa, adat istiadat atau kedudukan resmi karena politik sendiri memiliki pusat perhatian (focus interest) pada kekuasaan (power), legitiminasi (legitimate) serta kewenangan (autority).
Pilpres sebagai proses politik cenderung kepada siapa yang berkuasa, atas legitimasi hasil pilihan rakyat atau pemerintahan yang berwenang untuk mengatur, mengurusi serta bertanggungjawab kepada rakyat.
Kampanye, Debat Capres dan Cawapres Tahun 2009
Kampanye terbuka Pilpres dimulai 12 Juni 2009, disiarkan oleh media massa. Perang diantara kandidat mupun tim suksesnya sudah dimulai sebelumnya. Dan debat capres yang dilaksanakan KPU (18 Juni 2009), biasa-biasa saja. Tidak banyak isu krusial yang dapat dikemukakan. Berbicara masalah korupsi, capres nomor urut satu Mega-Prabowo, menggunakan sejumlah produk hukum yang lahir pada era pemerintahannya sebagai basis argumentasi. Walaupun UU Komisi Yudisial, UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bahkan Keppres pembentukan pengadilan Tipikor ditandatanganinya pada Juli 2004. Namun kenyataannya pemberantasan korupsi tentu jauh lebih besar daripada sebuah tanda tangan.
Demikian juga pasangan SBY-Boediono dan JK-Wiranto dua pasangan incumbent. Klaim bahwa pemberantasan korupsi berhasil pada era presiden dari Partai Demokrat ini adalah kurang tepat, jika yang digunakan adalah KPK. KPK independen seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Tidak ada campur tangan presiden ataupun wakilnya. Siapapun presidennya KPK tetap harus jalan.
Jalannya debat ketiga capres belum memiliki basis cita-cita dan ideologi perbaikan bangsa lima tahun kedepan. Mereka mengatakan akan lebih baik dari yang lain. Untuk urusan HAM ketiganya lebih memilih pendekatan rekonsiliasi untuk persatuan. Menurut SBY di masa pemerintahannya tidak terjadi pelanggaran. Faktanya ada kasus Lapindo. SBY dan JK nampak ragu-ragu menanggapi penuntasan RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979– 0899X
Isnawijayani; 44 - 56
50
Megawati dalam debatnya nampak kurang memahami permasalahan korupsi. Ketiganya mengatakan tidak tepat kalau akar permasalahan korupsi terletak pada tingkat kesejahteraan aparat negara. Sebenarnya bukan masalah besarnya gaji yang diterima, tetapi kemauan. Kesimpulannya solusi yang diberikan untuk kasus Lapindo, TKI, HAM dan RUU Tipikor penanganannya belum jelas dan belum terukur, kapan masalah akan diselesaikan. Nampaknya ketiga calon mungkin miskin ide dan gagasan yang akan dikemukakan, mungkin juga kalau memberikan kepastian, takut janjinya itu ditagih publik.
Begitu juga kesan dan nuansa debat terakhir ketiga calon presiden tidak menyatakan secara eksplisit. Semua capres menyatakan berniat memberikan yang terbaik buat bangsa. Para capres diberi kesempatan hingga 4 Juli untuk merebut simpati rakyat Indonesia. Pada debat capres terakhir 2 Juli 2009 malam yang digelar KPU di Balai Sarbini Jakarta, dipandu oleh moderator Pratikno bertema NKRI, demokrasi, dan otonomi daerah. Moderator mengangkat plurarisme dan rasis. JK menegaskan rasis merupakan tindakan yang picik. Semua orang berkesempatan memimpin bangsa Indonesia, dari manapun asal sukunya. Pernyataan ini didukung Megawati 100 persen. SBY menyatakan, Bhineka Tunggal Ika harus dijalankan di hati. Oleh karena itu peraturan yang diskriminatif harus dihilangkan.
Nampaknya soal rasis dibicarakan karena pada 1 Juli 2009, Andi Mallarangeng asal Sulawesi Selatan Tim Sukses SBY-Boediono, saat berorasi di GOR Matoangin Makasar mengatakan saat ini belum waktunya orang Sulawesi Selatan menjadi pemimpin nasional, nanti ada waktunya. Oleh karena itu JK mengatakan; ”Kalau ada pandangan rasialis bahwa hanya satu suku yang bisa memimpin bangsa ini, itu berbahaya. Kita bisa kembali ke zaman rasialis, itu berbahaya, ” ujar JK serius.
Di sisi lain juga dipertanyakan apa yang dilakukan capres, jika nantinya kalah? Megawati akan terus mengabdi dan berjuang untuk rakyat Indonesia. SBY berjanji akan mendukung pemerintahan siapapun yang terpilih. Saya langsung mengucapkan selamat kepada siapa yang menjadi pemenang, mengajak konstituen saya mendukung beliau, siapapun itu. JK menyambut pernyataan SBY dengan senyum lebar. JK mengatakan; ”Yang terbaik mesti menang, saya akan menghormati yang terbaik (itu). Jika tak terpilih, saya akan pulang kampung ke Makassar, mengurus pendidikan, mengurus masjid, dan mengurus perdamaian bangsa.”
Banyak masyarakat yang marah atas pernyataan Andi Mallarangeng, ada yang meminta agar Andi meminta maaf kepada masyarakat Makasar. Bahkan ada yang mengatakan tadinya simpati dengan pasangan SBY-Boediono, sekarang berubah untuk memilih pasangan lain. Menanggapi kondisi ini Andi memberikan pernyataan yang membela dirinya di media, dan wawancara langsung di televisi yang disiarkan ke seluruh Indonesia. Intinya dia sebagai orang Makasar, dia mengajak memilih yang terbaik untuk saat ini adalah SBY-Boediono. Dia menghormati Pak JK yang sekampung dan menganggap sebagai bapak dan guru yang tetap dihormatinya. Andi mengatakan bahwa kita jangan terpancing pada sekelompok orang yang berkeinginan membuat keruh suasana. Dia tidak mau minta maaf karena tidak melakukan kesalahan.
Pada babak terakhir, debat cawapres (30 Juni 2009) bertemakan Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia Indonesia, argumen yang bergulir dari tiga calon wakil presiden Prabowo, Boediono, dan Wiranto dinilai seimbang. Tapi di satu sisi berlangsung datar dan membosankan. Mereka memiliki jawaban seragam. Moderator Fahmi Idris Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), mengatakan akses kesehatan saat ini lebih mementingkan faktor kuratif atau pengobatan, akses untuk mencegah lebih rendah. Minimnya anggaran kesehatan
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979– 0899X
Isnawijayani; 44 - 56
51
yang hanya sekitar 4 persen APBN, seandainya menjadi cawapres berani tidak menaikkan anggaran 15 persen?
Cawapres Boediono menjawab, akses kesehatan bersifat pencegahan memang diperlukan sehingga upaya preventif dan kuratif perlu dilakukan. Jawaban yang sama dungkapkan cawapres Prabowo dan Wiranto. Persamaan yang lain, ketiganya tidak berani kapan anggaran kesehatan dapat dinaikkan. ”Dalam lima tahun kedepan dapat ditingkatkan,” kata Boediono diplomatis. Sementara Wiranto menyatakan belum berani menaikkan dalam lima tahun; ”Tapi yang penting political will, saya tidak mau bicara persen,” katanya. Sedangkan Prabowo menyebutkan nahwa yang terpenting adalah adalah mengembalikan dulu kekayaan nasional yang bocor. ”Ada 100 triliun rupiah utang negara yang bisa dijadwal ulang utnuk membiayai itu.” ungkap Prabowo.
Pengamat politik Burhanuddin Muhtadi (dalam Harian Kompas, 1 Juli 2009), menilai, debat cawapres putaran terakhir tersebut sangat hambar dan kurang gereget. Ketiganya terjebak pada ulasan yang normatif, penuh retorika, serta miskin program aksi. ”Alih-alih program konkret, sekedar harapan pun mereka gagal memberikan. Prabowo dan Wiranto kurang realistis dalam menjawab problem-problem disekitar isu kesehatan dan pendidikan. Sebaliknya Boediono cukup baik dalam mendiagnosa masalah. Cuma ketika bicara solusi, Boediono sangat text book khas akademisi. Padahal rakyat mengharapkan para calon membicarakan hal-hal yang kongkret agar masyarakat mudah memahami dan terbantu dalam memilih siapa presidennya.
Capres SBY-Yudoyono melakukan kampanye terakhir (4 Juli 2009) di Gelanggang Olahraga Bung Karno Jakarta memaparkan 5 agenda utama dan 15 prioritas selama 15 menit. Lima agenda itu terdiri dari peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, pemerintahan bersih dan berwibawa, penguatan demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, serta pembangunan yang adil dan merata.
Di tempat lain yaitu di Malang Jawa Timur pasangan calon Jusuf Kala dan Wiranto menegaskan jika rakyat memberikan mandat kepadanya, keduanya berjanji akan sungguh-sungguh bekerja keras untuk rakyat. Tanggungjawab dan resiko yang dihadapi akan ditanggungnya berdua. Selanjutnya pasangan ini sempat bertemu dan berdialog dengan 1000 pengusaha Surabaya, sebelum pulang ke Jakarta.
Sementara pasangan calon Megawati dan Prabowo Subianto di Lapangan Simpang Lima Semarang Jawa Tengah mengingatkan pendukungnya untuk mewaspadai kecurangan yang mungkin terjadi saat pemungutan suara. Mereka hanya mengandalkan suara rakyat. Sebelum memungut suara mereka meminta kepada rakyat memastikan kotak suara kosong, setelah itu baru memilih. Pesan ini dikarenakan masalah DPT (Daftar pemilih tetap) yang belum beres, sementara pilpres tinggal beberapa hari lagi.
Tayangan Pilpres 8 Juli 2009 dan Pasca Pilpres
Pada 8 Juli 2009 seluruh bangsa Indonesia memberikan hak suaranya memilih presiden untuk 5 tahun ke depan. Televisi meliput suasana pencontrengan saat ketiga calon pasangan presiden dan wakil presiden melakukannya. Siang hari di atas jam 13.00 dilakukan perhitungan. Hingga sore hari quick count memberikan jumlah perhitungan sementara bahwa pasangan SBY-Boediono unggul di atas Mega-Prabowo dan JK-Wiranto. Tanggal 9 Juli malam hal menarik siaran televisi menayangkan SBY-JK bertelponan. JK memberi selamat dan dalam pembicaraan SBY mengajak menyelesaikan tugas negara yang tersisa hingga 20
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979– 0899X
Isnawijayani; 44 - 56
52
Oktober 2009. Negara masih memerlukan JK. Sementara JK sedang berada di kampung halaman Makasar. Berikut ungkapan SBY saat berkomunikasi dengan JK:
Sebagaimana yang kita bicarakan walaupun dalam suasana kompetisi tetap kita jalin silaturahmi, kita beri contoh, lanjutkan pelaksanaan tugas. Kita bertugas untuk langkah selanjutnya ke depan. Tadi saya sampaikan sidang kabinet paripurna, Selasa aktif lagi kerja sampai 20 Oktober. Pak Jusuf, sejarah catat, jasa anda besar sekali, teruskan apa yang menjadi amanah kita berdua, Insya Allah ada jalannya. Negara masih membutuhkan Pak JK, apapun peran Pak Jusuf nanti. Kami menunggu sesuai dengan pilihan Pak JK. Saya senang kalau Pak JK masih bisa mendarmabaktikan untuk negara, kita bicarakan berdua nanti. Sampai ketemu salam untuk keluarga. (Metro TV, 9 Juli 2009)
JK, memberikan selamat karena hasil perhitungan quick count untuk sementara hingga tanggal 9 Juli malam, pasangan SBY-Boediono terlihat lebih unggul, menurut 6 lembaga survey pilpress, seperti tabel di bawah ini.
Tabel 1.
Hasil Perhitungan Cepat (Quick Count) Pilpres 2009 Versi Lembaga Survei
NAMA LEMBAGA SURVEY MEGA-PRABOWO SBY- BOEDIONO JK- WIRANTO
Lingkaran Survey Indonesia (LSI) 1
26,56%
60,85%
12,59%
Lembaga Survey Indonesia (LSI) 2
27,36%
60,15%
12,49%
Lembaga Penelitian Pengkajian Pengembangan Ekonomi Sosial (LP3ES)
27,40%
60,28%
12,32%
Pusat Kebijakan dan Pengembangan Strategis (Puskaptis)
28,16%
57,95%
13,18%
Cirus Group Surveyor (CIRUS)
27,49%
60,20%
12,31%
Lembaga Riset Indonesia (LRI)
27,02%
61,11%
11,87%
Sumber Data: Dari tayangan beberapa Stasiun TV, 8 Juli 2009 hingga pukul 21.00 WIB
Di luar tabel di atas, dari tayangan televisi diungkapkan, pasangan SBY-Boediyono menurut quick count sukses mendapatkan 20 persen di semua provinsi, dan menjadi jawara di 30 provinsi. Kecuali Bali yang didominasi Megawati-Prabowo, sementara di Sulawesi Selatan dan Gorontalo dimenangkan JK-Wiranto.
Dari seluruh provinsi, ternyata di Aceh pasangan SBY-Boediono mendapat suara yang mencapai 93 persen. Begitu juga perolehan pasangan ini tinggi di Sumatera Barat (80 persen), Sumatera Utara (72 persen), DKI Jakarta (71 persen), dan Lampung (69 persen).
Di sisi lain hasil perhitungan sementara menurut KPU, juga tidak jauh berbeda dengan perhitungan lembaga survey. Pasangan SBY-Boediono tetap lebih unggul.
Tabel 2.
Hasil Sementara Pilpres Tahun 2009 Versi KPU
NAMA CAPRES-CAWAPRES JUMLAH SUARA PERSENTASE
SBY- BOEDIONO
2.485.581
60,72%
MEGA- PRABOWO
1.214.486
29,67%
JK- WIRANTO
393.677
9,62%
Sumber Data: KPU, 8 Juli 2009 hingga pukul 21.00 WIB
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979– 0899X
Isnawijayani; 44 - 56
53
Walaupun JK dan sejumlah pimpinan negara tetangga telah memberikan selamat, tapi pasangan Mega-Prabowo masih menunggu hasil yang pasti sambil mempersiapkan bukti-bukti pelanggaran yang dilakukan Tim Sukses SBY-Boediono. Sementara banyak pihak yang juga belum mengakui kemenangan itu. Diskusi-diskusi tentang kemenangan SBY terus ditayangkan oleh televisi. Yang jelas Wapres Jusuf Kala (JK) sejak 13 Juli sudah melakukan kegiatan kenegaraan dengan mengikuti rapat di Kantor Presiden. Ini adalah pertemuan pertama JK-SBY sejak mereka bertarung pada Pilpres 8 Juli 2009. Suasana nampak sudah cair.
Komunikasi Politik Capres dan Cawapres dalam Televisi
Ketiga capres kurang menampilkan diferensiasi, baik pada sisi gagasan maupun alternatif jalan keluar. Untuk pemilihan dalam Pemilu, masyarakat berhak mengetahui fenomena dibalik gegap gempita klaim dan janji politik. Sejumlah data rekam jejak komitmen anti korupsi tiap pasangan hendaknya menjadi acuan.
Kehati-hatian, sopan santun yang terlalu diutamakan berdampak pada kelambanan mengambil sikap dan keputusan dalam pelbagai persoalan kenegaraan. Hal ini melekat pada SBY. Sedangkan Megawati masih terbawa pada kebesaran nama Bung Karno, sementara JK selama lima tahun terakhir buku politik dan buku ekonomi seorang JK senantiasa terbuka. Singkatnya, jika modal politik pasangan pertama dan kedua terkesan serius oleh perangkap-perangkap politik yang membayangi keduanya, maka tidak demikian bagi JK. Modal politik JK sebagai tokoh yang memiliki keterbukaan, keberanian, dan kecepatan dalam membaca situasi serta mengambil keputusan akan tetap bertahan meskipun dihadapkan dengan kedua perangkap politik yang membayanginya. Namun ternyata ia mendapat dukungan urutan terakhir.
Debat pilpres ini adalah pengalaman pertama bagi perkembangan demokrasi di Indonesia, maka sangatlah wajar jika yang terkesan belum terjadi debat yang sesungguhnya. Banyak yang harus dipersiapkan. Debat masih hal baru dalam tatanan kenegaraan Indonesia. Mungkin karena banyaknya topik debat yang tidak sesuai dengan alokasi waktu. Pemahaman para peserta debat yang mungkin masih menjadi sebuah kebingungan atau ada hal lain yang belum terbaca. Oleh karena itu hasilnya adalah monolog sehingga seperti sayur tanpa garam, hambar.
Di luar arena debat, kampanye belum mengumandangkan program yang argumentatif dan realistik. Banyak kampanye yang ingin membuat masyarakat lebih realistik dan pandai berargumentasi terbelokkan ke berbagai kepentingan untuk pencitraan dan hal-hal pribadi. Meski dengan catatan tentang berbagai kekurangan yang terjadi, adanya debat pilpres ini bukan hanya memeriahkan pesta demokrasi 5 tahun untuk pilpres 2009. Debat itu juga memberi sumbangan kemajuan bagi proses berdemokrasi di Indonesia. Paling tidak komunikasi dan pendidikan bagi masyarakat.
Kesadaran politik merupakan kondisi psikologis yang tanggap terhadap segala hal yang berkaitan dengan kehidupan bernegara. Adanya kesadaran politik pada masyarakat memungkinkan mereka untuk menjadi anggota masyarakat yang menurut Gabriel Almond berbudaya politik partisipan yakni orang-orang yang secara aktif melibatkan diri dalam kehidupan politik. Aktif dalam kehidupan politik tidak perlu diartikan bahwa warga negara harus terjun berpolitik praktis (dalam Syamsuddin, 1993:217). Hal ini terlihat dari masyarakat dalam pilpres Indonesia 2009.
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979– 0899X
Isnawijayani; 44 - 56
54
Dari pengamatan penulis, banyak orang tidak mau memilih atau akan menjadi golput (golongan putih) karena tidak begitu mengenal dan paham siapa calon presiden. Tetapi dengan adanya acara debat dan gencarnya tayangan kampanye di media massa terutama televisi, mereka berubah ikut memilih. Artinya acara ini jelas besar pengaruhnya untuk mendidik pemilih dalam menentukan pilihannya. Tingginya pemilih yang masih ragu menjadikan tayangan kampanye di televisi menjadi penting. Mereka memiliki pengetahuan yang memadai tentang sistem politik. Sehingga mereka sadar kemana mereka akan dibawa (Yunizir, 2008). Melalui tayangan televisi, masyarakat semakin bertambah pengetahuannya tentang calon presiden. Mereka dapat membadingkan bayangan dari diri sendiri dengan yang dilihat dari televisi. Ternyata mereka semakin pandai dalam menilai siapa yang akan menjadi presidennya.
Keterangan yang diberikan Andi Mallarangeng melalui televisi, membuat lega para pendukungnya dan menjadikan informasi yang diperlukan bagi masyarakat luas. Teori yang menyatakan bahwa media dalam hal ini televisi mempunyai kekuatan yang luar biasa mempengaruhi khalayak diyakini oleh capres, cawapres, tim sukses dan dimanfaatkan oleh lembaga televisi itu sendiri. Sebenarnya khalayak tidak selalu menjadi pihak yang pasif dan begitu saja menerima apa yang didapatkan melalui media (televisi).
Menurut Graeme Burton (2007:356), bahwa khalayak televisi bersifat aktif, berperilaku interaktif berkomentar, dan berdiskusi mengenai apa yang mereka lihat dalam program pilpres di televisi. Terdapat mental aktif yang dilakukan oleh masyarakat sebagai sesuatu yang patut diperbincangkan dalam lingkungannya.
Kampanye di televisi dapat memberikan dampak yang berbeda dalam masyarakat. Bagaimanapun frame of reference dan field of experience masyarakat mempengaruhi perilakunya dalam memilih. Kelompok berpendidikan dan telah melek media atau sadar informasi dapat menilai kemampuan calon. Sementara masyarakat yang kurang berpendidikan dan kurang informasi akan tertarik pada penampilan dan komunikasi non verbal pasangan calon.
Tayangan SBY-JK saling telpon merupakan bentuk komunikasi yang ditunggu-tunggu masyarakat. Masyarakat berkomentar hal ini menunjukkan JK adalah seorang yang berjiwa besar dan konsekuen. Orang-orang muda dapat belajar dari gaya pasangan ini. Upaya membangun peradaban politik menjalin hubungan yang lebih baik membangun modal sosial yang diperlukan dalam pembangunan. Pembangunan bukan hanya memerlukan SDM yang handal dan investor saja. Perilaku SBY-JK memberikan contoh walaupun ada persaingan di antara mereka tetapi masih saling percaya. Hal ini memudahkan SBY dalam pemerintahannya karena pesaingnya mengikuti dan jelas menguntungkan dari hubungan baik yang berkompetensi. Saat kampanye pilpres, sebagai capres keduanya kerap saling sindir. Bahkan dalam debatnya SBY langsung membela Boediono saat JK mengatakan bahwa Boediono pernah menolak proyek listrik 10 ribu MW. Ketegangan keduanya mencapai puncak hari-hari menjelang contrengan pilpres. Mereka baru berkomunikasi kembali sehari setelah pilpres berteleponan, dan JK memberikan ucapan selamat atas kemenangan SBY.
Pasca perhitungan sementara dan adanya komunikasi telpon SBY-JK, menciptakan suasana yang baik bagi demokrasi di Indonesia. Dan tentu saja membawa kedamaian bagi bangsa Indonesia, Sementara gaya/sikap perilaku yang ditampilkan dapat ditiru oleh yang menontonnya yaitu masyarakat, disinilah proses belajar yang rumit berlangsung. Bandura (dalam Rakhmat, 1999:240), menjelaskan proses belajar sosial dalam empat tahapan; proses perhatian, peringatan, reproduksi motoris dan proses motivasional. Permulaan proses belajar ialah munculnya peristiwa yang dapat diamati secara langsung ataupun tidak langsung.
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979– 0899X
Isnawijayani; 44 - 56
55
Peristiwa itu dapat berupa tindakan tertentu. Dalam tayangan televisi SBY-JK nampak bersahabat, gambaran pola pemikiran yang disebut Bandura sebagai abstract modeling. Masyarakat meniru perilaku-perilaku dalam tayangan televisi.
Melihat keadaan ini secara tidak langsung sebagian dari tugas mendidik sudah dilakukan oleh televisi. Hal ini sesuai dengan fungsi mendidik sebagai media komunikasi massa. Hasil ini sesuai dengan McQuail dalam Teori Komunikasi Massa (1996:13), bahwa televisi berperan sebagai sarana baru yang menyebarkan tontonan yang dapat diikuti. Dari televisi terjadi proses pemberian stimuli yang dapat dijadikan teladan (modelling stimuli), walaupun hingga sekarang terus terdapat catatan-catatan pelanggaran yang dilakukan ke tiga pasangan, tetapi tidak menimbulkan konflik yang berarti. Apalagi kemudian SBY dan JK dengan suasana cair dan damai bersama-sama mulai menjalankan roda pemerintahan untuk menyelesaikan tugas-tugas kenegaraan hingga 20 Oktober.
Sebuah perilaku baik yang mempengaruhi keadaan masyarakatnya. Biasanya kalau JK menanamkan konflik akan ditiru oleh pengikutnya di seluruh Indonesia. Apa yang dikatakan JK pada debat terakhir, dilakukannya dengan konsekuen, dan hal ini jarang dilakukan oleh orang Indonesia memberi selamat kepada lawan yang menang. JK orang pertama yang melakukannya.
Penutup
Berdasarkan uraian dan analisis terhadap masalah dalam artikel ini, paling tidak ada empat catatan yang dapat ditarik sebagai kesimpulan, yaitu; Pertama; menurut HUB Model (Hiebert, Ungurait dan Bohn) mengatakan proses komunikasi menjadi duabelas komponen. Model ini menggambarkan bahwa komunikasi adalah proses yang interaktif. Televisi dapat menjadi alat komunikasi interaktif yang ampuh dalam mempromosikan atau mengkampanyekan capres dan cawapres dalam pilpres 2009. Kenyataannya semua stasiun televisi menayangkan advertorial pasangan calon presiden. Televisi berlomba-lomba menghadirkan informasi sebanyak dan seaktual mungkin, apapun yang menjadi pembicaraan politik;
Kedua; tayangan pemberitaan kampanye, acara debat pasangan calon presiden serta tim sukses masing-masing pasangan memberikan pengetahuan dan informasi dalam komunikasi politik yang lebih banyak dan luas kepada masyarakat. Dengan demikian masyarakat menjadi semakin pandai menentukan pilihannya;
Ketiga; tayangan hasil perhitungan, kritikan, dan pengaduan untuk calon pasangan presiden, KPU, Banwaslu, pemenang calon presiden dan wakil, posko pengaduan, dan ucapan selamat JK dan pimpinan negara tetangga terhadap SBY menjadi pengetahuan baru bagi masyarakat Indonesia. Berpengaruh dalam perilaku untuk tidak enimbulkan konflik yang besar pasca pelaksanaan pilpres. Terjadi kemajuan dalam demokrasi di Indonesia, dan;
Keempat; JK sebagai lawan kompetisi adalah orang pertama Indonesia yang berperilaku positif kemudian menjalankan roda pemerintahan bersama lawan pemenang pilpres, dalam hal ini SBY. Ternyata keterbukaan dan kepopuleran JK yang dapat langsung memberi kritikan belum dapat diterima masyarakat Indonesia. Berdebat secara normatif, karismatik calon pimpinan negara masih menjadi pilihan masyarakat Indonesia. Pengaruh incumbant masih tinggi.
Volume 2, No. 4, Desember 2009 ISSN: 1979– 0899X
Isnawijayani; 44 - 56
56
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Anwar, 2003. Komunikasi Politik:Paradigma, Teori, Aplikasi, Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia. Jakarta: PT. Balai Pustaka
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Burton, Graeme. 2007. Membincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kepada Studi Televisi. Yogjakarta: Jalasutra
Effendy, Onong U. 2003. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra Aditya Bakti
Fisher, B. Aubrey.1990. Teori-Teori Komunikasi. Terjemahan Jalaluddin Rakhmat. Bandung: Remaja Rosdakarya
Jalaluddin, Rakhmat, 1999, Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya
Kirana, Chandra. 2001. Advokasi Itu Komunikasi. Jakarta: BSP-KEMALA
McQuail, Denis. 1996, Teori Komunikasi Massa, Jakarta: Erlangga
Nurudin. 2003. Komunikasi Massa. Malang: Cespur
Syamsuddin, Nazaruddin. 1993. Dinamika Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Venus, Antar. 2004. Manajemen Kampanye. Bandung: Simbiosa Rekatama Media
Yunizir, 2008. ”Peranan Politik dalam Meningkatkan Kesadaran Politik Masyarakat” dalam Jurnal Dinamika, Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 1 Nomor 1 Juni 2008, halaman 3, Baturaja: FISIP Universitas Baturaja
Media Massa:
Kompas, 1 Juli 2009
Metro TV, 9 Juli 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar